Balik ke Meka.
Meka pikir di kantin Smart atmosfernya lebih bersahabat tidak menghebohkan terkait mahluk dari luar angkasa itu. Kantin Smart pengunjungnya kebanyakan para gadis. Mengenai hal itu Meka juga tidak tahu sebabnya. Tetapi dari sepintas lalu, cewek-cewek yang membeli makanan di sana akan selalu terpana dengan penjaga kantin yang tampan punya.
Barangkali cowok-cowok di sekolahnya jadi pada ilfil ketika para cewek mengidolakan penjaga kantin, yang menurut Meka tidak ada yang istimewa. Hidungnya sih, bak tebing menjulang, lalu alisnya seperti sepasang elang yang terbang di atas tebing itu. Meski demikian tinggi cowok penjaga kantin itu Meka pikir tidak ada 160 cm. Lebih tinggi dirinya yang mencapai 170 cm. Untuk ukuran perempuan, Meka memang tergolong tinggi. Dan selera Meka, jelas cowok dengan tinggi di atas 170-an cm. Kayak Albi gitu.
Akan tetapi siapa sangka para gadis di kantin sama saja, banyak bicara tentang Selvi. Heran deh, apa istimewanya Selvi itu. Kulitnya seputih kertas, pucat gitu. Rambutnya panjang menjuntai mirip Mbak Kunti. Cara jalannya juga mirip orang yang kekurangan gizi, alih-alih gemulai.
Namun, bisik-bisik tentang Selvi di kantin kebanyakan sih, nada mencibir.
“Denger-denger Selvi itu sodara kamu?” tanya seorang cewek kelas tiga. Penampilannya sebelas dua belas sama Selvi. Dan namanya Juwita.
“Bukan urusan kalian.” sahut Meka cuek.
“Eh, ini anak ditanya jawab yang bener dong!” Juwita mencengkeram bola mata Meka.
“Ngaku aja kenapa?” sergah yang lain
“Kalau iya, memang kenapa?” Meka kini penasaran. Nggak bilang naksir juga, kan? Meka jadi ingin ketawa.
“Bilangin tuh, jangan sok kecentilan. Baru datang sudah merusak image sekolah kita.”
“Suruh benerin tuh, cara pakaiannya.” cetus seorang cewek dengan bandana kuning.
“Kakak ini asisten guru BP?” tanya balik Meka.
“Harusnya tahu dirilah, di sini bukan sekolah model, bukan sekolah wanita gituan.” hardik cewek yang rambutnya seperti Dora The Explorer.
“Maksudnya apa?” balas Meka gusar.
“Yaa, gitu itu, masa nggak ngerti?” Si rambut menjuntai menatap Meka setengah mendongak dengan sudut matanya.
“Tolong ya…” Belum selesai Meka ngomong tiba-tiba ada yang menarik tangannya, “Apaan sih, Bi?” Ronta Meka setelah tahu siapa yang sudah mencekalnya.
“Ada rapat darurat?” kata Albi, lalu kepalanya mengangguk hormat dengan menyelipkan senyum seratus watt pada empat cewek kelas tiga yang akan mengeroyok Meka.
“Ntar,” Meka berhasil meloloskan diri dari pegangan Albi dan langsung mendatangi empat cewek yang tiba-tiba melabraknya.
“Ee….” Albi kaget Meka lepas dari pengawasannya.
“Kalian… blep blep…” Albi tanpa basa-basi langsung membungkam mulut Meka dan menyeretnya keluar kantin.
Tubuh Albi yang tinggi besar, terlalu kuat untuk Meka bongkar rengkuhannya.
Setelah dirasa cukup jauh dari area kantin, Albi langsung melepas bungkamannya pada Meka. Soalnya Meka tidak berhenti meronta-ronta membuat Albi sebenarnya kewalahan.
“Apaan sih?” hardik Meka ke Albi. “Tanganmu juga bau, tau!”
“Masa?” Albi mencium tangan kanannya sendiri. Seringai merasa bersalah tertampil dengan malu-malu. “Oh, tadi aku habis makan penyetan sambal terasi.”
“Kamu nggak cuci tangan?” tuduh Meka.
“Cuci tanganlah, tapi nggak pakai sabun emang,” Albi kembali meringis.
“Dasar!” Mata Meka memicing sebal pada sobatnya itu. Tetapi kemudian lensa matanya telah menyorot ke arah dalam kantin lagi.
“Heh, kamu mau berkelahi sama mereka?”
“Siapa takut?” cetus Meka sudah mau melangkah.
Tetapi kaki Albi sudah terangkat menghalangi.
“Minggir nggak!”
“Penting ya, bikin masalah sama mereka?” ucap Albi ingin menyadarkan sobatnya bahwa mengalah bukan berarti kalah. Mending menyingkir demi perdamaian dari pada menyulut perang yang justru akan memakan korban.
Meka memandang Albi tampak berpikir. Gerak selanjutnya desahan pendek terdengar. Meka tampaknya baru sadar kalau tidak ada untungnya membela Selvi si mahluk luar angkasa itu.
Meka menggosok hidung bagian bawah, lalu menyusutnya. “Yuk!” ajak Meka menjawil lengan Albi mengajak pergi dari pelataran kantin
“Hhh… syukur deh, nggak terjadi perang.”
“Perang?” toleh Meka.
“Kamu?” sahut Albi melirik Meka dengan sudut mata.
“Aku?” Meka menunjuk hidung sendiri.
“Yeaa, kamu dan mereka tadi.”
“Hei, aku cuma mau bilang agar mulut mereka itu ikut di sekolahin, biar nggak ngomong seenaknya gitu.” bela Meka membuat alibi.
“Sama aja. Itu namanya menyulut perang.”
“Ah, kamu terlalu berlebihan, Bi. Eh, mau rapat darurat apa?”
“Ada aja.” kerling Albi sambil menunjuk gerombolan anak basket yang sudah menunggu keduanya.
“Hallo Meka sayang, kenalin dong sama Selvi.” lontar Ivan pada Meka tanpa basa-basi.
Meka menatap Albi meminta penjelasan. Albi menggeleng dan menggerakkan telapak tangannya yang tegak di depan dada menyatakan bahwa dia tidak ikut-ikutan.
“Oo, gitu?” Alis Meka naik satu ke atas.
“Iya, Ka. Masa punya aset besar disembunyiin.” cetus Anta yang tubuhnya paling ceking.
“Pada naksir nih, sama dia?” tanggap Meka.
“Manis ya?” Deri yang biasanya acuh tak acuh sama perempuan ikut berkomentar.
“Seksi!” Julian mengacungkan dua ibu jarinya sambil menyeringai menjijikkan.
“Benar-benar,” kata Excel menyetujui yang sering berada di bangku cadangan.
“Gimana, Ka?” Ivan meminta Meka agar mempertimbangkan keinginan dari anggota klub basket.
“Jadi ini rapat daruratnya?” Meka melirik ke Albi yang dari tadi sibuk memainkan bola.
Albi kaget, “Mereka yang minta!” tunjuk Albi ke teman-temannya.
“Kalian ini pada chicken banget sih?” sembur Meka kemudian.
“Ayam?” Excel memandang pada semua teman-temannya. “Aku mau ayam krispi.”
“Bego!” lontar Julian. “Jangan gitu, dong, Ka. Kita kan perlu restu dari kakak tertua.”
“Enak aja, kami seumuran tahu. Malah selisih bulannya duluan dia dibanding aku.” sahut Meka tambah kesal. “Kalau kalian emang pengin kenalan, langsung ke orangnya. Dasar payah!”
“Nah,” tunjuk Leo ke Meka. “Maksudnya itu. Kamu dong, yang bawa dia kemari?”
“Memang aku manajernya?” cetus Meka.
“Hehe... manajer,” ulang Anta mengulum senyum.
“Ayolah, Ka?” Julian mencoba merayu Meka.
“Please!” Ivan ikutan memohon.
Meka memandang anak klub basket cowok dengan pandangan depresi.
“Kalian bikin aku tambah pusing nih.” kata Meka sebelum ngeloyor pergi.
“Eh Ka, tunggu, kemana?” cegah anak-anak.
Albi mengejar Meka. Bola yang dia pegang asal lempar ke tengah sobat-sobatnya yang langsung menuai aksi protes keras.
“Gila!” keluh Meka.
“Siapa yang gila?” tanggap Albi sok inosen.
“Seluruh sekolah ini.”
“Mereka pada kena sindrom Selvi. Hebat dong. Hebat banget sepupumu itu.”
“Kamu juga?” Meka menoleh cepat pada Albi dengan mata yang hampir keluar.
“Aku? Heh, mana mungkin?” Albi menggerakkan bahunya seolah tidak peduli.
“Bi, kamu mau ikut aku ke toilet?” Meka menghentikan langkahnya menghadap pada temannya itu.
“Jadi kamu mau ke toilet?”
“Kamu pikir?”
“Mau traktir baso.”
“Dasar! Sana-sana!” usir Meka. Bersamaan itu bel tanda jam istirahat selesai berbunyi.
“Aku balik dulu ke kelas, Ka.” Albi langsung lari meninggal Meka beberapa meter di depan pintu toilet.
Waktu itu perut Meka terasa mules. Efek frustasi karena semua orang demam Selvi, barangkali. Setelah keluar dari toilet, baru dia bisa bernapas dengan lega. Tapi tidak lama, di depan pintu toilet, secara tidak terduga berdiri seseorang yang seakan sedang menunggunya.