“Ada apa, Ka!” sapa Albi sambil ketawa ngikik setelah suara gedubrak ramai menghantam balkon teras kamarnya. “Ada kabar IGD apa, sampai lewat seluncuran lagi?”
“Heran, dari dulu kenapa aku nggak pernah mendarat dengan sukses.” kata Meka tidak menjawab pertanyaan Albi. “Abangmu sepertinya sengaja kasih kutukan pada seluncuran ini, sebuah kutukan agar saat aku meluncur mendarat dengan posisi nggak mengenakan seperti tadi.” Meka memegangi lututnya yang terasa pegal.
Sudah kurang lebih lima tahun seluncuran tali yang menghubungkan balkon samping rumah Albi dan Meka terpasang. Kakak Albi yang seorang pecinta alam merancang seluncuran itu. Masing-masing balkon terdapat tali statik yang harus dilempar ke ujung balkon lain. Kalau mau meluncur kedua belah pihak harus ada, buat pasang tali itu ke angkor yang dihubungkan dengan carabiner. Lumayan rumit, masih harus pasang alat luncurnya pula.
“Suudzon tuh!” tanggap Albi.
“Buktinya, pernah lihat aku mendarat tanpa memar?”
Albi menggeleng menahan senyum geli. Albi masih senyum-senyum memperhatikan Meka yang langsung duduk di kursi yang ada di balkon.
“Senyum-senyum lagi, senang lihat teman menderita?” hardik Meka masih mengelus lututnya.
“Ada apaan sih, kok marah-marahnya ke aku?” protes Albi.
“Oh ya, sampai lupa. Tahu nggak Bi, di rumahku lagi ada mahluk planet lain tuh.”
“Hah, mahluk planet lain? Dari planet mana? Mars, Yupiter, Saturnus? Asyik dong, bentuknya seperti apa? Hmm…” Albi mulai membayangkan. ‘’Warnanya ijo, matanya besar….”
“SELVI.” kata Meka dengan penekanan yang menunjukkan rasa muak.
“Selvi?” ulang Albi sambil mengingat-ingat nama itu. “Selvi, sepupu kamu itu? Selvi yang manis?”
“Selvi yang manis? Enek tau!” cetus Meka lalu mengambil tempat duduk pada kursi mangkuk yang empuk.
“Memang dia manis.” Albi teringat pada Selvi yang dulu dikuncir dua merengek minta diajak main Meka sama Albi. Tapi mana mungkin. Permainan Meka-Albi terlalu macho buat Selvi yang cewek abis. “Terakhir kalau nggak salah dia datang pas kelas satu SMP? Sekarang tambah manis nggak ya?”
“Ya ampun Bi, kamu nggak sehati banget sih sama aku. Bisa-bisanya coba, kamu suka sama cewek yang centil dan sok imut itu.”
“Ah, kamu itu yang nggak ngerti aku. Bukannya aku pernah bilang kalau aku suka sama cewek yang feminin.”
“Iya, tapi nggak dengan Selvi?” Mulut Meka tambah manyun.
“Memang aku bilang apa kalau suka sama dia?”
“Dari nada bicara dan senyummu kelihatan.” Meka memicingkan mata. Sementara kedua tangannya bersedekap.
“Masa sih?” Albi tersipu-sipu.
“Pokoknya nggak boleh dengan musuhku itu.” tandas Meka mengangkat dagunya.
“Yeaah, lagian belum tentu sodaramu itu mau sama aku.”
“Baguslah.”
“Lalu?”
“Kok lalu?”
“Apa masalahnya?”
“Haa… masih nggak ngerti?”
“Iya Selvi datang lalu kenapa? Toh dia cuma sebentar kan, besok paling udah balik ke Jakarta. Gitu aja diheboh-hebohin.”
“Nah, itu dia Bi, masalahnya dia tuh akan ada di rumahku untuk batas waktu yang tidak ditentukan.”
“Maksudmu menetap di rumahmu?” Albi memastikan. ”Serius?”
“Arrrgh… dunia rasanya mau kiamat.” pekik Meka sambil mengacak-acak rambutnya sendiri, sekalian menggaruk bagian yang gatal.
“Wah, pasti menyenangkan.” gumam Albi.
“Apa, Bi?”
“Nggak,”
“Kamu kok kelihatan bahagia banget bukannya ikut susah memikirkan nasib sobatmu ini.”
Albi langsung mengubah mimiknya mengempiskan senyum yang semula mengembang. “Oke, aku turut berduka, Ka.”
“Parahnya Bi, besok dia mau sekolah di sekolah kita.”
“Oh ya,” Albi yang tadinya hendak berbunga jadi mengurungkan niatnya. “Gawat juga.” tanggapnya sambil memegang bibir bagian bawah. Lebih tepatnya menahan agar senyumnya tidak merekah.
“Huh, nyebelin banget sih!” keluh Meka. “Nggak nyangka bakal ada mahluk centil yang bersarang di rumahku.”
“Udah takdirmu kali, Ka.” celoteh Albi sekenanya. “Ambil aja hikmahnya. Dengan adanya Selvi bukannya kamu jadi punya teman di rumah, terus siapa tahu kamu bisa ketularan feminin.”
“Apa? Nggak akan. Bukan Meka banget gitu loh. Be your self!” Meka nunjuk-nunjuk Albi. “Yang namanya Meka ya seperti ini. Nggak ada Meka lain.”
“Terserahlah! Pasti ada masa capeknya. Suatu saat kalian pasti bisa akur. Punya musuh serumah gak ada asyiknya, Bro! Believe it!”
“Hhh…” Meka menghembuskan napas sambil bersandar di kursi dengan kepala terkulai.
Sementara itu Albi sudah mulai menggenjreng gitarnya.
“Dunia belum berakhir…” Sebuah lagu maha jadul dari Shaden meluncur dari mulut Albi.
“Lagu nenek moyang masih dinyanyiin juga,” cibir Meka.
“Hmm, apa ya… oh, sobat maafkan aku mencintainya, aku tak bermaksud…” ganti lagu Padi yang menggema.
“Kamu datang dari abad berapa, Bi? Sebelum abad 20?” Meka merebut gitar dari tangan Albi. “Penampilan gagah gitu, lagunya melo-melo bin jadul.”
“Dua lagu itu yang kuncinya paling kuhapal.” Albi meringis.
Meka mulai memetik gitar, “Dan, pabila esok, datang kembali...”
“Hemm, sama aja!” ejek Albi saat Meka melantunkan lagu SOS.
“Hehe….” seringai Meka.
“Sini, aku kasih lagu yang benar-benar cocok dengan suasana hatimu.” Albi meminta kembali gitarnya.
“Nggak!” tolak Meka.
“Sini, Ka!”
“Pinjem, Bi. Pelit amat.”
Kedua sempat tarik menarik gitar, tapi akhirnya Albi yang mengalah. Dan biasanya memang begitu.
Hari berikutnya di sekolah.
Berita kehadiran Selvi dengan cepat menyebar. Pokoknya hari itu topik hangatnya berkisar tentang Selvi. Apalagi untuk kalangan cowok. Maklumlah, tampang baru lumayan ngecling pula, terus yang bikin banyak cowok jadi senang melototin Selvi, bajunya itu lho. Wuuuh, seksi Bo! Baju atasan ketat, terus roknya mini banget. Membungkuk dikit aja, pakaian dalam Selvi sudah kelihatan. Pokoknya jadi pe-pe! (pusat perhatian).
Bagaimanapun aturan model baju sekolah Meka, kan, roknya panjang semata kaki. Untuk panjang lengan baju sih, bebas. Boleh lengan panjang, boleh lengan pendek.
Seperti Meka yang memilih pakai baju lengan panjang. Meski bukan kemauan dia sendiri. Bunda tahu-tahu menjahitkan seragam sekolah Meka panjang semua. Dengan harapan anak gadisnya itu, nanti mau memakai kerudung. Bunda tidak mau memaksa, beliau ingin putrinya memakai hijab karena kesadaran sendiri, dari hati. Tentu dengan pelan-pelan memberi pengertian.
Meka benar-benar dibuat gondok oleh Selvi. Selain malu, hal yang paling Meka sebelin adalah banyak cowok yang mengorek keterangan tentang Selvi ke dia. Be-te banget, kan?
“Hei kamu, beneran Selvi itu sodaramu?” tanya seorang anak cowok kelas tiga, ketika Meka kebetulan lewat deretan ruang kelas tiga.
“Kenapa?”
“Boleh juga tuh,”
“Apaan?”
“Boleh dong ngedaftar?” sahut yang lain.
Meka mengernyitkan kening, “Daftar apa? Daftar Caleg Pemilu, ke KPU sana!” jawab Meka sambil lalu.
“Daftar jadi cowoknya dong!” Cowok tadi memburu Meka. “Gimana?”
“Kenapa nggak daftar langsung ke orangnya. Aku nggak ada urusan sama dia.”
“Lho?” cowok itu melongo begitu Meka ninggalin dia gitu aja. “Kenapa dia?”
“Bener tuh, mending daftar langsung ke orangnya.” timpal teman-temannya.
“Iya, ya.”
“Mang kamu mau daftar apaan sih, Ga?” tanya temannya yang lain.
“Daftar kerja, Oneng!”
“Daftar kerja kok ama dia, mang dia punya perusahaan. Trus, kamu kerjanya kapan dong, kamu kan masih sekolah. Oh, aku tahu kamu mau kerja part time sepulang sekolah?” kata cowok yang berambut jambul dengan ekspresi senang. Dia pikir, dia sudah cukup cerdas karena bisa menangkap maksud dari temannya itu.
“Dasar Oneng!” Teman-temannya jadi geregetan sendiri dan meninggalkan si jambul yang masih tenggelam dalam kebingungan.