Malam itu sunyi.
Kantor di seberang gedung penuh dengan karyawan lembur, lampu menerangi setengah dari ruangan yang penuh budak korporat. Deru baling-baling helikopter mengoyak inersia suara yang dipertahankan saat badan beranjak bangkit. Gedoran pintu dari kejauhan menyurutkan realitas dan mencampuradukkan ilusi. Nasi putih di tangan berjamur, sup jagung mengental diinvasi spesies sama, bau tak sedap mengitari setetes campuran dari biskuit dan daging.
Morrigan terbaring lemah di kasur, selimut menutupi setengah badan bawahnya, mata merah nyala setengah terbuka.
“Morrigan, itu ...”
“Ingatanku yang terlupakan. Aku baru sadar ada efek samping dari perpindahan dunia terhadap struktur otak.” Omongannya lancar, tak ada tanda-tanda sakit seperti tadi pagi. Matanya melirik ke album foto kami saat berkencan di taman aquarium beberapa hari lalu. Pada hari itu, kami berkesempatan menilik langsung sihir yang dapat dilakukan Morrigan.
Aku membuka smartphone.
<7 Juli 2015, 23:50. Jakarta.>
Kami tinggal selama itu di alam ingatan Morrigan?
“Walter.” Morrigan mengulurkan tangannya padaku.
“Morrigan?”
Dari kejauhan, orang-orang berteriak di depan pintu apartemen. Suara wanita dan segerombolan temannya, mungkin.
“Apa kau bisa angkat aku berdiri? Rasanya lelah sekali.” Ia merentangkan kedua tangan.
Aku mengiyakan, merangkak dengan pelan ke atas kasur, memeluk perutnya layaknya si ratu iblis super kuat ini adalah adikku yang baru lahir dari kandungan.
Apapun yang berada di bawah pahanya telah menghilang, bersatu dengan udara di antara gemerlap cahaya warna-warni yang berkilau, menggabungkan seluruh range warna yang dapat diidentifikasi manusia. Perutnya panas, atau lebih layak disebut membara, lingkaran sihir di perutnya bersinar merah hangat, perlahan mengikis ujung rambut putihnya.
“Maaf, aku setengah berbohong.” Gigi taringnya mencuat, tanda kejahilannya telah kembali. Retakan kotak-kotak muncul di sekitar pipi dan hidungnya.
“Tentang apa?”
“Betul bahwa kutukan ini sebenarnya dapat meledakkan dunia ini, tapi aku selesai menekan musibah itu kemarin. Sekarang, yang terkena efeknya hanya aku sendiri.”
“Bodoh. Kau tak perlu melakukan itu ...”
Apa si ratu iblis ini sedang menahan sakitnya aktivasi dari kutukannya?
Tapi senyum di bibirnya terlalu ceria untuk menyembunyikan kesengsaraannya.
Apa Morrigan senang karena semua ini akhirnya akan berakhir?
Bukan itu. Ia bahkan tak mengalihkan pandangannya dariku ...
“Kau tak mengerti, Walter. Orang tak berhubungan tak perlu dilibatkan dalam masalah.” Sayapnya muncul, dikepakkan dengan anggun, sebelum ditelan kehampaan dan menghilang.
Apa ada sesuatu yang bisa kulakukan untuknya? Setidaknya jika ada satu momen berharga tambahan yang dapat kuberikan ...
“Walter, aku senang.” Morrigan memelukku, ujung jarinya yang padat dan gemuk hilang tertelan kejamnya takdir.
Sekeras tenaga, aku menahan air mata yang muncul, balas memeluk dengan erat.
“Tentang ... tentang apa?” Suaraku bergetar.
“Tentang kita yang sebenarnya berasal dari dunia sama, tentang aku yang dapat bertemu kau di dunia lain, dan tentang kembalinya aku di dunia ini untuk bertemu lagi denganmu. Tentang apa yang telah kau tunjukkan padaku, tentang temanmu Clarissa, tentang si polisi, tentang aquarium, dan tempat-tempat indah yang kita jelajahi. Semuanya.”
Isak tangisku gagal terbendung.
Perut dan dadanya hilang, tangannya menyisakan siku, sebentar lagi dilahap hingga tiada.
“Kalau begitu ... bagus.” Hidung sulit bernapas, kuseka dengan ujung baju.
“Jangan sedih, oke?” Morrigan melepaskan diri dari pelukan, seluruh badannya terpecah-pecah, menyisakan wajahnya yang perlahan menghilang. “Baik itu pertemuan atau perpisahan, semuanya perlu disambut dengan sukacita.”
“Aku juga tahu. Tapi, sulit rasanya merelakan kau.”
Aku menggigit gigi, memaksa senyum.
Ia mengangguk. “Yup. Seperti itu.”
Morrigan bernafas lega. “Ada seseorang yang lebih baik untukmu. Dari dalam benak hati, kau tahu pilihanmu bukan aku, Walter.”
Dobrakan pintu melepaskan gembokan kunci, serbuan dari beberapa derap kaki manusia melewati pintu depan. Beberapa personel polisi yang dibawa Clarissa menapakkan diri ke kamarku, raut gelisah berubah menjadi lega saat ia terjun memelukku.
“Jadi, nikmati hidupmu, oke? Kau berhak atas orang yang lebih baik dariku.”
Morrigan telah lepas dari pelukanku.