Loading...
Logo TinLit
Read Story - One-Week Lover
MENU
About Us  

<5 Juli 2015, 09:00. Jakarta.>

Terik matahari mengguyur seisi kota dengan panas radiasi ultraviolet, pertama kalinya dalam hitungan seminggu ini. Bau embun yang natural bercampur dengan deodoran, dikuatkan dengan parfum. Kaos berkerah putih dan celana jeans hitam menjadi pilihan pakaian saat akan keluar dari toilet.

Betul. Berdandan dan bersiap di toilet memang bukan kebiasaanku, tapi kamarku sekarang sedang dikuasai dua makhluk berbahaya yang akan mengamuk jika aku berani membukanya dengan kunci cadangan.

Clarissa dan Morrigan sedang berdandan didalamnya.

Pendingin ruangan berusaha menahan hawa panas, dengan jelas ditandai angin dingin artifisial yang menyebar dari celah pintu.

“Wahai spesies wanita yang bersembunyi dibalik lindungan bilik kayu.” Suaraku tinggi hampir seperti memusikalisasi puisi, gedoran pintuku keras dan frekuensinya menandakan urgensi. “Adalah sebuah praktik absolut bagi kalian-kalian untuk tampil indah, tapi kejamnya roda waktu dalam hidup tak akan sanggup menunggu kalian. Jadi ...”

“Diam, Walter!” Clarissa, atau kuasumsikan sebagai Clarissa, melempar sesuatu ke pintu, menghempasku ke lantai dari posisi bersandar.

“Stop membuat puisi aneh dan sabar menunggu! 10 menit lagi dan kami akan selesai!”

“Seperti katanya, Walter. Prosesi ini biasanya lebih lama di kastilku, tapi ya sudahlah. Teknik teman wanitamu ini layak diapresiasi.” Omongan Morrigan bernada kalem, hampir terdengar seperti sindiran.

“Teman wanita?! Aku adalah pacarnya. Aku akan menjadi pacarnya!”

“Selamat berjuang untuk itu, manusia. Kita berdua sudah tahu bagaimana hasil akhirnya.”

“Kita akan bertaruh!”

“Siapa takut?!”

Krik krik.

Hanya tantangan kosong. Setidaknya kamarku tak mandi darah, karena bagaimanapun kuatnya Morrigan, Clarissa tak akan menyerah tanpa perlawanan.

Entah apa yang mereka lakukan di dalam, tapi merias diri dengan makeup tentu adalah salah satunya. Padahal mereka sudah cantik sebagaimana adanya.

Clarissa adalah wanita dewasa idaman para pria, dengan tubuh yang secara alami tumbuh sehat dan fantastis untuk cuci mata, dengan paras indah dan kepribadian menawan, minus sisi seramnya dalam beberapa saat krusial. Lalu dia cerewet mengenai kebersihan rumah.

Morrigan adalah nenek-nenek menggemaskan yang akan berjuang mewujudkan apapun yang dikehendaki olehmu. Sedikit yang bisa dibanggakan dari perpaduan tulang dan lemaknya, tetapi profesinya sebagai ratu sebuah kerajaan dan ahli sihir sudah lebih dari cukup untuk mengkompensasi kekurangannya yang menojol, minus fakta bahwa ia juga sama seramnya dengan Clarissa.

Hmm. Setelah dipikir-pikir, tak ada gunanya juga untuk dipikirkan.

Mereka berdua telah bulat dalam keputusan untuk menjadikanku sebagai pasangan, yang berarti aku hanya akan membuang-buang waktu jika ingin menghalangi. Tapi, jika tak dihalangi, salah satu pihak akan kecewa dan berpotensi merusak hubungan yang ada.

Lebih parahnya, siapa yang perlu kupilih?

Morrigan si anak kecil (nenek-nenek) penyintas dunia, atau gebetan lama, Clarissa?

Logika hampir saja memberikan jawaban yang masuk akal, terhalang oleh gebrakan pintu yang secara mengejutkan, lagi-lagi mengejutkan.

Clarissa memimpin jalan, lipstik merah tebal menghiasi mulut dengan gradasi yang membuatnya terlihat seperti pemimpin girlband, makeup natural ringan menimpa wajah. Celana panjangnya menutupi mata kaki, cukup ketat untuk dikategorikan sebagai pakaian fitness. Baju model tanktop berasa setengah-setengah dalam menutupi perut, pusarnya terhalang oleh tas seukuran telapak tangan yang menggelantung. Kombinasi pink dan hitam memberikan kesan panas dingin di otak.

Sedikit di belakangnya, Morrigan tak mau kalah dengan riasan bedak tebal di leher dan anting-anting nyentrik. Rambut dirapikan lurus layaknya sungai salju yang mengalir, dress longgar mengikuti tubuh versi dewasanya yang asing, kukunya dicat hitam dengan model tajam namun elegan. Tak seperti Clarissa dengan sepatu pink polos, ia memakai sepatu hak tinggi setara 5 cm. Tanduk diujung kulit kepala dipoles dengan warna feminim sehingga tampak seperti hiasan rambut.

Daripada berlomba, mereka lebih terlihat seperti kakak-adik yang saling membantu satu sama lain dalam berpakaian, meskipun dalam arah yang sama sekali jauh berbeda.

Awalnya, itu memberikan ketenangan hati untuk sesaat.

Lalu di detik berikutnya, hantaman degup jantung meronta-ronta.

Sial, mereka berdua cantik, indah, anggun, menawan, apapun kata-kata yang patut mewakili dua figur yang sepertinya sanggup mempengaruhi laki-laki manapun yang melihatnya, atau membuat wanita iri akan penampilan mereka.

Aku berjuang menggeleng-geleng kepala.

“Walter?” Morrigan, dengan wujud dewasanya melambai-lambai, wajah sedikit gelisah. Di belakangnya, Clarissa telah membuang sikap acuh tak acuhnya dan mengibaskan kunciran rambutnya di kedua sisi, menggunakan bahasa bibir untuk mereaksikan saliva dan udara, tangan bersangga di bahu Morrigan.

Urgh, keanggunan yang berbau simplisitas. Benar-benar tipeku.

Tunggu, tunggu.

Berpikir realistis, Walter. Setiap kelebihan yang mengikuti, pasti digunakan untuk menyaingi kekurangan yang tertutup.

Mulai dari Morrigan. Keseluruhan dari penampilannya mensugesti otak bahwa ia adalah semacam tante-tante nyentrik, umurnya hanya bekerja untuk mengkonfirmasi fakta yang terpampang besar-besar. Dan jangan pernah lupakan fakta tentang statusnya sebagai perusak furnitur rumah dan pembuat onar.

Lalu Clarissa. Sadarkan dirimu tentang bias bahwa dia adalah orang yang kau taksir, Walter. Lagipula, penting untuk diingat bahwa ini adalah pemandangan langka yang Clarissa lakukan untuk menggodaku.

“Hei, hei. Sebenarnya, apa yang kau pelototi dari kami, sih?” Clarissa memelototiku dari dekat.

Tanpa kusadari, mereka sudah dekat denganku.

Bau parfum cologne dan morning dew beterbangan di udara, berasa seperti kekaguman saat pertama kali mengenal keajaiban teknologi.

“Huh?”

“Sudah pasti ia terpana akan kualitas dari keseriusan kita, Morrigan.” Clarissa menggandeng Morrigan ke luar apartemen, alas kaki terpasang, telunjuk mengisyaratkan padaku untuk cepat menyusul.

Aku hanya bisa mengikuti perintah, dengan cepat mengenakan satu-satunya sepatu yang layak pakai, bermodel olahraga.

“Benar juga. Laki-laki perjaka sepertimu tentu tak dapat menandingi pesona dewasa dari bangsawan-bangsawan yang sering menghadiri jamuan istanaku, hmm? Tapi, aku tak masalah dengan kekikukanmu, oke?” Morrigan, sekarang telah familiar tentang cara interaksi manusia dengan mesin, merupakan yang pertama untuk masuk lift.

Saat aku menyusul masuk, kedua wanita ini reflek menyesuaikan posisi, menggandeng kedua tanganku sambil menghimpitku hingga hampir gepeng di tengah.

Pintu tertutup, keringat mengancam untuk bercucuran.

Aku menelan ludah, berusaha keras untuk melirik sambil tidak memberi kesan bahwa aku sedang melakukannya.

Kiri, Clarissa sedang melihat ke lantai ... bukan, ia sedang melihat ke jari-jari tangannya yang sedang mencolek-colek keringatku di pergelangan tangan. Seperti yang kuharapkan dari sesama semi anti-sosial, Clarissa juga pastinya akan canggung.

Kanan ... Morrigan melototiku dengan empat mata, dua mata tambahan berasal dari kening dan tangannya yang tak memelototiku. Cahaya di tengah matanya memancarkan dominasi, meskipun tubuh dewasanya lebih mengamplifikasi efek ini dibanding wujud kekanakannya.

Oh, sial.

“Uhm ...” Benar juga, membuka percakapan adalah cara efektif untuk menyembunyikan kegelisahan. “Apa kalian tahu tentang destinasi kita sekarang?”

Clarissa tersenyum bangga, lubang hidung mengumpulkan energi.

Oh, tidak.

“Jakarta Aquarium & Safari adalah destinasi di pusat kota Jakarta yang didirikan pada 17 Juni 2016. Menampilkan koleksi yang luas dari kehidupan laut yang langka, tempat ini menyediakan pengalaman interaktif yang mendalam melalui aktivitas lucu seperti pelatihan makan hewan dan sesi mendekati penyu! Pihak pegawai bekerja seperti petugas museum, menampilkan informasi bosan nan detail tentang info hewan, mitos beredar, bahkan hingga rahasia pemerintah. Safari Zone adalah yang paling aku nantikan, sebuah zona kumpulan koleksi reptil, burung, dan mamalia. Karena ini adalah hari kerja dan kita tak memiliki kelas, maka tiket masuk seharusnya berada pada kisaran 300-350 ribu. Kuperingatkan untuk tak coba-coba mencari makanan atau minuman, karena berdasarkan rumor marketing yang beredar, itu adalah sumber pendapatan utama dari akuarium itu sendiri, selain merchandise dan dari tiket sendiri. Tapi untuk oleh-oleh, mereka harus kau beli karena mereka imut dan lucu.”

Wow, ia bahkan tak menarik nafas sekalipun.

Baik aku dan Morrigan sama-sama bertepuk tangan.

“Temanmu sangat antusias, hmm?”

“Yup, sangat antusias.”

Pintu lift terbuka, pandangan pengunjung yang bersantai di beberapa sofa minimalis langsung tertuju kepada aku yang diapit dua member harem. Kopi berhenti diseruput, rokok bergelantung di mulut menganga, lembaran koran terbang karena angin.

Melewati lautan tatapan iri, pintu keluar apartemen akhirnya bersih dari kerumunan, pada sudut sepi di sekitaran basement. Udara panas hasil keluaran pendingin ruangan diblokir oleh perisai hampir tembus pandang dari sebuah sapuan tangan Morrigan. Lampu sen mobil dari kejauhan berkedap-kedip, badannya meliuk ke tempat parkiran.

“Akan kuambil mobilku sebentar.” Aku merogoh kocek untuk kunci mobil.

Morrigan menghentikanku, tangan menggenggam smartphoneku yang telah terbuka, lincah mencari peta berkoordinat satelit. Seperti petarung keyboard pro, ketikkannya cepat.

Jakarta Aquarium & Safari berada di pencarian teratas.

“Ini tempatnya, kan, Walter?”

Aku mengangguk.

Morrigan mengangguk, menggantikan posisiku di tengah, menggandeng aku dan Clarissa. “Siap-siap.”

“Apa yang kau rencanakan?” Tangannya yang diulurkan ke depan kuhentikan.

“Teleportasi.” Muka Morrigan polos.

“Tidak, tidak.”

“Hanya untuk hari ini saja, Walter. Waktu kita terbatas, betul?” Bola hitam yang membangkitkan bulu kuduk di sekitar lenganku muncul, semakin melebar.

“Tidak adalah tidak. Pikirkan tentang orang-orang yang akan melihat di sekitar. Pikirkan tentang energi yang perlu kau habiskan, Morrigan.” Lengannya kuturunkan.

Segaris bibirnya membentuk senyum. “Kau baik sekali, Walter.”

Aku menghembuskan nafas lega, adrenalin muncul lagi setelah raut mulutnya berubah menjadi pertunjukan gigi putih. “Tapi dimana serunya jika itu dilakukan? Clarissa!”

“Siap.” Clarissa yang baru kusadari mengendap-ngendap di belakangku menahan kedua bagian bahuku, kaki diletakkan di depan tumitku.

Morrigan memeluk kami berdua. Kehampaan penuh kegelapan menyelimuti sekujur tubuh.

Panas matahari menyinari tubuh, tanda bahwa kami telah kembali ke realitas di bumi.

“Teleportasi?!” Aku berteriak, kemudian cepat-cepat menutup mulut saat sekelompok mahasiswa yang bukan berasal dari universitasku menoleh ke sini.

“Hm, darimana mereka datang?”

“Entahlah, di sekitar ada semak. Mungkin mereka habis dari sana?”

“Aneh.”

Kerumunan orang yang menatap kami dengan mata curiga, telah bubar dengan komentar untuk menjaga jarak.

Eh, terserah. Setidaknya tak ada yang curiga. Morrigan juga jauh dari kata lesu.

Adu pelototan kembali terjadi antara Clarissa dan Morrigan. Topiknya, tentang siapa yang akan mendapatkan merchandise langka boneka penguin seukuran manusia.

Sudah terbiasa dengan perdebatan ini.

Perang tatapan kulerai dengan menggandeng tangan mereka, menuju loker pembelian tiket. Uang di konter, tiket di tangan, aku langsung memimpin jalan masuk.

Di dalam, sensasi warna biru claustrophobic yang menghanyutkan menyapu seluruh sudut. Hanya dibatasi kaca pada atap maupun lantai pijakan, spesies ikan dan bukan ikan berenang-renang tanpa mempedulikan apa yang berada di tengah-tengah mereka. Bebatuan menjadi kursi pelepas penat, menyediakan spot berfoto bagi pasangan cantik Clarissa dan Morrigan, kemudian masing-masing dari mereka, denganku.

Foto kedua wanita cantik dan normal. Fotoku dan Morrigan professional dan menganut prinsip pencahayaan yang kontras dan stabil. Fotoku dan Clarissa, blur dan semrawut, pelakunya sedang dikejar-kejar oleh Clarissa sambil membawa tongkat kayu yang entah dari mana didapatkannya.

Morrigan kembali dengan sebuah benjolan seukuran bakpao di ujung kepala dekat tanduknya. “Kaca ini kuat, lebih kuat dari bahan serupa di duniaku. Sihir apa yang kalian pakai untuk memproduksinya?” Ia melompat-lompat, mengusir binatang-binatang yang berkumpul dibawahnya.

“Entahlah, yang pasti ini tak akan roboh.” Aku menjawab.

Morrigan mengarahkan bola hitamnya. “Bahkan jika kutembak Giga Dark Hole?”

Aku mengangkat kedua tangan dalam gestur menyerah. “Kecuali itu.”

“Walter, ke area selanjutnya. Zona terbuka!” Clarissa menarik tanganku, meninggalkan Morrigan yang mulai memaki-maki dengan kata kasar dunia manusia.

Penguin menyapa kami dengan kepakan sayap saat elevator membawa kami maju dari zona akuarium terbuka menuju ke habitat dingin hewan kutub ini. Suara yang mereka keluarkan layaknya ayam yang sakit tenggorokan, namun sembuh saat memakan ikan hasil sodoran Clarissa. Patukan paruhnya kadang keras, kurasakan dengan jelas saat mengganti korban tangan Clarissa dengan tanganku.

“Uhm, terima kasih.” Clarissa pelan-pelan melirik pergi, jarak yang seharusnya tak berwujud karena status kami sebagai teman masa kecil pupus begitu saja saat aku melihat wajah malu-malunya.

“Oke. Ugh.” Ujung jariku masih asyik-asyiknya dipatok si penguin.

Aku menggendong bahu si kecil ini, meletakkannya di bahu Clarissa yang terkejut, kemudian kegirangan. Badannya bergoyang sana-sini, tangan mengelus dan mencubit halus si makhluk putih hitam yang tampak pasrah akan nasibnya.

Setelah puas, Clarissa akhirnya melepaskannya kembali ke kawanannya di gunung es palsu.

“Kau tampak menikmatinya.” Aku merapikan rambutnya yang acak-acakan setelah dimainkan.

“Mungkin karena itu aku suka kau.” Omongannya hanya sedikit lebih keras dari bisikan.

“Huh?”

Clarissa mengangguk pelan, tangan menyodoriku sesuatu. “Hadiahmu.” Sebuah kupon potongan dari peralatan elektronik terbaru yang meliputi smartphone, ps, robot, apapun yang berbau futuristik. Favoritku.

“Dengan senang hati kuterima.” Bergaya ksatria, tanganku ditengadahkan menyambut jatuhnya barang incaranku sejak aku mulai hidup sendiri di apartemen.

Clarissa menarik tanganku pergi ke area akuarium yang memuat ikan piranha, berusaha kabur dari kejaran Morrigan. Pemikiran itu sendiri hanyalah merupakan harapan berlebih saja, karena ratu iblis itu tinggal teleportasi ke posisi kami di kios penyedia cemilan, tangan menyodorkan selembaran uang merah terang kepada si penjual sambil bergaya layaknya dia adalah putri dari kerajaan.

Tunggu, dia memang anggota kerajaan. Dari dunia lain, tentunya.

Sepiring nasi goreng super jumbo, sekotak takoyaki, segelas es teh, segelas volcano fanta, segelas ice cream lemonade. Kursi kosong di sekitaran pintu pembatas ruangan staff menjadi tempat hidangan makanan, tusukan bau menyedapkan dari daging baru matang semakin menghidupkan selera menggigit dengan brutal.

Sebelum lama, keduanya telah menawarkan untuk menyuapi takoyaki dengan tusuk gigi.

Aku memakannya dari tengah secara bersamaan, tak memberikan kesempatan bagi satu pihak untuk membanggakan diri sebagai pemenang.

Adu tatap kembali terjadi diantara mereka berdua sebelum mulut mereka penuh oleh satu sumbatan bau kaldu dari nasi goreng, mulut menguap-nguap menyeimbangkan uap panas.

Clarissa memang memiliki lidah kucing, tapi iblis seperti Morrigan tak tahan panasnya makanan merupakan fakta aneh.

Gelegar petir di siang bolong sunyi menyela perhatianku.

14:59, petang telah tiba. Awan mendung yang menutupi langit melimitasi waktu bersenang-senang di lapangan outdoor, kesalahan teknis untuk lebih dahulu berkeliling di area indoor.

“Waktunya sudah tak awal lagi, betul, Clarissa?” Morrigan menarik dan menghembuskan nafas dalam interval pendek, tangan mengipas-ngipas ujung bibirnya.

Clarissa mengangguk, keringat mulai memenuhi dahi, mengancam melelehkan makeup yang susah payah dipolesnya. “Dan masih tak ada pemenang jelas di antara kita, rivalku.”

Morrigan menoleh ke sana-sini. Setelah memastikan sepi, ia mengeluarkan lubang hitam.

Isinya tak berbahaya, hanya berupa ruang penyimpanan yang berisikan seperangkat kosmetik. Dengan sihir apung, lip balm dan eye shadow bergerak di udara melawan hukum fisika, jatuh di tangan Clarissa.

“Yang berarti, duel final akan kita laksanakan?” Morrigan mengeluarkan angin dingin berkecepatan tinggi, menghilangkan hawa panas takoyaki sambil melahapnya.

Uhm, padahal aku masih ingin memakannya.

“Tentu saja, karena tak ada cara lain lagi.” Clarissa melahap sisa setengah piring porsi jumbo dari nasi goreng dalam beberapa gigit, kerongkongannya menelan dengan buru-buru, memprotes ringan dengan cegukan ringan.

Nasi goreng itu lumayan lezat padahal, sayang sekali.

“Yang berarti, kartu asku akan kukeluarkan. Siap-siap kau.” Morrigan menunjuk Clarissa.

“Tantangan diterima.” Clarissa menunjuk balik Morrigan.

Padahal aku berada di tengah-tengah mereka.

10 menit kemudian, kami telah berada di sebuah gua terlantar, di atas kapal kecil yang kira-kira memiliki kecepatan berlayar sebesar 15 km/jam. Himpit-himpitan dalam ruangan kecil, pergerakan menyusut, atau sama sekali tak memungkinkan. Paha bergesek dengan paha, bahu menempel layaknya dua bagian furnitur yang direkatkan. Bau natural manis hasil dari wewangian bunga-bunga harum menambahkan suasana romantis, bukannya horor.

Benar, tak ada makhluk jadi-jadian atau kejutan yang menanti. Ini adalah wahana bertemakan cinta, yang mensyaratkan pasangan pria-wanita untuk bersantai di ayunan arus tenang sungai.

Normalnya begitu.

Pihak panitia saja terkejut karena tiga orang meminta untuk duduk di dalam satu perahu.

Di dalam ruangan ombang-ambing yang tak dirasakan saat menginjak tanah, kami dengan kaku menempel satu sama lain, aku lagi-lagi dijadikan sandaran bagi mereka berdua.

Nafas mereka berat, dengan jelas kudengar di gua sunyi yang kadang dihiasi kelap-kelip diantara batu gua yang tajam. Sandaran mereka erat, memberikan impresi mereka akan terlelap sebentar lagi.

Mata mereka berkata lain, sama sekali belum memejam, bara apinya masih menyala.

“Walter.”

Keduanya mengutarakan kata-kata kering dalam jeda waktu dan intonasi yang sama.

“Hmm?” Aku mendekatkan kepala mereka di bahu, tangan berhati-hati menavigasikan setir perahu yang terlihat seperti mainan agar tak menabrak tepian kasar dari bebatuan darat.

“Relaks.” Morrigan berbisik ke telingaku.

“Rasakan apa yang akan datang.” Clarissa mengelus lenagnku dengan halus, membangkitkan bulu kuduk yang sedang hibernasi menjadi tegak lurus.

“Apa yang kalian rencanakan?” Aku berusaha menjauh, sebelum menyadari bahwa sama sekali tak ada tempat untuk kabur.

Tiba-tiba, keduanya menciumku di kedua sisi pipi.

Huh?

Pelangi berbagai macam warna memenuhi visual, pendengaran perlahan menajam.

Pikiranku tiba-tiba menjadi hampa akan kemalangan hidup. Apa itu kesulitan dalam hidup? Malapetaka? Kemiskinan? Perang? Semua cobaan hidup tak berarti dengan sentuhan dari bibir wanita yang lembut dan meroketkan hormon bahagia di tubuh.

“Teleport!” Morrigan berteriak.

Aku tersontak berdiri, tahu-tahu sudah berada di depan sofa ruangan apartemen saja.

Menyibak gorden yang menutupi jendela, langit telah gelap, waktu berubah menjadi malam, jam menunjukkan waktu hampir tengah malam.

Aku meraba bekas ciumanku di pipi, kemudian melihat ke cermin. Bekas lipstiknya masih ada, yang berarti ini bukan mimpi.

Di samping sofa, Morrigan telah berbaring di pangkuan.

“Morrigan?”

“Hm? Kau baru sadar kita telah sampai di rumah?”

Aku mengangguk. “Di mana Clarissa?”

“Sudah kuteleportasikan balik ke rumahnya. Dia memberiku koordinat rumahnya.” Morrigan menguap, badannya telah kembali ke wujud mungilnya, bekas makeup di wajahnya samar-samar.

Ia terlelap tak bersuara saat aku mencoba memanggilnya lagi.

Wow, aku halusinasi selama beberapa jam hingga tak sadar telah dibawa balik oleh kedua wanita yang fantastis.

Mimpi telah terwujud. Dan ini malam minggu, besok tak ada kuliah.

Sempurna.

Menyongsong hari esok bukanlah sebuah tantangan lagi~~~

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Thantophobia
1397      789     2     
Romance
Semua orang tidak suka kata perpisahan. Semua orang tidak suka kata kehilangan. Apalagi kehilangan orang yang disayangi. Begitu banyak orang-orang berharga yang ditakdirkan untuk berperan dalam kehidupan Seraphine. Semakin berpengaruh orang-orang itu, semakin ia merasa takut kehilangan mereka. Keluarga, kerabat, bahkan musuh telah memberi pelajaran hidup yang berarti bagi Seraphine.
Premium
Cinta Dalam Dilema
37882      4672     0     
Romance
Sebagai anak bungsu, Asti (17) semestinya menjadi pusat perhatian dan kasih sayang ayah-bunda. Tapi tidak, Asti harus mengalah pada Tina (20) kakaknya. Segala bentuk perhatian dan kasih sayang orang tuanya justru lebih banyak tercurah pada Tina. Hal ini terjadi karena sejak kecil Tina sering sakit-sakitan. Berkali-kali masuk rumah sakit. Kenyataan ini menjadikan kedua orang tuanya selalu mencemas...
Fallin; At The Same Time
3153      1427     0     
Romance
Diadaptasi dari kisah nyata penulis yang dicampur dengan fantasi romansa yang mendebarkan, kisah cinta tak terduga terjalin antara Gavindra Alexander Maurine dan Valerie Anasthasia Clariene. Gavin adalah sosok lelaki yang populer dan outgoing. Dirinya yang memiliki banyak teman dan hobi menjelah malam, sungguh berbanding terbalik dengan Valerie yang pendiam nan perfeksionis. Perbedaan yang merek...
My Andrean
10971      1912     2     
Romance
Andita si perempuan jutek harus berpacaran dengan Andrean, si lelaki dingin yang cuek. Mereka berdua terjebak dalam cinta yang bermula karena persahabatan. Sifat mereka berdua yang unik mengantarkan pada jalan percintaan yang tidak mudah. Banyak sekali rintangan dalam perjalanan cinta keduanya, hingga Andita harus dihadapkan oleh permasalahan antara memilih untuk putus atau tidak. Bagaimana kisah...
ALL MY LOVE
554      380     7     
Short Story
can a person just love, too much?
Teilzeit
1962      483     1     
Mystery
Keola Niscala dan Kalea Nirbita, dua manusia beda dimensi yang tak pernah bersinggungan di depan layar, tapi menjadi tim simbiosis mutualisme di balik layar bersama dengan Cinta. Siapa sangka, tim yang mereka sebut Teilzeit itu mendapatkan sebuah pesan aneh dari Zero yang menginginkan seseorang untuk dihilangkan dari dunia, dan orang yang diincar itu adalah Tyaga Bahagi Avarel--si Pangeran sek...
Under The Darkness
55      52     2     
Fantasy
Zivera Camellia Sapphire, mendapat sebuah pesan dari nenek moyangnya melalui sebuah mimpi. Mimpi tersebut menjelaskan sebuah kawasan gelap penuh api dan bercak darah, dan suara menjerit yang menggema di mana-mana. Mimpi tersebut selalu menggenangi pikirannya. Kadangkala, saat ia berada di tempat kuno maupun hutan, pasti selalu terlintas sebuah rekaman tentang dirinya dan seorang pria yang bah...
Cinta Si Kembar
10508      1916     2     
Romance
Lala dan Lulu adalah saudara kembar yang memiliki kepribadian dan pekerjaan yang berbeda,tetapi mereka mempunyai permasalahan yang sama yaitu mereka berdua dijodohkan oleh orang tua mereka.Akankah mereka akan menyetujui perjodohan tersebut dan akankah mereka akan menyukai calon tunangan mereka.
Dramatisasi Kata Kembali
708      368     0     
Short Story
Alvin menemukan dirinya masuk dalam sebuah permainan penuh pertanyaan. Seorang wanita yang tak pernah ia kenal menemuinya di sebuah pagi dingin yang menjemukan. \"Ada dalang di balik permainan ini,\" pikirnya.
Interaksi
514      359     0     
Romance
Ada manusia yang benar benar tidak hidup di bumi, sebagian dari mereka menciptakan dunia mereka sendiri. Seperti halnya Bulan dan Yolanda. Bulan, yang terlalu terobsesi dengan buku novel dan Yolanda yang terlalu fanatik pada Korea. Dua duanya saling sibuk hingga berteman panjang. Saat mereka mencapai umur 18 dan memutuskan untuk kuliah di kampus yang sama, perasaan takut melanda. Dan berencana u...