Read More >>"> One-Week Lover (Day 03 - Home Alone) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - One-Week Lover
MENU
About Us  

<3 Juli 2015, 09:30. Jakarta.>

Gelombang berfrekuensi tinggi dari sesuatu hinggap di telinga.

Nyamuk beterbangan.

Suara sayapnya tetap masih sama menyebalkannya dengan spesies sama di duniaku.

Tepukan tangan cepat memerangkap mereka di kepalan tangan.

Dan tak ada apa-apa didalamnya. Makhluk kecil yang tak memiliki arti apapun dalam hidup selain menyedot darah sekali lagi kabur dari buruanku.

“Jangan kabur!” Dengan kekuatan penglihatan mikroskopik dan reflek bertempur yang kuasah di medan perang, jari telunjukku mengarah ke depan, sinar sepanas inti matahari menembak keluar.

Cahaya di ruangan mendadak meredup, tarian maut si parasit kecil tak berhenti.

Serpihan kaca jatuh di rambutku, kemudian tubuh utama dari alat elektronik yang disebut Walter sebagai lampu mengisyaratkan bahwa ia sudah tak berada di dunia ini lagi.

Aku secara tak sadar mencontoh helaan nafas Walter, menepuk kepalaku.

Bau besi mengikuti.

Tanganku memiliki seiprit jasad mahkluk menyebalkan yang bercampur dengan darahku.

Oh bagus. Satu lampu dikorbankan untuk memburu satu nyamuk.

Walter tak akan senang dengan ini.

Yah, dia akan pulang tepat sebelum matahari tenggelam, jadi aku masih punya waktu untuk menyiapkan sesuatu yang bagus sebagai penggantinya.

Helaian baju tipis yang menutupi badan tanggal saat aku masuk ke ruangan super bersih yang diistilahkan sebagai ‘kamar mandi’ oleh manusia itu. Satu pencet pada palang besi berkepala aneh memancarkan air dalam suhu yang dapat diatur sesukanya dengan memutar mekanisme tuas, layaknya sihir. Sabun dan pembersih rambut di dunia ini tak jauh berbeda saat aku masih berada di istana, harum dan melembutkan. Alat pengeringnya pun praktis, cukup ditekan dan tunggu selama 3 menit, dan rambut akan kembali ringan dan halus.

Pintu geser bergorden yang membatasi antar ruangan terbuka lancar, layaknya diberikan pelicin untuk menjaga artileri agar tetap layak dipakai.

Kemudian cermin. Dan kayu aneh yang dinamakan Walter sebagai ‘sikat gigi’, beserta krim kental pembersih gigi ‘odol’. Benda-benda semacam itu tak ada di istana, tapi di dunia manusia, ini adalah barang umum.

Membiasakan diri menggunakannya bukan sesuatu yang sulit.

Perasaan segar dan bersih yang ditimbulkan setelah penggunaannya merelaksasi jiwa.

Lalu mengambil dress yang berenda di leher dan menggunakan kain tipis di sekitar pantat, sesuai dengan norma di dunia manusia untuk menutupi aurat, kata Walter. Kualitas pakaian di dunia ini memang jauh melebihi apa yang dapat diproduksi negara termaju di dunia asalku, meskipun ini juga membuktikan bahwa dunia ini telah lama berada dalam suasana damai tanpa perang.

Semacam perasaan nostalgia menyerang alam bawah sadar. Mungkin aku iri.

Lagipula, darimana juga ia mendapat pakaian dalam untuk wanita?

Oh, dia punya adik perempuan.

Sekarang, mencari tahu apa yang perlu diperbuat.

Walter melanggarku pergi ke luar karena takut sihirku tak sengaja dipakai. Masuk akal, mengingat mungkin akan terdapat efek samping aneh-aneh yang dapat berefek ke orang tak bersalah. Lagipula, media pemberitaan manusia tak akan tinggal diam terhadap fenomena aneh.

Yang jadi masalah, aku akan mati kebosanan di sini.

“Jangan kemana-mana. Aku sebentar lagi punya kelas di universitas. Makanan telah kusiapkan di kulkas, dan kau dapat bermain game jika bosan. Lakukan apapun yang kau suka, selama tak ada barang yang rusak.”

Dunia manusia disini mementingkan pendidikan, tak seperti di tempatku yang mementingkan hal bosan seperti peperangan dan adu politik.

Aku membuka kotak dua tingkat yang mengeluarkan hawa dingin aneh namun stabil. Berbagai jenis hidangan tersedia, mulai dari kue berbahan dasar telur dan beraromakan susu, daging segar yang dibalut sayuran, hingga bau manis dari panganan kental yang padat, namun elastis.

Aku memborong semuanya ke sofa, menggunakan reaksi mantapku untuk memastikan tak ada serpihan yang terjatuh.

Stik aneh yang memiliki beberapa bagian melengkung ke bawah memberikan simulasi pertarungan imajinatif saat disambungkan dengan kotak aneh yang memiliki beraneka ragam binatang, tanaman, dan makhluk fiktif lainnya dengan kekuatan sihir tak terhingga, biasa disebut televisi.

Tangan kiri mengatur pergerakan, tangan kanan melakukan tindakan. Membantai dewa brutal, mengecek pembunuh bersembunyi, terbang berkecepatan cahaya, hanya untuk mati karena pria ceroboh berjenggot menginjak kulit pisang.

Heh, jika dimensi ini dapat dipanggil juga ke dunia ini, maka aku tak akan kalah konyol.

Bel pintu berbunyi dua kali saat mulutku tersumpal penuh oleh kombinasi manis dan asam.

Walter?

“Permisi, paket atas nama Walter Hoffman.”

Bukan Walter.

Ia juga tak bilang tentang ada orang yang mencarinya.

Hehe, yang berarti ini adalah saatnya aku menjadi pengganti pemilik rumah yang baik dan bertanggung jawab, menyuguhkan tata krama ala dunia iblis.

...

...

...

<3 Juli 2015, 09:45. Jakarta.>

Dengungan pendingin ruangan mengeluarkan sensasi yang menenangkan, layaknya sedang berada di gunung tanpa polusi. Aku memandang ke belakang sebelum menaiki tangga, merogoh kocek sambil memastikan kunci sepeda motorku masih berada di tempat seharusnya. Kerumunan orang mendahului langkahku yang tak terburu-buru, aku sendiri diikuti sekumpulan mahasiswa dalam mood beragam, dari antusias hingga malas.

Aku tak peduli, terus melangkah naik. Uang semester baru telah dibayarkan, tubuh juga telah tiba di tempat, jadi tak ada alasan untuk kembali tidur malas di rumah.

Semen yang menyangga ratusan kaki berdiri kokoh, masih halus karena gedung yang baru dibangun. Tidak demikian dengan kondisi cat yang telah melewati serangkaian vandalisme, mengolok manajemen kampus yang tak efisien, atau mungkin, hanya iseng saja.

Proses menunggu di lift memakan waktu kurang lebih semenit untuk bisa sampai ke lantai lima, ruangan berpintu kayu di barisan terdepan merupakan tujuan masukku.

Hawa dingin memberikan stimulan semangat yang nyaman. Jam dinding menunjukkan aku tiba 5 menit lebih awal dari kelas dimulai.

Di sekitar, kebanyakan orang berkutat pada gadget masing-masing. Muka terbenam, jemari berdansa pada layar kaca, raut muka memancarkan raut kebosanan. Kursi besi bersandaran busa bersarangkan pria dan wanita yang menunggu dalam diam.

Aku mengambil salah satu tempat duduk, di sudut dinding.

Teman perempuan yang pernah mengerumuniku dengan setumpukan komik dan game hanya mendongakkan kepalanya dari layarnya, jari bergerak lincah di ponselnya.

Aku mengangguk. Ia juga mengangguk.

Aku membuka segel stik vanilla, ia menjadi yang pertama mencomotnya, mulut melongo layaknya mengisap tembakau, tangan mempersilakanku untuk turut ambil bagian merokok.

“Oi!”

“Hmm?” Clarissa menolehku dari tepi matanya.

“Ini punyaku, jadi aku yang seharusnya makan dulu.”

“Mana namamu, hmmmm?”

Mataku yang seharusnya sudah cukup jeli masih saja gagal menangkap pergerakannya dalam menyolong stik kedua dari genggamanku. Seperti biasa, ia masih sama lincahnya, perbedaan signifikan tak nampak pada fitur apapun darinya.

Dagunya tajam, gigi yang sedang mengunyah sedikit menguning di tepiannya, tak ada bandingan dengan ketajaman yang ditunjukkan Morrigan. Pupil hitamnya seperti melahap seluruh cahaya saat menatapku, game yang berada di tangan telah lama dimenangkan dengan melodi khas yang merdu dan bersemangat. Senyuman sombongnya berasa candu semakin lama aku menatapnya.

Pipiku rasanya memanas, mungkin memerah jika dicerminkan.

Clarissa Fiorani. Dia adalah cinta pertamaku.

Hubungan kami pertama dimulai sebagai teman masa kecil sejak tk, berbagi pengalaman dalam memainkan ayunan, atau menangis dalam kubangan kencing. Awalnya, gender bukan masalah bagi bocah tengik untuk berteman, yang penting memiliki hobi sama dan nafsu berlebih dalam mengenal dunia luas. Hubungan itu berlangsung hingga tamat SMP, dimana struktur biologis dari pria sehat membuatku perlahan menyadari rasa yang terpendam. Sedangkan Clarissa, aku tak tahu apa dia menyimpan perasaan serupa.

Lalu, kami tak pernah bertemu lagi.

Hingga sekarang.

“Uhm, Walter?” Clarissa menekan pipiku dengan jari telunjuknya, stiknya telah dikunyah hingga tersisa hanya sepanjang rokok asli.

“Ya?”

“Kau menatapku seperti orang mesum.”

Sial, aku tak bermaksud semacam itu. “Uh, maaf.”

Gestur minta maafku dengan memegang kepala belakang disambutnya dengan senyum. “Tidak, aku hanya bercanda. Pada kenyataan, kau hanya bengong saja.”

“Benaran?”

Ia mengangguk. “Apa yang ada di pikiranmu?”

Tak mungkin aku mengatakan aku bernostalgia, kemudian langsung jadian, bukan? “Aku hanya berpikir bahwa kau sudah tumbuh tinggi sejak terakhir kita bertemu.”

“Sejak SMP, bukan? Aku diseret orang tuaku ke luar negeri karena masalah kerja. Baru bisa kembali ke sini saat masuk kuliah.”

“Ooh.”

Clarissa kembali mengambil satu stik lagi dari genggamanku, makanan yang sama baru masuk ke mulutku sebanyak sebatang. Aku membiarkannya, malah menyodorkannya lagi.

Apa jangan-jangan aku sedang dimanfaatkan? Secara tak sadar dihipnotis menjadi budak penyodor snack kepadanya, yang tak akan menolak apapun permintaannya?

Mana mungkin.

Clarissa tersenyum, memasukkan stik di mulut, menonjolkan lebih dari setengah bagiannya kepadaku, menggoyang-goyangkannya.

“Apa?”

“Lomba.”

“Hah?” Aku menelan ludah sekali.

“Yang kalah dapat hukuman.” Mulutnya belepotan dengan siraman saus putih yang meleleh dari samping bibirnya, kulap dengan tisu.

Ah, permainan masa kecil yang dilakukan karena terlalu banyaknya waktu senggang. Biasanya berakhir imbang, dan terakhir, Clarissa yang menang, yang berarti sekarang adalah giliranku.

“Siapa takut?” Aku mendekatkan mulutku di ujung stik yang menonjol di bagianku.

“Siap ...”

Lidahku membasahi ujung bibirku, menunggu mode kecepatan yang akan segera digunakan.

Tanpa aba-aba lanjutan, Clarissa sudah langsung melahap maju saja. Bagaikan burung pematuk kayu yang kepanasan, gergaji tajam giginya menggilas tepung dan saus yang ada, hanya bisa direspon olehku dengan memakan kurang dari 1 cm.

Bibirnya bersentuhan denganku, merebut paksa bagianku.

Aku bersikeras tak melepaskan, melototi matanya ...

Pipinya memerah. Punyaku juga.

Aku reflek melepaskan stikku, masuk ke kunyahan mulut Clarissa, mulut hanya berjarak beberapa milimeter untuk bertemu satu sama lain. Mungkin saliva sudah berkontak fisik pada kesempatan ini.

“Yay, taktik ciuman tak langsung, berhasil!”

“Urgh!” Wanita ini sudah bertumbuh menjadi jauh lebih licik dari yang kuperkirakan.

Bel kelas berbunyi nyaring, menandakan kelas yang dimulai. Bersamaan dengannya, seorang dosen berkepala plontos membuka pintu dengan pelan, suaranya lantang memerintahkan mahasiswa untuk kembali ke tempat duduk masing-masing yang berjarak dempet. Selain suara dan kepalanya, aku tak bisa melihat fitur lain dari si professor.

Alat tulis dan buku disiapkan, aku menegapkan badan. Clarissa mendekatiku, mata bertemu mata.

Jantungku berdegup kencang, mungkin ada beberapa detak yang terhenti.

“Pertandingan tadi hanya candaan. Akan kuganti snackmu nanti, oke?”

Aku terdiam.

“Hmm, Walter? Kau demam?”

“Uh, tidak. Hanya kepanasan, haha.”

“Begitu.”

Demam cinta satu sisi, mungkin. Atau mungkin, dia tak bermaksud begitu, si Clarissa.

Momen mendebarkan akan berlalu juga, meskipun reaksi didalam hati mengindikasikan bahwa hal itu tak akan cepat datang.

Kelas berlangsung seperti malam berangin di ruang tanpa listrik. Suara rendah tak cukup keras untuk dikatakan menganggu, namun mengundang bahaya jika gagal untuk diperhatikan baik-baik. Menyentuh smartphone adalah dilarang, kebosanan melanda otak sentral yang berusaha untuk tetap terjaga.

Helaian buku dibalik, corat-coret artistik digambar pada kulit buku. Materi tentang struktur data dan klasifikasi diserap setengah-setengah. Bisikan hawa pendingin ruangan menggoda memejamkan mata ... pena dipaksa untuk tetap menyentuh kertas, mata tetap tajam menatap ke depan dari barisan terbelakang.

Kaki bersepatu Clarissa mengenaiku, menendangku dengan main-main beberapa kali.

Jelas, ia juga kebosanan.

Jika terjadi, ia akan bermain. Seperti sekarang, lincah menghindari tendangan balasanku.

Gebrakan di ujung meja kayu nyaring terdengar saat aku mengerahkan terlalu banyak kekuatan. Setengah kelas yang masih menyala instingnya menoleh ke belakang. Si dosen botak melotot ke arahku, tatapannya tajam, dua jari menunjukku di mata.

Aku mengangguk dua kali, tangan menggesturkan permintaan maaf.

Clarissa tertawa cengegesan di samping.

Begitu seterusnya dia, berusaha menarik perhatianku dengan mengikat rambutnya menjadi kuncir kuda, atau menyentil sisa-sisa sampah penghapus hingga mendarat ke meja.

Aku membalas dalam diam dengan mendekatkan botol minum air membeku ke tumitnya.

Clarissa reflek berteriak dalam diam, memancing perhatian satu barisan murid di depan kami. Si dosen masih melanjutkan pengajarannya.

Yah, satu kelas ini lumayan solid dalam menjaga rahasia. Akhirnya, tak ada yang melapor kepada si dosen bahwa kami bermain-main.

Senyumku licik. Senyumnya menantang, memerintahkanku untuk tanding ulang.

Aku tak tergoda hingga akhir sesi selesai.

Bel berbunyi. Mahasiswa keluar dengan membludak layaknya sarang semut yang baru direndam banjir. Di kelas hanya menyisakan ketua kelas yang sibuk mengumpulkan kartu kehadiran teman-temannya, sekelompok siswa yang bergosip dalam canda tawa. Dan kami.

“Kau sudah mau pulang?” Tudung jaket yang baru saja akan melapisi kepalaku kubatalkan, menoleh ke Clarissa yang juga telah berdiri.

“Yup. Kegiatan organisasi juga aku tak ikut, jadi tak ada guna berlama-lama di sini.”

Clarissa menunjuk tasku.

Aku baru menyadari resletingnya masih terbuka, yang buru-buru kukunci. “Trims.”

“Kau nampak buru-buru.”

Dia tak salah. Dengan adanya seorang iblis yang tinggal di rumah, akan lebih baik untuk tak lama-lama meninggalkannya. Siapa tahu jika Morrigan berakhir membakar gedung itu, atau hanya kamarku. “Ya, aku punya ... adik perempuan di rumah.”

Clarissa menaikkan alisnya. “Nadamu aneh.” Senyumnya mulai bangkit, lagi.

Aku tanpa sengaja menelan ludah. “Apa ... maumu?”

“Kau punya pacar di rumah?” Rambut merah gelapnya menempel pundakku, mukanya campuran memelas dan menggoda. “Ingin lihat, okeee? Begini-begini, kita juga teman.”

Aku berusaha keras menepikan kepalanya dengan halus. “Bukan pacarku, sumpah.”

“Jangan bohong. Kau juga telah dewasa. Kehilangan keperjakaan juga sudah lumrah, betul?”

“Jangan omong kosong. Kalau ada kau, mana mungkin aku bisa melakukan hal semacam itu ...” Mulut adalah harimaumu, dan aku sepertinya menyesal telah mengatakan itu.

Atau tidak juga.

Wajah Clarissa langsung memerah seperti semangka. Ludah di bibirku juga sulit ditelan.

...

...

...

Dan, beginilah ceritanya tentang bagaimana seorang wanita idamanku bisa berada di depan pintu apartemenku. Bahkan berputar-putar di sekitar minimarket dan melakukan beberapa stop di pom bensin dan toko buku langganan tak bisa menggoyahkan niat Clarissa untuk mengikutiku.

Debu pada koridor beterbangan, terpancar sinar matahari yang mulai terbenam. Sepasang kakek nenek melewati kami sambil melakukan dialog yang diselingi candaan, bau bunga mawar yang dipegang salah satu dari mereka menebar semerbak harum. Mesin pengenal yang terpasang di samping pintu kayu masih menawarkan gaya mati suri, sebelum aku mendekatkan kartu akses dengan perlahan, ragu-ragu menyentuh knop pintu besi.

Clarissa melototiku, jaket yang terlelap di bahunya tertiup angin layaknya jemuran yang dijepit. Gestur tangannya layaknya anggota kerajaan yang mempersilahkanku masuk duluan.

Semoga bocah itu bisa tiba-tiba menghilang, atau aku akan dicap sebagai pedofil.

Telunjukku menyentuh knop pintu, memutarnya. Merogoh kocek, kunci klasik apartemen masih diperlukan agar penghalang didepanku dapat terbuka sepenuhnya.

“Benar-benar ada sesuatu, eh?” Clarissa spontan memencet turun tanganku, berusaha meraih kunci yang masih kugenggam.

Dapat kuhentikan dengan tangan lainnya, tak peduli bagaimanapun Clarissa meronta.

“Jangan keras-keras.” Aku meletakkan telunjukku di depan mulut. “Dia mungkin tidur.”

“Bohong. Adikmu sudah lahir sejak kita masih SMP.” Raut mukanya mengancam.

“Aku punya adik baru.” Senyum yang terpaksa ini semoga saja tidak kelihatan palsu.

“Ayah dan ibumu sangat bersemangat, yah.”

“Tentu.”

“Beri aku 5 menit. Aku akan masuk duluan.”

“Lalu menyembunyikan seluruh barang buktinya? Kau membosankan, Walter.”

Tak ada cara lain lagi.

Aku setengah berlutut, tangan memeragakan posisi berdoa sambil menundukkan kepala. “Kumohon, dia mungkin bisa memuntahkan senyawa berbahaya dari mulut, atau mengeluarkan bom gas busuk dari bawah pantatnya. Akan lebih aman jika anda sebagai tamu terhormat untuk tetap di luar dulu, sebelum aku memastikan semuanya terkontrol.”

Jika Clarissa terkejut, maka ia tak jelas menampakkannya. Tapi tawanya yang ditahan tak bisa ditutupi.

Ia mengeluarkan kaca lipat dari dalam kocek celana jeansnya. “Baiklah. Kutunggu.”

“Terima kasih banyak, Yang Mulia.” Cepat-cepat kumasukkan lempengan besi khusus ke dalam lubang kuncinya.

Putaran halus dan ...

Silau!

Pantulan cahaya matahari menusuk mata saat aku kehilangan kemampuan visual untuk sesaat, menyadari bahwa Clarissa telah melesat masuk ke tempat penyimpanan sepatu pribadiku, lurus menuju ke ruang tamu, tempat paling memungkinkan bagi Morrigan untuk bersantai.

“Ah!”

Nafasku yang terengah-engah saat berlari masuk dapat menyusul Clarissa, orangnya sendiri seperti membatu saat melihat pemandangan yang ada, mulut menganga tak percaya. Bajunya lembab akibat semburan air yang membasahi seluruh tubuhnya.

Tembakan bola air kedua mengenaiku saat Clarissa bersembunyi di belakangku, aku terkena kepalang basah.

Serakan kaca tersembunyi dengan ceroboh dibawah meja, disembunyikan hanya oleh kain gorden. Tumpahan susu dan bekas-bekas manisan mengotori bagian karpet, dikerumuni semut hingga membentuk koloni kerajaan baru. Morrigan sendiri entah kenapa hanya memakai jaket dan celana pendekku, menyuapi seorang pria muda yang kelihatannya berasal dari perusahaan kurir. Kardus paket tergeletak di depan pintu toilet yang terbuka, isinya kemungkinan basah. Seisi rumah tampak baru saja digenang banjir.

“Uhh, anda ...?” Itu kata-kata pertama yang keluar dari mulutku, ditujukan kepada pria tak kukenal ini. Pria ini terbaring seperti pasien koma, tubuhnya yang sedikit melayang baru kusadari setelah mendekat.

“Petugas kurir yang tak dibolehkan pulang oleh seorang anak kecil aneh.” Pria itu menjawab, menerima uluran tanganku setelah kuambil sendok mainan yang digunakan Morrigan untuk bermain-main. “Mainan macam apa yang sebenarnya kau tinggalkan ke dia, hah?!”

Pria itu bergegas hilang dari pandangan, sambil mengumpat-umpat tentang bagaimana dia akan mengkomplain kami jika seandainya ia kehilangan pekerjaannya.

Dan Morrigan.

Ia tersenyum puas saat melihatku. “Oh, Walter, kau sudah pulang. Eksperimenku terhadap alat-alat pembantu kegiatan di dunia ini sangat memuaskan. Meskipun bahannya rapuh, tapi nilai kegunaannya sangat tinggi.”

Muka tak bersalahnya benar-benar membuatku gemas dan geram.

“Pasanganmu telah datang untuk kawin?” Morrigan menelan apapun yang ada di dalam tenggorokannya. “Aku baru tahu sudah musimnya untuk melakukan itu.”

Gertak gigiku tak dapat kutahan, begitu juga dengan amarah saat aku sekeras tenaga mencubit pipi elastisnya yang tampak melebar hingga ke batas maksimalnya. Satu tangan menggelitik ujung kaki dan ketiak iblis nakal satu ini hingga ia meronta-ronta dalam tangisan tawa yang sulit dihentikan.

“Morrigannnn!”

“Hentikan, hahahah ...” Morrigan tak berdaya dalam menahan gempuran kekesalanku atas perilakunya di rumah. “Kumohon, hentikan ... hahahaaha.”

Clarissa memegang tanganku, raut wajahnya membuat keringat dingin keluar.

“Menjijikkan.”

Aku menelan ludah, Morrigan yang biasanya nakal juga bersiul tanpa suara.

Ujung bibirku kering kehabisan kata-kata. Kami terduduk diam.

Pada akhirnya, Clarissa menghela nafas, menepuk bahu kami berdua sambil mengangkat kami berdiri. “Pokoknya, bersihkan semua ini dulu. Aku bantu.”

Gigi taring Morrigan menampakkan senyum, mengangguk saat menatapku yang melakukan hal sama.

Karpet diangkat, pengepel beraksi meratakan gumpalan air. Sebelum itu, serpihan kaca dibungkus dengan kertas koran bekas untuk dibuang, sisa-sisa yang tak bisa diangkat sapu dikumpulkan menjadi satu oleh sihir telekinesis Morrigan.

Mulut Clarissa menganga menyaksikan keajaiban ini, tapi setidaknya tak selebar tadi. Tangannya masih tetap bergerak, jauh mendahului keefektifanku dalam menguak gorden dari sambungannya, mengopernya padaku untuk dimasukkan ke mesin cuci.

Terakhir, aku mengeluarkan nastar, biskuit kemasan, dan air mineral di meja.

Saat gelap memerangkap cahaya, tiga dari kami telah terkapar di sofa. Mata Clarissa setengah tertutup, pinganggku pegal, dan Morrigan menjulurkan lidahnya keluar, kepanasan meskipun pendingin ruangan telah menyala. Baru menyala.

Jam dinding menunjuk angka 9 malam.

“Akhirnya selesai.” Aku memproklamasikan pengumuman ini.

“Betul juga.” Clarissa mengangguk pelan, pupil matanya kemudian menatap tajam ke Morrigan. “Dan, sudah bisa kau jelaskan siapa sebenarnya dia?”

Ah, belum ada penjelasan dari tadi. “Dia ...”

“Kuperkenalkan diriku, manusia. Aku adalah penguasa iblis dari dunia dimensi lain, Ratu Morrigan Cyllrian.” Morrigan berdiri di atas sofa, menatap kami layaknya ia sedang berada di singgasananya yang agung dari dunia asalnya.

“Namamu bukannya panjang?”

“Kusingkat. Manusia seperti kalian juga tak mungkin mengingatnya.”

Kutarik dia turun ke sofa.

“Dia bercanda?” Clarissa bertanya.

“Tidak. Seperti yang kau lihat, dia bisa memakai sihir.” Aku menjawab.

“Wow.” Clarissa tersandar jatuh di bahuku.

Dopamin yang tiba-tiba mengalir di otakku serasa membekukan akal sehat dan ...

Morrigan mencubitku di pinggang. “Detak jantungmu berhenti, Walter. Kau ingin menerapkan teknik pura-pura mati?” Tangan mungil nan kuat Morrigan memegang dahiku, mendekatkannya ke kepalanya, tanduk yang kusuruh untuk disembunyikan perlahan tumbuh kembali. “Suhu tubuhmu panas juga. Kau juga demam?”

“Tidak!” Aku mendorong tangannya pergi. Momen memalukan ini jangan diingatkan oleh orang lain, sial.

Clarissa memelototiku. Dia tak bersuara, mata terbuka lebar.

Telapak tanganku mulai berkeringat. Morrigan menatap keluar jendela, menyaksikan gemerlap kehidupan malam manusia yang dipenuhi terang gedung setinggi langit, dan jalanan macet tersumbat oleh kendaraan lalu lalang.

“Clarissa?”

Clarissa tersenyum lembut. Bibir merahnya merona, setetes air liur mengalir dari sana. “Kau romantis juga ya, Walter?”

Urrgghhgh, hatiku tak kuat menerima ini.

Terlalu banyak gula.

Lalu, Clarissa terlelap, mendengkur dengan suara pelan.

Pahaku tak berani bergerak, menadah kepala Clarissa yang telah pulas berlayar ke pulau nirvana di dunia mimpi.

Morrigan menatapku, aku menatapnya.

“Kurasa kau perlu mengantarnya pulang, wahai manusia?”

“Ide bagus, wahai ratu iblis.”

...

...

...

Lampu pada taman sekitar berkedip sekali, kunang-kunang hinggap di rambut saat aku membaringkan Clarissa yang masih tertidur pulas di sandaran tubuhku, kami sendiri berada di sebuah i bangku yang berjarak tak jauh dari pangkalan bis umum yang beroperasi 24 jam.

Daun berserakan dari pohon pinus menampar muka, membawa debu masuk ke mata yang perlu dikucek beberapa kali untuk dihilangkan. Hal yang sama terjadi di sekujur bahu dan rambut Clarissa.

Aku memunguti daun tersebut, baru menyadari bahwa Clarissa telah terbangun.

Kepalanya menggeleng sana sini dengan pelan, hidung menarik nafas dalam, menggeser pandangan ke samping, menyadariku ada di sampingnya.

Mukanya langsung semerah tomat.

“Uhm, Walter?!” Clarissa menatap apapun selain wajahku.

Aksinya membuatku terlalu sadar diri akan pertanyaan yang akan datang. “Ya, aku Walter. Dan, tidak, Clarissa. Kita tak melakukan apa-apa.”

“O-oh.”

Mukanya yang tersipu malu memang lucu.

Clarissa mengencangkan tali sepatunya, menyangga pundakku untuk berdiri. Ponsel di tangannya bernyala terang,  notifikasi dari sana menyatakan bahwa ia akan pulang melalui ojek online. Angin bertiup kencang saat ia mengutarakan kalimat halus yang hampir tak terdeteksi di tengah serbuan klakson dan suara guntur yang menggelegar.

“Terima kasih untuk malam ini, Walter.” Tangan menahan rambut sepanjang bahunya untuk tak terbang ke mana-mana, senyumnya manis seperti pudding dingin di tengah musim panas.

Sosoknya hilang dihalangi kaca hitam saat mobil semacam sedan membawanya pergi.

Besok, masalah Morrigan perlu diselesaikan. Setelahnya, aku akan menembak Clarissa.

Sekarang, menikmati apa yang kehidupan tawarkan untukku.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Gloomy
528      337     0     
Short Story
Ketika itu, ada cerita tentang prajurit surga. Kisah soal penghianatan dari sosok ksatria Tuhan.
Lady Cyber (Sang Pengintai)
2247      835     8     
Mystery
Setiap manusia, pasti memiliki masa lalu. Entah itu indah, atau pun suram. Seperti dalam kisah Lady Cyber ini. Mengisahkan tentang seorang wanita bernama Rere Sitagari, yang berjuang demi menghapus masa lalunya yang suram. Dibalut misteri, romansa, dan ketegangan dalam pencarian para pembantai keluarganya. Setingan hanya sekedar fiksi belaka. Jika ada kesamaan nama, peristiwa, karakter, atau s...
Returned Flawed
223      181     0     
Romance
Discover a world in the perspective of a brokenhearted girl, whose world turned gray and took a turn for the worst, as she battles her heart and her will to end things. Will life prevails, or death wins the match.
WALK AMONG THE DARK
733      392     8     
Short Story
Lidya mungkin terlihat seperti gadis remaja biasa. Berangkat ke sekolah dan pulang ketika senja adalah kegiatannya sehari-hari. Namun ternyata, sebuah pekerjaan kelam menantinya ketika malam tiba. Ialah salah satu pelaku dari kasus menghilangnya para anak yatim di kota X. Sembari menahan rasa sakit dan perasaan berdosa, ia mulai tenggelam ke dalam kegelapan, menunggu sebuah cahaya datang untuk me...
The Investigator : Jiwa yang Kembali
1762      707     5     
Horror
Mencari kebenaran atas semuanya. Juan Albert William sang penyidik senior di umurnya yang masih 23 tahun. Ia harus terbelenggu di sebuah gedung perpustakaan Universitas ternama di kota London. Gadis yang ceria, lugu mulai masuk kesebuah Universitas yang sangat di impikannya. Namun, Profesor Louis sang paman sempat melarangnya untuk masuk Universitas itu. Tapi Rose tetaplah Rose, akhirnya ia d...
A - Z
2490      847     2     
Fan Fiction
Asila seorang gadis bermata coklat berjalan menyusuri lorong sekolah dengan membawa tas ransel hijau tosca dan buku di tangan nya. Tiba tiba di belokkan lorong ada yang menabraknya. "Awws. Jalan tuh pake mata dong!" ucap Asila dengan nada kesalnya masih mengambil buku buku yang dibawa nya tergeletak di lantai "Dimana mana jalan tuh jalan pakai kaki" jawab si penabrak da...
Dont Expect Me
450      332     0     
Short Story
Aku hanya tidak ingin kamu mempunyai harapan lebih padaku. Percuma, jika kamu mempunyai harapan padaku. Karena....pada akhirnya aku akan pergi.
Suprise! Ups!
449      301     0     
Short Story
Gaiza segera mendekatkan dirinya ke Tyas. “Kok lo tahu kalau gue ngebet banget pingin punya Iphone 6.” “Gue keturunan paranormal. Jadi sewaktu-waktu gue bisa ngehipnotis lo.” Gaiza menatap Tyas malas. “Gue percaya.” . . . . Kelakuan kedua anak perempuan semprul yang duduk di bangku SMP. bagaimanakah cerita absurdnya ketika mamanya Gaiza sedang ber...
Dia & Cokelat
533      378     3     
Short Story
Masa-masa masuk kuliah akan menjadi hal yang menyenangkan bagi gue. Gue akan terbebas dari segala peraturan semasa SMA dulu dan cerita gue dimulai dengan masa-masa awal gue di MOS, lalu berbagai pertemuan aneh gue dengan seorang pria berkulit cokelat itu sampai insiden jari kelingking gue yang selalu membutuhkan cokelat. Memang aneh!
ALIF
1133      528     1     
Romance
Yang paling pertama menegakkan diri diatas ketidakadilan