Read More >>"> One-Week Lover (Day 02 - Introduction) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - One-Week Lover
MENU
About Us  

<2 Juli 2015, 06:02. Jakarta.>

Hujan.

Tidak. Badai.

Ini sudah yang berturut-turut untuk ketiga kalinya dalam seminggu.

Angin kencang menerpa lapisan kaca tebal jendela yang ditutupi gorden, suaranya seperti aungan harimau yang diharuskan puasa selama berhari-hari. Pori-pori jaring aluminium yang membatasi ventilasi mencipratkan beberapa tetes air berwarna kristal bening, jatuh di atas rambut lebatku yang kutabung untuk tak dipotong, tumbuh layaknya bonsai yang dibiarkan hidup liar.

Tangga setinggi badanku berdiri lunglai, sebelum kuncian di antara lipatan besinya kuregangkan, kaki memijaknya. Tangan menggenggam kemoceng, masker terikat simpel di daun telinga, mata memburu kumpulan debu dan mengejutkan sekurumunan laba-laba yang bersembunyi di sudut terpencil lemari penyimpanan toples dan kantong tote.

“Jadi, maksudmu kau adalah ...” Kata-kataku sengaja kubiarkan tak selesai. Setengahnya karena sedang fokus bekerja, setengahnya lagi untuk memancing jawaban keluar dari mulut gadis cilik itu.

Morrigan duduk santai di sofaku, bantal leher melingkar di dagunya. Bercak coklat panas menempel di ujung bibirnya. “Ratu dari negara iblis.”

“Hanya untuk mengkonfirmasi. Dari dunia lain, kan?”

Televisi tentang kehidupan liar dari suatu siaran luar negeri menjadi tontonannya sejak sepuluh menit lalu, atau sejak ia bangun. “Yup.”

Aku reflek menghela nafas ringan. Laba-laba yang bersarang berhasil kuusir tanpa pertumpahan darah. “Aku masih tak sanggup percaya. Maksudku, kau memang punya semacam talenta menyeramkan. Tapi, ceritamu tentang konflik iblis-manusia masih terdengar aneh. Untuk sekarang.”

Morrigan meloncat bangun dari pose malasnya, mendekati tangga yang sedang kupijak dan memegangnya. “Yah, manusia di dunia asliku semuanya paling tidak memiliki sedikit kekuatan sihir, dan kalian tidak. Itu hanya akan berarti satu hal, bukan?”

“Hmm, benar juga. Dan tentang dunia ini yang berakhir dalam 7 hari lagi ...”

“Itu benaran.” Baju putih yang kubelikan untuknya diangkat Morrigan, menampakkan perut berototnya yang menjadi impian setiap pengunjung gym rutin. “Ini buktinya.”

Menuruni tangga, pipiku merona merah saat kulihat pantulannya dari kaca.

Begini-begini, aku juga masih pria remaja. Omongannya tentang umurnya juga mungkin telah meresap masuk ke dalam alam bawah sadarku.

Tapi yang menjadi fokusku sekarang setidaknya bukan itu, melainkan kepada tato aneh berbentuk lingkaran yang memiliki sudut lancip di ujungnya. Bintang biru terpampang di tengahnya dengan estetik dan ilahi, sejenis aura yang tak ingin kupercayai sebagai manusia modern memancarkan cahaya redup.

“Tepat setelah 7 hari, kuperkirakan energi di segel ini akan secara paksa bercampur dengan energi dalam tubuhku dan menghasilkan ledakan besar yang menghancurkan segalanya. Planet ini termasuk.”

Jariku bergerak dengan insting layaknya kucing yang penasaran tentang air panas.

Tentu saja, akan terdapat ujung kulit yang dikorbankan, melepuh dalam api.

Aku reflek menarik balik tangan. Reaksi beruntun yang ditimbulkan dari aksiku membuat tangga yang kunaiki oleng, kakiku terselip pada saat yang tak tepat.

Sial, kepalaku akan mendarat duluan.

Lagi-lagi dengan kecepatan tak manusiawinya, Morrigan menggunakan satu jari telunjuk memegang kepalaku layaknya sebuah barbel.

“Hati-hati. Jatuh dengan kepala langsung dapat mengakibatkan hilang ingatan.”

“Oh, oke.” Sambil memegang gantungan jaket, aku dapat kembali menstabilkan postur berdiriku. “Uhm, terima kasih.”

“Omong-omong, aku pernah amnesia karena terjatuh dari pohon dengan kepala duluan. Jadi, pastikan kau hati-hati saat menginjak tumpuan aneh itu lagi, oke?”

“Okeee. Terima kasih atas sarannya, kurasa.”

“Ingat tambah jatah susuku, oke? Manusia di dunia ini lemah, tapi lebih kreatif.” Morrigan terjun ke sofa yang telah menjadi kesukaannya sejak hari ini.

“Ya, ya.” Aku tak paham dengan obsesinya tentang kuliner di dunia ini.

Melipat kembali tangga dan memasukkannya ke gudang mini di dekat toilet, aku mengisi penuh ember dengan air mengalir, mencelupkan kain bersih ke dalamnya. Tongkat pramuka yang ditinggalkan adikku kupakai sebagai pemanjang tangan ke sela tadi.

“Jadi, kutukan itu benaran?”

“Yup.”

“Dalam 7 hari pasti akan terpicu dan menghancurkan dunia ini?”

“Perhitunganku menunjukkan ekspektasi ini.”

Morrigan mengunyah biskuit terakhir yang ada di meja, kemasan kosongnya diserahkan padaku dengan serpihan yang jatuh ke lantai.

Iblis lanjut usia ini.

Kucubit pipinya, tanpa menyadari bahwa ia belum menyelesaikan kunyahan makanan di mulutnya. Sekarang mereka jatuh diserap oleh busa sofa, umpan yang bagus untuk menangkap tikus, atau kecoa lainnya.

Oh, bagus.

“Urgh, lepaskan, Walter. Mau kujilat jarimu?” Morrigan baru selesai mengatakannya, tapi ujung lidahnya yang penuh dengan remahan kuning dan saliva berwarna feses telah membaluti warna sehat merah muda dari kukuku.

“Tidak! Apa yang kau lakukan, nona nakal?!” Aku buru-buru menarik jariku pergi, reflek menggosoknya ke celana tidurku.

Hasilnya tentu saja, air deterjen dan jemuran menunggu untuk membersihkan.

Oh, sial.

“Oops, ehe.” Jari Morrigan yang menjijikkan ... digunakannya untuk menyangga kepalanya.

Apakah semua iblis memang tidak memiliki norma kebersihan??

“Sini kau.” Aku melangkah maju dengan pelan.

“Uhm, Walter?” Morrigan memojok, postur badannya seolah mengecil.

Jatuh terduduk, aku menyeret ujung kakinya masuk ke dalam toilet. Tuas shower dinaikkan, mesin cuci bergeruduk hidup, tutup sabun cair dibuka. Baju ditanggalkan, dilempar masuk ditelan campuran air dan detergen. Semua nafsu seksual yang ada pada laki-laki normal hilang dari isi otak, digantikan sebuah keharusan untuk membersihkan gelandangan jorok yang sedang tertawa geli saat tubuh kami bersentuhan dalam gelembung sabun.

Odol dioleskan, kami akan berbagi sikat gigi mulai hari ini saat aku berkomitmen untuk menggosok hingga bau mulutnya bertebaran wangi menthol.

Setelah berkumur, rambut sepanjang bahunya kuolesi shampoo dan kondisioner.

Air berhenti mengalir, interior pintu kaca dari toilet terbuka.

Kami sama-sama bernafas lega.

Morrigan kemudian ditendang keluar olehku, handuk tersarung dari bahu sampai pahanya.

Giliranku untuk membersihkan diri.

Sumpah, tinggal dengan orang jorok bukan preferensiku dalam menjalani hidup.

Sekarang saatnya membasuh diri dengan tenang ...

Tidak, sebaiknya cepat. Aku tak dapat mempercayai gadis itu untuk tak membuat ruang tamu berantakan, atau memakan baterai remote tvku.

Mengandalkan pengalaman mandi kemah super cepat, aku berhasil keluar dari pintu kayu pembatas ruangan mandi dalam hitungan detik ke-60. Bau deodoran masih terlalu menyengat di ketiak, keset kaki basah oleh riak air yang tak sengaja kuceploskan.

Morrigan nyatanya masih santai-santai berdiri di balkon, menatap tower yang menjulang tepat di seberang apartemenku, tak mengenakan apa-apa kecuali handuk yang kusarungkan ke tubuhnya.

Setidaknya, dia tak berbuat yang aneh-aneh.

Morrigan menggeleng setelah aku bernafas lega. Matanya dengan aneh menatap ke bagian bawah tubuhku.

Oh. Ini tak bagus.

“Uhm, tutupi si lesu di selangkanganmu, boleh?” Matanya berusaha keras untuk tak melototi kebangganku sebagai pria, tapi pipinya yang menggelembung dan sirik-sirik tawanya yang samar sudah cukup untuk membuatku kembali kabur ke dalam toilet, menguncinya dengan rapat dan melakukan dua kali pengecekan hanya untuk memastikan.

“HAHAHAHA!”

“Diam, sial!” Aku meraih handuk di gantungan, mengeringkan badan sambil menyisir rambut di depan cermin.

Ujung rambutku telah menyentuh mataku, memberiku kesan diri sebagai preman saja. Tubuhku masih tegap, tak terlalu banyak otot yang menonjol.

Aku mengambil baju abu-abu polos, memakaikan celana dalam dengan logo buaya dan celana pendek, keluar dengan pelan sambil merapikan rambut untuk tak menutupi pandangan.

Kuku tajamnya yang tampak palsu memainkan seekor tikus yang jelas ketakutan dan mencoba kabur, namun tak bisa karena ekornya sedang ditahan Morrigan.

Darimana ia mencari pengerat ini? “Morrigan, jangan memakannya.”

“Kenapa?” Lidahnya telah menjilati kepala parasit yang ketakutan itu.

“Kau bisa keracunan.” Aku buru-buru berlari ke depannya, merebut parasit itu.

Morrigan menolak, menggunakan kecepatan tak masuk akalnya untuk merampas kembali makanannya dan melompatiku. Namun di prosesnya, ia dengan pelan mendorongku hingga tersandar ke dinding, tanpa sadar terselip kakiku.

Entah bagaimana caranya, tikus malang itu tertendang keluar ke pintu balkon yang terbuka.

Oh. Bukan akhir yang jelek, kurasa.

“Ugh, sarapanku.” Morrigan terbaring lemah, menatapku dengan sayu sambil terpaksa menelan kembali air liurnya.

“Tak sehat memakan barang seperti itu, kau tahu?” Aku memberikannya tanganku, yang ditolaknya. Satu rogohan kocek dan gerakan mengoyak bungkus, Morrigan telah kembali bangkit dengan semangat, gigi menggigit permen susu.

“Kumaafkan kau atas perbuatan tadi, Walter.” Air mata yang tadinya terancam tumpah telah digantikan dengan senyum arogan yang jika dipadukan dengan cepatnya konsumsi permennya, membuatku khawatir.

“Permen tak dibuat untuk dikunyah, Morrigan.”

“Huh. Jadi, kau ingin aku menelannya langsung?”

“Tidak. Kau biarkan itu di mulutmu dan dia akan perlahan mencair, lalu kau merasakan sensasi manisnya.”

Morrigan mengangguk, membuka mulutnya, jari menunjuk ke dalam.

“Apa?”

“Beri aku tiga lagi.” Morrigan menagih jatahnya layaknya bos apartemenku yang menagih biaya bulanan.

“Itu yang terakhir.”

Pintu gudang sekali lagi dibuka, engselnya yang sudah reot dan hampir copot meraung dengan kasihan saat kuambil sapu dan sekop. Remahan dan debu yang tersisa masuk ke dalam tempat sampah, langit-langit telah kinclong dan tak memiliki celah noda, tempat tidur rapi, dan yang terpenting ...

Si gadis pembuat onar telah bersih selayaknya manusia, meskipun aku lebih mengapresiasi jika ia bisa duduk tenang dan menonton televisi, dibandingkan dengan gestur kakinya yang ingin merobohkan pintu depan apartemen.

“Stop!” Aku berhasil meraih bahu pendeknya dengan tepat waktu, mengangkat tubuhnya ke udara. Berat badannya masih mengejutkanku dengan keringanannya yang seperti bulu.

“Apa kau benar-benar tak mengenal konsep pintu di dunia lamamu, hah?”

“Oh, jadi ini pintu. Kukira saringan saluran air bawah tanah.” Morrigan tersenyum dengan setengah mengejek.

“Maaf saja jika aku tak sekaya kau, dasar bocah kasar.”

Ia menurut saja saat kutaruh dia di sofa. Kemudian aku duduk disampingnya.

“Apa yang akan kita lakukan hari ini?” Morrigan bertanya.

“Santai di rumah, kurasa.”

“Karena hujan?”

Aku setengah mengangguk, membuka biji kuaci yang terletak di dalam toples. Melodi hujan samar-samar merambat masuk, ketenangan liburan yang dibarengi cuaca dingin sementara merelaksasi pikiran negatif yang terjadi di hidup.

Sebenarnya tak buruk juga jika cuaca menyenangkan ini dapat bertahan lebih lama lagi, selama tak ada banjir. Atau mati lampu.

“Perlu kuhilangkan awannya?”

“Jika bisa.” Biarpun dia adalah makhluk dunia lain, dia tak punya kuasa sebesar itu untuk mengatur apa yang terjadi secara natural.

“Oke.”

Morrigan tiba-tiba menghilang dari sampingku.

“... eh?” Tolehan kepala yang panik namun seksama memberikanku informasi bahwa gadis itu telah kembali ke pintu balkon yang dibukanya tanpa suara.

Mendekat, mulutnya komat-kamit dalam bahasa yang sama sekali tak kumengerti. Aura gelap keluar dari tubuhnya layaknya ia adalah teman sekelas yang sedang kerasukan roh penasaran saat berkemah di hutan, namun kata sifat yang lebih cocok menggambarkan Morrigan sekarang adalah fokus dan penuh dedikasi.

“Uhm ... apa yang sedang kau lakukan?” Suaraku pelan, berusaha untuk tak mengganggunya. Karena aku masih sayang nyawa, kurasa.

Morrigan tak menggubrisku, kedua tangannya membentuk lingkaran dimana didalamnya tak terletak apa-apa, hanya sekumpulan perasaan merinding yang semakin lama semakin menumpuk.

Sebuah jentikan tangan, dan sensasi itu hilang.

Jantungku yang berdegup kencang akhirnya melambat, nafas yang tak kusadari terpendam di tenggorokan berhasil dikeluarkan.

Menengok ke atas, awan-awan hitam telah hilang. Hujan berhenti, digantikan matahari terik yang memuntahkan sinar UV berbahaya yang berpotensi menggelapkan kulit dan membuat teman-teman kampusku menjadi rasis. Kantor di seberang jalan terlihat jelas, tak lagi memiliki bayang-bayang hitam yang menyensor suasana sibuk dari orang kantoran.

Aku menatap ke bawah. Morrigan menangkap cahaya tatapanku.

“Kau keturunan dukun?”

Ia menggeleng.

“Jadi, sihir benaran ada?”

“Yup.”

“Karena telah dihujani fakta, maka kurasa aku harus menerimanya ...?”

Morrigan mengangguk dengan antusias, meloncat-loncat hanya untuk menyentuh pipiku dengan kuku tajamnya. “Kita adalah makhluk logika. Jika semuanya telah berjalan sesuai logika dan kau masih menentangnya, maka kau adalah binatang.”

Dia ada benarnya. Jadi, semua ceritanya adalah fakta, bagaimanapun sulit dipercaya.

Kurasa aku perlu membatalkan janjiku dengan petugas kepolisian kemarin. Bagaimanapun, merepotkan orang lain untuk menangani bocah tua yang tahu sihir bukanlah sesuatu yang bagus. Selain itu, sihirnya juga tak digunakan untuk hal yang buruk.

Dalam satu gerakan instan, Morrigan memegang pantatku, menghilangkan keseimbanganku saat ia mengangkatku di pangkuannya.

Kemudian, kami terjun.

Dari lima lantai, tujuh jika ditambah parkiran bawah tanah, tekanan udara yang ada tidaklah begitu intens dibandingkan dengan wahana permainan di kolam renang. Tapi, fakta bahwa faktor keamanan yang nihil membuatku seperti terkena serangan saraf tiba-tiba.

Aku menutup mata, siap menerima ajal.

Morrigan tertawa terbahak-bahak, atau saat kuberanikan untuk melihat, sedang makan angin.

4 detik terasa sangat lama saat kami kembali mendarat di jalan aspal yang sepi, di sebuah gang kecil yang dihuni oleh kucing-kucing yang berkelahi dan pertemanan kecoa-tikus.

“Kita hampir mati, yaampun!” Aku cepat-cepat mengambil dan membuang nafas, tak percaya bahwa aku masih hidup.

Morrigan dengan tak tahu malunya melompat-lompat di atas bahuku, mencoba menggunakan caranya sendiri untuk menenangkanku. “Jangan berlagak seperti pecundang, hal ini biasa untuk petarung terlatih di negara iblis.”

“Tapi ini negara manusia! Ini dimensi manusia!”

“Sama saja. Lagipula, tak ada yang tahu tentang ini karena aku melompat ke tempat tak ada orang. Jadi, simpan omelanmu dan nikmati hari ini di luar.” Ia akhirnya berdiri di tanah.

Kepalaku pusing. Sampai kapan lagi aku bisa hidup bersamanya ...

Morrigan tak memiliki sepatu.

Untuk kesekian kalinya dalam dua hari ini, aku menghela nafas dalam-dalam. Anggap saja ini sebagai pelajaran untuk menangani anak masa depanku.

“Oke. Kita beli sepatu, untukmu.”

“Apa itu?”

“Alas kaki.”

“Ide bagus!” Morrigan telah mendahuluiku berlari menuju ke akhir dari terowongan cahaya, namun tak terlalu cepat untuk meninggalkanku.

Ojek online yang tak sengaja berpapasan menawarkan tumpangan langsung tanpa melewati aplikasi. Morrigan yang awalnya terkejut, mengikuti gandengan tanganku untuk masuk, duduk di kursi penumpang yang dicapnya sebagai kuda bulu. Selain dari teriakan si supir tentang betapa terkejutnya dia terhadap pergantian cuaca mendadak ini, perjalanan sepi.

Aku hanya menghabiskan waktu mencegah Morrigan untuk bersombong diri dan mengutarakan kebenaran tentang sihirnya.

Aku membungkam mulutnya, dia hampir menggigitku, dan semuanya perlu dibalut dalam sandiwara candaan agar si bapak tak curiga.

Semuanya berhasil, dan kami sampai pada pusat perbelanjaan lainnya yang tak kalah ramai.

Berjalan-jalan di antara ubin yang bersih dan langit-langit yang lebar nan fantastik, pengalaman berbelanja di departemen semacam ini jarang kulakukan, paling banyak setahun sekali. Tapi, pengalaman terhadap atmosfer ini tentu jauh di atas Morrigan, yang takjub akan perkumpulan jumlah manusia semacam ini yang tak pernah dilihatnya.

Makan, shopping, main game, bahkan hingga naik wahana permainan ekstrem, semua kami lakukan, dengan cadangan uang jajanku yang semakin menipis.

Yah, rekening tabunganku seharusnya masih gendut.

Aku punya firasat, hari-hari sibuk dan melelahkan semacam ini tak akan jarang jika anak ini tetap berada di rumahku.

Apakah keputusanku untuk tak kembali ke kantor polisi akan kupertahankan?

Kurasa, iya.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Gloomy
528      337     0     
Short Story
Ketika itu, ada cerita tentang prajurit surga. Kisah soal penghianatan dari sosok ksatria Tuhan.
Lady Cyber (Sang Pengintai)
2247      835     8     
Mystery
Setiap manusia, pasti memiliki masa lalu. Entah itu indah, atau pun suram. Seperti dalam kisah Lady Cyber ini. Mengisahkan tentang seorang wanita bernama Rere Sitagari, yang berjuang demi menghapus masa lalunya yang suram. Dibalut misteri, romansa, dan ketegangan dalam pencarian para pembantai keluarganya. Setingan hanya sekedar fiksi belaka. Jika ada kesamaan nama, peristiwa, karakter, atau s...
Returned Flawed
223      181     0     
Romance
Discover a world in the perspective of a brokenhearted girl, whose world turned gray and took a turn for the worst, as she battles her heart and her will to end things. Will life prevails, or death wins the match.
WALK AMONG THE DARK
733      392     8     
Short Story
Lidya mungkin terlihat seperti gadis remaja biasa. Berangkat ke sekolah dan pulang ketika senja adalah kegiatannya sehari-hari. Namun ternyata, sebuah pekerjaan kelam menantinya ketika malam tiba. Ialah salah satu pelaku dari kasus menghilangnya para anak yatim di kota X. Sembari menahan rasa sakit dan perasaan berdosa, ia mulai tenggelam ke dalam kegelapan, menunggu sebuah cahaya datang untuk me...
The Investigator : Jiwa yang Kembali
1762      707     5     
Horror
Mencari kebenaran atas semuanya. Juan Albert William sang penyidik senior di umurnya yang masih 23 tahun. Ia harus terbelenggu di sebuah gedung perpustakaan Universitas ternama di kota London. Gadis yang ceria, lugu mulai masuk kesebuah Universitas yang sangat di impikannya. Namun, Profesor Louis sang paman sempat melarangnya untuk masuk Universitas itu. Tapi Rose tetaplah Rose, akhirnya ia d...
A - Z
2490      847     2     
Fan Fiction
Asila seorang gadis bermata coklat berjalan menyusuri lorong sekolah dengan membawa tas ransel hijau tosca dan buku di tangan nya. Tiba tiba di belokkan lorong ada yang menabraknya. "Awws. Jalan tuh pake mata dong!" ucap Asila dengan nada kesalnya masih mengambil buku buku yang dibawa nya tergeletak di lantai "Dimana mana jalan tuh jalan pakai kaki" jawab si penabrak da...
Dont Expect Me
450      332     0     
Short Story
Aku hanya tidak ingin kamu mempunyai harapan lebih padaku. Percuma, jika kamu mempunyai harapan padaku. Karena....pada akhirnya aku akan pergi.
Suprise! Ups!
449      301     0     
Short Story
Gaiza segera mendekatkan dirinya ke Tyas. “Kok lo tahu kalau gue ngebet banget pingin punya Iphone 6.” “Gue keturunan paranormal. Jadi sewaktu-waktu gue bisa ngehipnotis lo.” Gaiza menatap Tyas malas. “Gue percaya.” . . . . Kelakuan kedua anak perempuan semprul yang duduk di bangku SMP. bagaimanakah cerita absurdnya ketika mamanya Gaiza sedang ber...
Dia & Cokelat
533      378     3     
Short Story
Masa-masa masuk kuliah akan menjadi hal yang menyenangkan bagi gue. Gue akan terbebas dari segala peraturan semasa SMA dulu dan cerita gue dimulai dengan masa-masa awal gue di MOS, lalu berbagai pertemuan aneh gue dengan seorang pria berkulit cokelat itu sampai insiden jari kelingking gue yang selalu membutuhkan cokelat. Memang aneh!
ALIF
1133      528     1     
Romance
Yang paling pertama menegakkan diri diatas ketidakadilan