Read More >>"> THE CHOICE: PUTRA FAJAR & TERATAI (FOLDER 1) (The Poem at The Party) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - THE CHOICE: PUTRA FAJAR & TERATAI (FOLDER 1)
MENU
About Us  

“Lah ya mana aku tahu ya kalau ternyata cewekmu malah ngajak kondangan. Kukira kalian mau nikah beneran. Abisnya kemarin kayak kemanten kalau aku lihat.”

Kudecakkan lidah mendengar ocehan Dirja yang menceritakan kembali bagaimana kami saat itu. Namun ia memang benar, aku sendiri sempat terkejut melihatnya memakai gaun putih yang memanjang hingga lantai itu. Tetapi yang membuatku berdiri kaku dengan ekspresi tolol justru adalah auranya.

Aura seorang pengantin wanita.

“Heh, ini benerin dong dasinya.” Dirja mendongakkan kepala ke atas, menunggu bantuanku. Menghampirinya, kudecakkan lidah kesal. Begini-begini aku masih bisa memasang dasi, kau harus tahu itu.

“Kamu wisuda dulu masangnya gimana dah? Gini aja gak bisa.”

“Dipasangin Ibu.”

“Tolol.”

Tak lama, ponselku yang tergeletak di atas selimut ranjang berdering. Nama kontak—yang sayangnya ia tulis sendiri—bernama Ara Sayang terpampang di layar. Menyambar benda itu, aku menjawab panggilannya.

Udah siap? Aku sampai di hotel sepuluh menit lagi ya.

“Iya. Ini masih… siap-siap.” Kurapikan letak kancing dan penataan setelan jasku di depan kaca. Dirja menghampiri dan menggeser tubuhku agar enyah.

“Gantian.”

“Jancuk.”

Kudengar kekehan Ara di seberang telepon, “Kalian kenapa sih? Ribut mulu. Aku tutup ya. Nanti aku langsung ke sana.

“Kita tunggu di lobi?”

Nggak usah!

Dahiku mengernyit bingung. “Lah, kenapa? Kan biar cepet.”

Aku bilang nggak usah!” Lantas ia memutus sambungan setelah bersikeras melarang kami turun terlebih dahulu. Dari depan kaca, mata Dirja bergerak melihatku dari pantulan cermin. Alisnya terangkat naik.

“Kenapa lagi?”

“Ara ngelarang turun dulu. Gak tahu, mungkin mau bantu kita lihat apa yang kurang?”

“Ya enggak. Emang dasar cewek itu aja yang gak jelas,” Dirja melengos, memutar bola matanya. Kusambar guling dari atas ranjang. Hendak kulempar benda ini kepada Dirja, ia berbalik badan dan mengangkat kedua tangannya menghentikanku. “Jangan, Di. Kita hari ini damai dulu ya. Ini udah rapi, lho. Masa mau diberantakin lagi.”

Beranjak berdiri, kugeser tubuhnya dan melihat pantulan kami sendiri di depan sana. “Terakhir kali kita pakai beginian pas wisuda ya, Ja.”

“Aku keren banget ternyata ya,” ujarnya di sampingku. Namun detik berikutnya ia mendecakkan lidah. “Aku utang budi banyak nih sama Zeline. Dia niat banget gak sih sampai beliin beginian?”

“Banyak.” Namun aku tahu bagaimana Ara. Ia tidak akan mengharapkan balasan apa pun kendati kami memaksa. Karena hal ini pula, aku akan berjuang agar bisa mandiri yang benar-benar mandiri. Terutama secara materi. Karena, toh, realistis saja, dunia ini serba menggunakan uang. Tetapi, tidak untuk kemanusiaan. Dalam hal mencintai juga butuh materi. Bayangkan bila kau menikah hanya karena alasan cinta tanpa mempertimbangkan keuangan. Yang sengsara kau, pasanganmu, dan anak-anakmu. Dan pada akhirnya bagaimana? Angka perceraian melonjak, angka KDRT bertambah, kemiskinan memberantas rakyat kelas bawah, kriminalitas merajalela.

Maka dari itu, mencintai tanpa berniat memiliki tidak akan repot-repot mematangkan diri. Tetapi aku tidak bisa mencintainya tanpa berniat memiliki. Tidak akan pernah bisa.

Suara pintu yang diketuk membuyarkan lamunanku. Aku melesat pergi untuk membukanya. Sosok Ara dalam balutan gaun berwarna senada dengan diriku menghambur masuk. Matanya berlari menuju Dirja dan lantas diriku. Tangannya terulur merapikan letak dasi dan kerah kemejaku. Memajukan badan, ia berbisik, “Ganteng.”

“Ini udah rapi belum, Zel?”

Mendengar suara Dirja, Ara menolehkan kepala dan berjalan menghampiri anak itu. Ia membenarkan apa pun yang dirasa belum cukup rapi. Sesekali ia bergumam dan mendecakkan lidah, sebelum menepuk tangan dua kali dan berseru girang. “Udah! Yuk ah.” Ia menghela lenganku dalam rengkuhannya. Di belakang, Dirja mengunci pintu kamar dan menyusul langkah kami. “Kamu siap-siap ya.”

“Siap-siap apaan?”

“Nanti banyak wartawan.”

Menoleh, kutatap ia dengan pandangan horor.

*

Aku perlu beberapa kali menelan ludah lantaran lautan manusia di depan sana seolah-olah menanti hanya untuk mengulitiku. Sejak memasuki gedung super mewah yang mungkin hampir mirip sebuah istana, jantungku rasanya ingin sekali meloncat keluar. Namun di sampingku, Ara tetap membisikkan kalimat-kalimat penenang agar aku tak kabur terbirit-birit ke toilet. Bergabung bersama lautan manusia di tengah-tengah aula, Dirja menyambar segelas minuman dingin yang berjajar rapi di atas meja. Kukatakan kepadamu, ini bukan acara orang-orang mancanegara dengan lautan wine di mana-mana.

Di sudut lain, tampak pasangan pengantin dengan balutan pakaian adat Jawa Barat. Perempuan yang seingatku bernama Nadin Hana, sang pengantin, tetap mengenakan jilbab dengan mahkota siger sunda yang menghiasi kepalanya. Ada sekumpulan wartawan yang berkeliaran seraya mewawancarai tamu-tamu undangan. Belum-belum napasku sudah sesak. Di samping, gadis yang menggelayutkan lengannya padaku mulai dihampiri kawan-kawannya. Setelah menyapa dan basa-basi, ia kemudian dihampiri lagi oleh seorang pemuda. Matanya sempat melirik padaku, sebelum ia mendekatkan diri pada Ara dan berbisik di samping telinganya.

Mereka terkekeh-kekeh bersama sebelum Ara berkata, “Marcell, kenalin dulu, ini Radi. Di, dia Marcell, sahabatku.”

Pemuda bernama Marcell mengulurkan tangan dan berjabat denganku sebagai perkenalan singkat. Lantas ia kembali melabuhkan perhatian lagi pada Ara. “Kamu sama sekali gak ada kabar, Zel. Tapi Kenzo bilang kamu lagi liburan.”

“Iya. Ngilangin stres.” Ia menghela lenganku kembali. “Aku ke pengantinnya dulu ya.”

“Ah, oke.”

Usai itu, aku dan Dirja mengikuti ke mana saja Ara menuntun kami. Sampai di tokoh utama acara ini, ia kembali memperkenalkan aku dan Dirja kepada kawan-kawan selebritinya. Beberapa wanita menatapku seperti seekor macan pada mangsanya. Hei, aku tidak percaya diri. Memang seperti itu cara mereka menatapku!

Begitu bising di tempat ini. Ketika didatangi oleh beberapa wartawan, Ara melarangku pergi dan tetap bersamanya. Kulirik Dirja yang menyembunyikan ejekannya di balik gelas berkaki. Ingin sekali kutendang kakinya agar mampus sekalian.

“Kita belum pernah lihat kedua teman Mbak Zeline sebelumnya nih, Mbak,” seru salah seorang wartawan dengan kamera yang menyorot kami.

Kurasakan usapan lembut pada lenganku. “Selama saya liburan, saya bersama mereka berdua. Liburan saya jadi lebih bermakna. Dia ini Radi, seorang seniman dan penulis. Dan di sampingnya adalah sahabat kami, Dirja. Iya, kan, Sayang?” Gadis itu menolehkan kepala memandangku, membuat rambutnya menjuntai ke depan.

Karena bingung harus bersandiwara bagaimana, aku hanya terkekeh-kekeh menanggapinya, “Ah, ya.”

“Sayang? Wah, pacar baru Mbak Zeline?”

“Iya. Pacar saya.” Di depan kamera, senyuman anak ini tidak ia lenyapkan sama sekali. Sedangkan aku sendiri sudah berkeringat dingin. “Karya-karyanya selalu menjadi favorit saya. Dia adalah seorang seniman yang berbakat.”

Kurasakan tepukan pada bahuku. Menolehkan kepala, Dirja mendekatkan tubuh berpura-pura membicarakan sesuatu denganku. “Biarin ajalah. Bentar lagi juga duit ngejar kamu.”

***

Kenzo datang tak lama setelah para wartawan menghujaniku banyak sekali pertanyaan. Ia datang bersama kawan selebriti dan model lain. Para wartawan itu pasti akan bertanya-tanya mengapa kami datang terpisah. Namun aku terlalu masa bodoh dengan semua itu. Di berbagai sudut, beberapa selebriti sibuk mengabadikan momen bersama pasangan pengantin dalam bentuk foto ataupun video.

Dari kejauhan, Kenzo yang mengulas senyuman berlebihan pada kawan-kawannya berpamitan dan segera menghampiriku. Ia menyapa Radi dan Dirja sebelum meminta izin untuk membicarakan hal penting denganku. Kukatakan kepada Radi agar bersedia menungguku sebentar saja. Lengan Kenzo beralih merangkulku dan menyodorkanku minuman dingin dari pelayan yang baru saja melewati kami, senyumannya yang pura-pura itu masih setia ia sunggingkan.

“Dia yang kamu ceritakan?”

“Iya. He’s not bad, huh?

Kenzo tertawa, lantas mendekatkan tubuhnya padaku untuk berbisik. Seketika suaranya berubah mengancam. “Kalau nggak lagi di acara pernikahan, udah aku mampusin kamu.”

Kuusap bahunya perlahan dan berpura-pura membersihkannya. “Tenang anjir. Sana, ngobrol baik-baik sama calon adik ipar.” Ia menatapku dengan pandangan nyaris gila. Sedangkan aku hanya memasang wajah—sok—polos. Sebelum Kenzo beranjak pergi, langkahnya terhenti ketika Marcell ikut bergabung bersama kami. Ia merangkul pinggangku dengan senyuman memikatnya.

“Ken, lu nggak bilang kalau Zeline liburan sama temen-temennya yang… well, sama sekali nggak pernah terdengar telinga kita.” Marcell menolehkan kepala tanpa menghapus keberadaan senyumnya. Beginilah, kawan-kawan, kami terbiasa berpura-pura di tengah keramaian seakan-akan segalanya tidak ada yang dipermasalahkan.

“Ya kali aku laporan sama kamu, begitu? Dih, ogah banget.” Kuputar bola mata kesal di sampingnya.

Embusan napas Kenzo terdengar, “Nggak tahu deh, Mar. Gua punya adek gini banget. Kita barter aja gimana deh?”

“Gue kan nggak punya adik.”

“Ya udah buat lo aja. Gak usah barter.”

“Permisi.” Suara selembut beledu yang akrab di telingaku merangsek mendekati kami. Kudapati sosok Radi yang mengumbar senyuman ketika bergabung bersama Kenzo dan Marcell. Tangannya terulur membelai pipiku, lantas aku berpindah dari rangkulan Marcell ke dalam rengkuhan Radi. “Aku nggak bisa lama-lama tanpa dia soalnya. Baru kali pertama di acara selebriti begini, jadi kalau nggak ada pacar, aku bisa kelimpungan.” Tawanya berderai. Seketika kudongakkan kepala dan menatapnya dengan melongo. Ia hanya tersenyum dan mengecup puncak kepalaku.

“Pacar?” Marcell bertanya dari balik gelas berkakinya. Kekehan Radi seolah-olah menjadi jawaban atas pertanyaan itu. Tumben sekali ia? “Wow. Nggak lama muncul berita nih kayaknya. Secara Zeline jarang banget diberitakan pacaran sama cowok. Terakhir kali dua tahun lalu ya, Zel? Siapa namanya?”

Kulesatkan mata pada Marcell yang seolah-olah memancing pembicaraan ini. Sedangkan Kenzo tampak menyembunyikan tawa. Kujawab pertanyaan sindiran itu dengan bola mata terputar ke atas, “Noel.”

“Ah ya, Noel! Jangan lupa ya putusmu sama dia dulu karena dia kepergok tidur sama cewek bule di apartemennya pas dia di Washington. Dan kamu nangis kayak bayi seminggu penuh. Berhasil lepas darinya dua bulan kemudian.” Tawa Marcell dan kakakku pecah. Menahan dongkol, kutendang kaki Marcell dan membuatnya mengaduh kesakitan.

“Oh ya? Kamu kok nggak pernah cerita, Sayang?” Radi menatapku dengan senyuman yang meskipun memikat, aku tahu senyuman itu ia pinjam dari iblis Lucifer. Mendadak bulu kudukku meremang mendapatkan sikap manisnya yang tiba-tiba.

“Nggak usah didengerin, Marcell emang gila.” Kulingkarkan lenganku pada pinggangnya, sedangkan ia merengkuh bahuku. Marcell mengeluarkan ponsel, lantas mengangkatnya tinggi-tinggi agar bisa menangkap potret kami berempat. Menyadari tak kutemukan eksistensi Dirja, kutolehkan kepala celingukan mencari keberadaannya.

“Ada. Dia dipinjam sama cewek-cewek di sana,” ujar Radi menyadari kebingunganku dan menunjuk sudut lain di mana Dirja tengah mengobrol bersama sekumpulan wanita sosialita. Sudut bibirku terangkat membentuk seringaian.

“Kok nggak ikut?”

“Kamu mau aku ikut ke sana? Oke.” Sebelum ia berlalu pergi meninggalkanku, kutarik lengannya dan mendesis. Marcell berseru dan memanggil kami berdua agar bergabung untuk berfoto lagi. Di sela-sela itu, Radi di sampingku berbisik, “Lain kali kalau ngobrol sama cowok, duduk aja di atas pahanya sekalian ya.”

Ah, ia cemburu rupanya.

Kukulum senyuman seraya menatapnya. Ketika Marcell mengangkat ponselnya dan bersiap mengambil potret, aku maju selangkah dan merangkul bahunya dari belakang. Setelah beberapa tangkapan, kubalikkan badan dan mendapati ekspresi Radi yang datar menyerupai tembok bangunan.

Kenzo mengajak kami mencari kursi kosong di depan panggung mini tempat para tamu dan pengantinnya sendiri memberi pidato-pidato singkat. Keluarga, sahabat, teman dekat, atau teman selebriti yang mengenal baik sosok Nadin Hana memberi pidato kecil mengenai betapa hebatnya Nadin sebagai seorang wanita. Ketika sang pengantin wanita maju untuk mengungkapkan beberapa kalimat, suasana berubah menjadi haru. Di samping panggung mini itu, terlihat sebuah piano putih besar dengan pianis di baliknya.

Dan aku di sini duduk terpaku bukan lantaran pidato pengantin, melainkan otakku yang sudah gila ini memutar kembali kejadian di Majnun tempo hari. Kulirik Radi yang memusatkan perhatian ke depan tanpa menoleh barang sedetik saja padaku.

“Pidato yang luar biasa dari mempelai wanita dan beberapa sahabat serta keluarga ya. Memang, hari pernikahan identik dengan suasana haru. Nah, sekarang, bagaimana kalau keharuan ini kita selingi dengan lagu? Ada yang ingin menjadi penyumbang lagu pertama?” Suara pembawa acara di depan membuyarkan lamunanku. Mataku bergerak mengawasi tamu-tamu undangan yang duduk diam seraya menolehkan kepala mencari siapa kiranya yang bersedia maju ke depan.

Kusambar tangan Radi di sampingku dan mengangkatnya tinggi-tinggi, “Here!

“Ara, kamu ngapain?”

Come’n. Semua orang menunggumu.” Ia mengangkat pandangan pada semua tamu undangan yang menyorotnya dengan tatapan penasaran. Ia kembali memandangku. Kuulas senyuman agar ia dapat tenang, lantas mengusap pelan bahunya, “Ayo, Sayang.”

Meski ragu, pada akhirnya ia beranjak berdiri dan berjalan ke depan. Ia berbisik di telinga sang pianis, lantas orang itu berdiri dan digantikan oleh Radi di balik tubuh piano. Mataku sempat membulat, sama seperti orang-orang di sekitarku yang berbisik-bisik tak percaya. Aku tak pernah tahu bila ia dapat bermain piano. Detik berikutnya, suasana mendadak hening. Terdengar alunan piano yang merdu sebagai pembuka. Ia memilih judul Thank You For Loving Me milik Bon Jovi dengan pembawaannya yang khas.

Telapak tanganku terangkat secara refleks ketika aku tercekat dan menutupi bibirku. Ketika tiba di lirik yang menjadi sorotan utama dari lagu indah itu, pandangannya ia labuhkan padaku. Mendadak sekujur tubuhku merinding dan kaku. Aku bahkan tidak merasakan kehadiran orang-orang dalam aula ini. Yang kulihat kini hanyalah sosoknya di balik piano, dengan suara merdunya yang diiringi denting musik piano di bawah tarian jemarinya.

Ia menyelesaikan lagu itu dengan sama indahnya ketika ia menyanyikannya. Setelah tepuk tangan para tamu undangan berhenti, ia tidak berdiri. Namun tetap melarikan jemarinya di atas tuts-tuts piano. Ketika bibirnya bergerak, barulah aku tahu ia mengambil penggalan puisi Sapardi Djoko Damono, Aku Ingin, dan membawanya ke dalam melodi yang indah. Sangat indah hingga mataku memanas oleh sebuah rasa haru yang entah mengapa melingkupi dadaku dengan sangat tiba-tiba.

Usai menyelesaikan musikalisasi puisinya, ia membungkuk dan mengucapkan terima kasih diiringi tepuk tangan tamu-tamu undangan yang membahana. Kuusap-usap punggung tangannya seraya tersenyum lebar. “You did it.”

“Karena kamu.”

“Karena aku?”

Belum sempat ia menjawab, bahuku ditepuk pelan oleh seseorang. Kudapati Kenzo yang mendekatkan bibir pada telingaku untuk berbisik, “Marcell mau pamit pulang.”

“Marcell? Tumben?” Menolehkan kepala kepada Radi, kutepuk pelan punggung tangannya, “Tunggu sebentar ya.” Lantas aku beranjak berdiri, menghampiri Marcell yang tengah mengobrol bersama Nadin dan Ruslan.

“Cepat banget baliknya. Kapan-kapan main ya,” ujar Nadin diikuti keberadaan senyuman malaikatnya.

Dari arah belakang, kupukul pelan punggungnya dan membuatnya mendesis. “Tumben banget sih kamu buru-buru begini. Nggak biasanya.”

“Temenku dari Aussie datang berkunjung, Zel.”

“Oh, pacar? Akhirnya.”

“Kamu kira aku gay?”

“Oh, cowok.”

Lantas, tawa pasangan pengantin dan kakakku berderai. Ruslan membawa Nadin dalam rengkuhannya dan berkata, “Kalau Zeline nggak bawa pacarnya ke sini, aku pasti nyaranin kalian buat nyusul nikah.”

“Idiiih.”

Mendengar itu, kupelototkan mata pada Marcell dan mencubit pinggangnya. Ia meledakkan tawa sebelum berpamitan pada tuan rumah, Kenzo, dan kepadaku. Ia mendaratkan kecupan singkat padaku sebelum benar-benar pergi dari dalam aula. Setelah sosoknya hilang melewati pintu, barulah kubalikkan badan dan mendapati tatapan Radi dari tempatnya duduk. Untuk beberapa detik, ia mengamatiku dengan ekspresi datar, lantas melengoskan mukanya.

***

Sampai di rooftop hotel untuk makan malam, kulonggarkan dasi dengan perasaan kesal. Sedangkan Ara tampak menahan tawa melihatku dalam keadaan dongkol seperti ini. Tangannya yang terulur untuk membelai pipiku kutahan sejenak. Tetapi ia justru menampakkan ekspresi berseri-seri.

“Heh, kalian tahu nggak, aku dapet nomor bule cantik dari acara tadi anjir. Rejeki banget, duh, Gusti.” Dirja di kursi samping sibuk berceloteh perihal wanita. Rupanya setelah gila uang, kini ia gila wanita. “Kok ada bule ya di sana?”

“Ya, kenalan Nadin sama Ruslan banyak kali, Ja. Nggak cuma orang sini doang.”

Aku sempat berjengit kaget ketika Dirja berseru lantaran ponsel dalam genggamannya berdering. “Eh, eh, anjir. Dia vidcall!” Lantas ia melesat pergi menuju tempat yang nyaman untuk berkomunikasi. Meninggalkan kami berdua di meja yang mendadak sunyi dengan cara yang tak wajar.

Menopang kepala di atas meja, Ara menatapku dengan senyumannya yang menyimpan efek keparat bagi jantungku. “I’m sorry, okay?” Melihatku yang hanya menatapnya tanpa berniat membalas, ia berdecak dan berpindah duduk di atas pangkuanku. Seketika tatapanku menjarah beberapa tamu di sekitar kami dengan perasaan panik. Herannya, hanya sedikit dari mereka yang melirik kami tanpa peduli sama sekali, karena setelah itu mereka melanjutkan kegiatan mereka masing-masing. “Di sini kota besar, Di. Kamu mau peluk-pelukan di pinggir jalan juga gak bakal ada yang peduli, kecuali kalau manusia-manusia yang suka ngurusin hidup orang,” ujarnya seolah-olah mengetahui isi pikiranku.

“Turun, Ra.”

“Enggak. Katanya tadi lain kali kalau ngobrol sama cowok, harusnya duduk di atas pahanya aja. Aku lagi melakukan saran kamu lho.” Tangannya beralih menuju pipiku. Ia mengusapnya sekilas sebelum membelai leher dan tengkukku. Tanpa kuduga, darahku berdesir saat ini. “Marcell itu sahabatku.”

“Kalau aku begitu sama Sara?”

Belaian tangannya berhenti di depan dadaku. Keningnya mengernyit, tanda tak suka. “Kok tiba-tiba Sara?”

Kuangkat bahu, lantas mencebikkan bibir, “Aku kan cuma tanya.” Kularikan tanganku membelai lututnya, bergerak ke atas dan menyingkap gaunnya sebatas paha. Dari jarak sedekat ini, kurasakan napasnya tercekat. Iblis dalam diriku terbahak-bahak berhasil membalasnya. Kudekatkan wajahku pada ceruk lehernya dan menghirup dalam-dalam sensasi melon dan mawar sekaligus.

“Di.” Lihat, bahkan ucapannya juga ikut tercekat. Sebelum tanganku bergerak semakin menyingkap gaunnya ke atas, kurasakan kepasrahannya di atas pangkuanku. Sudut bibirku terangkat membentuk senyuman miring.

Menarik tanganku dari pahanya, kulipat tangan di depan dada seraya mengangkat alis. “Jangan marah ya. Aku belajar teknik begitu dari kamu.”

Fuck you!

*

Di depan cermin, kulihat pantulan diriku sendiri tengah melepaskan jam tangan. Mataku menangkap sosok pemuda desa yang mengubah penampilan mirip pebisnis kota dalam waktu sehari semalam. Kulirik sebotol wine dengan dua gelas berkaki di atas meja atas pesanan Ara tadi. Gadis itu pergi dengan tatapan dendam padaku, namun tetap merangsek mendekat untuk mencuri ciuman kami. Kekehan kecilku keluar bila mengingat hal itu.

“Di, woy!” Dirja beranjak duduk dari rebahannya dan mengangsurkan ponselnya padaku. “Ada banyak DM masuk, Nyet! Nih, lihat, bahkan ada yang request lukisan ke kamu. Wah, nggak main-main. Ada artis juga lho, Di.”

“Berisik, Ja, astaga.” Kusibak ponselnya yang mengganggu mukaku. “Kamu urusin aja ya. Aku yang tinggal mainin kanvas.”

Meskipun begitu, Dirja sama sekali tidak berhenti mengoceh. “Kalau aku lihat nih ya. Ekspedisi sampainya besok lusa.”

“Ya tinggal bilang aja di instastory kalau nggak bisa instan, gitu doang ribet amat.”

“Iya, Yang, iya. Gitu doang sensi amat.”

Aku memilih untuk mengurungkan niatku menyambar bantal dan melemparkannya pada Dirja. Karena sepertinya telingaku mulai biasa dengan panggilan sayangnya yang menjijikkan itu. Mengabaikan celotehannya yang melebihi ocehan anak balita, aku memilih menghambur masuk ke kamar mandi dan membersihkan diri.

Ketika aku membuka pintu kamar mandi dan menggosok rambut menggunakan handuk, Dirja menyerobot masuk ke dalam seraya bergumam, “Hapemu tuh rame banget. Berisik.”

“Rame?”

Segera, aku menyambar ponsel yang tergeletak di atas ranjang dan membuka pesan-pesan yang membludak. Kumulai dari pesan grup alumni.

Sofia: Aku lihat Radi di tipi woi!

Janet: Hah? Masa?

Janet: Wah iya, cuk. Gila. Weh, Radi mana ini???

Nanda: Gak pernah ketemu, ujug-ujug pacaran karo artis. Radi ganas pisan rupane.

Taufik: WEH RADI JANCUK. PACARMU AYU, DHES.

Gilang: Bcd.

Gilang: Iri bilang, pegawai.

Sofia: @D.Pradipta Muncul, nyet!

Kinara: Kalian kenapa sih?

Taufik: Di, sumpah, jangan lupa aku yo. Kenalinlah sama yang cantik di sana.

Janet: Ya mereka yang gak mau sama u, Goblo’

Taufik: Kan, buktinya Radi laku.

Vera: Bacot sumpah. Aku lagi ada kerjaan ya malem-malem. Kalian berisik.

Sofia: Ada yang cemburu, Di. BWAHAHAHAK

Taufik: Awoawokwk

Nanda: HAHAHAHA

Gilang: Njir:v

Vera keluar

Janet menambahkan Vera

Aku melongo tak percaya dengan keributan yang kubaca ini. Mengembuskan napas kesal, kulemparkan ponsel secara serampangan. Lantas merebahkan diri dan mengusap wajah gusar. Dirja keluar dari kamar mandi dengan aroma sabun yang menguar.

“Kenapa lagi, Di?”

“Kayaknya emang buat ke depan kita kudu siap mental, deh.”

***

Aku mencapai rumah setelah mengantarkan Radi dan Dirja ke hotel. Kenzo masih memilih menghabiskan waktu bersama kawan-kawannya di luar. Aku menduga ia sedang mabuk saat ini.

Memasuki rumah, kuucapkan salam dan mendapati Mama duduk di atas sofa ruang tengah dengan TV yang menyala. Ia menonton beritaku yang ternyata masih panas, mungkin sampai seminggu ke depan. Menyadari kehadiranku, ia menolehkan kepala, “What’s that?

Mengangkat bahu, aku menampakkan ekspresi tolol pura-pura tak tahu. “What?

“Kenapa Mama nggak tahu ya soal pacar ini?”

Duduk di sampingnya, kuembuskan napas dan mencoba tenang. “Iya, nanti juga bakal aku kenalin.”

Mama memutar bola mata dan mencibir, “Gitu mau dijodohkan sama Kevin nggak mau.”

God, Ma…”

“Iya, iya, okay. Sensi banget jadi anak.” Mengambil remote, ia mengganti channel gosip dengan berita nasional. “So, who is he?

He is an artist. I found him ketika aku di Jawa.”

“Hm. Menarik.”

Menoleh, kutelisik ekspresi biasa wanita itu. Tidak ada gurat marah, kecewa, ataupun sedih. “Mama nggak… mau mengatakan sesuatu?”

“Mengatakan apa?”

Aku melengos dan menghempaskan punggung pada sandaran sofa yang empuk. “Nothing. Forget it. Aku naik dulu ya.”

Okay.”

Sampai di kamar dan menutup pintu dengan pelan, kubanting tubuh di atas kasur dan memandang langit-langit kamar. Mengeluarkan ponsel dari dalam tas tangan, aku mengirim pesan pada kontak yang bahkan kau tahu sendiri siapa.

Zeline: Di.

Lewat tiga menit, tidak ada balasan. Mungkin ia sudah tertidur. Mengembuskan napas, aku beranjak berdiri dan melucuti gaunku di depan kaca. Otakku kembali memutar bagaimana caranya menyanyi, puisi yang ia musikalisasikan, senyumannya, tatapannya, caranya cemburu padaku, dan caranya membelai pahaku.

Kugigit bibir bawah bersamaan denting ponselku yang terdengar. Aku melompat di atas kasur dan menyambar ponsel itu masih dalam keadaan tak berbusana.

Es Radi: Apa?

Reply: Aku kangen.

Aku tak membutuhkan waktu lama mendapatkan balasannya.

Es Radi: Lebay ah.

Reply: Serius njir. Kok belum tidur?

Es Radi: Lagi lihat Dirja minum.

Es Radi: U?

Kuulas senyuman membaca pesannya yang begitu sederhana. Kurasa aku benar-benar sudah gila.

Reply: Lagi rebahan sambil telanjang. Mau lihat?

Es Radi: G!

Tawaku meledak di dalam kamar yang sunyi ini. Tak lama, pintu kamarku diketuk oleh seseorang. “Siapa?”

“Ini Papa, Sayang.”

“Bentar, Pa! Zeline masih ganti baju!” Spontan aku beranjak duduk dan dengan gesit menyambar baju tidur apa pun untuk kukenakan. Selesai mengenakannya, kubuka pintu kamar dan kudapati sosok ayahku tengah mengumbar senyuman. Ia berjalan duduk di pinggiran kasur, lantas kuposisikan diri di sampingnya.

“Apa di berita itu benar?”

Kugigit pelan bibir bawah, lantas mengangguk kecil. “Maaf ya, Zeline nggak cerita dulu ke kalian.”

Tangan Papa terulur membelai rambutku, “Nggak apa-apa. Jadi, siapa dia?”

“Mama nggak bilang?”

Kekehan Papa terdengar. “Cerita, sih. Tapi, kamu nggak bilang namanya.”

“Ah, itu.” Mengaitkan rambut ke belakang telinga, kutatap Papa dengan seulas senyum simpul. “Namanya Radi.”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
1 Kisah 4 Cinta 2 Dunia
22804      2765     3     
Romance
Fina adalah seorang wanita yang masih berstatus Mahasiswi di sebuah perguruan tinggi. Ia adalah wanita yang selalu ceria. Beberapa tahun yang lalu ia mempunyai seorang kekasih yang bernama Raihan namun mereka harus berpisah bukan karena adanya orang ketiga namun karena maut yang memisahkan. Sementara itu sorang pria yang bernama Firman juga harus merasakan hal yang sama, ia kehilangan seoarang is...
Just Another Hunch
424      284     3     
Romance
When a man had a car accident, it\'s not only his life shattered, but also the life of the ones surrounding him.
Love You, Om Ganteng
15550      3677     5     
Romance
"Mau dua bulan atau dua tahun, saya tidak akan suka sama kamu." "Kalau suka, gimana?" "Ya berarti saya sudah gila." "Deal. Siap-siap gila berarti."
Dia yang Terlewatkan
342      228     1     
Short Story
Ini tentang dia dan rasanya yang terlewat begitu saja. Tentang masa lalunya. Dan, dia adalah Haura.
Nope!!!
1294      571     3     
Science Fiction
Apa yang akan kau temukan? Dunia yang hancur dengan banyak kebohongan di depan matamu. Kalau kau mau menolongku, datanglah dan bantu aku menyelesaikan semuanya. -Ra-
Si 'Pemain' Basket
3338      960     1     
Romance
Sejak pertama bertemu, Marvin sudah menyukai Dira yang ternyata adalah adik kelasnya. Perempuan mungil itu kemudian terus didekati oleh Marvin yang dia kenal sebagai 'playboy' di sekolahnya. Karena alasan itu, Dira mencoba untuk menjauhi Marvin. Namun sayang, kedua adik kembarnya malah membuat perempuan itu semakin dekat dengan Marvin. Apakah Marvin dapat memiliki Dira walau perempuan itu tau ...
Good Art of Playing Feeling
347      259     1     
Short Story
Perkenalan York, seorang ahli farmasi Universitas Johns Hopskins, dengan Darren, seorang calon pewaris perusahaan internasional berbasis di Hongkong, membuka sebuah kisah cinta baru. Tanpa sepengetahuan Darren, York mempunyai sebuah ikrar setia yang diucapkan di depan mendiang ayahnya ketika masih hidup, yang akan menyeret Darren ke dalam nasib buruk. Bagaimana seharusnya mereka menjalin cinta...
Asmara Mahawira (Volume 1): Putri yang Terbuang
5387      994     1     
Romance
A novel from Momoy Tuanku Mahawira, orang yang sangat dingin dan cuek. Padahal, aku ini pelayannya yang sangat setia. Tuanku itu orang yang sangat gemar memanah, termasuk juga memanah hatiku. Di suatu malam, Tuan Mahawira datang ke kamarku ketika mataku sedikit lagi terpejam. "Temani aku tidur malam ini," bisiknya di telingaku. Aku terkejut bukan main. Kenapa Tuan Mahawira meng...
If Only
328      205     9     
Short Story
Radit dan Kyra sudah menjalin hubungan selama lima tahun. Hingga suatu hari mereka bertengkar hebat dan berpisah, hanya karena sebuah salah paham yang disebabkan oleh pihak ketiga, yang ingin menghancurkan hubungan mereka. Masih adakah waktu bagi mereka untuk memperbaiki semuanya? Atau semua sudah terlambat dan hanya bisa bermimpi, "seandainya waktu dapat diputar kembali".
Bait of love
1968      952     2     
Romance
Lelaki itu berandalan. Perempuan itu umpan. Kata siapa?. \"Jangan ngacoh Kamu, semabuknya saya kemaren, mana mungkin saya perkosa Kamu.\" \"Ya terserah Bapak! Percaya atau nggak. Saya cuma bilang. Toh Saya sudah tahu sifat asli Bapak. Bos kok nggak ada tanggung jawabnya sama sekali.\"