Kuajak ia menikmati angin laut di atas Jembatan Baru Kenjeran. Di jam-jam seperti ini akan selalu padat pengunjung. Entah hanya untuk sekadar berfoto ataupun pacaran. Sesekali pandangan para pemuda dilarikan pada Ara yang memakai celana sebatas paha. Tak ada yang akan mengenalinya lantaran aku selalu mengingatkan padanya untuk tetap memakai masker. Aku merangsek di sampingnya. Mengecup puncak kepalanya, kudekatkan bibirku di telinganya untuk berbisik, "Aku nggak suka mereka ngelihatin kamu kayak predator."
Ia menoleh, melabuhkan perhatian pada segerombol pemuda di atas motor yang curi-curi pandang padanya. Lantas ia terkekeh-kekeh, mengecup sebelah pipiku sekilas. "Imut."
"Siapa?" Kupelototkan mata padanya yang tak menghentikan tawa.
"Cemburumu."
Melengos, kulempar tatapan pada perahu-perahu di bawah sana, sekaligus menyembunyikan senyuman samarku. "Tumben kamu nggak bawa kamera?"
"Gak apa-apa. Mau menikmati waktu aja sama kamu tanpa kamera. Nanti kalau aku bawa kamera, kesannya kamu aku duain."
Kurangkul bahunya dan membawanya merapat. Ia menyandarkan kepalanya di dadaku. "Kamu tahu jalan berpagar sebelum belok ke sini tadi?"
Kurasakan ia menganggukkan kepala. "Yang tadi? Iya, tahu. Kenapa?"
"Dulu tempat itu belum dipagari. Pengunjung bisa duduk-duduk di atas bebatuannya sambil menikmati angin laut. Ada banyak pedagang kaki lima juga. Bahkan, aku dulu sempat menyewa perahu di sana. Tapi sekarang nggak seseru dulu. Nggak asyik."
"Beneran? Wah, kenapa nggak dari dulu aja ya aku ke sini."
"Jangan, dong."
Ia mengangkat kepalanya, matanya bersipandang denganku. "Lah, kenapa?"
"Tuhan menakdirkan aku ketemu kamu di club. Bukan di Kenjeran."
Ia memutar bola matanya dan mencibir. Angin menerbangkan anak rambutnya. Di belakang, rambutnya berkibar lembut. "Hm. It's sounds sweet. Berapa banyak perempuan yang kamu kasih gombalan seperti itu?"
Aku perlu menahan tawaku mendengar pertanyaan ngawurnya baru saja. Hei, berani sumpah aku tidak pernah main mata dengan perempuan. Apakah aku ini memiliki tampang-tampang pemain di matanya? "Seriously? Nggak ada anjir."
"Sara?"
Matanya memandangku lekat-lekat. Barulah sekarang tawaku benar-benar menyembur di depannya, membuatnya mengerutkan dahi. Kusisir rambut ke belakang. "Sara itu temanku, anak gadis blok depan. Ibunya berteman baik sama Ibuku. Dia juga baik, kok. Tapi beneran kita nggak ada apa-apa."
Ia mencebikkan bibir, melengoskan muka. "Masa? Waktu itu pas aku upload fotomu dia jadi komentator pertama tuh. Langsung nyambar kayak kilat. Itu bukan apa-apa, hm?"
Melihat keningnya yang mengerut tak suka, kuledakkan tawa sekali lagi. Kendati aku tak melihat ekspresinya lantaran tertutup masker, aku tahu ia sedang kesal. Tatapannya tetap lurus ke depan, tak melirik padaku sama sekali. Sebelum ia benar-benar murka, kuhentikan tawaku dan mengelus puncak kepalanya. "Aku jujur, Sayang," bisikku. Kepalanya tergerak ke samping dan menatapku. Lantas, bahuku ditinju keras-keras.
Obrolan berlanjut membahas segala hal. Perihal pekerjaannya yang merepotkan, Kakaknya yang jorok, Mamanya yang khas ibu-ibu sosialita, dan betapa ia menyayangi Papanya. Kudengarkan saja ia yang bercerita seraya membagi pandangan antara laut dan diriku. Ia benar-benar seperti jelmaan malaikat. Selagi bercerita, di mataku ia sudah mirip dengan story teller lengkap dengan gerak tubuh dan intonasinya.
"Di depanku, Mama sama Papa memang nggak pernah bertengkar. Aku nyaris memandang mereka berdua seperti perwakilan pasangan harmonis di luar sana. Tapi, Radi, kalimat Mama sebelum aku pergi dari rumah bikin aku shock."
"Memangnya dia bilang apa?"
Ia perlu memandangku selama beberapa detik. Seolah-olah menimbang untuk memberitahuku atau tidak. "Dia bilang: Apa kamu pikir Mama menikahi Papamu dulu karena cinta?" Tatapannya beralih memandang laut. Para nelayan dengan perahunya masih setia di bawah. "Aku bahkan nggak tahu sejarah pernikahan mereka, Di."
"Menurutku, mereka udah sukses jadi orang tua. Buktinya, kamu nggak tahu permasalahan mereka, kan? Nggak ada yang perlu disalahkan. Selagi mereka masih mampu menjaga keluargamu, mereka adalah orang tua hebat." Ia memandangku lekat-lekat. Lantas, tubuhnya menghambur memelukku. Tersenyum, kubelai perlahan rambutnya.
*
Kami memutuskan kembali pulang ke rumah Nenek sebelum gelap datang. Sampai di rumah, kudapati Kakek yang tengah memberi makan seekor kucing. Sementara Ara menghambur masuk ke dalam untuk membersihkan diri. Kuposisikan diri di kursi sampingnya, menatap kucing betina kurus yang lahap memakan tulang-tulang sisa.
"Dari mana saja tadi, Di?"
"Kenjeran, Pak. Ara baru pertama kali ke sini. Jadi kuajak jalan-jalan."
"Kamu ndak pernah seceria ini sama wanita. Dia benar-benar membawa pengaruh baik buat kamu ya."
Kugaruk kepala meski tidak gatal. Mataku menerawang jauh di depan sana. "Pak."
"Hm?"
"Aku sama dia derajatnya beda jauh lho, Pak. Kadang Radi takut, tapi juga berani."
Kudengar kekehan Kakek di samping. Ia mengalihkan pandangan dari kucing itu kepadaku. "Paradoksal. Tinggal mencintai saja kok mesti susah sekali dipikirkannya. Cinta, kalau sudah takdirnya, pasti menemukan jalannya. Toh, mau cinta segila cintanya Majnun ke Laila pun pada akhirnya mati juga." Pria tua berambut putih itu menatapku lurus-lurus. Sejenak kurasakan aura kemisteriusan yang ia pancarkan. Terkadang aku merasa, Nenek dan Kakekku adalah pasangan pemancar aura kemagisan yang tak akan aku mengerti namanya. Terutama Nenek. Ia seperti jelmaan Nyai Ontosoroh di era ini dengan tatapan tajamnya. Mereka—Kakek dan Nenekku—seperti pasangan Ana María Maya dan José sekaligus, lengkap dengan kalimat-kalimat ganjilnya. "Jangan lari dari takdirmu, le."
"Radi ndak akan lari."
"Bagus." Hendak ia mengulurkan tangan mengelus kucing di bawah sana, ia menoleh sejenak padaku. "Jiwa manusia tidak akan pernah lepas dari emosi, Nak. Dan dendam serta amarah meski buruk, ia juga bagian dari jiwa manusia. Adalah hal baik untuk tidak mencari jawaban bila nanti sesuatu yang menimbulkan pertanyaan di keningmu muncul dan mengganggu. Tetapi, meski terkadang ada beberapa kebenaran yang harus disembunyikan, kebenaran itu pula yang akan menemukan jalan untuk keluar meski dari celah-celah terkecil. Bila datang titik di mana kebenaran tampak dan berteriak di depan hidungmu, pada saat itu tahanlah amarah dan dendammu. Seperti Drupadi yang lupa menahan kutukannya, ia menciptakan perang Bharatayudha. Namun sama pula seperti Karna yang lupa akan ilmu-ilmunya pada detik-detik menjelang kematiannya."
Kupandangi Kakek yang menerawang jauh ke depan sana, menatap kekosongan. Lantas, ia menunduk, mengelus sekilas kucing itu dan beranjak berdiri. Meninggalkanku yang termangu sendirian sebelum pada akhirnya aku memilih menyusul masuk ke dalam.
Ara menghampiriku dengan raut ketakutan. "Kenapa?" Suara perdebatan Kakek dan Nenek yang samar-samar terdengar menjawab pertanyaanku.
"Kamu membuka isi kotak pandora!" Suara Nenek dengan intonasi tinggi terdengar.
"Tidak ada pengaruhnya, Lika. Semuanya akan terhapus tak tersisa dari memorinya."
"Lucifer diusir dari surga karena membangkang. Bhisma menjadi manusia terkutuk akibat perbuatannya kepada Amba. Kamu tahu hal itu dengan sangat baik, Suwandi."
"Tidak apa-apa. Semuanya akan menuju kebinasaan, ada atau tidak adanya ribuan kejadian."
"Mereka memperdebatkan apa?" Suara Ara memutus kefokusan indra pendengaranku terhadap percakapan—perdebatan lebih tepatnya—Kakek dan Nenek. Matanya yang jernih sejenak mengalihkan perhatianku yang terpecah selama beberapa menit yang lalu. Kuusap pelan sebelah pipinya, lantas kudaratkan kecupan singkat pada keningnya.
"Biarkan aja. Ayo makan. Nanti aku ajak nongkrong pinggir laut lagi."
Ia tersenyum lebar, mengecup sudut bibirku sekilas sebelum menarikku menuju meja makan.
*
"Heh. Betah banget ya kamu di Surabaya sama binimu," suara Dirja terdengar di seberang telepon, diikuti tawanya yang membahana. "Kapan pulang?"
Kulempar pandangan pada Ara yang sibuk memotret patung Sura dan Baya di taman Suroboyo ini. Tubuhnya bergerak lihai mencari angle spot yang bagus. "Secepetnya. Kenapa sih? Kangen?"
"Iya nih, Yang. Akyu kangen bingit. Kamu kapan pulang, Yang?"
Spontan kujauhkan ponsel dari telingaku dan bergidik ngeri. "Jancuk." Sedangkan Dirja kembali terbahak-bahak. Ara yang mendengar pisuhanku spontan menolehkan kepala dan mendelikkan mata. Kudengar musik dangdut yang diputar keras-keras. Dari nyanyian perempuan yang kudengar, kurasa ia sedang karaoke. "Kamu lagi ngapain, heh? Sama siapa?"
"Lagi di kafe, sewa perempuan buat joget-joget. Nih, sama Pras."
Ah, begitu rupanya. Mereka berdua memang sudah gila. "Cepet pulang. Dicariin Mak!"
"Iya, Sayang," balasnya, diikuti suara kecupan di seberang telepon.
"Anjing." Lantas, kututup telepon secara sepihak. Ara yang jengah mendengar umpatanku sejak tadi berjalan menghampiri dan menjitak kepalaku. "Aduh, Ra. Sakit!"
"Siapa sih? Dari tadi ngumpat melulu."
"Dirja. Biasa, nggak jelas dia."
Ia berdecak sekali, lantas menggandeng tanganku dan berhenti di depan patung ikon Surabaya. "Kita foto, pakai kamera depan." Kudesahkan napas membiarkannya bertingkah. Ia meletakkan kamera sedikit lebih di bawah kami sehingga patung di belakang ikut terlihat. "Hm. Kok nggak puas gitu ya? Apa karena aku pakai masker ya?"
"Jangan dilepas!" Bisikku gaduh memperingatkannya. Terdengar decakan kecewanya sebelum berlalu mendahuluiku.
"Ya udah deh. Lain waktu aja."
Menghampirinya, kuhela tangannya agar merangkul lenganku. "Jangan ngambek. Kamu jelek kalau marah." Spontan ia meninju bahuku dan mengundang tawa. Kubawa ia turun menyusuri jalan ke bawah, di mana terdapat penjual makanan dan minuman untuk para pengunjung. Ada tepian bebatuan yang bisa kami gunakan untuk duduk seraya menikmati angin laut dan bau khasnya. Kami memesan dua cangkir kopi pada penjual di belakangku, lantas menaiki bebatuan panjang dan duduk di atasnya. Kekehanku keluar menyadari bahwa tak pernah ia kubawa ke tempat-tempat bagus. "Maaf ya. Aku cuma bisa ajak kamu ke tempat kayak begini. Tempat-tempat yang biasa aku kunjungi."
"Mulai deh bacotan gak gunanya. Justru aku jauh lebih senang diajak ke tempat berbau alam kayak begini. Lihat, mana pernah aku mencium aroma laut alami gini. You be the first yang membawaku mengenal semua keindahan ini, termasuk halaman belakang rumahmu dan ilalang di sana. Ah, aku kangen banget di sana. Kangen Ibu, kangen Kumala." Ia melepaskan masker dan memejamkan mata. Aku tak memprotes tindakannya, selagi ia tak menoleh ke belakang dan wajahnya dikenali masyarakat. Angin menerbangkan anak-anak rambutnya yang menghiasi wajah jelitanya. Kularikan jemariku pada lehernya dan memalingkannya padaku ketika ibu-ibu penjual kopi mengantarkan pesanan kami.
"Kopinya, Mbak, Mas."
"Iya, Bu. Makasih." Kuulurkan tangan di belakang punggungnya dan mengambil dua cangkir kopi milik kami. Menyerahkan satu kepada Ara, ia tak melepas pandangan dariku. "Kenapa sih?"
Menerima cangkirnya, ia berkata, "Kenapa akhir-akhir ini kamu jadi manis ya? Jantungku mulai nggak sehat nih."
"Ya udah aku jahatin aja kalau gitu."
Ia mendecakkan lidah. "Ngaku, deh. Kamu pernah pacaran, kan?"
Kudelikkan mata nyaris tersedak kopiku sendiri, lantas tertawa mendengar pertanyaan konyol seperti itu. "Astaga, kenapa pikiranmu selalu buruk tentang aku?"
"Ya habisnya kamu kayak udah profesional," ujarnya. Ia menyeruput kopinya dan meletakkan cangkir sebelum berdeham dan kembali berkata, "semalam juga..."
Baiklah, kini aku benar-benar tersedak. Kopi yang meluncur ke dalam kerongkongan mendadak berubah menjadi batu seukuran kepalan tangan. Aku berdeham salah tingkah. Hei, hapus pikiran kotormu itu. Malam itu aku memilih berhenti sebelum kebablasan di rumah nenekku sendiri. Bahkan sempat kulihat kilatan kecewa di matanya ketika aku menarik kepala dari ceruk lehernya. Namun ia menghargai keputusanku. Aku perlu memberanikan diri melangkah sejauh itu. Pada akhirnya kami hanya tertidur dan terbangun keesokan paginya tanpa melakukan apa pun.
"Aku nggak profesional. Ya ini makanya belajar dari kamu."
"Terus biar nantinya bisa dipraktekkan ke perempuan lain, gitu?" Tatapannya yang setajam belati itu ia lesatkan padaku. Astaga, salah lagi. Memang benar kata Dirja, laki-laki selalu salah di mata perempuan.
"Kamu nggak kangen rumah?" Kualihkan pembicaraan. Tak lama, ia menghela napas berat.
"Kangen. Aku kangen semuanya."
"Kenapa nggak pulang?"
Ia kembali melabuhkan pandangan padaku. Matanya berubah sayu, serupa kuncup bunga mawar yang mulai layu. "Aku pengin ajak kamu." Kukerjapkan mata dua kali, lantas melengoskan muka. Ia merangsek mendekat dan menggenggam tanganku. "Please, Radi. Aku nggak tahan melihatmu terkurung terus menerus dalam kubangan trauma itu. Kamu perlu berkembang. Untukmu, untuk Ibu, untuk Kumala. Meskipun bukan untuk aku, setidaknya lakukan untuk keluargamu." Pada akhirnya, kutolehkan kepala dan memandang wajahnya yang berada sangat dekat di depanku. Permintaan itu perlu kupikir dua kali meski sebenarnya sangat sederhana.
"Akan aku pertimbangkan, tapi aku nggak janji." Mendengar itu, ia tersenyum manis madu. Lantas ia daratkan kecupan singkat pada pipiku sebelum mengeluarkan ponselnya. Membuka kamera, ia bidikkan tangan kami yang saling mengenggam. "Kamu ngapain?"
"Buat kakakku, Kenzo." Usai mengirimkannya, tak lama pesan itu terbaca. Keterangan di atasnya mengatakan bahwa kakaknya sedang mengetik. "Dibaca nih."
Kenzo: Siapa?
Reply: Calon adik iparmu.
"Ra, jangan ngawur," sahutku di sampingnya. Ia mengerucutkan bibir tak sependapat dengan protesku.
"Kenapa? Biarin ajalah." Usai membalas pesan-pesan kakaknya dan tersenyum-senyum sendiri, ia mematikan data dan kembali memasukkan ponselnya. "Ah, aku kangen Kenzo. Dia gimana ya di sana? Dia pasti khawatir. Jahat banget ya aku sebagai adik?"
"Iya, banget."
Ia menundukkan kepala. Kakinya bergelantung di bawah, sedangkan tatapannya ia larikan ke laut lepas. "Aku punya adik," katanya.
"Wah, aku baru tahu. Kamu jahat loh meninggalkan rumah dan membiarkan mereka khawatir sekaligus rindu."
"Sayangnya meski aku pulang, aku nggak bakal lihat wajah adikku."
"Kenapa?"
Ia tersenyum padaku sebelum menengadahkan kepala ke langit, mengingatkanku pada pertanyaannya perihal ayah. Belum-belum perutku bergolak bahkan sebelum ia menjawab kalimatku, "Udah sama Tuhan."
Nah, benar, kan. Sekarang aku benar-benar merasa bersalah.
"Maaf."
Kekehannya terdengar. Campuran antara rindu dan kebahagiaan. "Kenapa minta maaf? Kamu sendiri yang mengatakan bahwa untuk menyikapi kematian orang yang kita sayang, kita nggak boleh mengeluarkan air mata."
"Ya, tapi nggak menutup kemungkinan bahwa kesedihan itu kita rasakan, Ra. Terkadang air mata kita itu bandel."
Matanya menerawang jauh. Dari ekspresinya, kurasa ia mengenang sebuah kepahitan jauh di dasar hatinya yang paling dalam. Lalu, ia berkata, agak keras menandingi suara ombak di malam hari. "Papa punya rival bisnis. Dan menculik adikku. Dia menyewa pembunuh bayaran untuk melaksanakan tugasnya. Kami tahu, tapi pembunuh bayaran itu mati terbunuh keesokannya saat kami temukan mayat adikku di laut. Permainannya bersih dan rapi, Di. Aku tahu dia yang melakukannya. Tapi, tanpa bukti apa pun, dia nggak bisa dijebloskan ke penjara. Sejak kejadian itu, Papa sangat menjagaku agar terbebas dari incaran penjahat. Dia membekaliku pistol untuk berjaga-jaga." Ia memalingkan muka lagi kepadaku sebelum memejamkan mata menikmati terpaan angin. "Itulah kenapa setiap mencium aroma laut, aku merasa jiwa adikku menyatu di dalamnya."
Kuulurkan tanganku untuk membawanya dalam dekapan. Ia menyandarkan kepala pada bahuku, tanpa menangis. "Kamu boleh menangis kalau memang perlu, Ra."
"No, Radi. Selagi aku merasakan ketenangan ini, kenapa aku harus menangis?"
Kudaratkan kecupan panjang di puncak kepalanya. Mungkin memang benar pertemuanku dengannya adalah takdir. Sebuah skenario yang telah disiapkan Tuhan sebelum kelahiran kami. Aku ada untuk melengkapinya, dan ia ada untuk melengkapiku. Tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Kehadirannya hari itu memang sebuah hadiah dari pemilik alam semesta.
Maka, Tuhan, biarkan aku tetap bersamanya. Bahkan sampai maut menghapus eksistensi kita di dunia.
***
"Wake up, Sugar bee. Kita pulang hari ini." Kurasakan kecupan singkat di kelopak mataku yang enggan terbuka. Di pipiku, kurasakan pula keberadaan tangan yang membelainya perlahan. Melihatku yang enggan membuka mata, ia menghujaniku ciuman di dahi, telinga, hidung, pipi, rahang, dan berakhir di bibirku. Napasnya yang hangat terasa di sana. "Bangun, Sayang."
"Masih pagi ini, Di."
"Jam sarapan udah lewat kali, Ra. Aku bawa sarapan buat kamu. Tapi kamu harus mandi dulu."
Membuka mata, kutemukan keberadaan senyumnya. Merasa kesal, kulempar guling tepat terkena mukanya. "Stupid." Lantas, aku turun dari kasur dan melenggang pergi menuju kamar mandi. Tak kutemukan eksistensi Nenek Mandalika di dapur. Mendekati kamar, kudengar obrolan ringan mereka di ruang tamu. Radi yang berdiri memainkan ponselnya di depan meja kayu menoleh begitu aku melangkah masuk. Merangsek mendekatinya, kuintip isi ponselnya.
"Tumben nggak chattingan sama Sara."
Mengunci layar ponsel, ia terkekeh-kekeh dan meletakkan benda itu di atas meja. "Kenapa sih kamu kalau menyangkut nama Sara mesti sensi?"
"Emangnya nggak boleh?"
Ia hanya tertawa tanpa menjawab pertanyaanku. Tangannya terulur menyerahkan sepiring nasi untukku. "Nih, makan."
"Suapin," kataku. Lantas duduk di atas kasur dan mengambil posisi seperti anak kecil yang menantikan suapan ayahnya.
"Nggak. Makan sendiri."
"Ya udah. Kalau gitu aku nggak mau pulang."
Ia berdiri menatapku yang melipat tangan di depan dada. Pada akhirnya ia menghela napas dan menyerah. Memilih menjamah piring itu dan duduk di depanku. Menerima suapan pertama, kujamah ponselnya yang tergeletak di atas meja. Namun ia sama sekali tidak memprotes. Dan aku senang akan hal itu. Seraya menerima suapan darinya, kubalas pesan-pesan dari Dirja dan Pras. Tak kulihat pesan masuk dari kontak bernama Sara baru-baru ini. Baguslah.
"Kenapa sih harus pulang sekarang?" Tanyaku dengan mulut penuh makanan. Tangannya terulur untuk membersihkan sudut bibirku.
"Emangnya kamu nggak mau pulang? Katanya kangen Ibu sama Kumala."
"Iya, sih. Tapi aku juga masih pengin di sini."
"Halah. Paradoks."
Setelah suapan terakhir, ia mengangsurkan segelas teh hangat padaku. Lantas ia berdiri untuk mengembalikan piring ke tempat cucian. Kujamah kameraku yang semalam kuisi daya dan duduk menyelonjorkan kaki di atas kasur.
"Kok kamu nggak siap-siap?" Ujarnya, ikut duduk di sampingku.
"Keretanya kan masih nanti, Di. Gak sabaran banget kayak emak-emak." Mendapati potret dirinya yang tengah memandang laut lepas, kugemakan tawa dan ditanggapinya dengan bola mata yang terputar. "Lihat deh wajahmu. Lucu."
"Hm. Gitu ya, diketawain."
Melihat ekspresinya, tawaku semakin membahana. Aku merangkak dan memosisikan diri di depannya, bersiap memotret. Ia memalingkan muka di tangkapan pertama. "Ayo, dong, Sayang. Lihat kamera." Ia mengembuskan napas berat. Lantas memandang kamera dengan wajah tanpa ekspresi. Kutangkap tiga bidikan dan melihat hasilnya. Sejenak aku tertegun. Kutatap ia lagi yang menaikkan kedua alisnya.
"Kenapa?"
"Ganteng." Aku tak berbohong. Dengan tatapan sedingin itu, ia menampilkan kesan bad boy. Hatiku menciut menyadari ia memang menarik secara visual, apalagi dengan karakter khas pribuminya itu. "Di, ini bagus. Aku mau foto sama kamu, deh! Mumpung nggak lagi pakai masker." Tanpa menunggu jawabannya, kuatur timer kamera dan segera memosisikan diri di sampingnya. Beberapa kali kuajari ia berpose seperti model. Mengecek hasil gambar, aku dibuatnya berdecak kagum. Ia benar-benar menawan. "Lagi ya, Di. Terakhir deh." Usai memosisikan kamera, aku berpindah tempat di sampingnya dan merangkul pundaknya. Kudaratkan ciuman di pipinya selagi timer kamera berjalan. Kikikanku terdengar ketika kulihat ekspresi Radi yang melongo di depan kamera.
Ini benar-benar moodbooster!
"Udah, kan?" Tanyanya selagi aku terkikik sendirian melihat-lihat isi kamera. Mendongakkan kepala menatapnya, kumatikan kameraku dan memasukkannya ke dalam tas. Lantas aku merangsek di sampingnya. Kuhujani ia kecupan seperti yang ia lakukan ketika membangunkanku tadi. "Kamu kenapa sih?"
"Di." Kuputar wajahnya agar menatapku. "Ikut ke Jakarta ya?"
Ia memandangku yang menatapnya dengan raut memohon. Mendengarku hendak merengek, ia mengulurkan tangan membelai sebelah pipiku. "Belum nemu jawaban, Ra."
"Yah, Di. Tinggal jawab iya aja susah banget sih." Kuhempaskan punggung pada sandaran ranjang seraya melipat tangan di depan dada. "Pokoknya kamu harus ikut."
"Kalau enggak?"
Kupandangi ia seraya memutar otak mencari jawaban yang pas. "Kalau enggak, aku bakal nikah sama orang lain."
"Buset ancamannya udah kayak di sinetron aja."
Tertawa, kurangkul lengannya dan mengusapkan pipi pada bahunya. Layaknya anak kucing kepada induknya. "Makanya, ikut aja deh. Nggak usah banyak omong."
"Kenapa sih kayak pengin banget aku ke sana."
"Aku mau mengenalkan kamu ke dunia, biar dunia tahu aku punya kamu."
Ia mengangkat alisnya mencemooh. "Gitu doang? Buat ajang pamer-pameran aja ternyata."
Spontan kutinju lengannya dan membuatnya mengaduh. "Gitu banget aku di matamu. Ya enggak kali, ah. Emangnya kamu mau kalau hubungan kita disembunyikan terus aku dilamar orang lain?"
Ia melarikan pandangannya pada langit-langit kamar, menampakkan ekspresi berpikir. "Ya nggak apa-apa. Kalau kalian nikah, kan, artinya kamu juga setuju nerima dia jadi suamimu." Untuk kesekian kali, aku dibuat kesal oleh jawabannya yang bersifat pesimis seperti itu. Sebelum menjitak kepalanya, kutinju bahunya lagi. Kali ini tak main-main.
"Jadi gitu ya? Nggak ada berat-beratnya kalau aku memilih menikah sama orang lain? Ya udah." Beranjak, hendak aku enyah dari sana sebelum pergelangan tanganku dicekal olehnya.
"Kok baper?" Ia ikut berdiri di depanku. "Jangan gampang marah. Nanti cepat tua." Ia mengelus pelan punggung tanganku, lantas ia daratkan kecupan singkat di sana. Menyematkan rambutku ke belakang telinga, matanya mengunci mataku dengan rupa swargaloka di dalamnya. Jemarinya berlari menyusuri rahang dan berakhir di bibirku. Semuanya ia lakukan dengan kelembutan tak berujung. Meredakan kekesalanku hingga menguap tak tersisa. "Kalau memang kelahiranmu itu untukku, maka Tuhan akan menyiapkan jalan untuk kita. Apa pun bentuknya, Sayangku. Kalau tidak di dunia ini, maka akan ada dunia lain setelah dunia ini. Dan begitu seterusnya."
Kalimatnya, meski diucapkan dengan ketenangan luar biasa, entah mengapa aku merasa ia sangat mirip dengan Kakek dan Neneknya. Aku curiga semua keturunan Nenek Mandalika sangat ahli dalam menyusun kata-kata. Pikiranku yang melayang bukan pada tempatnya itu seketika berceceran jatuh ke lantai ketika ia membawaku dalam pagutannya.
Lembut, tanpa tergesa-gesa. Serupa ketenangannya yang—mungkin—ia bawa serta dari surga ketika tiba hari kelahirannya.
*
Nenek Mandalika menyiapkan camilan untuk kami makan di dalam kereta. Aku tengah memasang flat shoes ketika Radi melongok dari ambang pintu, diikuti keberadaan Kakek dan Neneknya. Ia mencium punggung tangan kedua orang itu, kususul melakukan hal yang sama.
"Radi pulang dulu ya, Mak, Pak. Nanti kalau ada waktu, Radi sempatkan mampir."
Di depanku, Nenek Mandalika mengelus puncak kepalaku seraya tersenyum simpul. "Jaga baik-baik anak ini ya, Di. Dia satu-satunya untukmu."
Kurasakan pipiku memanas hingga telinga. Kuberikan Nenek Mandalika pelukan singkat tanda perpisahan sementara. Melepaskan pelukan, ia menggenggam telapak tanganku. Seketika, tanpa kuduga, sebuah bayangan bergerak di depan mataku—atau di dalam pikiranku?—seperti potongan film yang diputar dari pita seluloid. Yang pasti, aku melihatnya. Sangat jelas.
Adik perempuanku yang tertawa lepas di sebuah taman bermain. Ini seperti mimpi. Namun ini sungguh bukan mimpi. Aku tahu ini adalah sebuah memori. Tapi, bagaimana bisa?
Pertanyaan itu menguap seperti daun yang jatuh dari ranting tertiup angin. Kupandangi lekat-lekat senyuman adikku di depan sana. Tawanya yang kurindukan itu, membuat perasaanku dihinggapi kupu-kupu. Ada Mama dan Papa di sudut lain. Gadis kecil itu bermain dengan anak-anak lain seperti bagaimana bocah kecil seharusnya. Gambaran itu tampak jelas di depan kesadaranku seperti benar-benar ada. Tetapi aku tahu, semua itu hanya ilusi, bukan realita.
Ilusi, atau memang memori?
Gambaran yang memang aku yakin sebuah memori itu berakhir ketika seorang pria berjas menghampiri adikku, dan ia menggendongnya. Sebelum pria itu berbalik dan menampakkan wajahnya, memori itu berakhir. Seketika aku merasa kehilangan dan hampa. Kutatap Nenek Mandalika yang tersenyum di depanku. "Nek, itu tadi apa?"
Wanita itu tersenyum dengan aura misterius dan magisnya seperti biasa. Lantas, ia menepuk-nepuk bahuku layaknya seorang nenek pada cucunya sendiri. Ia mendekatkan bibirnya di telingaku, lantas berbisik, "Sebuah hadiah."
*
Kularikan pandanganku keluar jendela kereta. Pikiranku tercerabut dari akarnya dan melayang entah ke mana. Meninggalkan ragaku di sini tanpa jiwanya.
"Ara!"
Nah, seruan Radi di sampingku menarik kembali nyawaku yang berniat keluyuran dan memaksanya kembali ke dalam tubuhku. Kutolehkan kepala memandangnya yang tengah mengangkat alis sebagai pertanyaan tersirat.
"Iya, Di?"
"Kamu kenapa sih?"
Kutunjuk diriku sendiri seperti orang tolol. "Aku? Aku kenapa memangnya?"
"Kamu dari tadi ngelamun. Nggak biasanya."
Aku berani bersumpah aku tidak hanya sekadar mengkhayalkan adikku. Itu benar-benar mirip sebuah kenangan di dalam pikiran. Tapi, kenangan siapa? Sangat tidak mungkin bila Nenek Mandalika yang memiliki kenangan seperti itu. Namun, kalaupun memang benar ia yang memiliki gambaran kenangan itu, mengapa ia bisa membagikannya kepadaku? Aku curiga otak manusia memiliki semacam bluetooth khusus untuk mentransfer file ke orang lain seperti gawai-gawai pada umumnya.
Memutar tubuh menghadap Radi, kugenggam tangannya erat-erat. "Di, kamu pernah baca tentang manusia yang bisa mengirim semacam kejadian ke dalam pikiran kita, nggak?"
"Apaan? Sihir?"
"Bukan, Di!" Ia berjengit kaget mendengar seruanku tiba-tiba. "Coba deh kamu ingat-ingat. Yang semacam itu deh pokoknya."
Ia menampakkan ekspresi berpikir, mencoba menggali-gali ke dalam isi pikirannya. "Aku kurang yakin. Tapi, alam bawah sadar, mungkin?"
Kulepaskan genggamanku darinya dan kembali sibuk dengan pikiranku. Aku sama sekali tidak yakin kemampuan seperti itu hanya muncul secara kebetulan. Atau memang otakku sedang bermasalah? Tapi tidak mungkin. Itu sangat jelas sekali. Dan itu bukan mimpi!
"Kamu kenapa sih, Ra?" Radi menatapku dengan pandangan curiga. "Apa yang Nenek bisikin ke kamu?"
Di balik masker, kugigit pelan bibir bawah, menimbang untuk menceritakannya kepada anak ini atau tidak. Namun, pada akhirnya kuembuskan napas kesal. Memilih untuk membuka suara. "Tadi pas aku ada kontak fisik sama Nenekmu, aku melihat sebuah gambaran. Ah, bukan, semacam kenangan kayaknya lebih tepat. Dan kenangan itu bergerak di dalam pikiranku, Di! Aku bahkan mengira aku sedang berhalusinasi. Tapi, itu terlalu nyata kalau hanya disebut halu."
"Memangnya apaan?"
"Adikku. Aku melihat adikku."
"Hah? Masa? Kamu sendiri kali yang mengenang waktu-waktu bareng adikmu."
Kudecakkan lidah dan menghentakkan kaki. "Enggak, Di! Ih, kamu mah. Kenangan itu bahkan pas aku nggak ada di sana. Aku nggak ada di sana, tapi aku bisa melihatnya, Radi. Ah, Kakek dan Nenekmu memang misterius!" Kurasakan lengannya bergerak merangkulku dan membawaku ke dalam rengkuhannya. Untuk beberapa menit, kami terdiam menyelami pikiran masing-masing. Tak lama, suaranya memecah keheningan yang merambat di antara kami. Ah, bukan, ia lebih seperti menggumam. Pelan sekali, nyaris berbisik kepada dirinya sendiri.
"Tidak dapatkah sesuatu semacam ruh menembus waktu, menuju masa lalu?"
"Apa katamu?"
Ia menoleh, mengecup buku-buku jariku dan tersenyum. "Enggak. Cuma teringat kutipan dialog dari buku yang pernah kubaca."