Kehidupan kampus di semester lima kali ini tak lagi sama. Aku sudah tidak aktif majalah dan jurnal. Hanya mengikuti kajian rutin yang diadakan oleh LDK dan sesekali mengikuti kegiatan di Komunitas Sastra. Itu pun lebih sering tidak hadir. Sebisa mungkin aku menghindari Bagas. Walau tidak bisa dipungkiri, kami masih sering bertatap muka di koridor gedung.
Jika kalian bertanya soal perasaanku kepadanya? Sampai detik ini aku masih berusaha membersihkan sisa-sisanya. Namun lebih sulit dari yang kubayangkan. Perasaan yang selalu menghantuiku, menggerogoti jiwa dan pikiran. Beginilah perempuan, hanya bisa memendam perasaan dan menjadikannya rahasia antara dia dengan Tuhannya.
"Kak, menurut Kakak kalau kita punya perasaan terhadap lelaki, memangnya harus disampaikan supaya nggak menghantui seumur hidup kita?" tanyaku kepada Kak Salsa ketika kami sedang menonton teve di ruang tengah.
"Ya nggak juga, Ma. Lebih baik kita menjaga perasaan itu. Seorang muslimah seharusnya bisa mengontrolnya. Itu hanya dorongan nafsu, Ma. Lebih baik kita curahkan sama Allah dan berdoa yang terbaik. Allah sangat mencintai perempuan yang bisa menjaga kehormatannya. Memangnya kenapa sih nanya itu? Kamu lagi naksir cowok ya?"
"Iseng aja nanya, Kak."
"Kamu nggak mungkin nanya itu, kalau kamu nggak lagi ngalaminnya. Siapa sih orangnya? Emm... Kakak tahu deh. Cowok pujangga yang pernah nganterin kamu ke sini dulu kan?"
"Ih, pujangga apaan sih?"
"Nggak usah bohong deh sama Kakak. Kamu kan suka cowok-cowok puitis, romantis gitu. Akun Instagram kamu kan suka nge-like update-an Bagas, kan?"
"Ih, kebiasaan suka stalking akun adeknya! Eh, Kak, tapi Siti Khodijah menyatakan keinginan untuk menikah sama Rasulullah duluan. Berarti cewek boleh dong nyatain duluan."
"Siti Khodijah waktu menyatakan keinginan menikah dengan Rasulullah dalam keadaan udah mapan dan dewasa. Dan yang dilamar itu Rasulullah. Tapi jangan salah, Siti Khodijah juga memintanya lewat perantara. Bukan kayak nyatakan cinta di teve."
Aku menggaruk kepala sembari menyengir lebar.
***
Aku merasa tak nyaman dengan pemandangan yang berada di hadapanku. Kini ada Bagas dan Bram saling bertatapan tajam. Seperti ada sengatan listrik antara keduanya. Tiba-tiba saja aku dihampiri mereka berdua. Padahal aku sedang bersantai di taman kampus dengan Karin.
Awalnya Bagas datang menghampiriku.
"Salsabila, kamu kemarin ngirim chat mau wawancara Pencinta Literasi untuk website kampus, kan?"
Aku mengernyitkan dahi. Ah, aku baru ingat! "Oh, iya, Gas. Jadi kampus kita mau dimasukin jadi salah satu kampus tujuan untuk beasiswa pemerintah. Jadi mantan kru Majalah Suara Pemuda diminta untuk ngeberesin info tentang komunitas-komunitas di website kampus. Aku sama Karin yang ditunjuk."
"Ya udah, wawancara sekarang aja. Mumpung aku lagi free."
"O—oke."
Hanya selang dua menit, Bram datang dan mengaku dia yang akan mewakili LDK untuk diwawancarai.
"Bram, kamu diwawancara sama Karin aja ya. Soalnya aku lagi mau wawancara Pencinta Literasi."
"Kenapa Pencinta Literasi harus diwawancara lagi? Kamu kan anggotanya juga. Nggak usahlah. Mending wawancara LDK," protes Bram.
"Aku udah nggak seaktif dulu, Bram. Banyak kegiatan mereka yang aku nggak tahu."
"Baguslah. Lebih baik kamu banyak kajian. Lebih bermanfaat. Daripada bikin puisi nggak jelas."
Bagas hampir menghampiri Bram. Tentu saja aku mencegahnya. Ah, aku kira Bram sudah berubah. Ternyata hanya lapisan luarnya saja.
"Gue tersinggung nih pada ngerebutin Salma. Padahal gue juga ditunjuk sama kampus buat ngeberesin data komunitas," sela Karin.
Akhirnya Bram mengalah dan dia pergi bersama Karin. Sebenarnya jarak kami tidak terlalu jauh. Masih sama-sama duduk di atas rerumputan taman. Dan pastinya aku tidak mau berdua saja dengan Bagas. Apalagi dia tidak terlihat serius menanggapi pertanyaanku.
"Gas, yang serius." Apa-apaan dia? Dia malah menopang kepalanya dengan tangannya dan pandangannya tak lepas dari memandangiku.
Lalu dia tertawa. "Maaf, maaf. Soalnya aku kangen banget ngobrol sama kamu."
"Kalau gitu, aku wawancara Maya aja biar serius."
"Oke, oke! Maaf aku bercanda. Meskipun aku beneran kangen sama kamu. Tapi sekarang aku jamin akan serius."
Ah, kenapa sih aku harus jatuh cinta sama playboy macam dia?
***
Setahun kemudian.
Karin mengajakku untuk menghadiri acara wisuda di kampus. Kak Bastian menyuruhnya untuk datang. Aku mencium aroma asmara antara keduanya. Terlihat dari sikap Karin yang menggebu-gebu. Dia mengaku hanya reuni sesama kru jurnal. Aku pura-pura mengiakan, meski kutahu bahwa ada maksud terselubung. Mau tak mau aku harus mendukung sahabatku satu-satunya. Semoga Kak Bastian serius dengan Karin, dan segera melamarnya.
Aku melirik buku yang baru kemarin aku beli di toko buku dekat kampus. Aku berencana akan memberikan buku tersebut kepada Kak Adit. Aku bingung, dan takut terlihat aneh jika hanya memberikannya kepadanya. Sebenarnya aku sudah menyediakan tiga batang cokelat untuk dihadiahkan kepada Kak Hendra, Kak Bastian, dan Kak Adit. Namun entah mengapa, aku ingin sekali memberi Kak Adit buku ini. Aku ingin berterima kasih atas semua nasihat yang diberikannya kepadaku. Aku akan beralasan sebagai imbalan novel yang diberikan kepadaku saat acara majalah dulu. Akhirnya aku menyambar buku tersebut dan memasukkannya ke dalam tasku.
Sesampaiku di lobi kampus, Karin melambaikan tangannya. Dia terlihat sangat manis menggunakan gamis berwarna merah muda. Aku tersenyum menghampirinya. Karin terlihat membawa tas yang sepertinya berisi hadiah. Entah apa yang akan dia berikan. Kami berjalan menuju aula kampus, tempat acara wisuda diselenggarakan.
***
Aku dan Karin menunggu ketiga senior kami usai acara wisuda. Karin sibuk menelepon Kak Bastian supaya segera datang. Tidak lama kemudian Kak Bastian dan Kak Hendra menghampiri kami. Aku memberi mereka cokelat yang sudah kuhias dengan pita berwarna biru. Karin dengan malu-malu memberikan hadiah kepada Kak Bastian.
"Kok hadiahnya Bastian lebih gede?" protes Kak Hendra kepada Karin.
"Itu tergantung amal perbuatan, Kak."
Kak Bastian tergelak.
"Salma aja ngasihnya sama ukurannya. Jangan salah kamu. Lebih rajin saya ibadahnya dari Bastian."
Ah, rindu melihat suasana ini rasanya.
"Iya, sama ukurannya. Kak Hendra belum lihat hadiah Salma buat Kak Adit."
Aku yang sedang fokus mencari Kak Adit seketika menegang dan berusaha menutupi hadiah yang kupegang.
"Wah, Salma ternyata ya. Saya sudah mengira kalau kamu bakal membuka hati buat Adit. Saya jadi patah hati." Kak Hendra bergaya menangis dengan dramatis.
Baru saja aku ingin mengelak, Kak Bastian menunjuk ke arah belakangku. "Itu dia si Adit. Dit, sini! Ada Salma sama Karin!"
Aku menoleh ke arah belakang, terlihat Kak Adit melambaikan tangan dan mengisyaratkan untuk menunggu sebentar. Dia sepertinya sedang sibuk berbicara dengan keluarganya. Aku segera menyiapkan hadiah untuknya. Namun gerakanku terhenti ketika melihat seorang wanita cantik yang juga seangkatan dengannya sedang menghampiri keluarganya. Wanita yang menggunakan toga dan baju wisuda itu bersalaman dan berpelukan dengan kedua orangtua Kak Adit. Aku tahu wanita itu. Sekar namanya. Siapa yang tidak mengenalnya? Bunga kampus yang membuat pria mana pun tergila-gila.
Hatiku tergores. Perih. Pemandangan sekitarku terlihat mengabur. Gawat! Air mata rupanya menggenang di pelupuk kedua mataku. Kenapa aku bereaksi seperti ini?! Kenapa?!
Aku segera berlari dan hilang di antara kerumunan manusia tanpa mengucapkan sepatah kata kepada mereka bertiga. Aku tidak mau tertangkap basah menangisi yang bukan seharusnya kutangisi. Hatiku berkali-kali merutuki diri ini yang terlalu memercayai bualan Kak Hendra. Berkali-kali ponsel milikku berdering, aku tak mengacuhkannya. Aku terus berjalan menuju stasiun.
Aku ingin merdeka dari semua lelaki yang membuat hati ini meradang. Seperti halnya Chairil Anwar yang ingin merdeka dengan semua wanita yang menyakitinya. Setelah ini aku akan menulis puisi patah hati dan membakarnya. Lalu kuhempaskan abu itu.