Sepagi ini aku sudah mematut di depan kaca mengenakan kebaya berwarna cokelat muda. Aku mengambil toga yang ada di atas meja belajar dan mencoba memakainya. Ya, aku sebentar lagi akan wisuda. Akhirnya setelah melewati KKN, skripsi, dan sidang, aku bisa mencicipi hasil itu semua. Jerih payah selama setahun lebih, penuh perjuangan dan air mata.
Terdengar Kak Salsa memanggilku untuk segera berangkat. Sambil menggendong Aisyah kecil, dia merapikan jilbabku.
Kami segera berangkat menuju Universitas Pemuda Bangsa. Beberapa kali ponselku berdering. Siapa lagi kalau bukan Karin yang memintaku untuk cepat datang ke kampus. Sedari malam dia sibuk meneleponku untuk rencana wisuda nanti. Apalagi dia mengatakan bahwa Kak Bastian juga akan datang. Aku turut bahagia dengan mereka, semoga segera ada kabar baik.
Setelah sampai di kampus, aku berpisah dengan Kak Salsa dan Bang Aldi, karena aku harus masuk ke dalam barisan wisudawan. Aku mencium Aisyah kecil dan mencubit pipinya. Rasanya senang sekali mempunyai keponakan yang sangat lucu. Setiap pulang kuliah, aku selalu bermain dengannya. Terkadang rasanya malas pergi kuliah dan ingin bermain seharian bersama Aisyah.
Aku memasuki aula kampus melalui pintu samping yang tembus ke belakang panggung. Mencari sosok Karin yang ternyata sangat mudah ditemukan. Hanya tinggal mendengar suara teriakannya saja, maka di situlah posisinya. Dia sudah heboh berfoto ria bersama teman-teman angkatan kami. Ketika dia melihatku, dia langsung menarikku untuk foto bersama.
***
Aku menikmati setiap detik acara wisuda. Beberapa tahun kemudian, hari ini bakal menjadi kenangan yang sangat manis. Menorehkan sejarah di hidupku yang berhasil bangkit dari keterpurukan. Aku benar-benar bisa fokus belajar dan mendapatkan pengalaman banyak dari berorganisasi. Tidak seperti ketika SMA yang tak jarang aku belajar sembari berurai air mata. Namun semua berhasil kulalui dan bisa lulus di universitas terbaik di Jakarta.
Seusai acara, kami mengadakan sesi perfotoan. Aku sangat lelah, tapi apa boleh buat. Ini untuk terakhir kalinya mengabadikan momen-momen bersama di kampus. Setelah itu aku berpoto dengan Kak Salsa dan Bang Aldi. Karin memarahiku yang awalnya malas untuk banyak berfoto lagi. Setelah itu, Kak Salsa dan Bang Aldi ingin pulang terlebih dahulu, karena Aisyah sudah rewel. Begitu pun orangtua Karin yang pulang terlebih dahulu, karena kami masih ada sesi perfotoan lagi.
Ketika kami sedang duduk di kursi tamu yang sudah banyak meninggalkan aula, Kak Bastian datang menghampiri kami. Ternyata dia tak sendirian, ada Kak Hendra di sampingnya. Terlihat senyuman jailnya saat menghampiri kami. Aku hanya mencibir.
“Salma begitu ya. Padahal sudah lama nggak ketemu. Saya jauh-jauh datang demi ketemu kamu untuk ngasih hadiah,” kata Kak Hendra sambil menyodorkanku sebuah tas jinjing. Ternyata isinya novel.
“Makasih ya, Kak,” ujarku.
Setelah itu, kami berfoto bersama dan mengobrol. Aku masih tak percaya bisa dekat dengan mereka. Kalau bukan karena Karin, mana mungkin aku bisa akrab dengan mereka.
“Oh iya, Kak Adit mana? Nggak dateng ya?” tanya Karin.
“Ibunya Adit meninggal nggak lama sehabis wisuda tahun lalu. Jadinya dia sibuk dengan keluarganya semenjak itu. Kita aja udah jarang ketemu,” jawab Kak Bastian.
“Innalillahi wa inna ilaihi raji’un,” kataku dan Karin serempak.
Aku hanya bisa berdoa yang terbaik untuk Kak Adit dan keluarganya. Bagaimanapun dia sudah seperti sosok kakak laki-laki bagiku. Sebenarnya aku tak pernah mengharap lebih dari itu. Aku juga tidak pernah benar-benar punya perasaan yang menggebu-gebu terhadapnya. Namun itu semua hanya karena dorongan dari Kak Hendra. Wanita mana yang tidak tersipu jika ada yang mengatakan lelaki sekeren Kak Adit menaruh perasaan kepadanya?
“Salsabila!” teriak Bagas yang melambaikan tangan kepadaku.
Dia menghampiriku yang sedang asyik berbicara dengan Karin, Kak Bastian, dan Kak Hendra. Dan teriakan Bagas membuat semuanya melihat ke arahku.
“Maaf mengganggu. Saya pinjam Salmanya sebentar ya,” ujarnya dan melirikkan bola matanya untuk mengikutinya.
Aku hanya pasrah dan mengikutinya. Aku merasa tak enak jika menolaknya. Ternyata dia membawaku kepada Gilang dan Ezra. Terlihat Ezra sedang memegang kamera.
“Bro, potoin kita berdua ya. Background-nya panggung ya biar kelihatan. Ayo, Salsabila, kamu pakai toganya,” kata Bagas dengan semangat.
“Tapi, Gas, aku nggak enak kalau berduaan aja fotonya. Gimana kalau sama yang lain?” pintaku.
“Plis, ini untuk kenangan terakhir kita di sini. Aku bakal kecewa kalau nggak ada kenangan denganmu.”
Akhirnya aku mengalah. Meskipun kami foto dengan jarak yang berjauhan dan aku yang tersenyum canggung. Gilang dan Ezra tak henti-hentinya tersenyum dan menggoda kami berdua. Setelah itu Bagas mengisyaratkan mereka untuk menjauh. Dia merogohkan tangannya ke dalam saku dan mengeluarkan sebuah gantungan kunci.
“Ini hadiah buat kamu. Selamat ya sudah lulus. Aku nitip ini sama saudaraku yang pergi ke Paris. Aku ingat kamu sangat ingin ke sana,” ujarnya.
Pipiku memanas dan aku tak bisa menyembunyikannya. Aku mengucapkan terima kasih dengan terbata-bata. Sangat memalukan. Hanya Bagas yang bisa membuatku kikuk. Tak lama kemudian, dia memberiku kertas yang dilipat kecil.
“Ini nanti dibacanya kalau udah sampai rumah ya. Aku pamit dulu. Semoga kita bertemu lagi,” katanya tersenyum.
Setelah Bagas meninggalkanku, tiba-tiba Karin menepuk pundakku. “Ayo, pulang. Kak Bastian dan Kak Hendra ngajak kita makan bareng. Eh, lu nangis kenapa?”
“Nggak, gue nggak nangis,” jawabku sambil cepat-cepat menyeka kedua mataku.
“Aduh, lu diapain lagi sih sama pujangga playboy itu?!”
Aku mencubit kecil lengannya dan menariknya untuk pergi. Ketika kami berada di parkiran kampus, Bram terlihat datang menghampiriku. Dia menyodorkan satu rangkaian mawar putih ke hadapanku.
“Happy Graduation. Maaf aku telat,” katanya sambil tersenyum.
Bram tidak bisa mengikuti wisuda tahun ini, karena masih ada beberapa mata kuliah yang tertinggal. Dulu dia memang jarang masuk kuliah, jadinya dia sekarang sedang memperbaiki dosa-dosanya di masa lalu.
“Thank’s, Bram.”
“Oh iya, Bang Aldi udah ngabarin sesuatu nggak tentang aku?”
“Emm… ngabarin apa? Belum tuh.”
“Oh gitu. Ya sudah nanti nunggu Bang Aldi yang bilang ke kamu.”
Aku berpamitan dengan Bram dan menuju ke restoran. Di perjalanan, Kak Hendra sibuk meledekku.
“Ternyata Salma banyak banget penggemarnya. Tapi saya yakin sih, saya bakal menangin hati kamu,” ujarnya dan mengedipkan sebelah matanya.
Kak Bastian meninju lengannya, sebelum Karin meledak-ledak. Aku hanya tertawa saja melihat mereka.
Ah, rasanya ingin cepat pulang ke rumah dan melihat isi kertas yang diberikan Bagas. Kira-kira isinya apa ya? Aku penasaran. Tiba-tiba pipiku memanas lagi mengingat kejadian tadi. Aku menyimpan hasil foto tadi. Kebetulan tadi kami dipotret dengan kamera polaroid, jadi langsung mendapatkan hasilnya.
Setelah puas makan bersama dan tertawa-tawa sampai mata berair, kami pun pulang. Seandainya Kak Adit bisa ikut, aku rindu dengan kehadirannya. Semoga dia baik-baik saja.
***
“Bang, aku mau nanya, tadi Bram bilang kalau Bang Aldi udah ngasih tahu sesuatu belum, gitu,” kataku.
Bang Aldi dan Kak Salsa saling berpandangan satu sama lain.
“Sebaiknya kita ngobrol sambil duduk. Ada yang Kakak sama Abang mau sampaikan,” kata Kak Salsa.
Aku pun ikut duduk di samping mereka dan melihat gelagat yang mencurigakan. Sepertinya ada hal yang sangat serius.
“Jadi gini, kemarin Bram mengirimi e-mail isinya proposal ta’aruf untuk kamu. Katanya minggu depan, dia bakal datang bersama orang tuanya untuk melamar kamu,” kata Bang Aldi pelan.
Aku terkejut. Tiba-tiba keringat dingin menjalar di sekujur tubuhku. Aku hanya terdiam dan tidak mengatakan sepatah kata pun.
“Ma, jawaban lamarannya kita bakal serahin ke kamu, tapi kamu bersedia nggak kalau Bram bakal datang melamar kamu bersama kedua orangtuanya?” tanya Kak Salsa.
“Aku nggak mungkin melarang orang datang dan mempunyai niatan baik. Kalau Bram ingin datang melamarku, aku persilakan, tapi aku nggak bisa menjamin punya jawaban secepatnya.”
“Ya udah, nanti Abang bilang ke Bram untuk mempersilakan melamar kamu. Cuma untuk jawabannya kita serahkan semuanya ke kamu,” kata Bang Aldi.
“Banyak-banyak salat istikharah,” pesan Kak Salsa.
Aku menganggukkan kepala dan setelah itu masuk ke dalam kamar. Aku duduk termenung di kursi depan meja belajar. Terlihat fotoku bersama Bagas tergeletak dan di sampingnya ada kertas darinya yang belum kubuka. Sudah kuduga, isinya sebuah puisi.
Untuk Perempuan Pengagum Senja
Senja memukau setiap insan.
Hujan menyejukkan hati yang gundah.
Bangunan tua yang menyimpan sejarah.
Tetapi keindahan hanya milikmu.
Keindahan senyuman elokmu.
Gadis manis, kenangan ini hanya milik kita.
Terpahat oleh aksara abadi.
Zaman memakan usia.
Tapi bukan kenangan kita.
Tanpa aba-aba, air mata turun dengan derasnya. Aku menangis dengan pilu. Teringat perbicangan dengan Karin tempo dulu, tentang bayangan menakutkan ini. Dengan bijaknya aku menjawab semua itu. Pada praktiknya, aku hanyalah manusia lemah. Aku bukan wanita bijak yang selalu berpikir dengan logika. Aku menatap foto Bagas. Apa yang harus aku lakukan, Gas?