Read More >>"> Nyanyian Burung di Ufuk Senja (3. Aditya Indra Nugraha) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Nyanyian Burung di Ufuk Senja
MENU
About Us  

“Silakan masuk,” ujar Aditya setelah aku mengetukkan pintu.

Aku pun duduk di depan meja yang berada di hadapannya.

“Baik, kita mulai saja ya wawancaranya,” ujarnya kembali.

Tidak kusangka, awalnya kupikir Kak Aditya orang yang dingin dan irit bicara terhadap wanita. Ternyata di balik kewibaannya, dia memiliki sifat humoris dan gampang menyesuaikan lawan bicaranya. Wawancara jadi terasa seperti berbicara dengan teman. 

Awalnya aku sempat grogi, tetapi Kak Aditya sangat lihai membuat lawan bicaranya nyaman dan terhanyut dalam pembicaraan. Tidak salah jika hampir 90% wanita seantero kampus ini mengaguminya. Bahkan yang kudengar, salah satu angkatanku ada yang tergila-gila sampai memasang fotonya menjadi penghias di layar laptopnya. Sangat konyol, menurutku.

“Ciee... calon-calon keterima. Asyik bener ngobrol sama pak pemred,” goda Karin yang menghampiriku ketika baru saja aku keluar dari ruangan Pemimpin Redaksi.

“Apaan sih? Kan elu tau Kak Aditya orangnya suka ngobrol,” jawabku sambil mendorong sedikit bahu Karin.

“Oh iya, pacar lu katanya nungguin di depan. Tadi si Bagas nitip pesan ke gue.” 

“Eh, jangan bikin gosip yang enggak-enggak. Dasar nggak jelas!"

Aku pun menemui Bagas yang sudah menunggu di depan pintu. Mukanya terlihat kesal dan kusut seperti pakaian yang belum disetrika. Sambil jalan menuju lobi kampus, Bagas mengajakku berbicara.

“Kayaknya asyik banget wawancaranya sampe ketawa-ketawa gitu,” sindir Bagas.

“Eh, kedengeran sampe ke luar ya? Iya, enggak nyangka ya Pemrednya gokil juga orangnya,” ujarku sambil tertawa jika mengingat wawancara tadi. Sebenarnya humornya receh sih, tapi entah kenapa aku malah tidak bisa mengendalikan tawaku. Aku sampai malu, karena baru kali ini aku tertawa secara brutal.

Bagas hanya terdiam, lalu tiba-tiba dia bilang ingin pulang ke kosan duluan. Padahal sebelumnya kami sudah janjian ingin meneruskan proyek cerpen kolaborasi kami berdua. Ah, mungkin dia sedang lelah.

***

Hari ini, setelah kelas siang ada kumpul redaksi majalah. Seperti biasa aku sudah janjian dengan Karin untuk pergi bersama. Akan tetapi tiba-tiba Karin izin kumpul duluan. Para pemimpin majalah beserta sekretaris dan bendahara melakukan rapat terlebih dahulu sebelum kumpul redaksi.

Terpaksa aku ke sana sendiri, karena Bagas tidak membalas pesanku sedari pagi. Apa-apaan nih dia? Kemarin-kemarin merayu perempuan tiada henti. Sekarang malah menghilang. Menyebalkan! Ketika aku membuka pintu ruangan redaksi, terlihat para pengurus sedang tertawa-tawa. Ternyata anggota kru yang datang baru diriku.

“Nah, ini datang orangnya,” tunjuk Kak Hendra kepadaku.

Aku mengerutkan kening.

“Kata Karin kamu jago bikin cerpen ya?” tanya Kak Bastian, sang Sekretaris Redaksi.

“Biasa aja sih, Kak. Temenku Bagas lebih bagus malahan,” jawabku.

“Tapi kita maunya kamu, ya enggak, Dit?” kata Kak Hendra sambil menyenggol lengan Kak Aditya.

“Terserah Salmanya aja. Kalau mau ya silakan, kita sangat senang. Kalau keberatan boleh kok menolak,” ujar Kak Aditya sambil tersenyum kepadaku.

Aku terkesima dengan Kak Aditya yang sangat pengertian kepada anggotanya. Lalu sambil menunggu anggota kru yang lainnya, kami berbincang-bincang. Tak terasa aku pun merasa akrab dengan mereka. Mungkin berkat adanya Karin, karena aku memang agak sulit untuk akrab dengan orang lain. Ternyata mereka sangat menyukai hal-hal yang berbau komedi, dimulai dari novel, film, dan aku menjadi tertarik. Mungkin karena aku selalu melihat film melankolis dan lagu-lagu romantis, menjadikan perasaanku selalu sedih. Memang bagus ketika digunakan untuk menulis karya fiksi, apalagi puisi. Paling ampuh untuk membangunkan suasana romantis. 

Namun, ternyata menonton film komedi dan membaca novel humor, bisa menjadi obat ampuh untuk hiburan ketika penat. Aku pun ikut tertawa ketika mereka membicarakan salah satu novel komedi. Bahkan Kak Bastian menawarkanku untuk meminjam koleksi novelnya. Aku pun mengiakan tawarannya. 

Di tengah-tengah aku sedang asyik mengobrol dengan mereka, tiba-tiba ada seseorang yang menarik kursi dan menyeretnya tepat di sampingku. Ternyata Bagas yang menduduki kursi tersebut. Aku merasa bingung, pasalnya Bagas menggeser kursinya dekat sekali denganku sampai hampir tangan kita bersentuhan satu sama lain. Aku yang merasa canggung, menggeser sedikit kursi milikku, sehingga ada jarak diantara kita. 

“Eh, dari mana aja kamu? Tadi pagi aku chat kok enggak dibalas?” tanyaku kepada Bagas.

“Tadi lagi sibuk sama tugas,” jawabnya singkat.

***

Lama kelamaan seiring berjalannya waktu, aku sesama anggota kru lainnya makin dekat satu sama lain. Begitu pun Bagas, cuma aku merasakan dia sedang menjaga jarak denganku. Hari ini aku diajak dengan Kak Aditya untuk ikut mereka mencari sponsor acara majalah bersama Kak Bastian, Kak Hendra dan Karin. Salah satu agenda majalah, yaitu selalu mengadakan workshop atau seminar kepenulisan di kampus. Aku baru tahu kalau para pengurus majalah sudah harus mempersiapkan sponsor sejak sekarang. 

Aku diminta ikut untuk menemani Karin, karena dia perempuan sendirian. Aku merasa nyaman dengan mereka, merasa terhibur dengan humor-humor yang terlontar. Kebetulan ketiga lelaki itu memang bersahabat, jadi tidak heran suasananya menjadi kekeluargaan seperti ini. 

Seusai membagikan proposal kepada para calon sponsor, kami mampir ke Pasar Buku Kwitang. Sepanjang perjalanan dari Stasiun Pasar Senen, ada sensasi menyenangkan melohat para pedagang emperan. Ditambah adanya bangunan-bangunan sederhana sejajar dengan masjid. Seperti nuansa Jakarta zaman dahulu. Sewaktu kami ingin menyeberang, ketiga pria itu sigap menjadi tameng bagiku dan Karin. Aku menjadi merasa aman dengan mereka.

Lapak penjual buku berada di belakang gedung biru. Kami menemukan buku-buku bermacam-macam genre. Aku dan Karin melihat ketiga pria tersebut seperti menemukan harta karun. Karin pun langsung mencari buku-buku puisi untuk menambah koleksinya. Ketika aku sedang asyik memilih novel dan membaca sinopsis pada sampul belakang, Kak Aditya tiba-tiba sudah di sampingku dan mengajakku bicara.

“Suka novel-novel islami juga?” tanyanya sambil juga melihat-lihat novel di depannya.

“Eh iya nih, Kak. Aku kepingin bisa nulis novel yang bagus,” jawabku sambil terus menatap novel yang kupegang.

“Iya bagus tuh alur ceritanya, karya-karya lainnya juga bagus." Dia menunjuk novel yang sedang kupegang.

“Wah, ternyata Kak Adit suka juga novel-novel mellow, kirain yang komedi aja.” 

“Ya suka, tapi biasa aja. Mungkin karena passion saya bukan pada karya fiksi, tapi lebih ke Non fiksi.”

Satu yang perlu diingat, jika berbicara dengan Kak Aditya, dia selalu menggunakan “saya”. Aku akui jika aku merasa nyaman dengannya. Semakin lama, aku sering berkonsultasi mengenai masalah berkaitan dengan penulisan dan dia selalu punya solusi yang bijak. Aku merasa mempunyai kakak laki-laki selain Bang Aldi. Juga Kak Aditya sangat menghormati perempuan. Jika diperhatikan ketika dia sedang berbicara dengan lawan jenis, dia tidak pernah benar-benar menatap lawan bicaranya. Pandangannya selalu dialihkan kepada dinding atau benda-benda sekitarnya. 

Kalian menanyakan soal paras sang Pemred ini? Jangan salah. Dia memiliki paras yang tampan dan tinggi 184 cm. Berkulit sawo matang, hidung mancung. Berbeda dengan Bagas yang berkulit putih, bermata sipit dan tinggi 170 cm. Hanya beda 5 cm denganku. Kak Aditya bila digambarkan seperti lelaki tampan dan maskulin. Sedangkan Bagas seperti pria imut.

Kembali kepada jalan-jalan ke toko buku. Kak Hendra mengajak kami makan coto Makassar.

"Kamu baru tahu ya kalau di Senen ada yang jual coto Makassar?" tanya Kak Hendra.

"Aku aja belum pernah makan, Kak."

Sekilas aku melihatnya seperti rawon yang pernah kusantap saat dulu mengunjungi Kak Salsa di pesantren. Tapi ternyata isinya didominasi dengan jeroan sapi. Dan rasa apa ya ini?

"Itu ada rasa taoco," sahut Kak Bastian. 

"Si Bastian ini orang Makassar," timpal Kak Hendra. Oh, pantas saja dia tahu tempat ini. Pasti dia rindu dengan kampung halaman.

Salah satu yang bikin aku kagum adalah ketika azan berkumandang, mereka langsung mengajakku dan Karin mencari masjid untuk sholat. Tak terasa kami pulang terlalu larut. Lalu mereka akan mengantarkanku dan Karin pulang bersama-sama. Pertama akan mengantarkanku terlebih dahulu, lalu ke rumah Karin. Sesampai kami di rumah, ternyata Kak Salsa dan Bang Aldi sudah menunggu di ruang tamu dan keluar ketika mendengar suara pagar dibuka. 

Kak Aditya dan yang lain langsung bersalaman dan menjelaskan keterlambatan kepulangan kami. Kak Salsa dan Bang Aldi mengajak mereka untuk mampir terlebih dahulu, tapi mereka mengatakan bahwa harus mengantar Karin dan takut pulang terlalu larut.

Ketika makan malam bersama, Bang Aldi bertanya, “Tadi siapa aja yang ngantar kamu?”

“Itu Kak Aditya, Kak Hendra, Kak Bastian. Mereka Pemimpin majalah di kampus, tadi minta Salma ikut mereka untuk keliling ngasih proposal, soalnya Karin cewek sendirian,” jawabku sambil menyendokkan makanan di hadapanku.

“Bagus kalau gitu, enggak baik kalau perempuan sendirian terus yang lainnya laki-laki,” kata Bang Aldi.

“Iya, apalagi tadi siapa itu yang minta maaf dengan sopan karena pulang kemalaman. Terus nganter kamu bareng-bareng jadi nggak berduaan kayak sebelumnya,” sindir Kak Salsa.

Aku pun hanya mendengus kesal.

Sepertinya Kak Salsa dan Bang Aldi terpukau dengan Kak Aditya. Dipuji terus-menerus dan bahkan tadi menyuruhnya untuk masuk ke dalam. Padahal aku masih ingat ceramahnya tentang perkara semua teman laki-lakiku harus duduk di teras.

***

Seminggu kemudian, mereka kembali mengajakku untuk berkeliling mengunjungi sponsor-sponsor untuk majalah kami. Akan tetapi tiba-tiba Karin mengatakan tidak bisa ikut, karena ada masalah keluarga. Akhirnya Kak Bastian memastikan aku agar tetap ikut. Di luar dugaan, Kak Aditya melarang aku untuk ikut.

“Salma enggak usah ikut ya, soalnya Karin enggak ada. Enggak baik jika Salma perempuan sendirian, karena kami semua yang berangkat laki-laki.” 

“Enggak apa-apa kok kak, aku enggak masalah. Kalau beneran butuh bantuan, aku siap ikut.” 

“Kamunya enggak apa-apa, tapi saya merasa enggak enak. Saya merasa bersalah, karena membiarkan kamu pergi dikelilingi laki-laki yang bukan mahram, kecuali ada perempuan lainnya. Dengan kita bertiga sudah cukup, kecuali dalam keadaan mendesak.”

Aku merasa tertohok dengan ucapan Kak Aditya. Merasa seperti perempuan yang tidak bisa menjaga diri. Padahal aku tidak merasa hal itu adalah kesalahan, selama tidak berduaan saja dengan lawan jenis. Lagi pula ada Kak Bastian dan Kak Hendra juga. Aku sudah terbiasa pergi bersama laki-laki, mungkin karena selama ini aku sering pergi bersama Bagas, Gilang dan Ezra ke café. Aku merasa malu di hadapan Kak Aditya, lalu menganggukkan kepala dan pergi meninggalkan ruangan.

Sesampaiku di rumah, aku mencari Kak Salsa yang ternyata ada di dapur. Bang Aldi sedang mengisi pengajian sejak pagi.

“Lho kok, udah pulang siang-siang begini? Enggak jadi pergi sama teman-teman majalah kamu?” tanya Kak Salsa.

“Enggak jadi, soalnya Karin ada family emergency. Terus Kak Aditya neggak ngebolehin aku ikut, soalnya cewek sendirian,” jawabku sambil mengambil gelas untuk minum.

“Duh, kakak jadi nge-fans sama senior kamu itu. Kakak saranin ya, pilih calon suami yang kayak dia.” 

“Ih, apaan sih, Kak! Jangan kege-eran dulu. Enggak mungkin Kak Aditya suka sama aku. Apalah aku mah cuma remah-remah roti." Aku beranjak meninggalkannya.

Kenapa Kak Salsa selalu menjodoh-jodohkanku dengan Kak Aditya? Bukannya aku tidak menginginkan mempunyai calon suami sepertinya, tetapi sepertinya aku berkhayal terlalu tinggi. Kak Aditya itu berada di jurusan Desain Komunikasi Visual, maka tak heran jika masalah layout majalah kampus dia yang memegangnya. Katanya sebelum jadi Pemred, Kak Aditya yang menjadi layouter majalah. Ketika dia dipilih jadi Pemred pun masih membimbing. Malah terkadang masih mengerjakan layout. Katanya masih belum ada yang sebagus dia. Dia juga sering dapat tawaran pekerjaan freelance untuk proyek-proyek kecil dari luar, karena memang sekeren itu. Banyak wanita yang tertarik dengannya, tetapi Kak Aditya selalu menjaga jarak dengan lawan jenis. Sepertinya tak mungkin aku bisa bersaing dengan ratusan wanita lain. 

***

Malam ini aku merasa badanku menggigil dan berkeringat dingin. Kak Salsa dan Bang Aldi langsung membawaku ke klinik terdekat, karena demam tinggi. Keesokan harinya, aku mengirim pesan kepada Karin untuk menitipkan izin tidak masuk. Tiba-tiba ponselku bergetar. Aku mengira itu balasan dari Karin, ternyata Kak Aditya. Tumben.

Aditya: Assalamualaikum Salma, kamu masih ada sisa majalah cetakan bulan kemarin enggak? Kata Karin kamu masih nyimpan, bisa minta tolong dibawa hari ini? Perlu untuk diberikan kepada sponsor. Ada yang minta.

Salma: Waalaikumussalam, maaf, Kak, hari ini aku demam jadinya enggak masuk. Besok aja gimana?

Aditya: Syafakillah syifa’an ‘ajilan ya, semoga cepat sembuh. Kita butuhnya hari ini. Nanti biar saya dan teman-teman ambil ke rumah ya. Kamu mau dibawakan buah apa?

Salma: Maaf ya, Kak, merepotkan. Enggak usah bawa apa-apa, Kak, ngerepotin.

Aditya: Enggak apa-apa, hitung-hitung sekalian menjenguk.

Aku pun langsung menyiapkan majalah yang diperlukan dan dimasukkan ke dalam tas jinjing. Ketika siang hari, terdengar suara bel berbunyi dan tidak ada yang membuka pintu. Sepertinya Kak Salsa sedang keluar, pergi membeli kue. Aku pun memakai jilbab dan bersiap membukakan pintu. Kak Aditya sudah menunggu di depan pagar rumah, di belakangnya ada Kak Hendra dan Kak Bastian.

“Kak, ini majalahnya, maaf jadi merepotkan,” ujarku sambil menyerahkan tas berisikan beberapa buah majalah.

“Enggak apa-apa. Ini ada buah. Semoga cepat sembuh.” Kak Aditya menyodorkan sekantung buah.

“Jadi merepotkan lagi. Maaf ya, Kak, enggak bisa ngajak masuk soalnya di rumah lagi nggak ada siapa-siapa.” 

“Iya enggak apa-apa, kita juga langsung mau pamit,” kata Kak Aditya, lalu mereka pun berpamitan.

Aku pun menuju dapur dan membuka bungkusan yang diberikan tadi. Ternyata di dalamnya ada beberapa buah jeruk. Tadi ketika Kak Aditya memberikan kepadaku, dia terlihat malu dan mengalihkan pandangannya ke dinding. Ah, tapi kan dia selalu begitu ketika berbicara kepada wanita. Di belakangnya Kak Bastian dan Kak Hendra tersenyum-senyum melihat kami berdua yang entah apa maksud dari senyuman mereka. 

***

“Ayo dong, Ma, lu yang jadi moderator ya di acara Language Day nanti. Lu itu bagus tahu!” pinta Karin kepadaku.

Ketika itu kami baru saja selesai sidang redaksi.

“Ah, enggak mau, Kar, gue enggak pede. Lu tau sendiri gue orangnya grogi kalau ngomong depan banyak orang. Enggak kayak elu,” tolakku.

“Kak Adit, bantu bujukin dia dong. Nih anak sukanya minderan, padahal pinter lho.” 

Kak Aditya pun tersenyum dan berkata, “Iya Salma, enggak bagus lho kalau terus menerus enggak percaya diri. Kamu harus merubah mindset kamu yang selalu berpikir enggak bisa lebih baik dari orang lain. Kamu harus kenali potensi yang kamu miliki dan kembangkan. Harus yakin kamu bisa lebih baik dari orang lain. Saya yakin kamu lebih dari bisa, hanya saja mindset kamu yang harus diubah.”

Aku hanya tersenyum kaku mendengar nasihat panjang lebar dari Kak Aditya. Apa yang dikatakannya ada benarnya juga. Selama ini aku selalu tidak percaya diri dengan potensi yang ku miliki. Aku selalu menganggap aku tidak bisa bergaul dengan baik, tidak seperti Karin. Malu berbicara di depan banyak orang. Baru kali ini ada orang yang mengingatkanku akan hal ini. Terima kasih Kak Adit. 

***

Mungkin kalian mengira cerita selesai sampai di sini dan mereka bertiga pun melamarku secara bersamaan. Tentu saja tidak. Ada banyak konflik yang kami hadapi sebelum sampai ke titik tersebut. Apakah Bram akhirnya menyerah untuk mengejarku? Apakah Bagas menyatakan perasaannya kepadaku sehingga perasaan yang kupendam selama ini terbalaskan? Apakah Kak Aditya suka juga kepadaku seperti yang diharapkan Kak Salsa? Aku akan menjelaskannya secara runut konflik yang kami hadapi, sampai akhirnya aku menentukan pilihan. 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
The Maze Of Madness
3073      1285     1     
Fantasy
Nora tak banyak tahu tentang sihir. Ia hidup dalam ketenangan dan perjalanan normal sebagai seorang gadis dari keluarga bangsawan di kota kecilnya, hingga pada suatu malam ibunya terbunuh oleh kekuatan sihir, begitupun ayahnya bertahun-tahun kemudian. Dan tetap saja, ia masih tidak tahu banyak tentang sihir. Terlalu banyak yang terjadi dalam hidupnya hingga pada saat semua kejadian itu merubah...
Ketos pilihan
378      256     0     
Romance
Pemilihan ketua osis adalah hal yang biasa dan wajar dilakukan setiap satu tahun sekali. Yang tidak wajar adalah ketika Aura berada diantara dua calon ketua osis yang beresiko menghancurkan hatinya karena rahasia dibaliknya. Ini kisah Aura, Alden dan Cena yang mencalonkan ketua osis. Namun, hanya satu pemenangnya. Siapa dia?
Adiksi
4434      1658     2     
Inspirational
Tolong ... Siapa pun, tolong aku ... nafsu ini terlalu besar, tangan ini terlalu gatal untuk mencari, dan mata ini tidak bisa menutup karena ingin melihat. Jika saja aku tidak pernah masuk ke dalam perangkap setan ini, mungkin hidupku akan jauh lebih bahagia. Aku menyesal ... Aku menyesal ... Izinkan aku untuk sembuh. Niatku besar, tetapi mengapa ... mengapa nafsu ini juga sama besarnya!...
The Arcana : Ace of Wands
100      88     1     
Fantasy
Sejak hilang nya Tobiaz, kota West Montero diserang pasukan berzirah perak yang mengerikan. Zack dan Kay terjebak dalam dunia lain bernama Arcana. Terdiri dari empat Kerajaan, Wands, Swords, Pentacles, dan Cups. Zack harus bertahan dari Nefarion, Ksatria Wands yang ingin merebut pedang api dan membunuhnya. Zack dan Kay berhasil kabur, namun harus berhadapan dengan Pascal, pria aneh yang meminta Z...
Mendung (Eccedentesiast)
4015      1370     0     
Romance
Kecewa, terluka adalah hal yang tidak bisa terhindarkan dari kehidupan manusia. Jatuh, terpuruk sampai rasanya tak sanggup lagi untuk bangkit. Perihal kehilangan, kita telah belajar banyak hal. Tentang duka dan tentang takdir yang kuasa. Seiring berjalannya waktu, kita berjalan maju mengikuti arah sang waktu, belajar mencari celah kebahagiaan yang fana. Namun semesta tak pernah memihak k...
Dandelion
3283      1046     0     
Romance
Kuat, Cantik dan Penuh Makna. Tumbuh liar dan bebas. Meskipun sederhana, ia selalu setia di antara ilalang. Seorang pemuda yang kabur dari rumah dan memilih untuk belajar hidup mandiri. Taehyung bertemu dengan Haewon, seorang gadis galak yang menyimpan banyak masalah hidup.
Claudia
3409      1011     1     
Fan Fiction
Claudia Renase Ardhitalko, anak angkat dari pasangan Ciandra Louise Ardhitalko dan Reyno Andika Ardhitalko. Berawal dari Ciandra yang menemukan bayi dari semak-semak lalu ia bawa pulang. Atas persetujuan sang suami, Reyno Ardhitalko bayi tersebut diberi nama Claudia Renase Ardhitalko dan diangkat menjadi anaknya. Claudia tumbuh besar menjadi anak yang cantik dan berprestasi dibidang akade...
Aku Menunggu Kamu
93      83     0     
Romance
sebuah kisah cinta yang terpisahkan oleh jarak dan kabar , walaupun tanpa saling kabar, ceweknya selalu mendo'akan cowoknya dimana pun dia berada, dan akhirnya mereka berjumpa dengan terpisah masing-masing
Archery Lovers
2849      1502     0     
Romance
zahra Nur ramadhanwati, siswa baru yang tidak punya niat untuk ikut ekstrakulikuler apapun karena memiliki sisi trauma saat ia masih di SMP. Akan tetapi rasa trauma itu perlahan hilang ketika berkenalan dengan Mas Darna dan panahan. "Apakah kau bisa mendengarnya mereka" "Suara?" apakah Zahra dapat melewati traumanya dan menemukan tempat yang baik baginya?
KSATRIA DAN PERI BIRU
108      91     0     
Fantasy
Aku masih berlari. Dan masih akan terus berlari untuk meninggalkan tempat ini. Tempat ini bukan duniaku. Mereka menyebutnya Whiteland. Aku berbeda dengan para siswa. Mereka tak mengenal lelah menghadapi rintangan, selalu patuh pada perintah alam semesta. Tapi tidak denganku. Lalu bagaimana bisa aku menghadapi Rick? Seorang ksatria tangguh yang tidak terkalahkan. Seorang pria yang tiba-tiba ...