“Kamu suka juga sama Chairil Anwar?” tanya Bagas kepadaku sambil melirik buku Chairil Anwar, Aku Ini Binatang Jalang yang sedang kugenggam.
“Emm... suka,” jawabku.
“Sama, aku paling suka sajaknya Senja di Pelabuhan Kecil buat Sri Ajati."
“Iya sedih dia ngerasa sendirian, ditinggal kekasih hatinya. Apalagi sajaknya yang judul Hampa, dia tersiksa karena penantian cintanya."
“Kalau kamu suka karya-karya puisi yang lain, aku punya banyak koleksi di kosan. Kapan-kapan aku bawakan.”
“Aku sebenarnya enggak terlalu menggemari sajak atau puisi. Awalnya baca Chairil Anwar karena pengin bisa bikin puisi. Eh, malah tertarik."
Begitulah awal aku mengenali seorang Bagas Pratama. Aku merasa heran, karena aku bisa langsung berbicara banyak dengan seseorang yang baru kukenal. Berbeda dengan diriku yang dulu. Mungkin cara Bagas agak berbeda dengan Bram. Bram terlalu frontal dan agresif. Sedangkan Bagas mengajakku berbicara dengan hal yang kusukai. Kebetulan kami berdua sama-sama suka menulis cerita fiksi. Pertemuan pertama kami tadi saat kami beegabung di Komunitas Sastra yang ada di kampus, bernama Pencinta Literasi.
Bagas dan aku berbeda jurusan, meskipun kami sama-sama di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. Hanya saja aku berada di Program Studi Inggris, sedangkan dia di Program Studi Indonesia. Tidak salah dia mengambil jurusan, karena dia sangat menyukainya.
Kalau Bram masuk jurusan apa? Hey, aku sedang membicarakan Bagas, bukan Bram! Akan tetapi, baiklah, aku akan menjelaskannya. Memang aku lupa menjelaskan tentang jurusan Bram. Dia masuk di Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Awalnya dia ingin masuk di program studi yang sama denganku. Lalu akhirnya dia beralih masuk ke bisnis, karena ayahnya menyuruhnya untuk meneruskan perusahaan. Ya, ayahnya Bram selain menjadi Pejabat Pemerintah, dia juga seorang pengusaha. Saat aku mendengar dia ingin masuk Program Studi Inggris, aku hampir menyerburkan tawa. Jangankan kuliah, dia menyanyikan lagu Twinkle, Twinkle Little Star saja terbata-bata.
Kembali kepada Bagas, kami pun menjadi akrab semenjak pertemuan pertama kali. Mungkin karena kami berdua mempunyai minat dan hobi yang sama. Kami sering membuat cerpen bersama, terkadang di taman kampus, atau di perpustakaan. Bahkan dia mengajakku untuk membuat cerpen berkolaborasi dengannya. Aku yang membuat ide cerita, konflik, ending, sedangkan dia yang menuliskannya dengan diksi-diksinya yang keren. Memang perbedaan cerpen kami berdua adalah dia yang selalu menyajikannya dengan diksi yang menarik, tetapi konfliknya kurang. Sedangkan aku menyajikannya dengan bahasa yang mudah dipahami, tetapi memiliki konflik yang menarik. Bahkan tak jarang endingnya kubuat dengan plot twist. Oleh karena itu aku banyak membaca sajak-sajak dan karya sastra dengan bahasa yang indah, supaya aku mempunyai diksi-diksi yang bagus.
***
“Hai, gadis manis! Nanti siang kamu ada kelas enggak?” tanya Bagas sembari menyamai langkahku yang memasuki lobi fakultas.
“Enggak ada sih. Cuma ada dua mata kuliah sampe jam 11.00. Kenapa emangnya?” tanyaku balik.
“Mau ngajak kamu ke Cerita Café yang ada di Jakarta Timur. Ada Bincang Buku dan Pentas Jagat Sastra sekitar jam tiga sore. Ada komunitas literasi di sana yang rutin baca karya puisi sambil bedah buku di cafe itu. Mau enggak? Aku jamin kamu bakal ketagihan ke sana."
“Sama siapa aja?”
“Kita berdua aja, nanti naik motorku. Kamu tunggu aja di parkiran."
“Emm... bisa enggak kalau perginya enggak berduaan dan perginya naik KRL aja? Aku soalnya neggak boleh dibonceng berduaan cowok sama kakakku,” pintaku dengan pelan. Takut Bagas tersinggung.
“Oh, gitu. Begini deh, nanti aku ajak anak Pencinta Literasi yang lain. Biasanya yang lain juga suka ke sana, tapi aku suka ke sana sendirian. Baru pertama kali ngajak kamu.”
Aku tersipu malu. Satu kelemahanku, aku tidak bisa menyembunyikan semburat kemerahan di pipiku ketika Bagas merayuku. Aku bisa melihatnya jelas saat wajahku terpantul pada cermin di depan dinding pemisah antara toilet pria dan wanita yang sedang kami lewati. Dalam soal merayu wanita, tidak usah ditanyakan lagi. Bagas jagoannya. Ditambah dengan parasnya yang membuat siapa saja tidak bosan memandangnya. Bahkan para mahasiwi di kampus menjulukinya dengan “cowok imut”.
“Ya udah nanti aku bakal taruh motorku di kampus. Kita berangkat bareng-bareng ke stasiun,” cetus Bagas.
Aku pun menganggukkan setuju. Aku suka Bagas tidak pernah memaksaku dan selalu mendengarkanku. Tidak seperti Bram yang selalu memaksa sesuai keinginannya. Bagas mengajak Gilang dan Ezra dari Pencinta Literasi yang kebetulan sahabatnya. Tadinya aku mau mengajak Karin. Kebetulan dia suka menulis puisi seperti Bagas, tetapi dia ada janji dengan keluarganya.
Tepat jam sebelas siang, kami berempat berjalan menuju Stasiun Palmerah dan turun di Stasiun Jatinegara. Saat kami sampai di Cerita Café, aku terkesan dengan rumah berbentuk panggung yang di bawahnya dijadikan parkiran motor. Ornamen cokelat kayu dipadu dengan warna abu-abu membuat kesan lawas dan estetis.
Aku memesan Cappucino, Bagas Espresso, Gilang dan Ezra Americano. Sambil menunggu acara dimulai, kami berempat berbincang-bincang. Tidak disangka kami pun menjadi akrab. Mungkin karena kami berempat sama-sama memiliki minat yang sama. Ketika pembacaan puisi dimulai, kami semua terdiam. Aku tidak percaya bakal sekeren ini. Selain karya Chairil Anwar, karya sastrawan lainnya juga dibacakan. Ditemani dentingan gitar dan raut wajah sang pria yang sangat menghayati tiap bait puisi yang dibacakannya. Kali ini sedang dibacakan karya W. S. Rendra. Ah, andai saja Karin bisa datang. Dia sangat menggilai karya-karyanya W. S. Rendra.
Aku menghayati pembacaan puisi tersebut sambil mencuri-curi pandang ke arah Bagas yang berada di sampingku. Ternyata dia juga menatapku, seakan-akan mengisyaratkan bahwa puisi tadi adalah untukku. Dan kacaunya, puisi yang sedang dibacakan tentang kerinduan kepada seorang kekasih. Aku segera memalingkan wajah menghadap ke arah panggung, dan merasakan degup jantungku yang berdetak kencang. Ada apa ini? Kenapa jantungku berdetak tidak normal dan perutku seperti ada kupu-kupu di dalamnya?
Namun hal tersebut tidak berlangsung lama, karena tanganku dikejutkan dengan getaran yang berasal dari gawaiku. Ketika kuperiksa, ternyata berasal dari aplikasi jadwal salat. Rupanya sudah masuk asar. Aku menunggu beberapa menit, tetapi ketiga pria ini tetap bergeming.
“Eh, di sini ada musala enggak? Udah masuk salat asar nih,” cetusku kepada mereka.
“Di sini enggak ada, udah sini aku antar ke masjid seberang sana,” ujar Bagas.
Kami pun bergegas meninggalkan café dan berjalan menuju masjid. Aku heran, kenapa yang lainnya tidak ikut salat? Namun aku canggung untuk menanyakannya. Setelah selesai salat, ternyata Bagas sudah selesai duluan dan menunggu di undakan tangga teras masjid. Rambutnya terlihat basah, karena air wudu yang menambah ketampanannya. Aku langsung menundukkan pandanganku. Ya Allah kuatkan hati hamba. Kenapa aku lemah hanya karena rambut basah?
“Eh, abis ini kita pulang gimana? Takut kemalaman, enggak enak sama kakakku,” usulku.
“Yah, padahal bincang bukunya baru mau dimulai. Tapi enggak apa-apa deh. Kita pulang duluan aja, gimana? Soalnya aku enggak enak minta Gilang dan Ezra pulang sekarang. Biasanya mereka nongkrong di sini sampe malam. Aku juga enggak bisa ninggalin kamu pulang sendirian. Aku yang ngajak, aku juga harus tanggung jawab."
Aku pun terdiam dan berpikir. Tidak mengapa, lagi pula di kereta banyak orang dan kami tidak berduaan. Aku pun menganggukkan kepala. Bagas menelepon kedua temannya sambil berjalan denganku menuju stasiun. Aku masih belum melupakan pandangannya tadi sewaktu pembacaan puisi di café yang membuat dadaku sesak. Aku pun lebih banyak terdiam.
“Kamu tinggal sama kakakmu? Orangtuamu tinggal di sini juga?” tanyanya.
“Iya, aku tinggal dengan kakakku dan suaminya. Orangtuaku sudah lama bercerai. Mereka udah enggak tinggal bersama,” jawabku.
“Maaf aku enggak tahu.”
“Enggak apa-apa kok.”
“Kamu tinggal di mana?”
“Dekat Stasiun Pesing. Tapi kalau aku pulang sendirian enggak apa-apa kok.”
“Santai. Kosan aku dekat kok di belakang kampus. Motorku aman di parkiran kampus.”
Aku mengangguk tersenyum. Saat kami sampai di Stasiun Pesing, aku dan Bagas berjalan menuju rumah. Sebenarnya jika mengendarai motor, kami bisa sampai hanya sekitar lima menit. Namun aku menikmati perjalanan kami. Terlebih lagi Bagas dengan sigap menghalau motor atau bajaj yang hampir menabrakku. Biasanya aku tidak seteledor ini, apalagi saat aku menyusuri jalanan pasar.
Sesampai kami depan pagar rumah, aku mengajaknya masuk karena merasa tak enak sudah mengantarku. Aku menyuruhnya duduk di bangku teras, lalu aku masuk ke kamar menaruh tas dan pergi ke dapur untuk membuat minuman. Di dapur kebetulan ada Kak Salsa.
“Mau buat minum untuk siapa?” tanyanya.
“Buat teman ada di depan,” jawabku.
“Cewek atau cowok?” Dia menyipitkan sudut mata kanannya. Dia lebih mirip seperti orang terpejam. Ya, kami memiliki genetik mata sipit dari Ibu.
“Emm... cowok. Kakak jangan salah paham. Tadi aku kan abis ke acara pembacaan puisi di café, terus dia nganterin aku pulang. Jadinya aku enggak enak kalau nyuruh dia langsung pulang. Juga aku pergi ke café bareng teman-teman komunitas sastra yang lain kok, enggak berduaan.”
Kak Salsa hanya menggelengkan kepala dan keluar dari dapur. Ketika aku pergi ke teras ternyata Bang Aldi yang baru saja pulang mengisi ceramah sudah duduk di samping Bagas. Entah kenapa Bang Aldi berlagak seperti polisi yang sedang menginterogasi seorang kriminal. Aku hanya menggelengkan kepala sambil menaruh gelas di atas meja. Ketika aku ingin duduk di samping Bagas, Kak Salsa berdeham dan melirikkan bola matanya untuk duduk di kursi yang telah digesernya ke dekat pintu masuk. Apa mereka tidak ada kerjaan lain selain ikut campur urusan adiknya?
Beberapa menit kemudian, aku pun memberanikan diri berbicara. “Bang Aldi enggak capek abis pulang acara nemenin tamu? Istirahat aja enggak apa-apa.”
“Oh ya udah, Abang tinggal dulu,” kata Bang Aldi. Aku pun langsung duduk di kursi tempat Bang Aldi duduk di samping Bagas. Namun sebelumya, Bang Aldi langsung menarik jauh kursi tersebut. Aku langsung menduduki kursi itu setelah Bang Aldi pergi. Kalau tidak cepat, bisa saja kursi ini dipindahkan sampai ke dapur. Aku mengira Bang Aldi pergi ke dalam. Ternyata dia duduk di kursi yang kududuki tadi di samping Kak Salsa. Aku merasa canggung untuk berbicara dengan Bagas, karena ada dua kakakku yang bisa saja menguping walaupun terlihat tak acuh.
“Besok kamu ada kelas?” tanyaku. Aku hanya berani melirik Bagas.
“Enggak ada sih, cuma besok ada pertemuan Pencinta Literasi. Aku ditunjuk sebagai ketua menggantikan Bang Pandu, karena dia udah mau konsen dengan skripsi,” jawabnya.
“Oh ya? Wah, keren. Oh ya udah kalau begitu nanti aku kirim cerpennya ke kamu aja ya, nggak usah ke Bang Pandu.”
“Oke.”
Aku melirik ke arah kedua kakakku. Ternyata mereka hanya pura-pura membaca majalah, tetapi matanya melirik ke arah kami. Aku pun mendengkus kesal. Sepertinya Bagas sadar akan hal itu, karena dia tersenyum. Kemudian dia berpamitan pulang kepadaku dan kedua kakakku.
Meski Bagas telah pulang, tetapi wajahnya tetap terbayang. Tanpa sadar aku tersenyum sendiri. Aku suka saat dia menyisir rambut lurusnya ke belakang. Dan matanya. Iya, matanya yang tajam. Aku rasa, bukan senyumannya yang membuat hatiku berdesir. Buktinya banyak orang yang sering tersenyum, tapi hatiku tetap normal. Itu karena Bagas pintar memainkan tempo lirikan yang bisa membuat jantungku seperti orkestra musik.
Salma: Makasih ya buat hari ini, kalau udah sampai kosan kabari ya....
Kenapa aku jadi impulsif seperti ini? Seharusnya aku tidak mengirim pesan terlebih dahulu kepada lelaki. Tapi aku sudah menahan diri. Jika aku tidak menahan diri, mungkin aku bisa-bisa menyorakkan kerinduan secara frontal.
Aku mencoba menghilangkan Bagas dengan berwudu, karena azan isya telah berkumandang. Untung saja tadi aku dan Bagas sempat salat magrib di stasiun. Usai salat, aku melempar mukena saat mendengar denting notifikasi dari gawaiku.
Bagas: Sama-sama. Ini aku baru aja sampai kosan.
Salma: Maaf ya kalau tadi Kak Salsa dan Bang Aldi buat kamu ngerasa nggak enak atau canggung. Harap maklum kakakku terlalu protektif sama aku semenjak orangtuaku bercerai.
Bagas: Enggak apa-apa kok, aku paham. Wajar aja kakakmu bersikap seperti itu, apalagi punya adek perempuan yang secantik kamu.
Pipiku langsung terasa panas dan jantungku berdegup kencang.
Salma: Selalu deh menggombal.
Bagas: Haha tapi kamu suka, kan?
“Salma, ayo makan! Jangan chattingan mulu!” teriak Kak Salsa yang sudah memasukkan kepalanya ke dalam pintu kamar yang dibukanya.
“Iya, iya ini mau ke sana,” sahutku.
Ah, ganggu aja.
Salma: Gas, aku makan dulu ya udah dipanggil Kakak.
Bagas: Oke, sampai ketemu besok, Cantik.
Sepertinya aku sedang jatuh cinta saat ini. Baru pertama kali aku merasakannya. Perasaan ini tidak kurasakan saat Bram menyatakan perasaannya kepadaku. Ya, aku mengakuinya bahwa aku jatuh cinta kepada Bagas.
***
Pagi-pagi ketika sampai kampus, aku melihat di papan pengumuman bahwa ada perekrutan kru baru majalah milik kampus. Kalau tidak salah, sebelum ini sudah diadakan perekrutan, kenapa dibuka lagi?
“Woy, bengong aja, liat apa?” tanya Karin sambil menepuk bahuku.
“Ini kok ada perekrutan kru baru lagi? Bukannya udah ya sebelumnya? Oh iya, elo kan masuk kru ya,” tanyaku balik.
Entah kenapa semenjak kami di Jakarta, Karin sudah mengubah panggilan di antara kami berdua dengan lo-gue. Aku pun begitu, mengikuti arusnya.
“Iya, kita masih kurang kru nih. Seniornya pada cabut, soalnya pada mau konsen skripsi. Gue aja sampe dijadiin bendahara, padahal baru masuk. Udah ikut aja. Eh, gue ke toilet dulu nih kebelet, bye.” Karin berlari terbirit-birit menuju toilet.
Tiba-tiba ada pesan masuk.
Bagas: Kamu di mana?
Baru saja aku mengetik, aku merasa ada seseorang di sampingku dan terdengar suara dehaman.
“Enggak usah dibalas, orangnya udah disini. Kamu ngapain di sini?” tanya Bagas dengan tersenyum dan tentu saja dengan lirikan mautnya.
“Ini ada perekrutan kru majalah kampus. Si Karin ngajakin aku masuk,” jawabku dan kembali menatap papan pengumuman.
“Oh boleh tuh, daftar bareng yuk. Lumayan, selain di Pencinta Literasi, aku jadi punya alasan banyak ketemu kamu.”
“Kamu sama semua cewek gini ya? Tebar pesona?”
Dia tergelak. Ya, enggak lah, Salsabila, cuma sama kamu doang.”
“Kamu juga aneh, cuma kamu yang manggil aku Salsabila. Awas ketuker sama kakakku. Nama dia Salsa loh.”
“Biarinlah, itu panggilan spesialku untukmu.” Dia mencibir seraya berjalan meninggalkanku.
***
Usai kuliah, aku menemui Bagas di ruang Pencinta Literasi untuk menyerahkan cerpen. Setelah itu, aku berjanji untuk mendaftar jadi kru majalah bersamanya. Aku tidak mengikuti rapat di Pencinta Literasi, karena berbenturan dengan jam kelas. Bagas pun keluar setelah aku mengirim pesan bahwa aku menunggunya di depan pintu. Kami bersama-sama menuju kantor Majalah Suara Pemuda.
Karin pun menyambut kami seraya membukakan pintu.
“Duh, daftarnya berduaan nih. So sweet banget,” goda Karin.
“Kebiasaan nih ngejek mulu! Jangan didengerin, Gas, dia suka ngelantur,” cibirku.
Karin terkekeh. "Gitu aja ngambek. Ayo masuk isi form dulu. Abis itu wawancara,” ajak Karin.
Kami berdua mengisi formulir, kebetulan ada beberapa mahasiswa yang duduk di sofa panjang dalam ruangan. Tak kusangka, banyak juga peminatnya. Ya, memang sebisa mungkin kita harus aktif di kampus. Lumayan untuk menambah curriculum vitae.
“Oh ya, nanti Salma diwawancara sama Pemimpin Redaksi kita Kak Aditya dan Bagas sama Kak Hendra Pemimpin Umum,” ujar Karin.
Aditya Indra Nugraha, siapa sih yang tidak kenal dengan sosoknya? Dia adalah termasuk orang terkeren di kampus. Ya, pasti kalian bisa menebak siapa yang akan aku perkenalkan selanjutnya. Dialah Aditya, yang sama sekali di luar dugaanku, tiba-tiba menjadi salah satu pria selain Bagas dan Bram yang mengisi ruang hatiku.