Dua tahun sebelumnya.
“Salma!” teriak Bram.
Aku masih tidak mengacuhkannya.
“Salma Aina Salsabila! Bisa enggak sih beri aku kesempatan untuk berbicara?” protesnya.
“Aku sudah bilang kalau aku enggak mau pacaran. Kamu enggak sadar kalau aku berjilbab? Apa kata orang nanti kalau aku pacaran,” jawabku dengan ketus sambil menjaga jarak dengan Bram yang berjalan mendekatiku.
“Banyak kok yang berjilbab pacaran. Lagian kan enak aku bisa antar jemput kamu pake mobil dari sekolah ke rumah. Kamu jadi enggak kepanasan naik angkot." Dia mengedikkan bahu.
“Kamu ya kalau aku bilang enggak ya enggak. Lagian aku sama sekali nggak tertarik dengan hartamu! Oh iya, satu lagi, jangan pernah ikutin aku lagi dan paksa aku,” tandasku.
Kira-kira begitulah awal mula reaksiku ketika Bram memintaku untuk menjadi pacarnya. Pria sombong itu mengira semuanya bisa dibeli oleh uang. Dia juga mengira semua wanita bakal menerimanya menjadi pacar.
Bukan hanya memintaku menjadi pacarnya, sebelumnya dia selalu mengikutiku ke mana pun aku pergi. Ke kantin, hadir di ekstrakurikuler yang sama, organisasi yang sama, sampai-sampai beralasan ingin ikut belajar kelompok bersama.
Kepalaku serasa pecah menghadapinya yang keras kepala. Sampai-sampai teman-teman di sekolah menganggapku sok jual mahal.
“Eh aku tuh geli tahu ngelihat ada cewek sok banget enggak mau dideketin. Padahal tuh cowok apa kurangnya coba?” cetus Siska.
“Iya bener! Aku aja mau kalau Bram nembak aku. Enggak pake mikir, langsung terima. Bayangin aja tiap hari dianterin pake mobil, dibeliin makeup mahal,” sahut Diana sembari tersenyum-senyum. Mungkin dia sedang membayangkan semua hal yang dikatakannya.
“Ngaca! Mana mau dia sama kamu? Lagian si cewek naif banget. Padahal dia sama ibunya enggak jauh beda buat urusan cowok,” sindir Ela sambil melirikku yang sibuk membaca buku.
Karin, sahabatku yang duduk di sebelahku sontak berdiri dan ingin meneriaki mereka. Namun tanganku menahannya, lantas aku menggelengkan kepala supaya Karin duduk kembali. Sepulang sekolah, dia memarahiku karena dia tidak bisa membelaku. Aku sebenarnya ingin sekali menampar mulut-mulut mereka yang tidak tahu diri itu. Namun aku sedang tidak ingin membuat masalah. Terlebih lagi aku teringat banyak masalah di rumah. Aku tak mau membuat masalah di sekolah juga.
Jika ditanya, apakah aku sakit hati? Tentu saja. Apalagi mereka membawa-bawa nama Ibu. Bagaimanapun juga aku tidak terima Ibu dibicarakan seperti itu. Aku masih menghormatinya sebagai ibu yang telah mengorbankan nyawanya untuk melahirkanku.
Aku tidak terlalu ambil pusing. Lagi pula aku yakin gosip itu perlahan akan meredup. Apakah kalian tahu, kenapa orang-orang menggosipiku sedemikian rupa? Bram itu menyatakan perasaaannya kepadaku di tengah lapangan basket sekolah. Sambil berlutut dan menyerahkan rangkaian bunga dan cincin yang jika dilirik saja orang-orang tahu berapa lembar uang yang harus dikeluarkannya. Aku merasa jijik, sudah seperti sinetron saja. Tentu saja aku menolaknya. Menurutku sebuah perasaan itu privasi, tidak harus diumbar di depan banyak orang. Dia malah menjadikan perasaan tersebut seperti mainan yang sedang diobral. Jelas saja aku marah dan kabur! Apa kata guru-guru di sekolah?
Jika kalian mengira Bram akan berhenti sampai aku berkata tegas untuk menjauhiku, kalian salah! Dia masih saja seperti dulu. Selalu mengikutiku dan Karin pergi ke kantin, bahkan sok-sokan membayari makananku. Karin beberapa kali memarahinya. Namun dasarnya Bram, sangat keras kepala.
Kalian bertanya, apa yang spesial dari Bram? Jujur, aku kesulitan menjawab. Mungkin yang membuat dia popular di sekolah SMA-ku, karena dia orang terkaya di sekolah. Untuk ukuran paras, biasa saja. Namun karena harta berlimpah, menjadikannya berpenampilan bak artis popular. Aku pribadi tidak suka dengan pria yang berdandan dan berpenampilan berlebih. Berapa kali Bram ditegur oleh guru BK, karena rambut gondrongnya, anting-anting di telinganya. Menurutku itu sangatlah norak.
Selain itu, untuk masalah akademis, Bram termasuk anak yang kemampuannya di bawah. Tak heran jika namanya sering tertulis dalam daftar remedial. Ya, dia hanya seorang anak mama yang hobi menghamburkan duit. Kalau sifatnya? Aku sama sekali tidak suka. Apalagi sifat sombongnya.
Bram selalu saja berusaha mencocokan diri denganku. Saat aku mendaftar ke klub sastra, dia pun sok-sokan memahami sastra. Bahkan tak segan-segan dia pamer bahwa dia baru saja membeli buku-buku berbau sastra yang dibelinya di Gramedia. Aku yakin dia menyuruh mbak-mbak Gramedia untuk memilihkannya.
Lalu aku pun mencoba untuk menguji kemampuan Bram. Aku mengambil salah satu buku yang kubawa dan menunjukkannya.
“Kamu tahu ini buku apa?” tanyaku kepadanya.
“Tahu. Itu buku orang lagi ngerokok,” jawabnya sembari terkekeh.
Bodoh! Anak SD juga tahu kalau gambar sampul buku ini adalah orang yang sedang merokok.
“Ini buku kumpulan puisinya Chairil Anwar,” jawabku ketus. "Kan ada tulisannya!"
“Iya, iya, aku kan bercanda. Lagian juga isinya juga paling sama, puisi gitu kan?” sahutnya sembari memajukan bawah bibirnya. Sombong!
“Kamu tahu enggak siapa Chairil Anwar? Coba sebutin salah satu puisinya Chairil Anwar! Enggak harus semuanya. Satu bait aja deh," tantangku sembari menyilangkan kedua tanganku.
Dia pun terdiam.
“Enggak usah sok-sokan ikut klub sastra deh. Kamu nulis puisi satu bait aja bisa sampe setahun mikirnya!" pungkasku sembari meninggalkannya.
***
Dua tahun kemudian.
Aku terkejut dengan kedatangan Bram ke rumahku. Aku mengira ketika sudah lulus SMA, aku bisa terlepas darinya. Rupanya dia tahu bahwa aku diterima di Universitas Pemuda Bangsa di Jakarta. Bisa aku tebak, pasti dia tahu dari salah satu biang gosip di kelasku. Rupanya ada yang mengintip ketika aku sedang mengisi angket universitas yang dibagikan sekolah. Ya, memang aku baru saja menerima kabar dari universitas bahwa aku lulus tes masuk lewat jalur beasiswa. Aku sangat bahagia, akhirnya aku diterima di kampus yang terkenal bergengsi di ibukota.
Lagi-lagi aku terkejut bahwa Bram juga akan kuliah di universitas yang sama. Aku pun merasa heran, kenapa Bram yang prestasinya tidak unggul bisa diterima di universitas yang sama?
"Rektor Universitas Pemuda Bangsa itu teman baiknya Papa," terang Bram kepada Ibu.
Sudah kuduga Bram bermain kotor.
"Wah, bagus itu! Tahu begitu Salma daftar bareng kamu aja. Kasihan dia belajar sampe enggak tahu waktu. Belajar terus sampe enggak pernah keluar jalan-jalan. Harusnya dia bisa santai dan punya banyak waktu bareng kamu," sahut Ibu dramatis.
Rasanya aku ingin muntah! Tahu enggak, Bu? Aku lebih bahagia belajar sampai jungkir balik ketimbang disuruh jalan-jalan bersama Bram. Tidak sampa di situ kegilaan Ibu, dia menitipkanku kepada Bram selama kuliah. Ibu ingin Bram menjadi sopir pribadiku. Ibu bahkan menjamin Bram untuk menjadi calon menantunya. Aku mendengar itu merasa sangat kesal.
“Ibu, bisa enggak sih minta pendapatku dulu? Lagian kan aku masih mau kuliah dan belum ingin menikah,” protesku.
“Ya, kan enggak apa-apa, Sayang. Biar Nak Bram enggak diambil sama yang lain. Jangan khawatir, Nak Bram, Salma emang anaknya malu-malu. Kalau Nak Bram sering ngedeketin, nanti juga lama-lama luluh,” kata Ibu sambil tersenyum kepada Bram.
“Pokoknya Tante enggak usah khawatir. Bram bakalan antar jemput Salma dari rumah Kak Salsa ke kampus tiap hari pake mobil. Jadinya Salma enggak usah berdesak-desakan naik kereta. Bram juga bakal berusaha meluluhkan hati Salma dan berjanji akan melamarnya setelah kuliah selesai,” ujarnya sambil tersenyum puas kepadaku.
Aku langsung masuk ke kamar dan tak lupa membanting pintunya.
***
Hari pertama kuliah, aku semangat berangkat ke kampus. Kebetulan rumah Kak Salsa dekat dengan stasiun KRL dan kampusku juga dekat dengan stasiun. Selesai sarapan, aku masuk ke dalam kamar untuk mengambil tas ransel dan beberapa buku. Tiba-tiba ada yang mengetuk kamarku.
“Ma, ada cowok nunggu di bangku teras, katanya teman kamu mau nganter kamu ke kampus,” kata Kak Salsa sembari melongokkan kepalanya dari pintu.
“Siapa, Kak? Perasaan aku enggak ada janji sama ...,” aku terdiam dan langsung mengingat seseorang. “Pasti si Bram! Kok bisa-bisanya dia tahu alamat rumah ini?! Pasti ini kerjaannya Ibu!” teriakku frustrasi.
“Bram siapa sih, Ma? Kamu punya pacar?” tanya Kak Salsa.
“Pacar? Ih, amit-amit! Itu loh kak temen SMA aku dulu yang dijodohin sama Ibu.”
“Oh, yang itu. Itu Abang ngomel-ngomel di dapur. Masa adek iparnya mau berdua-duaan naik mobil ke kampus sama yang bukan mahram. Abang udah ngira itu pacar kamu. Ya udah cepat keluar sana,” terang Kak Salsa.
Aku langsung menuju teras dan langsung melihat Bram tersenyum melihatku yang memelototinya. Kak Salsa pergi ke dapur, sepertinya dia ingin menjelaskan keadaan ini kepada Bang Aldi.
“Kamu ngapain sih ke sini? Aku enggak butuh dianter ke kampus, lagian cuma beberapa stasiun dari rumah ke kampus,” ujarku ketus.
“Aku cuma ngikutin pesan dari ibu kamu kok. Masa kamu mau ngebantah apa kata orangtua?” Dia mengedikkan bahu.
Aku pun terdiam dan tidak menjawab. Tidak lama setelah Bram berbicara, aku melihat Kak Salsa dan Bang Aldi datang ke arah teras.
“Salma, kamu pergi ke kampus naik KRL saja," ujar Bang Aldi. Lalu dia menatap Bram. "Pokoknya mulai sekarang kamu enggak usah antar-antar Salma ke mana pun. Enggak baik kalau terlihat berduaan. Kalaupun mau datang menemui Salma di sini, harus di teras dan ditemani saya atau istri saya."
“Tapi saya dapat amanah dari ibunya Salma untuk mengantarnya kemana pun Salma pergi,” bantah Bram.
“Sekarang saya dan istri yang menjadi walinya di sini menggantikan orangtuanya. Kita berdua diberi amanah dari ayahnya. Sudah, Salma, sebaiknya kamu segera berangkat, nanti telat,” tandas Bang Aldi.
Setelah bersalaman dengan Kak Salsa dan memberi salam, aku pun berjalan cepat ke arah stasiun meninggalkan Bram yang masih diceramahi oleh Bang Aldi.
***
Kebetulan hari ini masih masa pengenalan lingkungan kampus, jadi kuliah belum berjalan. Beruntung Karin juga satu kampus dan berada di Program Studi Inggris bersamaku. Aku jadi tidak kesepian dan berhasil mendapatkan teman baru berkat Karin.
Sesampaiku di rumah, aku salat magrib dan makan malam bersama. Lalu Bang Aldi kembali membicarakan hal yang tadi. Dia dan Kak Salsa akan berbicara kepada Ibu masalah Bram dan membujuknya agar berhenti menjodohkanku dengan Bram.
“Kamu enggak usah takut ya, Ma, nanti Kakak sama Bang Aldi yang bilangin ke Ibu soal Bram,” cetus Kak Salsa.
Aku pun menganggukkan kepalaku.
“Kamu tahu kan, Ma, kalau Abang itu ustaz. Kalau tetangga lihat kamu berduaan dengan lelaki yang bukan mahram pasti bakal jadi bahan omongan. Meskipun bukan pacar kamu, tetapi kamu juga harus menjaga jarak sama lawan jenis. Pokoknya jangan terima tamu lelaki kalau kita berdua enggak di rumah. Kalau yang bertamu teman lelaki kamu, harus kami temani. Tidak boleh berduaan,” jelas Bang Aldi.
“Tapi kan aneh, Bang, kalau ditemani sama Mas dan Kakak. Nanti malah orangnya enggak nyaman ngobrolnya, kecuali kalo Bram yang ke sini. Usir aja enggak apa-apa." Aku mencibir.
“Salma, kamu kan udah Kakak bilang kalau perempuan dan lelaki berduaan, yang ketiga itu setan. Mau Abang kamu ini ustaz atau enggak, kamu harus jaga jarak sama lawan jenis. Baik itu Bram atau cowok lain. Kakak paham kamu enggak suka sama Bram, tapi ingat peraturan ini juga bakal berlaku sama cowok yang kamu suka,” tandas Kak Salsa.
“Iya, iya, Kak, aku paham. Kan enggak sekali ini Kakak ceramahin aku soal lawan jenis,” sahutku sambil buru-buru mengambil piring bekas makan dan lekas pergi.
“Tuh, lihat kan, Bang, ada yang lebih susah dibilangin dari aku,” sindir Kak Salsa sebelum aku membalikkan badan. Aku membalasnya dengan menjulurkan lidah.
Ketika sampai di kamar aku memikirkan apa yang dikatakan Kak Salsa. Cowok yang aku suka? Aku berpikir, apa nanti di kampus aku akan bertemu pria idamanku? Selama ini aku tidak pernah berpikir ke arah sana. Pasalnya, kehidupanku pada masa SMA sangat berantakan setelah perceraian orangtuaku. Aku yang dulu ketika SMP dikenal sebagai orang yang ceria, berubah menjadi seorang gadis yang pendiam. Bahkan teman-teman menyebutku sebagai “putri es”.
Jika aku tidak menyukai Bram, karena kami berada di dunia yang berbeda. Lantas, apakah jika aku bertemu dengan seorang pria yang mempunyai banyak kesamaan, aku akan jatuh hati kepadanya? Benar, dia adalah pria yang akan kujelaskan setelah ini. Pria yang benar-benar telah mencuri hatiku. Dialah Bagas Pratama, sang pujangga melankolis yang bisa membuat hati wanita mana pun luluh.