Bagiku menentukan pilihan adalah hal tersulit dalam hidupku. Jangankan hal besar, untuk hal sepele seperti memilih restauran untuk makan bersama, memilih judul cerita, dan hal-hal sepele lainnya saja aku merasa kebingungan.
Apalagi di saat aku menghadapi kesulitan besar. Menentukan pilihan besar dalam hidupku. Pasti kalian bisa menebak bukan, apa yang harus aku tentukan di penghujung umurku yang lima tahun lagi berkepala tiga? Ya, menentukan calon suami. Hal ini membuatku dirundung kegelisahan. Mungkin tidak sulit jika hanya ada satu pilihan, tetapi ada tiga sosok pria yang mengisi hatiku. Terdengar sombong ya? Tapi itulah realita yang kuhadapi.
Dulu ketika SMP, aku selalu membayangkan mempunyai kekasih yang romantis, bisa membuat puisi, tampan, dan bisa bermain gitar. Akan tetapi di umur yang beranjak dewasa, aku sadar bahwa dalam menentukan suami berbeda. Tidak seperti pria idaman yang digambarkan oleh roman picisan. Hey, kamu harus ingat Salma, bahwa ini bukan kehidupan fiksi! Ini sebuah realita kehidupan!
Tidak semua manusia sempurna. Tidak semua orang mengerti perasaan kita. Terkadang kita harus mengalah dan mencoba memahami orang lain. Akhirnya aku memahami bahwa memilih pasangan bukan mencari kesempurnaan, tetapi kenyamanan. Dengan kenyamanan kita bisa memahami kekurangan satu sama lain dan berusaha melengkapi, bukan menuntut yang lebih. Jika memilih pasangan hanya terpaku pada yang terlihat mata, maka ketika hilang, rasa yang pernah ada pun hilang.
Itulah yang dialami kedua orangtuaku. Ketika orang-orang melihat keluarga kami, pasti membuat siapa pun iri. Mereka hanya melihat kedua pasangan yang berparas tampan dan cantik, kaya raya, dikaruniai dua anak perempuan yang cantik dan berprestasi. Semua terasa sempurna. Namun, itu karena kedua orangtuaku pintar memainkan peran layaknya artis Hollywood. Mereka layak mendapatkan Best Couple Awards. Nahas, semuanya berakhir ketika mereka berpisah. Aku yang baru saja menginjakkan kaki di jenjang SMA harus berhadapan dengan realita perceraian kedua orangtuaku.
Aku pindah dari Jakarta ke kota tempat keluarga ibu berada, yaitu Bandung. Sementara Ayah menetap di kota kelahiranku. Kakak perempuanku-Kak Salsa-ketika itu berkuliah di Kairo, Mesir, jadi hanya aku yang menyaksikan keruntuhan keluarga kami. Selang berapa lama, Ayah sudah menikah dan harmonis dengan keluarga barunya. Sedangkan Ibu masih saja dengan standar tingginya dan bergonta-ganti pasangan. Asal pria tersebut mempunyai kantong tebal, ibu langsung terpincut.
Aku sering merasa stres, maka tak jarang aku menelepon Kak Salsa dan menangis. Bahkan parahnya aku sering kabur dari rumah. Penyebabnya, seorang pria yang mendekati Ibu datang ke rumah. Ketika itu aku sedang menyuguhkan minuman dan ibu sedang ada di kamar. Pria itu melihat poto Ibu bersama kedua anaknya yang digantung di ruang tamu seraya berkata, "Kakakmu cantik ya. Kamu juga cantik, lebih cantik malah." Sembari berkata hal tersebut, dia tersenyum yang menurutku sangat mengerikan. Sontak bulu kudukku berdiri. Setelah meletakkan gelas di atas meja, aku berlari ke dalam kamar. Sampai tidak sadar nampan kubawa ke dalam dekapan.
Ketika pria itu pulang, aku menyuruh Ibu untuk membatalkan rencana pernikahannya. Namun Ibu malah memarahiku dan menurutnya apa yang diucapkan oleh pria itu adalah sebuah pujian. Sebaliknya, aku justru mempunyai firasat buruk akan hal ini. Aku pun kabur dari rumah. Semenjak itu, aku sering tidak pulang ke rumah. Aku menjadi krisis kepercayaan terhadap orang-orang di sekitarku.
Sampai beberapa tahun kemudian, Kak Salsa pulang dari Mesir dan menikahi seorang ustaz yang sedang masyhur. Kebetulan mereka berdua sama-sama berkuliah di Universitas yang sama. Awalnya Ibu tidak setuju dan berusaha menjodohkan Kak Salsa dengan seorang pengusaha kaya kenalannya. Namun Kak Salsa berhasil membujuknya. Setelah itu, Kak Salsa dan suaminya membawaku kembali ke Jakarta untuk tinggal bersama. Mereka tak tega melihatku yang sering kabur dari rumah dan stres tinggal bersama Ibu. Kebetulan aku ingin melanjutkan kuliah di Jakarta.
Ya, sekarang kondisiku sedikit membaik setelah tinggal dengan Kak Salsa dan Bang Aldi, suaminya. Emm... kabar Ibu? Ya, masih sama seperti yang dulu, bergonta-ganti pasangan. Untuk yang sekarang saja aku tidak tahu sudah berapa kali Ibu menikah. Akan tetapi beruntung Kak Salsa tidak seperti itu. Dia merupakan istri salehah yang taat kepada suaminya.
Tak salah dulu Ayah memperjuangkan Kak Salsa untuk berkuliah di Universitas Al-Azhar Kairo. Sedangkan aku? Sepertinya terlambat, prestasiku menurun drastis semenjak perceraian orangtuaku. Aku masih bersyukur bisa meneruskan ke jenjang kuliah. Tidak terpikir olehku untuk berkuliah di luar negeri. Aku malah tidak menyangka jika aku diterima di Universitas Pemuda Bangsa, kampus bergengsi di Jakarta. Jalur beasiswa pula.
Oleh karena itu, Kak Salsa bersikeras untuk tinggal bersama supaya keadaan psikisku membaik.
Namun, siapa sangka kehidupanku berjalan mulus? Di belakangku ternyata Ibu sudah mencoba mendekatkanku dengan salah satu temanku di SMA yang terkenal kaya raya. Bahkan ketika aku pindah ke Jakarta, Ibu menitipkanku kepada Bram untuk mengantar ke mana pun aku pergi. Ya, nama pria itu Bramantyo Dwiputra. Dia adalah salah satu dari ketiga pilihanku yang aku tentukan untuk menjadi calon suamiku. Cerita kali ini akan diawali dengan namanya.