Berita duka kematian Park Hwanrim dan istrinya telah didengar oleh Kim Hyunsu. Langit pun sepertinya ikut berduka, hujan pun turun di hari pemakaman Park Hwanrim dan Park Hayoung. Kim Hyunsu tak pernah menaruh dendam pada pria tersebut, kendati dulu pria itu pernah mengkhianatinya dan membuat perusahaannya hampir di ujung kehancuran.
Sebagai rasa hormatnya pada Park Hwanrim, Kim Hyunsu datang ke pemakanan. Pria tua itu datang dengan di temani oleh Kim Taehyung, dan yang membuat Taehyung terkejut, ketika dia mendengar bahwa Park Junghyun pun di rawat di Rumah Sakit karna tekanan batin.
Setelah menghadiri acara pemakaman kedua orangtua Park Junghyun, Taehyung berencana akan menjenguk Junghyun di Rumah Sakit.
Singkat cerita, setelah mengantar Kakeknya pulang, Taehyung langsung meluncur ke Rumah Sakit yang dituju. Namun sayang, pasien tak boleh di jenguk. Taehyung hanya bisa bertanya keadaan Junghyun pada Dokter yang menanganinya.
"Maaf, pasien tidak boleh di jenguk!"
"Tapi Saya sahabatnya, Dok!" sahut Taehyung.
"Maaf sekali Tuan, tapi memang pasien tidak boleh di jenguk untuk saat ini. Mungkin Tuan boleh kembali kesini di lain waktu!"
"Tapi apa boleh Saya mengetahui keadaannya?" tanya Taehyung pada Dokter itu. Dokter itu pun menceritakan detail keadaan Park Junghyun seperti apa.
"Terimakasih, Dok. Saya akan kembali lagi kesini untuk menjenguknya di lain waktu," ujar Taehyung.
"Silahkan tinggalkan nomor yang bisa di hubungi. Kalau terjadi sesuatu, kami akan menghubungi Anda!"
Setelah mengetahui keadaan Junghyun, Taehyung bergegas segera kembali ke rumah Kakeknya.
Rencana Taehyung setelah ini, dia ingin kembali ke Daegu untuk memperbaiki hubungan antara Ayahnya dan Kakeknya. Setelah urusan Kakek dan Ayahnya selesai, dia akan kembali mencari keberadaan Haewon.
Sekembalian dari Rumah Sakit, justru Taehyung dikejutkan dengan sosok keberadaan tamu di rumah Kakeknya. Sosok tamu itu tak lain adalah Kakaknya sendiri, Kim Taejung.
"Dari mana saja kau? Kenapa kau harus membuatku menunggu lama!" ucap Taejung.
Taehyung menaikkan alisnya, "kau menungguku? Untuk apa?" tanyanya santai.
"Bagaimana?" Taejung balik bertanya pada Taehyung.
"Apanya yang bagaimana?" Taehyung terlihat bingung.
"Apa kau menerima tawaran dari Kakek?" tanya Taejung.
Taehyung memperhatikan keadaan sekeliling lalu dia menatap Taejung dan mengangkat bahunya.
"Apa maksud dari bahasa tubuhmu itu? Apa kau menolaknya?" tanyanya.
"Aku masih ada urusan yang mau aku selesaikan!" sahutnya.
"Urusan apa?" tanya Taejung berusaha mengorek-ngorek.
"Ah, kau ini terlalu kepo!" Taehyung berdiri dan melangkah menaiki tangga.
"Eh, kau mau kemana?" teriaknya pada Taehyung.
"Aku baru dari pemakaman dan Rumah Saki, aku mau membersihkan diri, kenapa? Mau ikut?" tanyanya menoleh menatap Kakaknya. Taejung hanya mengepalkan tangannya. Kim Taehyung hanya tersenyum dan melanjutkan menaiki anak tangga.
"Wah, dia benar-benar sudah berubah. Lumayanlah dari pada lumanyun," Pemuda itu terdiam sebentar menatap punggung Taehyung yang akhirnya hilang di atas sana, "hmm ... sepertinya aku belum begitu yakin kalau dia benar-benar sudah berubah!" beonya mengangkat bahunya lalu meraih cangkir yang ada di meja.
Kita lihat saja nanti, apa yang akan terjadi setelah ini! 'batinnya.
Tujuh bulan sudah Taehyung dan Taejung tidak bertemu. Sejak kepergian Taehyung dari rumah malam itu, dia sama sekali tak pernah ketemu dengan Ayah atau Kakaknya. Dia hanya sekali pulang dan bertemu dengan Ibunya. Kini mereka berdua bertemu lagi di rumah sang Kakek.
ππππππ
Sementara itu disebuah kampung paling ujung, seorang gadis sedang sibuk di dapur. Gadis itu sibuk menyelimuti sayap ayam yang dibelinya tadi pagi dengan tepung lalu membiarkannya selama tiga menit agar bumbunya meresap kemudian menggorengnya. Beberapa menit setelah matang, gadis itu menyiapkan campuran saos tomat dan Gochujang serta memberinya sedikit campuran madu. Campuran saos Gochujang dan madu itu kemudian dimasak sampai mengental. Setelah saos mengental, Haewon melumuri sayap ayam yang baru dia goreng dengan campuran saos tersebut hingga semua sayap ayam tertutup saos Gochujang dan terakhir Haewon menaburi sayap ayam itu dengan taburan biji wijen putih.
Haewon meletakkan masakannya itu di atas meja makan beserta dua mangkok berisi nasi untuk Ayahnya dan dirinya.
"Wah, anak Ayah masak apa?" tanya Go Hwijae. Pria itu keluar dari kamarnya sambil memegangi perutnya lalu melangkah dan menarik kursi kemudian duduk di kursi itu.
"Yangnyeom Tongdak, Ayah!" sahut Haewon tersenyum.
"Kapan kau membeli bahan-bahannya?" tanya Ayahnya lagi.
"Tadi subuh di pasar tradisional, Ayah."
Haewon menutup sebuah kotak bekal makan dan menyodorkannya pada sang Ayah.
"Apa ini?" tanyanya lagi.
"Itu bekal makan siang Ayah!" balas Haewon.
Go Hwijae merasa sangat bahagia, pria itu menatap putrinya. "Terimakasih, Sayang."
"Kenapa Ayah menatapku seperti itu? Eh, Ayah menangis?"
"Ah, tidak. Ayah hanya terharu," Go Hwijae membuka kotak bekal tersebut, "Haewon-ah, apa ini tidak kebanyakan?" tanyanya.
"Kalau Ayah merasa itu kebanyakan, nanti Ayah bisa berbagi dengan rekan-rekan Ayah."
"Ah, benar juga. Baiklah Ayah berangkat sekarang, ya!" ujarnya lalu bangkit dari duduknya.
"Ayah tidak makan dulu?" tanya Haewon.
"Tidak, Ayah masih kenyang. Lagi pula bekal yang kau siapkan untuk Ayah ini juga banyak isinya!" Ayah Hwijae mengangkat kotak bekal yang dia pegang. "Terimakasih ya, untuk bekalnya. Ayah jadi semangat kerja!" imbuhnya.
"Sama-sama Ayah!" balasnya tersenyum.
Pria itu keluar dari rumah dan menghampiri sebuah sepeda yang tersandar di samping rumahnya, lalu di menaruh kotak bekalnya di ranjang depan kemudian menaiki sepeda itu.
"Ayaaah!!!" panggil Haewon dari dalam rumah. Go Hwijae mengurungkan mengayuh sepedanya dan menoleh kearah datangnya suara tersebut.
"Ada apa?"
"Sepertinya Ayah melupakan botol minuman Ayah." Haewon mengangkat botol minuman ke atas.
Gadis itu berlari menghampiri Ayahnya dan menyerahkan sebotol air minum pada Ayahnya.
"Sekali lagi terimakasih, ya. Ayah berangkat dulu. Baik-baik di rumah!" Go Hwijae mengayuh sepedanya pelan.
"Hati-hati, Ayah!" teriak Haewon sembari melambaikan tangannya. "Andai aku di perbolehkan bekerja lagi. Kenapa Ayah melarangku bekerja!" gerutuknya masih menatap Ayahnya yang mengayuh sepeda sampai hilang di belokan depan sana. Haewon kembali masuk ke dalam rumah dan duduk di depan meja makan. Dia kembali memikirkan sang Ayah yang melarangnya untuk bekerja, tetapi justru malah sang Ayah-lah yang bekerja di sebuah apotik herbal di kampungnya.
Go Haewon tetap tak bisa tinggal diam, dia tetap berusaha mencari info kerja. Di samping itu pun, dia mempunyai kesibukan lain yaitu mengambil bunga-bunga lotus di rumah Bibi Ahn dan mengantarnya ke apotik tempat Ayahnya bekerja.
Pagi menjelang siang, saatnya Haewon bersiap-siap mengambil bunga-bunga lotus di rumah Bibi Ahn. Dia mengayuh sepedanya menyusuri jalanan desa.
Jalanan desa yang kanan-kirinya penuh dengan pemandangan sawah-sawah yang mulai menghijau. Jika malam tiba akan banyak kelap-kelip kunang-kunang yang berterbangan menghiasi tempat tersebut.
Sesampai di rumah Bibi Ahn, Haewon menyandarkan sepedanya di dinding. Dia segera menyapa Bibi Ahn yang memang sudah menunggunya.
"Annyeong Haseyo, Bibi Ahn ...." sapa Haewon ramah dengan senyuman di kulum.
Bibi Ahn tersenyum pada Haewon, "hari ini hanya sedikit yang bisa Bibi ambil. Tolong antar bunga-bunga ini ke apotik Paman Ahn ya," pinta Bibi Ahn.
"Baik, Bi!" sahutnya tegas.
Paman dan Bibi Ahn, orang-orang pertama yang membantu memberikan pekerjaan pada Ayahnya dan Haewon pun menyetujui ketika diminta tolong Bibi Ahn untuk mengantarkan bunga lotus ke apotik.
Kembali Go Haewon mengayuh sepedanya menuju apotik. Sampai di apotik bertepatan dengan jam makan siang. Haewon segera membawa keranjang kecil yang berisi bunga lotus. Di apotik tersebut Haewon bertemu dengan Ayahnya yang sedang beristirahat.
"Haewon-ah, ayo sini makan siang bersama. Jangan menolak!" ajak Paman Ahn.
"Baiklah, kalau Paman memaksa."
Gadis itu segera berbaur mendekat dan duduk di samping Ayahnya. Go Hwijae segera membuka kotak bekal makan yang tadi pagi disiapkan oleh Haewon, dan memang benar, Haewon mengisi kotak bekal itu terlalu banyak. Ayah Hwijae pun menyuruh kedua dan Paman Ahn untuk mencoba Yangnyeom Tongdak buatan Haewon.
"Waah, ini sangat enak sekali!" puji Paman Ahn. Kedua rekan Go Hwijae pun memuji masakan Haewon.
"Kau membelinya dimana?" tanyanya.
"Ini masakan putriku,"
"Aah, benarkah?" ucapnya lalu menoleh kearah Haewon. Gadis itu hanya tersenyum.
"Paman boleh pesan 2 porsi untuk besok?" tanya Paman Ahn menatap Haewon yang bengong.
Ayah Hwijae pun menyenggol kaki Haewon, dan gadis itu tersadar dari keterbengongannya.
"Apa Paman boleh memesan 2 porsi untuk besok?" tanyanya mengulangi kalimat itu.
"Bo-boleh Paman, 2 porsi ya!" jawab Haewon sambil jari-jarinya membentuk huruf V.
"Nanti 1 porsi kau antarkan ke rumah Bibi, dan satunya lagi kau bisa antar kesini," jelas Paman Ahn.
"Baik Paman!" sahutnya tersenyum.
"Aku pun juga mau pesan untuk besok!"
"Kalau begitu aku juga pesan!"
Rekan-rekan kerja Ayah Haewon, sepertinya memberikan peluang emas bagi Haewon.
"Kenapa kau tidak menjualnya secara online saja?" saran Paman Ahn. "Nanti Paman akan membantu mempromosikannya."
"Benarkah Paman?" ujar Haewon berbinar-binar.
Paman Ahn mengangguk, "di desa ini belum ada makanan seperti ini. Mungkin dengan cara seperti ini, bisa menjadi bisnis buatmu."
πΎ