Di saat candaan membuat hati ini begitu bahagia. Sebuah senyuman menutupi luka di hati. Saat luka itu timbul lagi, rasa perih akan di rasa lagi. Ya, sangat sakit tapi tidak mengeluarkan darah sedikit pun.
Itulah yang dirasa seorang gadis ketika di pertemukan untuk kesekian kali ketika dia kembali menginjakkan kakinya ke Seoul. Bukan hanya dia yang harus di temui Haewon. Gadis itupun harus bertatap muka dengan dia yang telah menelantarkannya.
Haewon begitu terkejut saat itu, dia harus kembali bertemu dan bertatap muka dengan dia dan juga dia.
Dia yang telah menoreh luka dihati serta dia-lah membuat Haewon harus merasakan sakit hati yang teramat sangat.
"Haewon-ah, biar Ibu jelaskan dulu!" pinta wanita itu.
"Tak ada yang perlu dijelaskan lagi. Semua sudah jelas dan sudah terjawab!" pekik Haewon.
Junghyun dan Yeonji terlihat bingung melihat adegan itu. Sebuah kebenaran telah terungkap pada hari itu juga.
"Ini sebenarnya ada apa?" Junghyun terlihat meminta penjelasan. "Haewon-ah!"
"Tanyakan saja pada wanita ini!" ucap Haewon kemudian pergi berlalu keluar dari cafe itu.
Sebuah insiden yang membuat cafe menjadi ramai. Haewon berlari keluar dan segera menyetop taksi. Telat ... Junghyun telat mengejar gadis itu, taksi yang di tumpangi Haewon sudah pergi menjauh.
Haewon sedikit terisak di dalam taksi, namun dia berusaha menahannya. Sangat perih, ketika harus merasakan di khianati oleh sahabat dekatnya sendiri.
"Maaf Nona, kemana tujuan Anda?" tanya supir taksi itu.
Haewon mengusap buliran lembut di matanya, "hmm ... tolong antar Saya ke Subway terdekat ya, Pak." jawab Haewon.
"Baik Nona!"
Taksi melaju dengan kecepatan rata-rata ke arah stasiun bawah tanah kota Seoul. Haewon berniat akan memesan tiket dan segera membawa Ayahnya untuk meninggalkan kota Seoul.
"Dua tiket untuk nanti sore ke Gyeongsamnam sudah aku dapat. Saatnya aku harus pulang dan memberi kabar gembira ini pada Ayah." Haewon kembali melangkah menuju halte bus terdekat. Dia tak ada waktu untuk pergi kesana ataupun kemari, yang ada dalam pikirannya segera berkemas dan meninggalkan kota Seoul.
Dalam perjalanan pulang Haewon masih berpikir tentang apa yang terjadi tadi. Satu kebenaran yang terungkap lagi dan dia benar-benar tidak mempercayainya. Haewon memegang dadanya yang terasa sesak saat itu. Sesak sampai dia merasa tidak bisa bernapas saat melihat Junghyun memanggil wanita yang melahirkannya dengan sebutan Ibu. Bagaimana bisa status yang masih resmi tapi justru dia sudah menyandang status baru. Bagaimana bisa itu terjadi?
Haewon mulai berpikir bagaimana kalau Ayahnya mengetahui kebenaran ini semua. Akankan jantungnya baik-baik saja? Akankah dia kuat?
Ya, Haewon harus bisa memutuskan dengan segera. Ini juga demi kebaikan Ayahnya.
Sesaat sesampai di rumah, Haewon melihat Ayahnya sedang berbicang-bicang dengan Bibi Junghae.
"Aku pulang ...."
Ayah Hwijae dan Bibi Junghae nampak langsung menoleh ke arahnya. Nampak Haewon berjalan lesu dan berdiri di antara mereka berdua yang tengah asyik duduk dan berbincang.
Haewon menatap Ayahnya dengan tatapan sendu, namun dia berusaha untuk tidak mengatakannya.
"Kau kenapa terlihat lesu?" Bibi Junghae menatap Haewon.
"Bi, mungkin aku harus membicarakan hal ini dengan Bibi!" Haewon terlihat serius.
Bibi Junghae menatap Hwijae, "Ada apa? Kenapa kau terlihat serius?"
"Hmm ... semalam aku sudah membicarakan hal ini dengan Ayah. Mungkin sekarang aku harus membicarakan ini juga dengan Bibi."
"Kami ingin berpamitan, Junghae-ya." imbuh Ayah Hwijae.
"Maksud kalian, apa kalian akan pergi dari rumah ini?" tanya Bibi Junghae tak percaya.
"Ayah begitu sangat merindukan Daehyun dan kami berniat akan mengunjunginya."
"Tapi kalian akan kembai kesini, kan?" tanya Bibi Junghae merasa sangat sedih.
"Mungkin aku dan Ayah akan tinggal di Gyeongsamnam-do, Bi!" sahut Haewon.
"Benarkah itu, Hwijae-ya?" tanya Bibi Junghae menatap Ayah Hwijae meminta penjelasan yang benar-benar tepat.
Ayah Hwijae mengganggukkan kepalanya, dia membenarkan jawaban dari adiknya itu.
"Aku ingin melanjutkan sisa hidupku di desa, jadi aku memutuskan untuk tinggal di Gyeongsamnam-do bersama dengan Haewon," ujar Go Hwijae.
"Baiklah kalau itu keputusanmu. Mungkin jika nanti putra dan putriku rindu pada kalian, akan aku bawa mereka berkunjung dan singgah disana," Bibi Junghae tersenyum. "Kapan kalian akan berangkat?" tanyanya.
"Sore ini, Bi. Aku sudah membeli tiketnya!" jawab Haewon.
"Kalau begitu kalian harus bersiap-siap. Akan ku buatkan bekal untuk kalian berdua." saran bibi Junghae.
Haewon dan Ayahnya segera naik ke loteng untuk berbenah dan bersiap-siap, sedang bibi Junghae menyiapkan bekal untuk mereka selama di perjalanan.
______
Seoul Metropolitan Subway.
Sesampainya di stasiun kereta bawah tanah, Haewon dan Ayahnya menunggu kereta datang. Sore itu di stasiun bawah tanah banyak orang-orang yang akan naik Subway, baik orang-orang yang baru pulang kerja, sekolah, kuliah atau hanya sekedar jalan-jalan menikmati pergantian sore menjelang malam. Tak berapa lama kereta pun datang dan berhenti. Haewon dan Ayah Hwijae bersiap-siap, namun mereka harus menunggu para penumpang turun semua barulah Haewon dan Ayahnya naik masuk ke dalam kereta.
ππππππ
Park Junghyun melangkah menyusuri tangga menuju lantai bawah. Terlihat tuan Park sedang bercengkrama dengan nyonya Park, Ibu tirinya. Laki-laki berusia 27 tahun itu bergabung dengan ke dua orangtuanya, duduk di samping sang Ayah.
"Ibu, belum menjawab pertanyaanku?" Junghyun masih menagih jawaban atas pertanyaan di Cafe.
Park Hayoung terlihat bingung dan kikuk. Dia harus menjawab apa pada anak tirinya itu, sedangkan dirinya mungkin akan menerima masalah setelah ini.
Park kyungsoo menatap anak semata wayangnya, "memangnya pertanyaan apa? Sepertinya sangat serius!"
"Bu-bukan apa-apa!" jawab Hayoung gugup. Tuan Park menatap Hayoung dengan tatapan tajam.
"Sudah ku bilang, jangan pernah kau mencari mereka ataupun menemui mereka!" hardik tuan Park.
Junghyun yang tak mengerti arah pembicaraan kedua orangtuanya menjadi semakin bingung.
"Dan kau!" seru tuan Park menunjuk putra semata wayangnya. "Jangan pernah lagi kau mencari tahu keberadaan gadis itu. Ayah sangat tidak suka!"
"Maksud Ayah apa?" tanya Junghyun.
"Kau mau tahu kebenarannya, gadis yang kau kejar itu adalah anak dari Ibu tirimu ini!" ucap tuan Park dengan nada meninggi dan terlihat sangat tidak suka.
"A-apa!" Junghyun terlihat kaget. "Apakah ini benar, Bu!?" Junghyun menatap Ibu tirinya yang hanya diam membisu. "JAWAAABB!!!" teriak laki-laki itu.
Dengan nada gemetar Park Hayoung menjawabnya, "i-iya, Go Haewon adalah anakku."
Bagaikan tersambar petir di siang bolong, suasana malam itu menjadi sangat tegang. Kebenaran telah terungkap lagi.
"Jadi karna ini, Ayah selalu menentangku mendekati dia! Karna ini juga Ibu langsung menolak dia?"
"Bukan cuma masalah itu! Ada permasalahan lainnya yang membuat Ayah tak suka dengan keluarganya!" Tuan Park melirik tajam ke arah Park Hayoung. Wanita itu langsung menundukkan kepalanya. "Dan untuk saat ini, Ayah tak ingin mendengarkan apapun tentang mereka!"
Tuan Park bangkit dari duduknya lalu meninggalkan Park Hayoung dan Park Junghyun.
ππππππ
Larik-larik cahaya mentari pagi menerobos masuk melewati cela-cela jendela. Sinarnya mencubiti kulit seorang gadis yang masih terlelap dalam tidurnya hingga gadis itu terbangun karna cubitan halus dari sinar mentari pagi itu.
Kicauan burung-burung yang bertengger di batang pohon bersautan merdu membentuk sebuah irama suara yang sangat indah, seolah-olah mereka sedang berlomba menyanyikan sebuah lagu. Tak lupa suara kokok ayam juga ikut menyumbangkan suaranya dipagi itu. Ya, suara yang tak pernah di dengar ketika tinggal di perkotaan.
Sebuah suara ketokan pintu terdengar sangat lembut, di ketuk seiring dengan irama. Selang setelah suara ketukan itu berhenti, bergantian dengan memutarnya knop pintu dan pintu terbuka. Sosok seorang pria masuk dan duduk di sisi ranjang. Matanya menatap seorang gadis yang masih meringkuk di atas ranjang dengan berselimutkan bulu halus.
"Bangun, Nak. Hari sudah siang!"
Menggoyangkan dengan lembut tubuh yang masih di balut dengan selimut bulu itu, sesekali gadis itu meggeliat dan akhirnya berlahan membuka matanya.
"Mmm ...."
"Apa tidurmu nyenyak?" tanya pria itu.
"Nyenyak sekali, Ayah. Buktinya aku sampai bangun kesiangan dan Ayahlah yang membangunkanku," ujar Haewon dengan tawa kecilnya.
"Bangunlah, Ayah sudah membuatkan sarapan untukmu."
Haewon nampak kaget mendengar ucapan Ayahnya, "kenapa Ayah tidak membangunkanku saja!"
"Ayah tak tega membangunkanku, kau tampak begitu pulas," Ayah Hwijae membuka tirai horden dan mengikatnya dengan menggunakan tali, "kalau sekarang memang Ayah harus terpaksa membangunkanmu karna hari sudah agak siang."
Gadis itu meraih jam tangannya yang tergeletak di atas nakas, matanya terbelalak ketika melihat angka 09.00 am.
"Waaah, kenapa aku bisa bangun jam segini!" histerisnya, lalu segera menyibakan selimutnya dan menatanya serapi mungkin.
"Mandilah dan segera sarapan."
Ayah Hwijae melangkah keluar menuju halaman belakang rumahnya yang telah lama dia tinggalkan sejak menikah dengan Lee Hayoung. Selama rumah itu tidak di huni, Paman Daehwi-lah yang mengurus rumah tersebut. Pria itu menatap lurus pada hamparan tanah yang luas. Ayah Hwijae dan Haewon memutuskan untuk tinggal di sebuah desa di provinsi Gyeongsangnam-do. Go Hwijae ingin memulai kehidupan baru bersama putrinya di desa, Haewon pun nampak tak keberatan tinggal di desa. Gadis itu justru sangat mendukung sang Ayah. Haewon nampak sangat senang bisa tinggal di desa lagi.
"Ayah ...." panggil Haewon. "Apa kita jadi mengunjungi Daehyun?" tanya Haewon lebih lanjut.
Ayah Hwijae menoleh ke belakang, menatap putrinya yang sudah siap. Mendekatlah pria itu pada putrinya. Membelai lembut rambutnya.
"Kau yakin mau tinggal di sini bersama dengan Ayah?" tanyanya pada Haewon.
"Tentu saja!" jawab Haewon tersenyum dan di sambut senyuman dari sang Ayah.
"Baiklah, ayo kita berangkat!"
"Apa Ayah sudah membeli bunga?" tanya Haewon. Ayah Hwijae menggelengkan kepala.
"Bagaimana kau bisa bertanya seperti itu, sedang kita sampai di rumah menjelang malam," sahut Ayah Hwijae.
"Oopss! Aku lupa, Ayah."
Canda tawa Haewon membuat Ayah Hwijae sangat bahagia. Kendati dia merasa sakit hati karna sang istri mencampakkan dirinya dan harus menelan rasa pahit karna kehilangan putranya yang bernama Go Daehyun yang harus menyerah pada penyakit Leukimia yang dideritanya, setidaknya Go Hwijae masih memiliki Go Haewon.
Setelah berjalan kurang lebih 50 km, akhirnya mereka berdua sampai di sebuah pemakaman umum.
Keduanya nampak berdiri di sebuah pemakaman dengan bertuliskan nama Go Daehyun. Ayah Hwijae meletakkan bunga di samping foto Daehyun, nampaknya pria itu tak bisa menahan kesedihannya karna dia harus teringat dengan putra bungsunya yang harus meninggalkannya di usia masih muda.
Go Hwijae memang tidak pernah menyalahkan siapapun atas apa yang terjadi. Dia pun tidak menyalahkan Lee Hayoung yang meninggalkanya dan menelantarkan anak-anaknya. Wanita yang pernah dia cintai dan telah memberinya dua orang anak dan sekarang sudah berganti marga menjadi Park Hayoung.
Sampai pada detik ini pun, Hwijae masih menyalahkan dirinya sendiri atas apa yang terjadi atau mungkin memang ini sudah takdir yang harus di terimanya. Namun, Hwijae harus tetap terlihat kuat di depan putri sulungnya karna dia merasa telah membuat masa depan Haewon hancur karna perpisahannya dengan Hayoung, Ibunya.
πΎ