-Satu kesalahan menimbulkan satu kebencian, tapi satu kebencian menimbulkan banyak kesalahan-
.
"Haewon-ah!" teriak Han Sora.
"Iya Eonni, ada apa?" tanya Haewon setelah gadis itu menghampiri Sora pemilik Cafe tempat Haewon bekerja.
"Tadi wanita yang kemarin itu datang lagi dan dia menitipkan ini padaku. Dia berpesan untuk memberikan surat ini padamu." Sora menyodorkan sesuatu pada Haewon, "tapi maaf kalau aku telah lancang. Aku tadi membaca surat tersebut. Jika memang itu penting temuilah dia, selesaikan masalah kalian. Ini hanya sekedar saran dariku. Kalaupun kau tidak mau menemuinya, dia akan terus mengganggumu." Han Sora memberi nasehat pada Haewon.
Haewon terdiam sesaat lalu dia menatap sebuah surat yang ada di genggaman tangannya, sepertinya dia sedang berpikir. Apakah dia akan menemuinya atau tidak. Setelah itu Haewon menatap Han Sora, seperti paham akan apa yang akan di lakukan Haewon, Sora hanya menganggukan kepalanya.
"Pergilah ...," Sora tersenyum pada Haewon, "selesaikan urusanmu dengan dia. Setelah itu kau bisa kembali bekerja."
Haewon mengangguk, "Eonni, aku minta izin dulu ya."
ππππππ
Seorang wanita tengah duduk di sebuah meja di sudut belakang Cafe yang sepi. Wajahnya yang tegas nampak anggun penuh wibawa. Secangkir hot chocolate tampak tersaji di hadapannya. Sebentar-sebentar dia memandang jendela dan sejurus kemudian dia menatap jam tangannya. Tampaknya dia sedang menunggu seseorang dan mungkin seseorang itu juga sedikit telat datangnya.
Beberapa menit setelah itu, nampak seorang gadis dengan balutan pakaian casual sederhana dengan tas slempang masuk ke dalam Cafe tersebut. Gadis itu melangkah mendekati meja yang di duduki oleh seorang wanita yang sedang mengaduk pelan secangkir chocolate.
"Selamat pagi, Nyonya!" sapa Haewon.
Wanita tersebut mendongak setelah mendengar sapaan dari Haewon lalu menyuruhnya untuk duduk.
"Duduklah, kau bisa pesan apa saja yang kau mau." tawarnya pada Haewon.
"Tak perlu repot-repot. Saya juga tidak akan lama berada disini karna saya pun harus bekerja. Jadi ada perlu apa Anda mengundang Saya kesini?" Haewon berbicara terlihat sangat formal pada wanita tersebut.
"Bisakan kau bicara seperti biasa, tidak perlu terlalu formal." ucap wanita itu.
"Bukankah di Korea mengajarkan orang yang lebih muda untuk bisa menghormati orang yang lebih tua!" balas Haewon.
Wanita tersebut menatap Haewon, dia merasa bahwa gadis yang ada di depannya itu bukanlah Haewon yang dia kenal.
"Kau memang sudah banyak berubah, sampai akupun tak mengenalimu!" ujarnya.
"Maaf, lebih baik langsung saja ke pokok pembicaraan. Saya tidak mau membuang waktu hanya untuk hal yang tak penting!" tandas Haewon. Ucapan Haewon mengundang atensi dari wanita tersebut.
"Pertemuan ini apa bagimu tidak penting, Haewon-ah?" tanya wanita tersebut.
"Bagi saya pertemuan ini tidak penting dan hanya membuang-buang waktu saja!" seru Haewon.
"Haewon-ah!" teriak wanita tersebut, sontak membuat pengunjung Cafe menoleh ke arah meja yang dimana Haewon dan wanita tersebut duduk.
Taehyung dan Kyujung yang kebetulan berada di cafe itupun langsung mengalihkan pandangannya pada meja yang berada di sudut belakang.
"Kenapa anda berteriak pada saya!" Haewon merasa tak terima.
"Haewon-ah, apa salah seorang Ibu mencari anaknya? Apa salah seorang Ibu yang rindu dengan anaknya dan ingin bertemu dengannya?" tanya wanita tersebut.
"Maaf Nyonya, Ibuku sudah lama meninggal dan anda bukan Ibuku!" hardik Haewon.
"Jaga bicaramu, Haewon-ah. Apa aku dulu pernah mengajarimu bicara kasar seperti itu? Aku akui ini memang salahku tapi tidakkah kau bisa memberi kesempatan pada Ibumu ini untuk bicara sebentar." jelasnya.
"Saya kasar sama Anda, Nyonya? Sekarang saya tanya, sekasar apa Saya jika dibandingkan dengan Anda, Nyonya Park Hayoung, seorang wanita yang meninggalkan kedua anaknya seperti sampah? Meninggalkan suaminya begitu hanya karna alasan ekonomi? Anda itu sadar atau tidak, kalau anda itu adalah wanita yang munafik dan materialistis!"
"Haewon-ah!" sekali lagi wanita yang bernama Park Hayoung berteriak pada Haewon.
"Kenapa? Tidak terima? Memang seperti itu kan kenyataannya. Bagiku, Ibu kandungku itu SUDAH LAMA MATI!" Haewon kembali menekankan kata-katanya.
"Haewon-ah, apa sekasar itu kau bicara dengan Ibu kandungmu ini? Ibu kandungmu ini masih hidup dan sekarang ada di hadapanmu." balas nyonya Park.
"Lalu mau Anda bagaimana?" tanya Haewon sengit.
"Bagaimanapun juga aku ini adalah Ibu kandungmu." ucap nyonya Park sendu.
"Ayahku pernah bilang, jika seseorang sudah membuang sesuatu, berarti dia sudah tidak punya hak lagi atasnya!" Haewon terlihat sengit.
"Tapi tidak dengan ikatan Ibu dan Anak. Mantan suami memang ada, tapi tidak ada mantan Anak," balas nyonya Park.
"Tak perlu diperpanjang lagi pembahasan ini, tidak ada gunanya juga dilanjut!" Haewon menggeser kursi.
"Haewon-ah!" terdengar sebuah suara dari belakang, membuat Haewon menoleh.
"Tae-Taehyung!" ucap Haewon kaget.
"Maaf jika aku lancang ikut campur tapi tak sengaja tadi aku mendengar pembicaraan kalian," ucap Taehyung menatap Haewon. "Kau bisa duduk sebentar, kan?"
"Tak perlu!" ucap Haewon ketus membuat muka dari Taehyung.
"Go Haewon!" panggil Taehyung lembut. "Kau bisa sopan sedikit kan dengan Ibumu. Dia yang sudah melahirkanmu, dan dia juga sudah banyak berkorban buatmu!" imbuh Taehyung.
Gadis cantik itu kembali duduk mendengar perkataan Taehyung. Dia menatap wanita yang sedang duduk di depannya. "Pengorbanan katamu?" Haewon menatap Taehyung yang juga sudah duduk di sampingnya.
"Dinginkan kepalamu dulu, jika kau tetap dalam keadaan emosi, semua masalah tidak akan selesai." saran Taehyung.
"Aku tanya padamu, Taehyung-ah. Apa pantas seorang Ibu menelantarkan anak-anaknya? Apa pantas seorang istri meninggalkan suaminya hanya karna suaminya miskin dan dia memilih meninggalkan aku, adikku dan Ayah demi menikah dengan pria lain. Pria kaya dan terpandang," Haewon terdiam menatap nyonya Park. "Aku dan adikku dibesarkan oleh Ayah seorang diri. Di saat anak-anak lain bisa bermanja-manja di pangkuan Ibunya, aku dan adikku sama sekali tidak bisa bermanja-manja. Di saat anak-anak lain punya Ibu, kenapa justru Ibuku tidak ada? Kenapa? Di mana Ibuku saat aku butuh dia?!" teriak Haewon penuh amarah, matanya mulai berkaca-kaca. "Aku dan adikku juga butuh kasih sayang dari seorang Ibu. Aku dan adikku juga ingin punya orangtua yang lengkap, bahkan adikku sendiri tak pernah tahu seperti apa wajah Ibunya yang telah menelantarkannya dari bayi!" tangis Haewon pecah seketika, gadis itu menutupi wajahnya dengan kedua belah tangannya.
"Haewon-ah, Ibu minta maaf. Sekarang Ibu ada di sini," ucap nyonya Park penuh sesal. Wanita itu berusaha untuk memeluk gadis itu, namun langsung ditepis oleh Haewon.
"Di saat aku sedih, Ibu ada di mana? Di saat Ayah sakit, Ibu ada di mana? Dan di saat Daehyun meninggal, Ibu ada di mana?" tanya Haewon dengan tatapan penuh benci. Mata yang basah karna airmatanya itu menatap tajam biji manik mata nyonya Park.
Park Hayoung terkejut mendengar Daehyun meninggal. Wanita itu benar-benar terkejut dan shock.
Satu tamparan lagi yang harus diterima Park Hayoung, setelah mendengar bahwa putranya Go Daehyun telah meninggal. Di samping itu putrinya yang sudah beranjak dewasa pun membencinya.
"Apa kau bilang? Daehyun meninggal?" tanya nyonya Park tak percaya.
"Ya! Dan jangan bertanya kapan atau bagaimana, karna itu semua sudah bukan urusan Anda. Nyonya juga tak perlu minta maaf, karna berjuta kali pun Anda meminta maaf, Daehyun tidak akan bisa hidup lagi dan aku tetap tidak bisa memaafkan Anda. Kami hidup tanpa Ibu dan semua baik-baik saja. Bagiku, Ibu itu hanyalah sekedar kata, tidak kurang dan tidak lebih. Ada atau tidak adanya Ibu, itu sama sekali tidak penting. Aku hidup tanpa Ibu dan semua tetap baik-baik saja." Haewon kembali berdiri dari duduknya.
"Kenapa?" tanya nyonya Park, "kenapa kau bisa berbicara seperti itu?" suara nyonya Park terdengar serakserak dan mata itu mulai berkaca-kaca.
"Karna aku benci. Aku tidak pernah bisa menginginkan kebencian ini, tapi aku juga tidak bisa menghentikannya. Rasa benci itu sama seperti cinta, semua muncul begitu saja. Tapi yang jelas keduanya menghasilkan satu hal, rasa sakit!" ucap Haewon.
"Ibu memang bersalah, Haewon-ah. Ibu tidak bisa membuatmu mencintai Ibu lagi, dan Ibu juga tidak bisa mengubah kebencianmu, tapi kau harus tahu, sebesar apapun kau membenci Ibu. Aku ini tetap mencintai dan menyayangimu karna aku ini adalah Ibumu," nyonya Park mengusap airmatanya yang membasahi pipi.
"Sebaiknya aku pergi. Tidak ada gunanya juga aku berlama-lama disini!" Haewon segera berlalu dari tempat itu. Tanpa menghiraukan panggilan dari Taehyung.
"Kalau begitu saya permisi dulu, Nyonya." Taehyung berdiri dari duduknya dan membungkuk lalu pergi meninggalkan Park Hayoung yang sedang meratapi kesedihannya dengan beruraikan airmata.
Penyesalan selalu datang belakangan, tidak ada penyesalan yang muncul di awalan.
ππππππ
Hembusan angin sore membelai lembut suray hitam nan panjang milik Haewon. Gadis itu nampak berdiri di hamparan padang ilalang yang berada tak jauh dari Goshiwon. Angin bertiup sepoi-sepoi menerbangkan rambut panjangnya, berkali-kali dia menghela napas dan menghembuskannya kemudian dia mendongak menatap langit sore kala itu.
Haruskah aku pulang? batinnya menatap langit yang mulai berwarna oranje.
Kembali Haewon menatap hamparan ilalang di depan matanya, lalu dia mendudukkan dirinya di sebuah kayu yang ada di belakangnya. Manik matanya menangkap sesuatu di antara rerumputan. Tangannya bergerak terulur mengambilnya.
Kini sebuah Dandelion berada dalam genggaman tangan Haewon. Bunga berwarna putih dan cantik itu sangat menarik perhatian Haewon.
Dandelion adalah salah satu bunga yang identik dengan sederhana tanpa semerbak. Namun, bukan berarti bunga yang satu ini tak memiliki makna. Dengan kesederhanaanya, bunga ini ternyata mengandung makna yang menyentuh hati. Kumpulan biji dandelion yang terangkai menjadi satu, terlihat seperti setangkai bunga kapas yang cantik. Saat angin datang dan meniupnya, dia akan menerbangkan biji dandelion satu persatu. Dengan sayap selembut kapas, biji dandelion bisa terbang jauh. Bila biji itu jatuh di tempat yang tepat, ia akan tumbuh menjadi tanaman dandelion yang baru. Bunga dandelion dikenal sebagai bunga yang rapuh dan mudah terbang terbawa oleh angin. Namun, dia bisa menjaga keutuhannya. Bahkan dalam keadaan terhempas angin dan bunganya tersebar sekalipun, bagian bunganya tidak rusak. Bunga Dandelion dapat hidup disegala tempat, dimanapun angin yang membawa benih Dandelion berhenti, disitulah Dandelion akan tumbuh kembali.
Haewon menggerakkan tangannya, mengarahkan setangkai bunga dandelion tepat di depan bibirnya kemudian dia meniup bunga dandelion tersebut. Benih-benih dari bunga dandelion bertebaran terbawa angin. Haewon mendongak ke atas menatap beberapa benih yang terbang terbawa angin dan entah akan berhenti di mana benih-benih yang dia tiup itu.
Aku ingin seperti bunga Dandelion. Kuat, berani, tangguh, dan cantik. Kuat walaupun di terpa angin kencang, kendati demikian dia selalu bisa bertahan dan hidup.
πΎ