Semangkuk bubur dengan suwiran ayam dan daun bawang tersaji di meja. Di depannya ada botol kecil tempat kuah yang bisa dituang sesuai selera. Dhisti mengulas senyum sebelum mengatur mangkuk dan peralatan makan.
"Pagi, Dhis. Wah, kamu sudah menyiapkan semua? Terima kasih, ya."
Dhisti menoleh pada Nadia yang mengenakan baju terusan warna biru langit dari satin. Wanita paruh baya itu terlihat segar dengan wajah yang dipulas make up tipis. Dhisti menyapa Nadia dengan hangat dan memintanya duduk.
"Dhis, Tante yakin kamu pasti jadi istri yang baik nantinya. Siapapun yang jadi pendampingmu, kamu bisa mengimbanginya," ujar Nadia.
Dhisti hanya tersenyum simpul sebelum menyodorkan semangkuk bubur pada Nadia. "Tante, aku cuma melakukan bagianku sebaik mungkin. Aku yakin yang terbaik datang di saat yang tepat."
Nadia mengangguk. "Ya, tapi Tante lebih bahagia kalau orang itu Dami."
Dhisti terdiam, menyadari kehangatan sentuhan lelaki itu di kepalanya. Sejenak, ada kedamaian yang mengalir di hatinya. Namun, ia memilih untuk membiarkan rasa itu bersembunyi dalam relung pikirannya.
Dhisti menatap Nadia lagi, mengalihkan pembicaraan. "Hm, enak kan, Tan? Atau ada yang kurang bumbunya?"
"Masakanmu selalu pas di lidah Tante, Dhis. Oh, omong-omong Tante harus bangunin Dami sebentar lagi. Dia harus anterin kamu."
Dhisti menggeleng dan melambaikan tangannya. "Nggak usah, Tan. Aku bisa pesan gojek. Aku harus datang lebih cepat soalnya."
Nadia menatap Dhisti dengan pandangan tajam. "A Latte Lumayan jauh dari sini. Sayang ongkosnya, Dhis. Udah, kamu nurut aja, ya."
Dhisti mengembuskan napas, menyadari dirinya harus kembali berada dekat lelaki itu untuk kesekian kalinya. Ia belum siap untuk berhadapan dengan Damian setelah perlakuan lelaki itu yang meninggalkan perasaan nyaman yang semu.
Langkah kaki Damian yang mendekat membuat Nadia mengalihkan pandangan. Wanita paruh baya itu tersenyum membiarkan Damian mengecup keningnya. Nadia memperhatikan anaknya yang mengenakan kemeja motif kotak dan celana katun abu-abu. Lelaki itu terlihat lebih berwibawa dengan pilihan outfit dari bahan berkualitas.
"Sarapan. Dhisti sudah masak, loh."
Damian menarik kursi sebelum menuang teh ke gelas. "Nanti aja, Ma di kantor. Aku ada meeting sama Pak Rendra. Soal kerjasama yang tertunda itu."
Nadia menoleh pada Dhisti yang meletakkan sayuran dan sosis di selembar roti. "Oh, kalau gitu kamu antar Dhisti dulu."
Damian berdecak kesal. "Ma, dia bisa sendiri. Aku bukan supirnya."
Nadia menggeleng mendengar jawaban lelaki itu. "Dami, Dhisti sudah banyak bantu kita. Masak kamu perhitungan terus, sih? Lagian sekalian jalan."
Damian mendesah sebelum menatap Dhisti. Ada kehangatan yang mengalir di hati lelaki itu tatkala menatap wajah wanita itu. Namun, ia segera mengenyahkannya. "Ini kali terakhir, ya kamu merepotkan saya."
Dhisti mengiakan sebelum berlalu dari tempatnya. Tidak membalas perkataan Damian saat keadaan tak mendukung adalah jalan terbaik.
**
Suara penyiar yang bersemangat memenuhi ruang dengar keduanya. Dhisti menoleh pada Damian, mengamati wajahnya yang memancarkan kehangatan. Dhisti kembali teringat saat Damian memperlakukannya dengan begitu manis seperti permen lolipop. Wanita itu mengulas senyum, tak menyadari Damian yang mematikan radio.
"Ada yang mau kamu sampaikan, Dhis?"
Wanita itu terperanjat, menanyakan maksud Damian.
Lelaki itu menggeleng, menoleh pada Dhisti. "Kamu pikir saya nggak merhatiin? Dari tadi kamu ngelihatin saya, Dhis. Dan itu ganggu tahu nggak?"
Dhisti menunduk menyembunyikan rona merah wajahnya. Sudah ketahuan tak mungkin lagi mengelak. Dhisti perlahan mendongak, menatap Damian.
"Hum, Pak. Mungkin ucapan makasihnya terlambat, tapi saya sangat mengapresiasi pujian Bapak semalam."
Damian mengembuskan napas teringat ia begitu kagum dengan ketegaran hati wanita itu. Namun ada penghalang yang kembali menghambatnya setiap kali harus mengakui perasaan yang menenangkan itu.
"Udah lewat, Dhis. Saya juga udah lupa. Kamu belajarlah buat fokus sama hari ini."
Damian menginjak kopling sebelum memindahkan gigi. Jalan raya pagi itu agak lengang, memberi kesempatan buat Damian untuk lebih cepat.
Dhisti memilih untuk memandang keluar, pada deretan bangunan dan ruko yang berjejer rapi. Wanita itu tahu bahwa dengan memusatkan perhatian pada satu hal, akan memudahkannya meraih hal maksimal. Namun, dalam kasusnya, Dhisti kadang harus siap untuk menangani banyak momen.
"Kebiasaan kan, kamu, Dhis. Selalu melamun kalau saya kasih nasihat.”
Dhisti memajukan bibir sebelum membalas perkataan lelaki itu. “Jangan salah, Pak. Saya juga usaha meraih yang terbaik.”
Lelaki itu tertawa pelan. “Ya, terserah kamu aja. Ini saya drop kamu aja. Abis itu saya langsung ke tempat meeting. Kamu kerja yang bener. Pastikan pelayanannya maksimal."
Dhisti mengangguk sebelum menyodorkan sebuah kotak makan pada Damian. "Bapak belum sarapan, kan? Ini ada roti isi sayuran sama sosis. Dimakan ya, Pak."
Damian tidak menjawab. Ia membiarkan Dhisti meletakkan kotak di dasbor. Tersenyum manis, Dhisti mengucapkan selamat tinggal. "Good luck meeting nya, Pak."
Lelaki itu mengangguk sebelum kembali melaju menuju kafe Hijau milik Rendra. Sepanjang perjalanan, hanya ada Dhisti di pikirannya.
**
Sesuai namanya, kafe Hijau mengusung tema tanaman yang bersatu padu dengan bangunan tradisional. Damian mengedarkan pandang ke segala penjuru, mengulas senyum pada pemilihan kayu jati di setiap furniture. Lelaki itu melangkah menuju sebuah joglo di dekat pohon asem yang menjulang tinggi. Mengeluarkan gawai, ia mencari kontak Rendra.
“Menikmati suasananya, Dam?”
Mendongak, Damian menemui seorang lelaki dengan tubuh sedikit tambun. Senyumnya yang lebar ditambah sinar mata yang tegas membuatnya berwibawa. Damian menghampiri Rendra dan menjabat tangannya erat. “Sure. Semua yang ada di sini menyatu. Pasti banyak yang suka menghabiskan waktu di tempat ini. Saya perlu belajar banyak dari Bapak.”
Rendra mengelus pelan pundak Damian sebelum memintanya duduk. “Kita itu saling membantu, Dami. Makannya saya mau ajak kamu berkolaborasi. Saya yakin semua ini bisa membuat kafe kita makin berjaya.”
Damian mengangguk, membiarkan Rendra membuka laptop dan menjelaskan rencananya. Bagan warna-warni itu menunjukkan point utama dan langkah yang harus dijalankan. Dari awal mendengarnya, Damian menyukai ide yang Rendra paparkan. Lelaki itu memiliki kopi kemasan dengan merk dagang yang sudah diakui instansi terkait. Rendra berencana untuk mendistribusikan kopi itu ke A Latte.
“Kamu bisa ambil untung dari penjualan itu, Dam. Nah, nanti kamu bisa lakukan hal sama. Kudengar, cappuccino A Latte tidak ada duanya.”
Damian mengulas senyum. “Ya, tapi kami punya varian lain yang sudah lama jadi identitas. Aku bisa tambahkan croissant juga.”
Rendra mengangguk setuju pada tawaran lelaki di hadapannya. “Sekarang kita cobain dulu kopi andalanku.”
Damian tersenyum, menoleh ke bangunan yang terpisah dari joglo. Pandangannya lekat pada seorang wanita yang mengenakan blus merah muda dengan motif bunga sakura. Rambut cokelat sebahunya terurai di bahu, membiarkan sebagian poninya menyentuh ujung mata. Damian terdiam lama, teringat ia pernah menguasai wanita itu dengan cintanya. Wanita itu kini mengetik sesuatu di gawainya sambil tersenyum lebar.
Rendra mengikuti arah pandangan Damian. "Kamu kenal wanita itu? Saya sering lihat dia kemari. Pesan makanan yang sama. Nggak lama, ada dua wanita lain yang bergabung.”
"Ya. Dia Laras, Pak."
"Oh, sepertinya kamu punya hubungan spesial."
Damian memejamkan mata sejenak sebelum menceritakan garis besar cerita yang sudah lama berlalu. Rendra mengulas senyum pada Damian. "Kamu sudah bertanggung jawab, Dam. Jangan kamu paksa dia buat mencintaimu. Kamu lihat kan, dia sekarang? Seperti nggak ada beban."
Damian kembali menoleh pada Laras yang kini menyeruput minumannya dengan elegan. Tidak ada hal yang mengganggu hidup Laras lagi dan Damian ikut lega mengetahuinya.
"Belajarlah melepaskan buat menerima yang baru, Damian. Kamu sedang dalam proses meraih bahagiamu. Perjuangkan itu."
Damian mengulas senyum pada Rendra yang mengingatkannya akan arti pengampunan yang sebenarnya. Damian mengucapkan terima kasih dan meminta Rendra melanjutkan pembicaraan mereka. Damian yakin, Laras tidak akan pernah peduli lagi dengannya. Jadi, ia pun memilih untuk perlahan berdamai dengan keadaan.
**