Read More >>"> Teman Hidup (Chapter 28: Perlahan Runtuh) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Teman Hidup
MENU
About Us  

Semangkuk bubur dengan suwiran ayam dan daun bawang tersaji di meja. Di depannya ada botol kecil tempat kuah yang bisa dituang sesuai selera. Dhisti mengulas senyum sebelum mengatur mangkuk dan peralatan makan.

"Pagi, Dhis. Wah, kamu sudah menyiapkan semua? Terima kasih, ya."

Dhisti menoleh pada Nadia yang mengenakan baju terusan warna biru langit dari satin. Wanita paruh baya itu terlihat segar dengan wajah yang dipulas make up tipis. Dhisti menyapa Nadia dengan hangat dan memintanya duduk. 

"Dhis, Tante yakin kamu pasti jadi istri yang baik nantinya. Siapapun yang jadi pendampingmu, kamu bisa mengimbanginya," ujar Nadia.

Dhisti hanya tersenyum simpul sebelum menyodorkan semangkuk bubur pada Nadia. "Tante, aku cuma melakukan bagianku sebaik mungkin. Aku yakin yang terbaik datang di saat yang tepat."

Nadia mengangguk. "Ya, tapi Tante lebih bahagia kalau orang itu Dami."

Dhisti terdiam, menyadari kehangatan sentuhan lelaki itu di kepalanya. Sejenak, ada kedamaian yang mengalir di hatinya. Namun, ia memilih untuk membiarkan rasa itu bersembunyi dalam relung pikirannya.

Dhisti menatap Nadia lagi, mengalihkan pembicaraan. "Hm, enak kan, Tan? Atau ada yang kurang bumbunya?"

"Masakanmu selalu pas di lidah Tante, Dhis. Oh, omong-omong Tante harus bangunin Dami sebentar lagi. Dia harus anterin kamu."

Dhisti menggeleng dan melambaikan tangannya. "Nggak usah, Tan. Aku bisa pesan gojek. Aku harus datang lebih cepat soalnya."

Nadia menatap Dhisti dengan pandangan tajam. "A Latte Lumayan jauh dari sini. Sayang ongkosnya, Dhis. Udah, kamu nurut aja, ya."

Dhisti mengembuskan napas, menyadari dirinya harus kembali berada dekat lelaki itu untuk kesekian kalinya. Ia belum siap untuk berhadapan dengan Damian setelah perlakuan lelaki itu yang meninggalkan perasaan nyaman yang semu. 

Langkah kaki Damian yang mendekat membuat Nadia mengalihkan pandangan. Wanita paruh baya itu tersenyum membiarkan Damian mengecup keningnya. Nadia memperhatikan anaknya yang mengenakan kemeja motif kotak dan celana katun abu-abu. Lelaki itu terlihat lebih berwibawa dengan pilihan outfit dari bahan berkualitas.

"Sarapan. Dhisti sudah masak, loh."

Damian menarik kursi sebelum menuang teh ke gelas. "Nanti aja, Ma di kantor. Aku ada meeting sama Pak Rendra. Soal kerjasama yang tertunda itu."

Nadia menoleh pada Dhisti yang meletakkan sayuran dan sosis di selembar roti. "Oh, kalau gitu kamu antar Dhisti dulu."

Damian berdecak kesal. "Ma, dia bisa sendiri. Aku bukan supirnya."

Nadia menggeleng mendengar jawaban lelaki itu. "Dami, Dhisti sudah banyak bantu kita. Masak kamu perhitungan terus, sih? Lagian sekalian jalan."

Damian mendesah sebelum menatap Dhisti. Ada kehangatan yang mengalir di hati lelaki itu tatkala menatap wajah wanita itu. Namun, ia segera mengenyahkannya. "Ini kali terakhir, ya kamu merepotkan saya."

Dhisti mengiakan sebelum berlalu dari tempatnya. Tidak membalas perkataan Damian saat keadaan tak mendukung adalah jalan terbaik.

**

Suara penyiar yang bersemangat memenuhi ruang dengar keduanya. Dhisti menoleh pada Damian, mengamati wajahnya yang memancarkan kehangatan. Dhisti kembali teringat saat Damian memperlakukannya dengan begitu manis seperti permen lolipop. Wanita itu mengulas senyum, tak menyadari Damian yang mematikan radio. 

"Ada yang mau kamu sampaikan, Dhis?"

Wanita itu terperanjat, menanyakan maksud Damian.

Lelaki itu menggeleng, menoleh pada Dhisti. "Kamu pikir saya nggak merhatiin? Dari tadi kamu ngelihatin saya, Dhis. Dan itu ganggu tahu nggak?"

Dhisti menunduk menyembunyikan rona merah wajahnya. Sudah ketahuan tak mungkin lagi mengelak. Dhisti perlahan mendongak, menatap Damian.

"Hum, Pak. Mungkin ucapan makasihnya terlambat, tapi saya sangat mengapresiasi pujian Bapak semalam."

Damian mengembuskan napas teringat ia begitu kagum dengan ketegaran hati wanita itu. Namun ada penghalang yang kembali menghambatnya setiap kali harus mengakui perasaan yang menenangkan itu.

"Udah lewat, Dhis. Saya juga udah lupa. Kamu belajarlah buat fokus sama hari ini."

Damian menginjak kopling sebelum memindahkan gigi. Jalan raya pagi itu agak lengang, memberi kesempatan buat Damian untuk lebih cepat. 

Dhisti memilih untuk memandang keluar, pada deretan bangunan dan ruko yang berjejer rapi. Wanita itu tahu bahwa dengan memusatkan perhatian pada satu hal, akan memudahkannya meraih hal maksimal. Namun, dalam kasusnya, Dhisti kadang harus siap untuk menangani banyak momen.

"Kebiasaan kan, kamu, Dhis. Selalu melamun kalau saya kasih nasihat.”

Dhisti memajukan bibir sebelum membalas perkataan lelaki itu. “Jangan salah, Pak. Saya juga usaha meraih yang terbaik.”

Lelaki itu tertawa pelan. “Ya, terserah kamu aja. Ini saya drop kamu aja. Abis itu saya langsung ke tempat meeting. Kamu kerja yang bener. Pastikan pelayanannya maksimal."

Dhisti mengangguk sebelum menyodorkan sebuah kotak makan pada Damian. "Bapak belum sarapan, kan? Ini ada roti isi sayuran sama sosis. Dimakan ya, Pak."

Damian tidak menjawab. Ia membiarkan Dhisti meletakkan kotak di dasbor. Tersenyum manis, Dhisti mengucapkan selamat tinggal. "Good luck meeting nya, Pak."

Lelaki itu mengangguk sebelum kembali melaju menuju kafe Hijau milik Rendra. Sepanjang perjalanan, hanya ada Dhisti di pikirannya. 

**

Sesuai namanya, kafe Hijau mengusung tema tanaman yang bersatu padu dengan bangunan tradisional. Damian mengedarkan pandang ke segala penjuru, mengulas senyum pada pemilihan kayu jati di setiap furniture. Lelaki itu melangkah menuju sebuah joglo di dekat pohon asem yang menjulang tinggi. Mengeluarkan gawai, ia mencari kontak Rendra. 

“Menikmati suasananya, Dam?”

Mendongak, Damian menemui seorang lelaki dengan tubuh sedikit tambun. Senyumnya yang lebar ditambah sinar mata yang tegas membuatnya berwibawa. Damian menghampiri Rendra dan menjabat tangannya erat. “Sure. Semua yang ada di sini menyatu. Pasti banyak yang suka menghabiskan waktu di tempat ini. Saya perlu belajar banyak dari Bapak.”

Rendra mengelus pelan pundak Damian sebelum memintanya duduk. “Kita itu saling membantu, Dami. Makannya saya mau ajak kamu berkolaborasi. Saya yakin semua ini bisa membuat kafe kita makin berjaya.”

Damian mengangguk, membiarkan Rendra membuka laptop dan menjelaskan rencananya. Bagan warna-warni itu menunjukkan point utama dan langkah yang harus dijalankan. Dari awal mendengarnya, Damian menyukai ide yang Rendra paparkan. Lelaki itu memiliki kopi kemasan dengan merk dagang yang sudah diakui instansi terkait. Rendra berencana untuk mendistribusikan kopi itu ke A Latte. 

“Kamu bisa ambil untung dari penjualan itu, Dam. Nah, nanti kamu bisa lakukan hal sama. Kudengar, cappuccino A Latte tidak ada duanya.”

Damian mengulas senyum. “Ya, tapi kami punya varian lain yang sudah lama jadi identitas. Aku bisa tambahkan croissant juga.”

Rendra mengangguk setuju pada tawaran lelaki di hadapannya. “Sekarang kita cobain dulu kopi andalanku.”

Damian tersenyum, menoleh ke bangunan yang terpisah dari joglo. Pandangannya lekat pada seorang wanita yang mengenakan blus merah muda dengan motif bunga sakura. Rambut cokelat sebahunya terurai di bahu, membiarkan sebagian poninya menyentuh ujung mata. Damian terdiam lama, teringat ia pernah menguasai wanita itu dengan cintanya. Wanita itu kini mengetik sesuatu di gawainya sambil tersenyum lebar. 

Rendra mengikuti arah pandangan Damian. "Kamu kenal wanita itu? Saya sering lihat dia kemari. Pesan makanan yang sama. Nggak lama, ada dua wanita lain yang bergabung.”

"Ya. Dia Laras, Pak."

"Oh, sepertinya kamu punya hubungan spesial."

Damian memejamkan mata sejenak sebelum menceritakan garis besar cerita yang sudah lama berlalu. Rendra mengulas senyum pada Damian. "Kamu sudah bertanggung jawab, Dam. Jangan kamu paksa dia buat mencintaimu. Kamu lihat kan, dia sekarang? Seperti nggak ada beban."

Damian kembali menoleh pada Laras yang kini menyeruput minumannya dengan elegan. Tidak ada hal yang mengganggu hidup Laras lagi dan Damian ikut lega mengetahuinya.

"Belajarlah melepaskan buat menerima yang baru, Damian. Kamu sedang dalam proses meraih bahagiamu. Perjuangkan itu."

Damian mengulas senyum pada Rendra yang mengingatkannya akan arti pengampunan yang sebenarnya. Damian mengucapkan terima kasih dan meminta Rendra melanjutkan pembicaraan mereka. Damian yakin, Laras tidak akan pernah peduli lagi dengannya. Jadi, ia pun memilih untuk perlahan berdamai dengan keadaan.

**

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Kiara - Sebuah Perjalanan Untuk Pulang
2125      1067     2     
Romance
Tentang sebuah petualangan mencari Keberanian, ke-ikhlasan juga arti dari sebuah cinta dan persahabatan yang tulus. 3 Orang yang saling mencintai dengan cara yang berbeda di tempat dan situasi yang berbeda pula. mereka hanya seorang manusia yang memiliki hati besar untuk menerima. Kiara, seorang perempuan jawa ayu yang menjalin persahabatan sejak kecil dengan Ardy dan klisenya mereka saling me...
Without Guileless
966      563     1     
Mystery
Malam itu ada sebuah kasus yang menghebohkan warga setempat, polisi cepat-cepat mengevakuasi namun, pelaku tidak ditemukan. Note : Kita tidak akan tahu, jati diri seseorang hingga kita menjalin hubungan dengan orang itu. Baik sebuah hubungan yang tidak penting hingga hubungan yang serius
Backstreet
1147      448     1     
Fan Fiction
A fanfiction story © All chara belongs their parents, management, and fans. Blurb: "Aku ingin kita seperti yang lain. Ke bioskop, jalan bebas di mal, atau mancing di pinggiran sungai Han." "Maaf. But, i really can't." Sepenggal kisah singkat tentang bagaimana keduanya menyembunyikan hubungan mereka. "Because my boyfie is an idol." ©October, 2020
Bloody Autumn: Genocide in Thames
8553      1943     54     
Mystery
London, sebuah kota yang indah dan dikagumi banyak orang. Tempat persembunyian para pembunuh yang suci. Pertemuan seorang pemuda asal Korea dengan Pelindung Big Ben seakan takdir yang menyeret keduanya pada pertempuran. Nyawa jutaan pendosa terancam dan tragedi yang mengerikan akan terjadi.
Ending
4697      1213     9     
Romance
Adrian dan Jeana adalah sepasang kekasih yang sering kali membuat banyak orang merasa iri karena kebersamaan dan kemanisan kedua pasangan itu. Namun tak selamanya hubungan mereka akan baik-baik saja karena pastinya akan ada masalah yang menghampiri. Setiap masalah yang datang dan mencoba membuat hubungan mereka tak lagi erat Jeana selalu berusaha menanamkan rasa percayanya untuk Adrian tanpa a...
DEUCE
624      339     0     
Short Story
\"Cinta dan rasa sakit itu saling mengikuti,\" itu adalah kutipan kalimat yang selalu kuingat dari sebuah novel best seller yang pernah kubaca. Dan benar adanya jika kebahagiaan dan kesakitan itu berjalan selaras sesuai dengan porsinya..
IF ONLY....
489      346     2     
Romance
Pertama kalinya aku merasakan jatuh cinta sepihak… Perasaan yang berakhir bahkan sebelum dimulai… Merasa senang dan sedih seorang diri, benar-benar seperti orang bodoh. Ada penyesalan besar dalam diriku, padahal masih banyak hal yang ingin kuketahui tentang dirinya. Jika saja aku lebih berani bicara padanya saat itu, kira-kira apa yang akan terjadi?
HAMPA
378      259     1     
Short Story
Terkadang, cinta bisa membuat seseorang menjadi sekejam itu...
Akhi Idaman
1175      725     1     
Short Story
mencintai dengan mendoakan dan terus memantaskan diri adalah cara terbaik untuk menjadi akhi idaman.
Crashing Dreams
222      189     1     
Short Story
Terdengar suara ranting patah di dekat mereka. Seseorang muncul dari balik pohon besar di seberang mereka. Sosok itu mengenakan kimono dan menyembunyikan wajahnya dengan topeng kitsune. Tiba-tiba sosok itu mengeluarkan tantou dari balik jubahnya. Tanpa pasangan itu sadari, sosok itu berlari kearah mereka dengan cepat. Dengan berani, laki-laki itu melindungi gadinya dibelakangnya. Namun sosok itu...