Loading...
Logo TinLit
Read Story - Teman Hidup
MENU
About Us  

Damian menggerakkan tetikus ke arah tabel penjualan A Latte yang meningkat sepuluh persen. Memang belum signifikan tapi selalu ada hal baik yang bisa ia dapatkan. Perlahan, dengan menghadirkan lagi menu legendaris kafe, A Latte bisa kembali berjaya. Tidak peduli dengan saingan baru yang mungkin lebih kreatif. Gawainya yang bergetar mengalihkan perhatian. Damian mengangkatnya, menyambut suara Nadia yang lembut.

“Dami, Satria masih sama kamu?”

Lelaki itu mengembuskan napas sebelum menjelaskan rencananya. Nadia menggeleng pelan sebelum merapikan pot-pot kaktus di pinggiran jendela. “Kamu nggak percaya sama Mama lagi? Satria udah mulai nyaman sama Mama, loh."

Damian beranjak dari tempatnya dan menatap tanaman di rak. Lelaki itu tidak menyangka jika Nadia malah menentang pilihannya. ”Ma, bukan begitu. Tapi ada hal yang lebih penting. Mama harus jaga kesehatan. Kalau terus jagain Satria, Mama nggak punya banyak waktu buat diri sendiri.”

Nadia berdecak. “Dami, Mama bisa merawat Radit dari dia bayi. Nanti ada saatnya Mama nggak ikut campur menjaga anakmu. Sekarang, Satria masih perlu kehadiran Mama. Apalagi Ibunya nggak ada."

Damian memijat pelipisnya. Ia harus menentukan sikap dengan tepat. Di satu sisi ia harus memastikan Nadia tidak terlalu lelah. Namun, di sisi lain ia sudah berjanji pada diri sendiri untuk merawat Satria sesuai kemampuannya.

“Ini Mama cuma sama Bi Narti aja di rumah. Rasanya ada yang kurang, Dami. Kehadiran Satria bisa buat Mama jadi lebih baik,” lanjut Nadia, lirih. 

Hati Damian makin tidak menentu mendengar penuturan ibunya. Lelaki itu menutup matanya sejenak sebelum memutuskan. “Ya udah. Aku bawa Satria nanti. Tapi Mama harus janji buat nggak memaksakan diri kalau capek. Aku beneran bawa Satria ke apartment kalau sampai Mama sakit lagi.”

Nadia memajukan bibirnya. “Kamu mengancam Mama, Dami?”

Damian mengembuskan napas, menghalau rasa tidak nyamannya mendengar perkataan Nadia. “Itu buat kebaikan Mama juga. Aku nggak ada maksud mengatur, Ma,” balas Damian tegas.

Nadia mengiakan dengan mantap. Setidaknya, ia bisa melihat Satria lagi.

Damian segera mematikan telepon sebelum beranjak keluar. Tadi, ia sempat melihat Dhisti membawa anaknya pergi. “Kebiasaan banget Dhisti. Pasti dia melamun lagi sampai nggak bawa Satria masuk.”

Damian berjalan cepat menuju taman belakang setelah tidak menemui Dhisti di mana pun. Lelaki itu berdeham, menuntut perhatian dua wanita yang masih asyik bercengkrama. Dhisti dan Rania segera menoleh pada sumber suara. Rania menunduk sementara Dhisti menatap dalam wajah Damian yang tegas.

“Bagus banget, ya. Kalian malah ngobrol,” ujar Damian.

“Maaf, Pak. Satria tadi nangis jadi saya bawa kemari,” balas Dhisti.

Lelaki itu menghampiri keduanya dan menunjuk Satria dengan dagunya. “Terus, kamu pikir anak saya nyaman tidur dalam posisi begitu?”

Dhisti menatap keponakannya yang memejamkan mata, tertidur lelap. “Ini buktinya nggak nangis lagi. Tenang aja, Pak. Satria pasti baik-baik aja.”

Damian menggeleng pelan mendengar perkataan wanita di hadapannya. “Saya nggak ngerti kenapa kamu bisa sesantai ini setelah apa yang kamu lakuin kemarin di rumah Mama. Ini tentang Satria, Dhisti. Kamu kan tahu, dia baru aja imunisasi.”

Dhisti terdiam. Ia membuka mulutnya tapi Damian lebih dulu mengangkat tangannya. “Ke kantor saya sekarang.”

Damian berlalu dari hadapan mereka, meninggalkan Dhisti dengan perasaan tak menentu. Rania mengelus pelan lengan sahabatnya, memintanya bergegas. “Sana, sebelum dia marahin lo lagi.”

**

Dhisti merapikan selimut Satria, memastikan keponakannya nyaman. Di dekat Dhisti, Damian menatap anaknya lembut sebelum mengelus pelan pipinya. Ada seulas senyum yang terbentuk di bibir Damian. Lelaki itu kini berjalan ke arah jendela yang terbuka lebar. Dia memilih konsep alam untuk kantornya untuk menciptakan kreativitas sekaligus berkontribusi untuk penghematan energi.

“Saya nggak jadi bawa Satria ke apartment, Dhis. Untuk sementara, kamu bebas tugas," ujar Damian.

Dhisti mengernyitkan kening, tapi ia menahan diri untuk tidak bertanya lebih lanjut. 

“Saya harap kamu nggak menilai saya nggak punya pendirian. Saya mau merawat Satria tapi Mama punya pandangan lain. Saya nggak bisa menolak permintaannya."

Damian berbalik dan menemui sepasang mata almond Dhisti yang menatapnya lekat. Wanita itu tidak pernah menyangka jika Damian punya pikiran seperti itu.

“Saya menghargai setiap keputusan Bapak. Itu pasti yang terbaik,” jawab Dhisti pada akhirnya. 

Damian mengangguk sebelum memperhatikan Dhisti lagi. Wanita itu memilih dress selutut warna toska yang pas di kulitnya yang sawo matang. Sejenak, Damian merasakan kenyamanan yang mengalir di hatinya. Secepat rasa itu datang, Damian harus menyingkirkannya agar tidak jatuh terlalu dalam.

“Oh ya, kamu jangan kepedean sama peristiwa kemarin. Saya memeluk kamu karena refleks aja. Nggak ada maksud yang lebih jauh,” ujar Damian.

Dhisti terperanjat dengan perubahan sikap Damian yang begitu cepat. Selalu begitu perputarannya seperti ada hal yang mengganjal Damian untuk mengekspresikannya perasaannya.

“Saya biasa aja kok, Pak. Saya lebih banyak takutnya. Dari sini, kelihatan kan, siapa yang sebenarnya berpikir ke arah sana?”

Damian tercengang dengan jawaban Dhisti yang berbalik padanya. Lelaki itu hendak membalas tapi Dhisti sudah keburu pergi, meninggalkan Damian dengan rasa tak karuan.

"Sial. kenapa kesannya aku menomorsatukan perasaan dia sekarang?"

**

Nadia menatap wajah Satria yang damai sambil menimangnya. “Mama senang sekali akhirnya Satria kembali. Mama kangen banget sama dia, Dami.”

Damian mengangguk sebelum melanjutkan makannya. Tak lama, lelaki itu menoleh pada Dhisti yang baru datang dari dapur. “Kamu udah pesan taksi? Saya nggak bisa antar kamu pulang.”

Dhisti membuka mulut tapi Nadia lebih dulu menimpali. “Dami, ini udah malam. Biar Dhisti menginap di sini. Ada kamar tamu yang bisa dipakai juga.”

Damian membulatkan mata mendengar ide Nadia. “Ma, tapi tugas Dhisti udah selesai buat hari ini.”

“Iya, Tan. Aku memang mau izin pulang.”

Nadia mengembuskan napas menatap keduanya dengan pandangan tajam. “Damian, abis makan kamu temenin Dhisti ke minimarket buat beli keperluan mandinya. Besok pagi Dhisti bantuin Mama buat bubur. Masakan Dhisti enak dan Mama mau makan bubur lagi.”

Damian mengerang dalam hati. Ia tidak pernah menduga pikiran Nadia yang malah memaksanya untuk lebih lama berada dekat Dhisti. 

Dan di sinilah mereka sekarang. Damian memegang setir dengan pandangan terarah ke depan. Sepuluh menit berlalu tanpa perbincangan apapun. Perlahan, Dhisti menatap wajah lelaki itu dengan debaran hangat di dada. 

“Terima kasih sudah baik sama saya, Pak. Saya tahu ini merepotkan tapi saya juga nggak ada pilihan lain. Menolak permintaan Tante Nadia nggak mudah buat saya, Pak.”

Damian mengulas senyum tipis. “Sekarang kamu merasakan jadi saya, kan?"

“Kadang, ada saatnya kita harus menuruti perkataan mereka, Pak. Orangtua kan, wakil Tuhan di bumi. Saya senang ketemu Tante Nadia yang perhatian. Walau akhirnya malah merepotkan Bapak seperti sekarang,” ujar Dhisti sambil meringis.

Damian menoleh pada Dhisti dan teringat latar belakang wanita itu.

“Saya ngerti keadaanmu, Dhis. Pasti sulit buat hidup dalam tekanan, sementara kamu nggak pernah dikasih pilihan buat bahagia.”

Dhisti terdiam sebelum melirik lelaki itu. “Ya, kadang-kadang, Pak.” 

“Gimana caranya kamu bertahan? Tante Nuri dan Laras jarang berlaku baik padamu, kan?”

Dhisti mengembuskan napas perlahan. “Saya pikir kekuatan itu muncul secara natural, Pak. Saat saya udah menyerah, di situlah saya jadi kuat. Lagian, semua hal terjadi karena satu alasan, Pak.”

Damian terdiam lama, mencerna perkataan wanita di sebelahnya. “Kamu nggak marah sama takdirmu?”

Dhisti mengulas senyum. “Ada hal yang selalu bisa saya syukuri, meski itu sulit. Tapi, kalau saya memilih jalan terus, pasti pintu kesempatan lain akan terbuka, Pak.”

Damian mengulas senyum lebar mendengar perkataan Dhisti. “Saya salut sama kamu.”

Wajah wanita itu merona merah. “Biasa aja kok, Pak.”

Damian mengembuskan napas. “Nggak baik kalau dipuji malah merendah. Atau kamu pikir saya nggak serius?”

Dhisti menoleh pada lelaki itu. Wajah lelaki itu terlihat kesal. Dhisti pikir, sekali-kali tidak apa menggodanya. “Iya, Pak. Nanti saya rapel aja makasihnya, hehe."

Damian menggeleng pelan seiring tangannya yang mengacak rambut Dhisti perlahan, membuat hati wanita itu berantakan. 

“Sebenarnya, kita udah sejauh apa, Damian?”batin Dhisti.

**

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Pisah Temu
1039      561     1     
Romance
Jangan biarkan masalah membawa mu pergi.. Pulanglah.. Temu
Renjana
509      376     2     
Romance
Paramitha Nareswari yakin hubungan yang telah ia bangun selama bertahun-tahun dengan penuh kepercayaan akan berakhir indah. Selayaknya yang telah ia korbankan, ia berharap agar semesta membalasnya serupa pula. Namun bagaimana jika takdir tidak berkata demikian? "Jika bukan masaku bersamamu, aku harap masanya adalah milikmu."
HADIAH PALING BERHARGA
581      392     4     
Short Story
Seorang wanita yang tidak bisa menerima kenyataan, keharmonisannya berubah menjadi kebencian, sebuah hadiah yang mengubah semua hal tentangnya .
Tanpa Kamu, Aku Bisa Apa?
120      95     0     
Romance
Tidak ada yang pernah tahu bahwa pertemuan Anne dan Izyan hari itu adalah hal yang terbaik bagi kehidupan mereka berdua. Anne tak pernah menyangka bahwa ia akan bersama dengan seorang manager band indie dan merubah kehidupannya yang selalu menyendiri menjadi penuh warna. Sebuah rumah sederhana milik Anne menjadi saksi tangis dan canda mereka untuk merintis 'Karya Tuhan' hingga sukses mendunia. ...
Drama untuk Skenario Kehidupan
10470      2126     4     
Romance
Kehidupan kuliah Michelle benar-benar menjadi masa hidup terburuknya setelah keluar dari klub film fakultas. Demi melupakan kenangan-kenangan terburuknya, dia ingin fokus mengerjakan skripsi dan lulus secepatnya pada tahun terakhir kuliah. Namun, Ivan, ketua klub film fakultas baru, ingin Michelle menjadi aktris utama dalam sebuah proyek film pendek. Bayu, salah satu anggota klub film, rela menga...
Love in the Past
560      416     4     
Short Story
Ketika perasaan itu muncul kembali, ketika aku bertemu dengannya lagi, ketika aku harus kembali menyesali kisah itu kesekian kali.
She Is Falling in Love
532      331     1     
Romance
Irene membenci lelaki yang mengelus kepalanya, memanggil nama depannya, ataupun menatapnya tapat di mata. Namun Irene lebih membenci lelaki yang mencium kelopak matanya ketika ia menangis. Namun, ketika Senan yang melakukannya, Irene tak tahu harus melarang Senan atau menyuruhnya melakukan hal itu lagi. Karena sialnya, Irene justru senang Senan melakukan hal itu padanya.
Hug Me Once
8688      1962     7     
Inspirational
Jika kalian mencari cerita berteman kisah cinta ala negeri dongeng, maaf, aku tidak bisa memberikannya. Tapi, jika kalian mencari cerita bertema keluarga, kalian bisa membaca cerita ini. Ini adalah kisah dimana kakak beradik yang tadinya saling menyayangi dapat berubah menjadi saling membenci hanya karena kesalahpahaman
Cinta Tiga Meter
699      437     0     
Romance
Fika sudah jengah! Dia lelah dengan berbagai sikap tidak adil CEO kantor yang terus membela adik kandungnya dibanding bekerja dengan benar. Di tengah kemelut pekerjaan, leadernya malah memutuskan resign. Kini dirinya menjadi leader baru yang bertugas membimbing cowok baru dengan kegantengan bak artis ibu kota. Ketika tuntutan menikah mulai dilayangkan, dan si anak baru menyambut setiap langkah...
Love Dribble
10586      2041     7     
Romance
"Ketika cinta bersemi di kala ketidakmungkinan". by. @Mella3710 "Jangan tinggalin gue lagi... gue capek ditinggalin terus. Ah, tapi, sama aja ya? Lo juga ninggalin gue ternyata..." -Clairetta. "Maaf, gue gak bisa jaga janji gue. Tapi, lo jangan tinggalin gue ya? Gue butuh lo..." -Gio. Ini kisah tentang cinta yang bertumbuh di tengah kemustahilan untuk mewuj...