Permukaan air itu tenang dan bersih hingga Dhisti bisa melihat ikan yang berenang di dalamnya. Bunga tulip warna-warni mengelilingi area tempat ia duduk. Namun suara alarm yang kencang membuatnya meninggalkan tempat itu.
Dhisti mengerjapkan mata sebelum mengaduh. Kaki dan tangannya seperti mati rasa. Damian memperhatikan gerakan Dhisti dengan tajam sambil memegang gawainya. Lelaki itu tidak bisa menunggu lebih lama lagi hingga muncullah ide itu.
Menyadari Damian ada di hadapannya dan menjadi orang pertama yang melihatnya bangun tidur, Dhisti merapikan rambutnya. Tak ia hiraukan rasa pegal di tangannya.
“Eh, ya ampun, Pak. Ini jam berapa, ya?”
Damian menggeleng, menatap wanita itu tajam. Namun, sudut hatinya merasakan ketenangan saat bersama Dhisti, entah dalam keadaan apapun itu. “Udah malam. Cepat beresin barangmu. Kita pulang,” ujar Damian lagi. Lelaki itu mengambil kunci mobil dan tasnya sebelum berlalu, mengabaikan rasa tadi.
Dhisti melongo menyadari apa yang terjadi. Tak mau Damian kembali memarahinya, wanita itu beranjak dari tempatnya. Benar saja. Damian melirik jam tangannya berkali-kali, tak sabar menanti wanita itu.
"Maaf ya, Pak. Saya ketiduran," ujar Dhisti setelah memasang sabuk pengaman.
Damian berdecak sebelum menyalakan mesin mobil.
"Apa susahnya ngerjain hal yang familiar, Dhis? Lagian kamu kan udah nggak kuliah. Tugasmu cuma di A Latte.”
Dhisti membuka mulut tapi ia urung membela diri. Damian tidak tahu kalau menjaga Satria diselingi menulis draft di blog juga memakan waktu dan tenaga. Namun, wanita itu hanya bisa terdiam, mengingat status Damian yang di atas dirinya.
Dhisti memandang keluar jendela, memperhatikan jalan yang lengang. Wanita itu membayangkan kasur yang empuk setelah mandi air hangat. Melirik Damian yang fokus menyetir, Dhisti merasakan perlindungan dan ketulusan yang terselubung keangkuhan. Kadang, wanita itu tidak mengerti perasaannya yang menuntunnya dalam relung penuh ketidakpastian.
**
Damian memilih pakaian kasual untuk bertemu Rendra pagi itu. Rendra mengajaknya untuk bekerjasama untuk masa depan A Latte yang lebih baik. Rendra memiliki kebun kopi yang cukup luas dan itu adalah komoditas utama yang Damian cari.
Damian tiba lebih dulu di kafe Senja yang bergaya klasik dengan bangku dan meja yang bernuansa putih. Ia memindai tempat itu tapi tidak menemui Rendra. Damian berbalik dan berjalan menuju teras. Langkahnya cepat saat seseorang memanggil namanya. Menoleh, ia menemui seorang lelaki dengan wajah familiar.
"Auriga? Hey, lo apa kabar?" sapa Damian penuh semangat.
Auriga mengulas senyum lebar dan menepuk pundak sahabatnya. "Kayak yang lo lihat. Well, gue pikir lo satu-satunya orang yang nggak terpengaruh sama kehadiran Ngopi, Yuk."
Damian memicingkan matanya. "Maksudnya?"
Auriga mengangkat bahu dan seketika tertawa. "Benar, kan? Oke, biar gue refresh lagi. Tania dan Laras. Apa yang lo ingat pas denger nama mereka?"
Damian membulatkan mata dan merangkai semuanya. Lelaki itu ingat sekarang. Tania yang ia tanyakan ternyata tunangan Auriga.
"Gue nggak ada maksud buat menghancurkan bisnis lo. Tania memang dapat kesempatan buat meniti karir di bidang hiburan. Dan gue cuma mau mengisi waktu setelah nggak ada proyek lagi. Nggak nyangka juga kalau responnya akan seramai itu."
Damian mengangguk penuh pengertian. "Ada saatnya kafe gue sepi, Ga. Dalam dunia bisnis, wajar aja."
Auriga menatap wajah sahabatnya. Sekian lama mereka tidak bertemu dan Auriga ingin tahu sedalam apa rasa Damian terhadap Laras. "Gue cukup shocked juga pas tahu kalau lo deketin Laras dan lo tahu kelanjutannya," ujar Auriga.
Damian terperanjat mendengarnya. Yang lelaki itu tahu, hanya kerabat dekat mengetahui tentang apa yang terjadi. "Dari mana lo dengar soal itu?"
Auriga mengangkat bahu. "Simple. Gue nggak sengaja ketemu Tante Nuri di supermarket. Dia memang marah sama gue. Yah, dia mengeluarkan semua kekecewaannya. Tapi dia lebih kecewa sama lo, Damian."
Damian menggeleng dan mengalihkan pandangan ke pucuk pohon cemara. Ia tidak tahu harus membalas apa. Menyadari Damian yang kehilangan kata, Auriga melanjutkan.
"Gue tahu kesalahan gue ninggalin Laras. Tapi setelah gue pikir, yang lo lakuin udah terlalu parah. Masa depan Laras hancur, Dam. Apa lo mau tahu dia sekarang gimana?"
Damian memusatkan perhatian pada lelaki di hadapannya. "Dia dan Tante Nuri cuma menyerahkan anak itu sebelum pergi."
Auriga memicingkan mata. "Ah, pantas aja. Buat info aja, Laras hampir gila karena anak itu. Lo pasti nggak tahu, kan?"
Damian menggeleng. Biarpun Laras membencinya setengah mati, Damian tahu kalau Laras wanita yang tidak akan berlama-lama hanyut dalam kesedihan.
"Lo jangan ngarang cerita, Ga. Lo udah kehilangan dia dan nggak peduli lagi sama hidupnya."
Auriga menaikkan alis, tak percaya kalau Damian tidak semudah itu untuk dipancing. "Bisa dibilang kita sama tapi lo lebih nggak berperikemanusiaan. Wajar kalau Laras ninggalin lo, orang yang berpikiran pendek."
Damian membulatkan mata mendengar perkataan itu keluar dari mulut orang yang selama ini menjadi sahabatnya.
"Maksud lo apa?" tanya Damian, mengepalkan kedua tangannya.
"Damian, Damian. Lo cuma bersembunyi di balik wajah rupawan. Tapi sebenarnya lo berbakat juga menghancurkan hidup seseorang. Setelah ini, lo punya rencana buat ngehamilin siapa lagi, hah?"
Damian tidak bisa menahan amarah atas perkataan yang ditujukan padanya. Dengan kencang, ia meninju perut Auriga dan menendang kaki belakang lelaki itu. Ada kepuasan tersendiri ketika ia bisa mengeluarkan segala emosi negatif.
Auriga mengaduh tapi ia tidak terima dengan serangan Damian yang di luar dugaan. Auriga, menahan sakit, mendekati Damian dan mengepalkan tangan sebelum mendarat di wajah lelaki itu. Damian yang tidak bisa menahan keseimbangan tubuhnya, tersungkur hingga punggungnya mengenai ujung meja. Auriga menambah pukulannya hingga Damian meringis kesakitan. Ia berusaha berdiri. Namun, nyeri yang tak tertahankan menghambatnya. Beberapa orang menjauh dari keduanya, tak ingin terlibat masalah. Auriga mengulas senyum simpul melihat Damian yang tak berdaya.
"Udah lah, Dam. Kita sama-sama brengsek. Seharusnya lo nggak perlu tersinggung sama perkataan gue," ujar Auriga, mengulurkan tangan, berniat membantu.
Damian mendongak, tak terima dengan perlakuan Auriga yang merendahkannya. Ia mengumpulkan kekuatannya dan berdiri tanpa bantuan Auriga.
Pancaran mata keduanya begitu penuh kebencian dan amarah. Damian mendorong Auriga dan memojokkannya di tembok.
"Lo emang nggak pantas jadi sahabat gue setelah apa yang hari ini lo lakuin, Ga. Gue nggak masalah sama kafe Tania tapi siapa yang nggak emosi pas lo bicara seenaknya tentang gue?"
Auriga tertawa meletakkan tangannya di pundak Damian. "Dan apa lo ngerasa layak juga, hah? Gue sebenarnya mau say thanks karena lo udah menjaga Laras tapi lo malah kebablasan."
Damian menarik ujung kerah Auriga, mengabaikan rasa sakitnya. "Lo jangan pernah lagi manggil gue. Atau lo bisa dapat yang lebih daripada ini."
Auriga mengulas senyum setelah Damian melepaskan cengkeramannya. "Wow! Gue akan tunggu hari itu, Dam," ujar Auriga sebelum berlalu.
Damian menatap punggung lelaki itu yang menjauh dengan amarah yang masih tersisa. Lelaki itu mengambil gawai, mencari kontak Rendra. Ia harus membatalkan pertemuan ini atau nama baiknya akan tercoreng.
"Damian!"
Lelaki itu mendongak bersiap untuk bertarung lagi. Namun, ia tertegun ketika Rendra menyapanya. "Kamu, apa yang terjadi?" tanya Rendra meneliti wajah lelaki itu.
Damian menyentuh pipi dan sudut bibirnya sebelum mengaduh. "Ah, ada masalah kecil tapi nggak papa."
Rendra menggeleng. Ia menuntun Damian ke mobilnya dan meninggalkan lelaki itu sebentar
"Saya barusan minta pihak kafe membereskan kekacauan."
Damian membuka mulut tapi Rendra menahannya. "Saya antar kamu ke klinik buat bersihin lukamu."
Damian menghela napas. "Maaf, Pak kalau saya malah merepotkan. Kita ganti pertemuan ini lain waktu, ya?"
Rendra mengibaskan tangan. "Saya kenal kamu, Dam. Kamu pasti sedang ada masalah lain. Selesaikan saja dulu. Urusan ini bisa kapan saja."
Damian menutup matanya, menahan nyeri di sekujur tubuhnya. Tapi lebih lagi rasa bersalah dan luka yang terbentuk karena peristiwa ini. Lelaki itu berharap ada jalan keluar terbaik untuk semua yang ia hadapi.
**