Sinar mentari menyeruak masuk ke kamar Damian, membuatnya merenggangkan badan dan perlahan membuka mata. Pikirannya segera tertuju pada Satria. Semalaman anak itu menangis membuat Nadia dan dirinya kewalahan.
“Apa mungkin dia mau ketemu ibunya, ya? Sejak awal dia diabaikan. Ah, tapi Oma pasti bisa buat kamu tenang, Satria,” ujar Nadia sambil menimang cucunya.
Satria menggeliat dan terus menangis hingga Damian mengambil alih. Lelaki itu mengelus pelan pipi Satria dan membisikkan kata penuh cinta. Anak itu seketika terdiam tapi tak lama.
Damian menggeleng, teringat perkataan Nadia barusan. Bisa saja hal itu berpengaruh mengingat kondisi Satria yang tidak pernah merasakan kasih Laras. Dari awal, wanita itu menganggap kehamilannya adalah sebuah bencana. Namun, Damian tidak menyalahkan Laras seratus persen. Wanita itu justru menanggung beban yang bukan main beratnya.
“Satria, anak Papa. Jadilah anak yang kuat dan bahagia, ya. Papa janji untuk belajar jadi yang terbaik buatmu,” ujar Damian, mengelus kepala anaknya.
Pintu yang berderit mengembalikan lelaki itu pada kenyataan. Nadia masuk dan membawa nampan berisi sereal dan apel merah potong.
"Pagi, Ma. Tumben kemari."
Nadia mengulas senyum meletakkan nampan di nakas. "Udah jam sepuluh, Dami. Kamu pasti kecapekan karena begadang. Makannya Mama siapin sarapan terus bawain ke kamarmu."
Damian tersenyum lembut sebelum beranjak untuk mencuci wajah. “Thanks, Ma. Kita sarapan bareng.”
Nadia mengangguk sebelum mengedarkan pandang ke penjuru kamar anaknya. Tumpukan pakaian kotor di keranjang sebagian mencuat hingga berjatuhan di lantai. Beberapa buku tersebar di meja komputer dan tempat tidur. Belum lagi kertas-kertas yang mencuat dari map di meja. Nadia berjongkok dan menyentuh lantai. Ia bergidik, menyadari debu yang menempel di permukaan. Wanita paruh baya itu kembali berdiri, memijat pelipis melihat kelakuan Damian.
"Mama pusing?" tanya Damian mengusap wajahnya dengan handuk.
Nadia menatap lelaki itu dalam. Tak lama Nadia menggeleng tak percaya ketika Damian melemparkan handuk tadi ke sisi tempat tidur sebelum mengenakan kaus.
"Dami, Mama menghargai waktumu buat kerja di kafe. Kamu memang lebih sering pulang malam. Tapi apa kamu nyaman sama kamar yang berantakan gini? Masak nggak ada waktu sebentar aja buat nyapu dan lainnya? Terus itu handuk, haduh. Nggak ngerti lagi Mama," ujar Nadia dengan kesal.
Damian menaikkan bahu dan mengambil apel. "Ini rapi, Ma. Aku udah beresin tapi berantakan lagi. Jadi ya, biarkan aja."
Nadia berdecak kesal dan mendekati Damian yang mengunyah apelnya dengan santai.
"Mama pikir kamu perlu seseorang yang peduli sampai hal yang kamu anggap remeh sekalipun. Seseorang yang juga bisa jadi teman ngobrol.”
Damian menyendok apel dan serealnya. “Maksud Mama?”
Nadia mengembuskan napas. “Sudah saatnya kamu buka hati buat wanita lain. Kalau Laras nggak bisa mencintaimu, Mama setuju kamu deketin Dhisti. Dia pasti bisa mengimbangimu. Dan Satria pasti langsung menyukainya.”
Apel yang Damian kunyah hampir tertelan begitu saja. Wajah Damian memerah, menahan agar apel itu tidak masuk tanpa dicerna dulu. Cepat, Nadia menyodorkan gelas berisi air mineral pada lelaki itu. Damian menghela napas dan menatap wajah Ibunya.
“Ma, aku perlu waktu buat mencintai seseorang. Apalagi aku abis kehilangan Laras, wanita yang aku sayang. Lagian, kenapa harus Dhisti? Dia cuma buat aku makin pusing, Ma.”
Nadia meraih tangan anaknya dan meremasnya lembut. “Mama ngerti. Ini cuma masukan buatmu. Biar bagaimanapun, Satria akan bertambah besar dan dia pasti mencari sosok ibu. Bukannya nanti malah menambah pikiranmu? Soal Dhisti. Kamu cuma lihat dari luarnya, Dami. Kamu perlu ajak dia ngobrol santai aja. Mama yakin kamu cepat nyaman sama dia."
Damian terdiam, mencerna perkataan Nadia. “Mama nggak memaksamu untuk segera menikah, Dami. Pasti sulit untuk memaafkan dirimu. Tapi kalau ada kesempatan untuk mencintai dan dicintai, jangan kamu siakan,” lanjut Nadia.
Lelaki itu mengalihkan pandang keluar, menemui pohon mangga yang berbuah lebat sebelum menatap Nadia lagi. Ia sangat mengerti kekhawatiran Nadia tentang masa depan Satria. Tapi lelaki itu tidak ingin gegabah juga dalam memilih pasangan hidup. Laras sudah membencinya dan Damian perlu meyakinkan diri bahwa dirinya layak memberi dan menerima kasih yang tulus suatu hari nanti.
“Aku juga memikirkan hal itu, Ma. Tolong kasih aku waktu buat mewujudkan yang terbaik.”
Nadia menemukan sinar penuh keyakinan dari sepasang manik cokelat anaknya.
“Oh, by the way, apa Mama udah memaafkanku atas kesalahanku sama Laras?” tanya Damian.
Nadia mengernyitkan kening. “Kenapa bicara begitu, Dami? Mama memang kecewa dan marah. Tapi semua sudah terjadi. Kamu pasti belajar dari pengalaman itu, kan?”
Damian mengulas senyum menatap Nadia yang merentangkan tangan. Lelaki itu menyambutnya dan memeluk Nadia dengan erat. Kehangatan yang bergabung dengan penerimaan Nadia sungguh menjadi ketenangan tersendiri bagi Damian.
**
Ayla hitam Damian melaju menuju A Latte saat mentari sudah hampir redup. Biasanya kafenya sedang ramai dan ia sangat menyukai atmosfer penuh persahabatan yang berpadu dengan aroma kopi dan croissant. Saat tiba di belokan, Damian melambatkan mobilnya, menyadari kemacetan yang tercipta. Ia mendesah, saat matanya bersirobok dengan sebuah bangunan bergaya klasik, seperti rumah ala victorian. Di area parkir, kendaraan penuh sesak, hampir berdempetan. Pintu yang menutup tak lama membuka, memamerkan beberapa orang yang menikmati minuman sementara sisanya berdiri mengantri. Damian mengalihkan pandangan ke papan nama bangunan, menemui banner 'Ngopi, Yuk' yang berwarna jingga.
“Tunggu. Ini kafe baru?” desis Damian.
Lelaki itu mendesah pelan saat menyadari perkataannya. Di depan pintu masuk, terpampang gambar seorang artis ternama dan ajakan untuk mendatangi kafe. Dengan latar belakang hitam dan tulisan menyala, dari jarak jauh pun, Damian bisa membacanya.
‘Beli varian kopi apa saja, dapat snack gratis. Plus, ketemu Tania langsung.’
Damian menghembuskan napas. Iklan itu memang menarik hati siapa saja yang membacanya. Apalagi ditambah kehadiran artis yang ternama itu.
"Tania? Aku kayak pernah dengar nama itu tapi kapan, ya?"
Damian mengumpulkan potongan peristiwa yang terjadi tapi tidak menemukan jawaban. Ia menggeleng dan kembali melaju menemui A Latte yang berjarak seratus meter dari kafe itu. Perlahan, lelaki itu turun dari mobilnya.
Biasanya, Damian menemui beberapa orang sedang asyik bercengkrama sementara Rania dan Bella sibuk melayani mereka. Kini, mereka malah duduk santai. Fino yang biasanya di pantry membuat kopi malah bergabung dengan rekan kerjanya yang lain. Pandangannya kini lekat pada Dhisti yang memainkan bunga daisy di vas. Entah kenapa Damian merasakan ada sedikit ketenangan. Namun, ia dengan cepat menghalaunya.
“Ini kenapa kalian malah nongkrong di sini? Dari tadi belum ada yang datang?” tanya Damian, menatap karyawannya satu per satu.
“Seperti yang Bapak lihat. Sepi,” jawab Dhisti, mewakili para temannya.
“Padahal beberapa hari sebelumnya kita juga kasih discount yang nggak jauh beda dari mereka, Pak,” tambah Fino, menunjuk kafe seberang.
“Apa kita harus mengundang artis papan atas juga, Pak? Biar makin banyak yang kemari,” usul Rania.
Damian menatap lukisan petani kopi di dinding. Lelaki itu tahu kualitas kopi dan snack di kafenya. Ia selalu mengambil kopi dari teman yang ia percaya. Kadang, Damian juga membantu untuk menyiapkan semuanya sebelum didistribusikan. Seharusnya para pelanggan setianya tidak akan tergoda oleh keluaran terbaru itu. Pelayanan di A Latte juga makin baik meski tidak menghadirkan seorang artis. Pasti ada keramahan yang ditawarkan. Kadang, ada live music atau pembacaan puisi setiap akhir pekan. Apa masih ada yang perlu diperbaiki atau malah ditambah? Damian menatap mereka dan berdeham, meminta perhatian.
“Kita adakan evaluasi. Sementara waktu, kita tutup kafe dulu. Saya tunggu di ruang meeting sepuluh menit lagi.”
Para karyawan A Latte saling berpandangan dan tak lama mempersiapkan diri untuk pertemuan dadakan itu.
Semoga ada jalan terbaik buat A Latte, batin Dhisti.
**