Dhisti baru selesai dengan pekerjaannya ketika gawainya bergetar. Ia mengernyitkan kening melihat nama yang tertera di layar. Cepat, ia menggeser ikon telepon dan menyambut suara Nadia.
"Dhis, sibuk nggak? Temenin Tante makan malam, ya. Damian mau lembur soalnya."
Dhisti mengulum bibir dan berpikir sejenak. Tawaran Nadia yang bersahabat ini tidak mungkin ia lewatkan begitu saja. Ditambah, Dhisti bisa melihat Satria lagi.
"Oke, Tan. sebentar lagi aku ke sana."
Pancaran mata Dhisti yang penuh bahagia itu mengundang tanya Rania yang mendekatinya.
"Kayaknya ada yang lagi happy. Curiga gue kalau lo udah merencanakan pernikahan. Pokoknya lo harus ingat gue, ya."
Dhisti tertawa pelan mendengar prediksi sahabatnya itu. Wanita bermata almond itu tak langsung menjawab. Ia melepas apronnya dan mengambil tas di loker, bersiap pulang. Rania mengedarkan pandangan memastikan tidak ada yang mendengar perbincangan mereka. Dhisti menaikkan alis tapi tak lama ia mengerti. Wanita bermata almond itu menunjuk taman belakang dan berjalan ke sana. Daun morning glory yang baru dipangkas memperlihatkan gedung lain yang berdiri angkuh.
"Ran, sekarang gue merasa lebih baik karena Tante Nad menerima gue dengan tulus."
Rania mengulas senyum menyadari binaran penuh bahagia yang terpancar di sepasang mata Dhisti.
"Hm, bisa dibilang lo lagi latihan ketemu calon mertua. Gue ikut senang kalau lo beneran sama Pak Bos. Terlepas dari apa yang udah terjadi."
Dhisti hanya menaikkan bahu tapi ia bisa merasakan pipinya memerah. Mendengar kata itu saja membuat hatinya tak karuan. "Ah, kayaknya terlalu cepat prediksi lo. Gue cuma bantuin jaga keponakan gue. Soal perasaan, mana ada yang tahu, Ran."
Rania menghembuskan napas, menatap wajah Dhisti. "Lo selalu menyangkal padahal gue bisa lihat cinta lo makin besar. Buktinya lo nggak mikirin Laras dan Damian yang membuat luka di hati lo. Lo malah sayang sama anak mereka meski awalnya lo nggak pernah suka dengan kehadirannya."
Dhisti mencerna perkataan sahabatnya yang ada benarnya. Ia hanya melihat kesedihan selama ini padahal masih ada banyak hal yang bisa ia syukuri. "Tapi semua balik ke lo, Dhis. Sebagai teman dekat, gue akan selalu dukung keputusan lo," lanjut Rania.
Dhisti mengulas senyum dan membawa Rania dalam pelukan. "Thanks, Ran. Lo memang yang terbaik. Gue yakin, lo pasti bertemu dengan lelaki yang mengerti lo nantinya."
Rania tertawa. "Apa gue sedpresi itu sampai lo bisa ngomong begitu? Lo aja masih belum jadian sama siapapun, Dhis."
"Itulah gunanya sesama single, Ran. Kita bisa saling menguatkan."
Keduanya tertawa bahagia melepaskan segala hal yang menghimpit pikiran. Dhisti menghentikan tawanya dan menatap Rania.
"Tante Nad ngajak makan malam. Nggak tahu kenapa gue seneng aja."
Rania membulatkan mata. "Nah, kan. Ini awal yang bagus. Gue yakin dia juga suka sama lo."
Dhisti mengiakan dengan mantap sebelum akhirnya berpamitan pada Rania.
Tak lama, rumah minimalis itu kembali memenuhi penglihatan Dhisti, memunculkan sukacita dalam hati wanita bermata almond itu. Nadia menyambut Dhisti sebelum memeluknya. "Tante lagi buat pastel isi sayur. Kamu suka, nggak?"
"Itu favoritku, Tan. Aku bantuin, ya," ujar Dhisti penuh semangat. Nadia membulatkan mata mendengarnya dan segera mengajak tamunya ke dapur.
Dhisti membulatkan mata menyadari dapur modern dengan peralatan masak high class. Laci-laci tinggi menjadi pelengkap. Di meja ada kompor dan blender yang tutupnya terpisah. "Tante belum sempat beres-beres. Jadi berantakan gini. Tapi kadang Dami bantuin."
Dhisti mengulas senyum menyadari ini masih dalam tahap rapi. "Oh ya? Tante pasti senang."
Nadia tertawa. "Tapi abis itu dia minta dipijat. Ngomong- ngomong, kamu udah lama kenal Dami, Dhis?"
Dhisti berpikir sejenak. "Sekitar empat tahun, Tan. Sejak aku kerja di A Latte."
Nadia menoleh pada Dhisti yang memotong wortel. "Rupanya kamu bisa menarik hatinya sampai dia percayakan Satria sama kamu. Tante pikir, Dami memilih orang yang tepat."
Tangan Dhisti terhenti di udara sambil menatap manik hitam Nadia yang memancarkan keseriusan. "Ah, bukan gitu, Tan. Aku masih ada hubungan sama Laras. Jadi, dia meminta tolong."
Wanita paruh baya itu menggeleng pelan mendengar alasan Dhisti. "Bisa aja jawabnya. Dhis, seandainya kamu jadi anak Tante, pasti semua ini terasa lebih berwarna."
Dhisti hanya tersenyum, tidak ingin rasa ini terus dipupuk jika akhirnya malah tidak membahagiakan.
"Tapi kamu masih sering kirim pesan dengan Laras?" tanya Nuri menyiapkan adonan kulit.
Dhisti menggeleng. "Kadang aku kangen sama mereka tapi aksesku sudah ditutup. Yang kuingat, mereka pindah ke Bandung, Tan."
Nadia membulatkan mulutnya sebelum meminta Dhisti untuk memasukkan potongan sayuran tadi. Nadia harap hubungannya dengan Nuri kembali terjalin baik suatu hari nanti. Dan Laras bisa menerima Damian.
"Satria masih tidur. Tadi udah Tante siapkan susu kalau dia bangun. Abis ini, Tante ajarin cara buatnya dan cuci botolnya biar steril."
Dhisti tersenyum membayangkan wajah Satria yang penuh kedamaian. Keduanya segera larut dalam perbincangan lain. Yang Dhisti tahu hatinya merekah bahagia.
**
Damian mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang. Pikirannya tertuju pada sosok yang ia rindukan. Kehilangan kontak dan kehadirannya yang tidak pernah dianggap menjadi tanda untuk menjauh. Lelaki itu mengembuskan napas mengamati rumah minimalis di hadapannya. Pekarangannya masih sama. Namun, ada spanduk besar dengan warna menyala yang menyatakan rumah itu dijual. Damian menyugar rambutnya dan membuka pintu mobil. Ia berjalan menuju rumah Laras dan menyentuh pagarnya. Seakan bisa merasakan kehadiran Laras, lelaki itu menggumam.
"Kamu memang nggak memberiku kesempatan Ra. Kamu pergi tanpa pamit dan meninggalkan luka. Padahal kita bisa saling menyembuhkan asal percaya sama prosesnya."
Damian mendesah pelan dan berbalik. Hari ini akan menjadi yang terakhir untuknya mengenang Laras. Hari penuh harapan sudah menunggunya dan ia siap menerimanya.
"Dan aku yakin kamu juga menemukan yang lebih baik dariku, Ra."
Dengan pikiran itu, Damian mengarahkan Ayla hitamnya menuju rumah Nadia, menemui Satria. Biasanya Damian akan menemukan kehangatan saat memasuki rumah ibunya. Namun, semuanya berubah menjadi tanda tanya ketika manik cokelat Damian menemukan Dhisti. Wanita bermata almond itu duduk di sofa bersama Nadia. Keduanya sibuk menyulam.
Nadia tersenyum melihat Damian yang mendekat. "Dami, Dhisti jago loh, buat sepatu bayi. Mama lagi belajar sama dia."
Damian mengangkat bahunya dan berjalan ke kamar Satria. "Dami, mandi dulu. Kamu abis dari luar."
Lelaki itu menghentikan langkah dan berbelok ke taman. Nadia menoleh pada Dhisti dan memintanya untuk menemani anaknya.
Dhisti terdiam dan ragu sejenak. Tapi ia mengikuti saran Nadia juga. Damian berdiri membelakanginya menatap bintang. Dhisti tertegun di tempatnya tak tahu memulai pembicaraan. Menyadari kehadiran Dhisti, lelaki itu berbalik. "Kamu udah urusin Satria?"
"Udah, Pak. Tadi Tante Nadia minta saya kemari."
Damian tidak menjawab. Ia bersedekap memberi kesempatan bagi Dhisti untuk mengamati wajah lelaki itu.
"Bapak kelihatan capek banget. Apa karena lembur?"
Damian terdiam lama tapi ia tidak mau Dhisti tahu apa yang ia rasakan. "Saya cuma perlu istirahat lebih aja. Udah malam, Dhis. Kamu saya pesankan taksi aja, ya."
Wanita itu menggeleng. "Saya bisa sendiri, Pak."
Damian berdecak kesal. "Nggak usah bantah. Kamu itu masih ada tanggungan blog. Kalau kamu kenapa-napa di jalan, saya repot."
Dhisti memajukan bibir, tidak suka dengan jawaban itu. Damian melirik wanita di sampingnya dan menikmati ekspresi kesal itu. Sebentar lelaki itu menyodorkan gawai pada Dhisti.
"Kamu ketik alamatnya sendiri."
Dhisti menurut dan jemarinya segera menari di papan ketik.
"Tapi ini potong gaji. Kamu juga udah numpang makan, dianterin kemari. Semua perlu uang, Dhis. Saya akan rekap semua pengeluaranmu."
Dhisti membulatkan mata mendengarnya. Ia menoleh pada Damian dan menemukan ketegasan di matanya.
"Ih, perhitungan banget, Pak."
Damian mengulas senyum penuh kemenangan. "Memang harus begitu. Nggak ada yang gratis Dhis. Udah sana, siap-siap. Kami mau tidur."
Dhisti menarik napas sebelum membuangnya. Tahan Dhis. Dia Bosmu.
"Oke. Terima kasih jamuannya, Pak."
Damian mengulas senyum melihat Dhisti. Lelaki itu yakin Dhisti menaruh kekesalan dan itu tandanya dia berhasil membalas Dhisti atas perkataan isengnya kemarin.
**