Dhisti memandang rumah minimalis di hadapannya dengan debaran di dada.
"Turun. Kita langsung ke Mama," ujar Damian yang duduk di sebelahnya dengan tegas.
Wanita bermata almond itu menghembuskan napas sebelum mengikuti langkah Damian. Pekarangan rumah Nadia begitu asri. Pot-pot aglaonema bergantungan dengan rapi di sebuah palang dengan sulur dedaunan artifisial. Di depan pintu masuk, ada area yang ditanam pakis-pakisan dan tanaman hijau lain. Semua itu ditambah dengan kolam ikan kecil. Menatapnya saja sudah membuat hati Dhisti damai. Ia bisa menghabiskan waktu dengan membaca buku atau berkebun di sini.
"Dhis,cepet. Malah ngelamun. Saya nggak mau antar kamu pulang kalau terlalu malam."
Wanita itu memajukan bibirnya. Tapi ia menurut juga walau sedikit kesal.
Damian berjalan cepat menuju sebuah kamar di dekat meja makan. Nadia mengulas senyum pada anaknya sebelum kembali melipat pakaian milik Satria. Wanita paruh baya itu menghentikan pekerjaannya saat Dhisti mengangguk hormat padanya.
"Halo,Tante. Apa kabar?" tanya Dhisti dengan ramah.
Nadia memicingkan mata dan memindai sosok di hadapannya. Ingatannya kembali pada pertemuan di rumah makan Sunda setahun lalu. "Kamu yang waktu itu, kan?"
Dhisti mengiakan mengulum bibir. Wanita paruh baya itu beranjak dari tempatnya dan menatap Dhisti dalam.
“Dhisti, Tante minta maaf atas pertanyaan Tante waktu itu. Bukannya nggak menghargai privasimu, tapi semua seperti terjadi begitu saja.”
Dhisti tersenyum ramah dan menatap wajah Nadia yang bersahaja itu. Kacamata yang bertengger di hidung Nadia seperti cocok di wajah bulatnya. Bahkan rambut yang sebagian memutih itu menjadi hal terindah yang pernah Dhisti lihat.
Entah mengapa ada kehangatan yang menjalar di hati Dhisti ketika ada di dekat Nadia. Semua itu ditambah dengan senyuman Nadia yang terlihat tulus. Dhisti sanggup menyimpannya dalam relung hati dan menjadikan itu sebagai kekuatannya.
“Iya, nggak papa, Tante. Aku juga sudah lupa,” jawab Dhisti.
Nadia mengelus pelan pundak Dhisti dan meminta wanita bermata almond itu duduk di dekatnya.
Tante senang kalau ada yang bantuin merawat Satria. Apalagi setelah Laras dan Ibunya menyerahkan anak itu tanpa mau bertemu kami lagi,” ujar Nadia lagi.
Dhisti menoleh pada wanita paruh baya itu dan menemukan kesedihan dalam pancaran matanya. Dhisti tidak tahu harus menjawab apa, beruntung Damian segera menghampiri Nadia dan menggenggam tangannya.
“Ma, itu sudah berlalu. Aku juga belum bisa menerima keputusan sepihak itu tapi hidup terus berjalan. Kita pasti bisa, Ma. Dan Satria pasti jadi anak yang kuat nantinya.”
Damian menggenggam tangan Nadia dan mengelusnya perlahan. Sejenak Nadia mengulas senyum tipis. Dhisti membayangkan jika ia menjadi bagian dalam keluarga kecil ini. Hidupnya pasti terasa lebih lengkap.
"Mama setidaknya bisa melihat perkembangan Satria, bukan?" lanjut Damian.
Nadia belum menjawab saat tangisan Satria memenuhi ruangan. Damian melangkah ke tempat tidur anaknya dan segera menggendongnya. Namun, Nadia menepuk lengan anaknya. "Bukan begitu caranya. Kamu harus lebih percaya diri, Dami. Lihat Mama."
Damian menoleh pada Dhisti dan dengan gerakan matanya meminta wanita itu memperhatikan juga. Nadia meletakkan bayi itu di tangannya, membiarkan kepala bagian atas anak itu menyentuh dadanya.
"Wajar kalau dia tiba-tiba nangis, Dami. Kamu cek dulu penyebanya. Apa tidurnya keganggu, perlu minum susu atau dia lagi bosan. Banyak faktor. Kamu nggak perlu harus selalu menggendongnya," jelas Nadia.
"Kamu catat itu, Dhis. Terus kamu praktekkan. Saya nggak mau Satria nangis semalam suntuk karena kamu nggak bisa merawatnya," ucap Damian.
Nadia mengernyitkan kening mendengar perkataan anaknya. "Eh, kamu kok gitu sama Dhisti. Masih bagus dia mau bantuin kamu."
Dhisti bersedekap dengan pancaran mata penuh kemenangan. Wanita itu yakin, ia bisa menghabiskan waktu untuk mengobrol dengan Nadia.
"Bukan gitu, Ma. Di tempat kerja, Dhisti kadang ceroboh dan suka ngelamun. Nanti kalau Satria kenapa- napa gimana?" balas Damian, membela dirinya.
Nadia mengibaskan tangan. "Kamu terlalu khawatir dan mencari kesalahan Dhisti. Itu nggak baik, lho," jawab Nadia sambil menimang Satria dalam pelukannya.
Dhisti mengangguk membenarkan perkataan Nadia. Perlahan, tangan Dhisti terulur, seakan hatinya tahu apa yang harus dilakukan. "Tante, aku boleh gendong?"
Nadia mengulas senyum seiring hati Dhisti yang merekah penuh suka. Dengan wajah imut dan wangi bedak yang khas, wanita itu menemukan ketenangan. Dhisti segera jatuh cinta pada pandangan pertama. Ia tidak tahu prosesnya tapi hatinya begitu nyaman saat menatap anak itu.
Nadia menoleh pada Damian sambil tersenyum lebar. “Coba kamu lihat. Dhisti sudah bisa menggendong Satria. Mama yakin, ke depannya, dia akan lebih mudah mencintai Satria.”
Pandangan Damian lekat pada Dhisti yang mencurahkan kasihnya pada anaknya. Sejenak ia teringat Laras yang sudah lama tak ia jumpai. Tapi setiap kali Dhisti hadir, wanita bermata almond itu seperti mengalihkan perhatiannya dan membawanya dalam pusaran rasa yang Damian tidak tahu apa namanya. Yang jelas, Damian merasakan kenyamanan walau sejenak.
"Mama mau siapin makan malam. Kamu ajak Dhisti ya, nanti."
Damian hendak menolak tapi Nadia sudah berlalu dari tempatnya meninggalkan lelaki itu dengan hati tak karuan. Sepertinya ia salah langkah memilih Dhisti jadi babysitter Satria.
**
Malam kembali menyapa saat Ayla hitam Damian melewati jalan Randu yang lengang. Di sebelah lelaki itu, Dhisti tak hentinya mengulas senyum melihat Satria di layar gawainya.
Dhisti tidak pernah menduga jika mencintai makhluk kecil seperti Satria sangatlah mudah. Belum lagi kehangatan yang ia rasakan dari Nadia yang bisa mengobati kerinduannya pada kasih Rose. Walau Damian selalu bersitegang dengannya semua menjadi lebih indah saat Nadia memberi perlindungan padanya.
"Sampai kapan kamu mau di mobil saya, Dhis?"
Dhisti terperanjat ketika pagar hitam tinggi yang melindungi kosannya terlihat. "Maaf, Pak. Saya kirain belum sampai."
Damian menggeleng kesal menyadari ia seperti seorang supir pribadi.
"Dhis, denger. Kamu cukup ke rumah Mama seminggu tiga kali. Abis itu saya yang ambil alih. Terus, jangan pernah cerita soal Satria ke siapapun. Kamu yang saya cari kalau berita ini bocor," jelas Damian dengan tegas.
Dhisti menatap sepasang manik cokelat lelaki itu yang berkilat penuh keseriusan. Dhisti tidak mungkin mengatakan kalau Rania juga tahu kisah ini. "Iya, Pak. Saya permisi kalau gitu. Terima kasih sudah mengantar saya."
"Eh, tunggu," ujar Damian yang refleks meraih tangan wanita itu.
Dhisti termangu seiring debaran hangat yang melewati hati menciptakan nyanyian musim semi di kepalanya. "Kalau besok ada yang tanya, bilang ketemu klien. Dia mau reservasi buat meeting."
Dhisti kembali mengiakan dan bersiap pergi tapi urung. Wanita itu menarik tangannya tapi Damian malah menggenggamnya seakan memintanya tinggal.
Damian mengamati wajah oval Dhisti yang tidak lagi tersapu make-up. Gurat kelelahan tergambar jelas di sana.
Apa saya selama ini terlalu bersikap kasar sama kamu, Dhis?
Dhisti balik menatap lelaki itu dengan rasa yang berkecamuk. Ia tak mengerti pada apa yang tengah melanda hatinya kini.
"Ngapain sih ngeliat saya kayak gitu? Saya nggak perlu bukain pintu, kan?" tanya Damian setelah kembali tersadar.
Dhisti menghembuskan napas menunjuk ke dashboard dengan dagunya. "Bapak masih pegang tangan saya."
Damian terperanjat seperti habis ketahuan mencuri permen yang disembunyikan di laci. Dhisti tertawa geli melihat wajah Damian yang mendadak tegang.
"Hati hati, Pak nyetirnya. Nanti kebayang muka saya lagi," ujar Dhisti segera berlalu.
Damian menggeleng cepat hendak memarahi wanita itu tapi ia sudah keburu masuk. Ia berdecak kesal, menyadari kebodohannya.
"Ada apa denganmu, Damian?"