Pukul dua dini hari dan Dhisti terbangun oleh suara air mengalir yang berpadu dengan erangan di toilet. Wanita bermata almond itu mendesah pelan sambil mengelus sisi tempat tidurnya yang kosong. Itu pasti saudaranya yang kembali mual. Memang beberapa hari belakangan ia harus menginap di rumah Laras untuk menjaganya. Namun, Dhisti bersyukur ia masih bisa memprioritaskan pekerjaan dan kuliahnya.
Merenggangkan tubuh, Dhisti bersiap untuk memeriksa keadaan saudaranya itu.
“Mbak, perlu aku ambilin minyak kayu putih nggak?” tanya Dhisti lembut.
Laras memegangi perutnya sementara sebelah tangannya memijat pelipisnya. Rambut lurusnya ia ikat tinggi, memamerkan leher jenjangnya. Wajah oval Laras yang berpadu dengan mata indah dan hidung mancung seperti menjadi pelengkap pesonanya. Kadang, Dhisti merasa hal itu yang membuat Damian begitu memuja Laras hingga tidak bisa menahan dirinya. Belum lagi Damian dengan segala hal baik yang melekat padanya. Dhisti menutup kedua matanya, mengusir bayangan Laras dan Damian yang membuat hatinya seperti disiram jeruk nipis.
“Dhis, kenapa masih berdiri di situ?” sentak Laras, mengembalikan kesadaran Dhisti.
Wanita bermata almond itu terkesiap dan menatap saudaranya yang berdiri di ambang pintu. Eh, sejak kapan Laras di sana?
“Ya, gimana Mbak?”
Laras berdecak dan duduk di tepi tempat tidur. “Aku nggak bisa tidur. Semua gara-gara Bosmu.”
Dhisti menghembuskan napas sebelum mendekati Laras. Tangannya terulur hendak menyentuh Laras tapi Dhisti menariknya lagi. Dhisti tahu saudaranya sangat membencinya.
“Aku bisa buatin Mbak teh chamomile biar lebih tenang.”
Laras menggeleng, menatap potret dirinya yang tersenyum lebar dengan latar belakang bukit hijau. “Nggak ngaruh. Kamu pasti mikir yang menimpaku ini karma kan, Dhis?”
Dhisti menoleh, tak mengerti dengan apa yang Laras ucapkan. “Maksudnya, Mbak?”
“Be smart, Dhis. selama ini aku nggak pernah bersikap selayaknya saudara yang baik. Aku sering marahin kamu.”
Dhisti menunduk. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Memang kadang Dhisti merasa dunia tidak adil tapi ia selalu menemukan alasan yang masuk akal tentang perilaku Laras padanya.
“Mbak menyediakan kosan buatku. Belum lagi membayar kuliahku.”
Laras menoleh pada Dhisti, mengamati sepasang manik hitam itu. “Nggak. Aku terpaksa ngelakuin itu karena nggak mau punya saudara yang hidupnya susah. Kamu tahu? Dulu, kehidupanku sempurna. Aku punya orangtua yang sayang dan perhatian. Semua berbeda saat kamu lahir. Perhatian Papa tercurah sama kamu. Mama sibuk mengurung diri di kamar karena Papa berubah. Jujur, aku nggak betah di rumah.”
Dhisti membulatkan matanya. Ia tak menyangka jika kehadirannya adalah awal yang buruk.
“Dan sekarang, kamu pasti merasa menang. Kamu bisa tertawa bahagia kan, Dhis? Masa depanku hancur. Aku nggak punya hal buat dibanggakan lagi,” sambung Laras.
Dhisti menggeleng kuat, menatap Laras yang menutup wajahnya, menyembunyikan air mata yang menuruni pipinya. Wanita bermata almond itu mengelus pelan pundak Laras yang berguncang, berharap tangisnya mereda.
“Aku di sini buat membantu Mbak melewati semuanya. Aku minta maaf kalau ternyata selama ini aku yang egois.”
Laras menoleh dan mendapati pancaran mata saudaranya yang penuh ketulusan. Laras tahu Dhisti tidak mungkin meninggalkannya, apapun yang terjadi. Laras hanya perlu waktu berdamai dengan dirinya dan merangkai hari esok dengan cerita yang lebih berwarna.
**
Mentari masih di peraduannya ketika Damian menyetir mobilnya ke rumah Laras. Kemarin ia sudah menjelaskan niatnya pada Dhisti dan lelaki itu yakin semuanya berhasil. Damian menghentikan mobil dan memasang rem tangan sebelum mengambil tumbler di dekatnya. Perlahan ia membuka pintu dan melangkah menuju bagian samping rumah Laras. Taman itu cukup luas dengan tanaman liar yang tumbuh tinggi. Sepertinya Nuri belum sempat memanggil tukang kebun untuk merapikannya tapi itu menjadi akses yang sempurna buat Damian menemui Laras tanpa harus ketahuan Nuri.
Lelaki itu menjulurkan leher melewati tanaman rimbun, berharap seseorang muncul dari baliknya. Berdecak kesal, ia mengeluarkan gawai dan mencari kontak Dhisti. Suara daun kering yang terinjak memenuhi pendengarannya. Damian menghela napas lega, membiarkan langkah Dhisti mendekat ke arahnya.
“Pak, udah lama?” tanya Dhisti ramah, sembari membuka pintu.
“Saya tadi abis nyiapin sarapan, Pak,” lanjut Dhisti.
Damian mengedarkan pandangan ke sekeliling memastikan tidak ada yang menyadari kehadirannya selain Dhisti. Lelaki itu menjawil lengan Dhisti, menatapnya kesal.
“Pelanin suaramu. Dhis. Bisa gagal rencana kita. Lagian, saya nggak peduli kamu ngapain aja.”
Dhisti memajukan mulut dan mengarahkan lelaki itu. Beruntung Dhisti melihat pintu samping yang juga berfungsi sebagai pintu darurat. Semalam, wanita itu tidak bisa tidur lagi dan memutuskan untuk membuat teh. Saat itulah, Dhisti menyadari pintu kecil yang terhubung ke dapur.
Dhisti mengarahkan lelaki itu ke kamar Laras yang tertutup rapat. Namun, Dhisti teringat kalau dia harus memberi sedikit peringatan pada lelaki itu. Dhisti tidak mau Laras berteriak heboh saat melihat Damian. Dhisti berbalik dengan cepat, tak menyadari Damian yang berdiri tepat di belakangnya. Wanita itu menabrak Damian hingga hampir kehilangan keseimbangan tubuhnya. Damian refleks menangkap Dhisti dengan merangkul pinggangnya, membawanya dalam pelukan.
Damian menatap dalam wajah karyawannya. Sepasang mata almond itu terpatri indah dengan hidung sedang. Bibirnya yang sedikit membuka membuat Damian seketika mematung. Lelaki itu tak mengerti dengan perasaannya. Dhisti menenangkan detak jantungnya yang bertalu dua kali lebih cepat. Ia perlahan mendorong Damian dengan lembut, walau hatinya menginginkan lebih.
“Pak, maaf. Tapi saya-”
“Jangan kepedean, ya. Makannya kalau jalan hati-hati,” desis Damian.
Dhisti mendengkus, memeluk lengannya yang mendapat sentuhan spontan lelaki impiannya. Wanita itu mengulum senyum, mengingat betapa dunianya dipenuhi bunga musim semi.
Damian berdecak kesal dan menepuk pundak Dhisti, menyadarkannnya. “Udah saya bilang biasa aja. Cepet, saya mau ketemu Laras.”
Dhisti mengiakan sebelum mengingatkan lelaki itu untuk tidak memaksakan kehendaknya. “Dan jangan sampai memancing keributan. Bude Nuri kebetulan masih tidur.”
Damian mengangguk dan melangkah masuk, mendapati Laras yang masih terlelap. Perlahan, lelaki itu mendekat dan merapikan selimutnya. “Ra, aku di sini buatmu.”
Laras masih terpejam hingga ia membuka mata lima belas menit kemudian.
Damian mengulas senyum dan menatap wajah Laras. Wanita itu memicingkan mata sambil menarik selimut ke atas dada. Perasaannya mengatakan ada hal yang mengancamnya.
“Ra, hey. Aku kemari cuma sebentar. Please be calm, okay?” Ujar Damian dengan lembut.
Laras terhenyak tapi Damian meraih tangan wanita itu dan menggenggamnya. “Aku nggak akan nyakitin kamu. Aku mau pastikan kamu nggak mual lagi hari ini.”
Wanita itu menggeleng dan menarik tangannya. “Aku benci kamu, Dam. Kenapa kamu nggak nyerah deketin aku, sih? Dhisti mana lagi?”
Damian mengulas senyum sambil menyodorkan tumbler yang tadi ia isi dengan rempah-rempah. “Mama bilang, ini ampuh buat mengurangi mual. Kamu bisa minum ini dua hari sekali.”
Damian menatap manik hitam Laras dan menatapnya penuh cinta. Tangan Damian meraih ujung bed cover Laras, menghalau rasanya untuk kembali menyalurkan cintanya. Tidak mungkin lelaki itu melakukan kesalahan yang sama.
“Ra, thanks udah hadir di hidupku. Tolong kamu ingat hal ini. Cinta nggak pernah bisa tergantikan sama benci, Ra.”
Laras menghembuskan napas. “Kamu udah buat hidupku berantakan, Dam. Aku heran kamu masih punya nyali menemuiku.”
Damian tersenyum. “Aku nggak akan bisa melepasmu gitu aja. Ra, pelan-pelan aku yakin kita bisa membangun keluarga yang harmonis.”
Laras menggeleng kuat. “Nggak usah ngomong yang manis di depanku, Dam. Percuma! Kamu nggak bisa mengubah perasaanku.”
Damian mengerti Laras akan memerlukan waktu lama untuk menerimanya tapi ada kesempatan buat Damian mencapai hati itu.
“Ya udah. Kamu istirahat, Ra. aku minta Dhisti buat memastikan kamu baik-baik aja. Sorry kalau buat kamu nggak nyaman. Jaga dirimu, ya. Aku pamit."
Lelaki itu berdiri dan menatap Laras dalam. Dorongan hatinya untuk memeluk dan menghujani wanita itu dengan cintanya ia lawan sekuat tenaga. Damian mengepalkan kedua tangan dan berlalu. Ia harus menjaga Laras tetap tenang demi kelangsungan hidup anaknya.
**