Loading...
Logo TinLit
Read Story - Teman Hidup
MENU
About Us  

Bangunan berwarna merah muda itu menyambut Dhisti. Mengulas senyum tipis, wanita itu turun dari motornya dan melangkah pelan menuju kamarnya di lantai dua. Wanita bermata almond itu menunduk untuk mengambil kunci di tas tapi urung saat pintu kamarnya sedikit terbuka. Ada sepatu hak tinggi merah muda di raknya, seakan menjadi ratu di antara sandal jepit dan flat shoes lamanya. Dhisti mendesah pelan. Siapa lagi kalau bukan Laras yang  punya akses ke area kamarnya? Sebenarnya Dhisti jengah dengan kehadiran saudaranya yang tiba-tiba, tapi ia hanya bisa pasrah. Kebaikan Ibu Laras, Nuri,  yang memberinya tempat tinggal gratis mengalahkan rasa tadi.

Dhisti mendorong pintu dan menemukan wanita dengan rambut cokelat sebahu di tempat tidur, menatap layar gawainya.

"Mbak, aku pulang," ujar Dhisti meletakkan tas di meja kecil. Hanya ada sedikit perabotan di kamarnya. Kebanyakan adalah furnitur bekas Laras yang tidak lagi terpakai. Seperti lemari piring di dapur dan tempat tidur. Selebihnya hanya ada meja dan kursi plastik yang dipakai bila ada tamu. Memang jauh dari kesan mewah. Tapi Dhisti tak pernah keberatan dengan semua. Asal ia punya pekerjaan dan bisa membayar kuliah, itu sudah luar biasa.

Laras hanya menoleh sebentar sebelum kembali memusatkan perhatian pada gawainya. 

"Tumben Mbak kemari. Ada apa?" tanya Dhisti, berbasi-basi.

Laras meletakkan gawai di sebelahnya. Tanpa repot memandang Dhisti, ia menjawab. "Aku lagi males pulang ke rumah. Ibu selalu tanya kapan Auriga mau ngelamar aku. Mentang-mentang dia udah mapan dan seiman, dimintanya cepet. Heran, deh. Padahal masih banyak hal lain yang lebih penting buat dibahas."

Dhisti tersenyum simpul, menatap  wajah cantik saudaranya itu. "Sabar aja, Mbak. Nanti juga Bude Nuri lupa."

Laras menaikkan bahu sebelum beranjak ke tempat penyimpanan di dekat dapur. "Eh, kamu nggak punya makanan?"

"Cuma ada keripik kentang, Mbak. Kalau mau makan, kita bisa jalan ke angkringan depan," ujar Dhisti dengan santai. 

Laras mengernyitkan kening dan memicingkan mata. Pandangannya begitu tajam seperti bisa menusuk Dhisti. "Kamu mau aku sakit perut?" Laras langsung menyentak perkataan Dhisti dengan sengit.

Dhisti tertawa pelan sambil melepas kardigannya menyisakan blus motif bunga desi. Dhisti tak repot membalas perkataan Laras. Ia sudah terbiasa dengan hal itu.

"Ada restoran Mbak, tapi aku belum gajian jadi-"

"Aku traktir. Aku lapar banget. Tadi mau pesan online tapi harus selesaikan kerjaan dulu. Kamu belum mau tidur, kan?" potong Laras cepat.

Dhisti mengulas senyum tipis. Sebenarnya ia hanya ingin beristirahat apalagi setelah mata kuliah English Poem yang begitu menguras tenaga dan pikiran. Tapi mana bisa ia menolak permintaan Laras? Bude Nuri pasti akan memberinya peringatan keras dan meminta Dhisti membayar kos yang harganya sangat menguras kantong. Tidak ada gratisan lagi. Dan itu adalah mimpi buruk bagi Dhisti.

“Gimana, Dhis? Bisa, kan?”

Dhisti mengiakan dan ia yakin ini adalah malam terpanjang dalam hidupnya.

**

Restoran itu tidak terlalu jauh dari indekos Dhisti. Hanya memerlukan waktu sepuluh menit untuk tiba di sebuah tempat makan yang bergaya modern. Dhisti menurut saat Laras memesan steak sapi well-done dan lemon tea. Bisa dibilang, ini perbaikan gizi untuk Dhisti karena ia jarang menyantap makanan ala western. Biasanya ia memasak sendiri supaya lebih hemat. Kadang, ia hanya memasak nasi dan menyimpan sayuran yang bisa dimakan langsung untuk mengurangi frekuensi memasak. Urusan lauk mudah saja. Ia tinggal membeli telur atau tempe di warung penjual makanan matang.

"Aku nginap malam ini di kosanmu. Kamu ada baju tidur ekstra, kan?" tanya Laras di sela makan.

Dhisti membulatkan mata mendengarnya. "Mbak yakin? Maksudku di kosan nggak ada AC. Cuma ada kipas kecil. Itu pun cuma searah anginnya. Udah gitu dipannya nggak senyaman di rumah Mbak."

Laras berdecak. "Kamu meremehkanku. Aku pernah camping di pinggir hutan, ya. Lagian, itu kasur bekasku. Kamu lupa?"

Dhisti menelan steaknya sebelum mengulas senyum tipis. Tentu saja Dhisti ingat. Ia hanya memberi alasan agar saudara tirinya itu pulang. Wanita bermata almond itu ingin istirahatnya maksimal. Itu saja. "Iya, Mbak. Sorry, aku takut kalau Mbak nggak nyaman nanti."

Laras tidak menjawab dan meneruskan makan. Lima belas menit berselang dan Laras meminta Dhisti untuk mengantarnya pulang. 

Dari restoran, Dhisti harus melewati pertigaan yang memisahkan jalan utama dan jalan ke perumahan. Laju motornya pelan meski tidak terlalu banyak kendaraan yang lewat. Dhisti menaikkan kecepatannya tapi jalannya malah tidak seimbang dan terasa berat. Dhisti menegakkan tubuhnya menyadari ada sesuatu yang salah. Wanita itu menghentikan motornya dan memeriksa rodanya. Pantas saja jalannya tidak nyaman. Ban depannya kempis. Mungkin tidak sengaja mengenai paku atau benda tajam lain selama di perjalanan tadi. Dan ditambah motor itu sudah tua. Laras ikut turun dan mendesah kesal.

"Makannya kamu harus rajin servis, dong. Udah lah, aku pesan ojek online aja," ujar Laras. 

Dhisti hanya menghela napas dan mengerti kalau dia tidak punya kesempatan membantah. Dhisti tidak punya pilihan lain. Ia harus mendorong motornya sendirian. Di dekatnya, Laras sibuk memperhatikan layar gawai sambil sesekali mengetik. 

"Sebentar lagi ojek ku datang. Kamu nyusul ya."

Dhisti mengiakan saja. Tidak ada gunanya juga menyalahkan Laras yang memintanya keluar makan. Tak lama, Dhisti menuntun motor menuju bengkel terdekat setelah Laras mendapatkan ojek. 

Beberapa kendaraan melewati Dhisti, memberi kekuatan kalau dia tidak sendirian. Bengkel itu belum terlihat juga padahal ia sudah cukup lama menuntun motor sampai kedua tangan dan kakinya pegal. Dhisti memutuskan untuk berhenti saat klakson kendaraan terdengar cukup kencang.

Dhisti menoleh dan menemui Ayla hitam berhenti tak jauh darinya. Si pengemudi membuka jendela menampilkan wajah yang familiar bagi Dhisti. "Pak Bos?"

"Kenapa motormu?"

Dhisti meringis dan menjelaskan yang terjadi. Damian terdiam menatap wanita itu lama. Sejenak detak jantung Dhisti bertambah cepat. Pandangan mata elang Damian sangat dalam sampai Dhisti harus memegang erat tali tasnya untuk menjaga keseimbangan.

"Saya anterin kamu sampai ke bengkel." Damian turun dari mobilnya dan mengambil alih kendaraan wanita itu. Dhisti melongo melihat bosnya tapi tak lama ia mengikuti langkah Damian. 

"Mobil Bapak ditinggal?"tanya Dhisti sambil berlari kecil di belakang lelaki itu.

"Gampang. Nanti saya ambil."

Dhisti bersyukur dengan kehadiran Damian yang bagai malaikat turun dari langit. Meski ia bersikap ketus, nyatanya ia mau membantu kesulitan Dhisti.

Beruntung bengkel itu belum tutup dan bisa membantu masalah Dhisti. 

"Lain kali jangan pulang terlalu malam. Kamu itu karyawan saya, ya. Kalau ada apa-apa, saya juga yang nantinya tanggung jawab." Damian menoleh pada Dhisti yang sedari tadi memperhatikan lelaki setengah baya yang memperbaiki motornya.

"Iya, Pak. Maaf saya merepotkan. Tapi ini nanti Bapak yang bayarin, kan?"jawab Dhisti, tersenyum lagi. Bukannya aji mumpung tapi ia memang sedang tidak membawa cukup uang hari ini.

Damian mendesah kesal dan mengeluarkan lembaran uang dari dompetnya. "Nih, kasih ke abangnya. Abis itu saya anterin kamu sampai depan rumah."

Dhisti terperanjat mendengarnya. "Eh, nggak perlu, Pak. Saya berani, kok."

Damian memutar mata mendengar jawaban wanita itu. "Ini udah malam, Dhis. Rawan kalau kamu  jalan sendirian. Nanti saya ikutin dari belakang. Ngerti?"

Wanita itu akhirnya mengiakan. Ia tak mau lagi membantah Bosnya karena lelaki itu sudah cukup banyak membantunya.

**

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Operasi ARAK
343      247     0     
Short Story
Berlatar di zaman orde baru, ini adalah kisah Jaka dan teman-temannya yang mencoba mengungkap misteri bunker dan tragedi jum'at kelabu. Apakah mereka berhasil memecahkan misteri itu?
DELUSI
549      386     0     
Short Story
Seseorang yang dipertemukan karena sebuah kebetulan. Kebetulan yang tak masuk akal. Membiarkan perasaan itu tumbuh dan ternyata kenyataan sungguh pahit untuk dirasakan.
Serpihan Hati
11345      1894     11     
Romance
"Jika cinta tidak ada yang tahu kapan datangnya, apa cinta juga tahu kapan ia harus pergi?" Aku tidak pernah memulainya, namun mengapa aku seolah tidak bisa mengakhirinya. Sekuat tenaga aku berusaha untuk melenyapkan tentangnya tapi tidak kunjung hialng dari memoriku. Sampai aku tersadar jika aku hanya membuang waktu, karena cinta dan cita yang menjadi penyesalan terindah dan keba...
Two Good Men
549      384     4     
Romance
What is defined as a good men? Is it their past or present doings? Dean Oliver is a man with clouded past, hoping for a new life ahead. But can he find peace and happiness before his past catches him?
Dessert
1037      544     2     
Romance
Bagi Daisy perselingkuhan adalah kesalahan mutlak tak termaafkan. Dia mengutuk siapapun yang melakukannya. Termasuk jika kekasihnya Rama melakukan penghianatan. Namun dia tidak pernah menyadari bahwa sang editor yang lugas dan pandai berteman justru berpotensi merusak hubungannya. Bagaimana jika sebuah penghianatan tanpa Daisy sadari sedang dia lakukan. Apakah hubungannya dengan Rama akan terus b...
XIII-A
726      540     4     
Inspirational
Mereka bukan anak-anak nakal. Mereka hanya pernah disakiti terlalu dalam dan tidak pernah diberi ruang untuk sembuh. Athariel Pradana, pernah menjadi siswa jeniushingga satu kesalahan yang bukan miliknya membuat semua runtuh. Terbuang dan bertemu dengan mereka yang sama-sama dianggap gagal. Ini adalah kisah tentang sebuah kelas yang dibuang, dan bagaimana mereka menolak menjadi sampah sejar...
BORU SIBOLANGIT
541      315     8     
Short Story
Dua pilihan bagi orang yang berani masuk kawasan Hutan Sibolangit, kembali atau tidak akan keluar darinya. Selain citra kengerian itu, Sibolangit dikaruniakan puncak keindahan alami yang sangat menggoda dalam wujud Boru Sibolangit -Imora dan Nale, tidak sembarang orang beruntung menyaksikannya.
Once Upon A Time: Peach
1118      656     0     
Romance
Deskripsi tidak memiliki hubungan apapun dengan isi cerita. Bila penasaran langsung saja cek ke bagian abstraksi dan prologue... :)) ------------ Seorang pembaca sedang berjalan di sepanjang trotoar yang dipenuhi dengan banyak toko buku di samping kanannya yang memasang cerita-cerita mereka di rak depan dengan rapi. Seorang pembaca itu tertarik untuk memasuki sebuah toko buku yang menarik p...
Dunia Saga
5772      1497     0     
True Story
There is nothing like the innocence of first love. This work dedicated for people who likes pure, sweet, innocent, true love story.
Kamu
295      242     0     
Short Story
Untuk kalian semua yang mempunyai seorang kamu.