Read More >>"> 1' (Si Itok Kepala Plontos) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - 1'
MENU
About Us  

Sesosok yang menyambutku adalah Hamak Ampong, kepala suku di lokasi penempatanku mengajar. Di belakang Hamak Ampong, berjajar pria-pria lain yang memegang obor. Membuat jalan lurus ke depan. Penyinaran jalanan yang indah.

“Selamat datang, wahai guru muda. Biarkan kuh ikut menolong, membawa tas-tas besar itu.” Hamak Ampong langsung sigap membawakan kedua tas besarku. Pegawai kecamatan menyalami Hamak Ampong. Inak Banun berjalan lebih dulu. Menyusul katanya, yang sebenarnya aku sendiri saja tidak paham. Kenapa harus menyusul?

“Marilah, berjalan beriring ke Balai Perkumpulan Warga.Hamak Ampong berjalan lebih dahulu.

“Kita akan ke Balai perkumpulan warga, acara sambutan.” Pegawai kecamatan memberitahuku.

Aku mengangguk, menurut saja. Suasana malam yang menyenangkan. Bintang-bintang yang lebih kentara. Obor-obor mengiringiku berjalan. Menurut warga, di sini ada senter, tapi lebih aman obor. Bisa menjauhkan dari hewan-hewan buas.

Lokasi penempatanku cukup unik. Desa terbelah menjadi dua. Sebelah utara dan selatan. Terpisah oleh sungai. Nah, kalau diibaratkan, desa terletak di dalam hutan, tapi juga di tengahnya ada sungai. Maka, kita harus berjalan selama lima belas menit untuk masuk ke dalam. Pepohonan besar-besar menjadi penjaga. Tak ada lampu sedikitpun. Gelap gulita, hanya sinar rembulan dan obor pemenangnya.

Lima belas menit kami berjalan di atas tanah basah, yang bahkan aku tidak tahu bagaimana teksturnya, rumah panggung, alias Balai Perkumpulan Warga terlihat. Aku melangkah hati-hati mendaki tangga kayu. Tinggi panggung sekitar satu meter.

Kupikir, di pelosok tidak ada listrik, karena tadi sebelum masuk ke desa, tidak ada listrik sama sekali. Ternyata salah. Walau lampu tampak remang-remang, cukup untuk melihat bangunan Balai Perkumpulan Warga. Dindingnya terbuat dari kayu kokoh dan bercat kuning. Ditambah, ukiran khas Suku Dayak di tengah-tengah dinding.

Hamak Ampong mempersilakanku masuk ruangan. Di sana, sudah disiapkan acara sambutan sederhana dan banner besar—mungkin dari pegawai kecamatan. Hamak Ampong langsung duduk di depan bersama pegawai kecamatan. Satu kursi kosong di samping pegawai kecamatan untukku. Aku duduk sambil malu-malu.

 Baru satu menit duduk, langkah suara berlari bergemuruh. Suara tawa anak-anak mulai terdengar menyenangkan. Suara-suara lain mulai bermunculan. Anak-anak berdesakan masuk, duduk di lantai. Cengar-cengir menunjukku. Aku balas tersenyum. Mereka tertawa renyah.

Para ibu membawa bakul-bakul berisi makanan dan minuman. Kalau dibayangkan, seperti rombongan yang membawa seserahan saat lamaran. Meja di depanku langsung penuh. Ada buah-buahan, sayur-mayur, bahkan daging juga ada. Aku menelan ludah. Jangan-jangan daging babi?

Semua yang masuk merapat, membentuk tempat duduk dengan formasi huruf U. Beberapa warga ada yang rela melongok dari jendela dan duduk di depan, karena tempatnya tidak cukup. Beberapa pemuda masuk ke dalam, membawa alat musik khas Suku Dayak. Namanya Sape. Seperti gitar, tapi bentuknya kotak.

Hamak Ampong berdiri, berdeham. Seluruh bisik-bisik menjadi tenang. Aku sangat yakin, Pak Ampong adalah kepala suku yang sangat disegani. Dia mengangkat tangannya. Para warga membenarkan posisi duduk.

“Selamat datang, Bu guru, Damaylia. Mari, tepuk tangan meriah untuk Bu Guru!”

Tepuk tangan riuh menggema. Sesekali suitan terdengar. Hamak Ampong mengangkat tangannya kembali.

“Sambutan kita memang tidak meriah, tapi penuh rasa. Kita saksikan, tarian Burung Tingang Terbang untuk menyambut Bu Guru Damaylia!”

Tepuk tangan mengudara lagi. Ada rasa haru dan gugup di dalam hati. Aku diperkenalkan di dalam lingkup mereka, berarti semakin besar tanggung jawabku untuk mengabdi sebagai seorang pengajar. Membuat sedikit perubahan lebih baik pendidikan anak-anak di sini. Aku tersenyum, mengangguk memberi hormat kepada semua.

Musik yang dimainkan dari sape mulai mengalun. Anak-anak perempuan masuk dengan anggun. Memakai pakaian khas Suku Dayak. Ada yang berwarna merah, hitam, biru muda, dan oranye. Berhiaskan manik-manik dengan pola yang indah khas Suku Dayak. Jarinya gemulai, membawa bulu yang aku sendiri belum paham bulu apa itu—Hamak Ampong tahu aku penasaran, mengatakan bahwa itu bulu burung Enggang.

 Pertunjukkan kedua adalah Tari Perisai. Dua anak laki-laki berumur lima tahun masuk, berjalan mengendap-endap, melihat awas ke segala arah, menyambut datangnya musuh. Mereka memakai baju adat khas Suku Dayak berbentuk rompi, topi seperti peci berhiaskan manik-manik, dan perisai segi enam memanjang dengan ukiran khas Suku Dayak.

Seusainya, semua bertepuk tangan riuh. Musik dari petikan sape berhenti.

Hamak Ampong mengangkat makanan yang terhidang di meja. “Pertunjukkan sudah selesai, mari kita makan besar!”

Piring-piring mulai berjalan, berpindah dari satu tangan ke tangan lain. Hamak Ampong berjalan, duduk di lantai bersama warga. Aku dan pegawai kecamatan ikut duduk di samping Hamak Ampong. Makan besar dimulai. Berbagai macam makanan sudah tersedia di tengah lingkaran. Warga yang tidak bisa masuk ke dalam, bergantian mengambil makanan.

Aku menelan ludah. Menatap gunungan daging bakar tersedia di tampah besar. Anak-anak mulai berebut, ibu-ibu makan sambil mengobrol, pegawai kecamatan enteng saja mengambil daging itu. Baiklah, daripada ragu-ragu, aku hanya mengambil sayur-mayur, tidak dagingnya.

Hamak Ampong mengambilkan daging itu menggunakan centong. Terkekeh. Dia menunjuk salah satu warga. “Dia muslim. Kami tahu betul apa aturan orang muslim. Bukan berarti, kami tidak toleran. Ada daging babi, tapi ditampah sana. Ini daging ayam, dia yang sembelih. Akhirnya, kita semua makan bersama. Bukankah, itu yang diharapkan?” Hamak Ampong tersenyum. Mulai makan dengan lahap.

Aku tersenyum lebar mendengar penjelasan Hamak Ampong. Dengan senang hati menerima ayam panggang itu. Lezat sekali makan dengan tangan, ayam bakar dengan bumbu khas, dan bersama warga. Anak-anak sesekali menatapku, tertawa.

“Harusnya, ada Mantri di sini,” ujar Hamak Ampong sambil mengambil daging ayam lagi.

Aku menoleh ke Hamak Ampong. “Mantri?”

Aku tahu, mantri itu semacam pendamping dokter. Atau, kalau istilah zaman now, perawat.

Dia mengangguk. “Sudah hampir satu tahun dia tinggal. Memberikan fasilitas kesehatan yang lebih baik.” Hamak Ampong menoleh padaku. Tersenyum lebar penuh arti. “Dan tampan.”

Aku berhenti makan, menoleh ke Hamak Ampong. “Orang asli sini, Pak?”

“Aku tak mau beritahu. Sengaja. Agar kau berkenalan sendiri,” Dia melanjutkan makan.

Aku tidak begitu penasaran pada orangnya. Mengangkat bahu. Melanjutkan makan.

*****

“Di sini, ko akan tinggal.” Inak Banun tersenyum padaku. Dia membantu mengangkat koper dan satu tas besar ke dalam rumahnya. Rumah panggung berdinding kayu, lantai kayu, dan sederhana. Rumah terasa hangat.

Nin apa?” Inak Banun menunjuk kardus cokelat panjang yang berisi bunga Anggrek Hitam.

“Astaga, Inak, Damay lupa itu bunga!” Aku segera membuka kardus. Mengeluarkan bunga anggrek hitam. Daunnya sedikit layu.

“Biar Inak yang urus, ko mandi lalu beristirahat.” Inak Bunan langsung membawa bunga itu ke belakang. Aku menghela napas keras. Sifat pelupaku memang kadang kambuh. Aku membuka ponsel. Tidak ada sinyal. Berarti, beberapa jam lalu adalah kabar terakhir yang kuberikan pada ibu dan Ruki. Sehabis mandi, aku mulai membereskan tas dan segala macam isinya. Inak Banun membantu juga. Mungkin, butuh satu jam agar semua beres.

“Sekarang, ko istirahat. Berbincangnya esok saja.” Inak tersenyum, mengelus bahuku. Dia keluar dari kamar, menutup pintu.

Aku membuka tas kecil berisi dokumen-dokumen penting dan dompet. Mengambil kartu tanda pengenal yang selalu kusimpan dan kupandangi setiap malam. Rasanya, kalau aku punya podcast, tidak cukup sehari penuh menceritakanmu. Bahwa, karenamu, aku bisa sampai sejauh ini.

Jendela sengaja kubuka, bintang semakin benderang dan ramai. Aku memangku dagu, menatap sekali lagi tanda pengenalmu. Tersenyum simpul. Menatap langit malam lagi. Kepalaku selalu penuh tanda tanya.

Apakah, ini alasanmu datang ke pelosok memberi kesehatan gratis? Apakah karena alamnya yang indah? Atau orang-orangnya yang ramah? Atau, kamu jenuh di dalam rumah sakit? Apakah, tempat ini, tempat yang sama saat dulu kamu berkunjung? Kuharap begitu, agar aku tahu perasaanmu saat berada di sini.  

Angin malam perlahan membuat kulit merinding. Aku menutup jendela. Bergegas menyusun agenda, lantas tertidur. Menanti pagi, bertemu dengan anak-anak.

***

            Pagi hari, aku berjalan beriringan bersama Inak Banun. Dia merelakan satu harinya tidak pergi ke ‘pasar’ demi mengantarku ke dermaga kayu kecil. Untuk mencapai sekolah dari rumah Inak Banun harus menyeberangi sungai dengan waktu sekitar sepuluh menit.

            “Warga di sini, sangat bergantung pada alam. Mulai dari berladang, berburu, dan mencari hasil dari hutan. Contohnya Hamak Ampong. Dia mencari ikan di sungai dan mencari hasil hutan. Begitupun, toh tidak serakah mengambil. Sesuai batas dan kebutuhan. Dari zaman nenek moyang sampai turun temurun, toh selalu diajari bagaimana bertahan hidup dengan bergantung pada alam. Tidak hanya bergantung, tapi juga harus bisa saling timbal balik. Saling memahami. Saling mengerti,” Inak Banun berhenti bercerita, mengangguk pada gerombolan Ibu yang akan berdagang.

“Seperti misal, toh mengambil beberapa hewan, maka jangan diambil semua. Tetap disisakan, dijaga, dan dilestarikan. Ko amati saja. Bukankah, saat toh bisa menjaga alam dengan baik, maka alam akan baik-baik saja?” Inak Banun tersenyum lebar padaku.

Kami sudah di penghujung jalanan kayu. Kapal motor sudah terparkir di pinggir dermaga kayu.

Inak tersenyum padaku. “Nanti, kapan-kapan, Ko Inak ajak ke hutan bersama Hamak Ampong.”

Pengemudi kapal motor melambaikan tangan pada kami. “Oi, Inak Bunan! Danga cian?” Dia berseru memanggil Inak Bunan, yang aku tidak tahu artinya apa.

Cian. Pakailah bahasa Indonesia yang baik, kasihan nanti Bu Guru Damay terus menggaruk kepala yang tidak kutuan.” Inak Bunan berseru ke pengemudi kapal motor.

Dia meringis. “Maaf, Bu Damay.”

Ko naiklah longboat itu. Nanti, ko akan melihat anak-anak. Beberapa ada yang tinggal di sini. Inak tinggal dulu. Hati-hati.” Inak Bunan berbalik pergi.

Aku berhati-hati naik kapal motor itu. Sepertinya, yang dimaksud Inak longboat adalah kapal motor ini. Iya juga sih, bahasa Indonesia longboat adalah kapal panjang, sesuai dengan apa yang aku lihat. Panjang kapal ini mungkin sekitar tiga sampai empat meter dengan mesin tempel di belakang. Lebarnya hanya satu meter, setiap dudukan paling hanya cukup untuk dua orang.

“Selamat pagi, Bu Guru.” Pak pengemudi menyapa.

Aku tersenyum simpul. “Pagi, Pak.”

“Kita tunggu sebentar anak-anak tak apa? Biasanya, mereka menumpang longboat-ku. Sekalian, saya kajap cien.”

Aku menatap Pak pengemudi tak mengerti.

“Oh, maaf, kajap cien itu mencari ikan.”

Aku mengangguk sok paham. Membuka buku yang sedari tadi kupegang. Buku yang berisi tulisanku soal agenda hari ini. Aku, tidak pandai berbicara di depan orang banyak. Dulu, saat di pelatihan aku habis-habisan belajar micro teaching paling lama dan paling merepotkan di antara yang lain. Namun, teman-temanku satu kamar asrama tetap mendukung. Memberikan saran terbaik agar tidak gugup. Salah satunya, menulis agenda harian.

Kalau ditanya gugup atau tidak, jelaslah aku gugup. Mengajar pertama kali di hadapan anak-anak, bukan di depan teman-temanku lagi. Bagaimana kalau mereka bosan? Bagaimana kalau mereka tidak paham apa yang kuajarkan? Bagaimana kalau mereka bertingkah?

Nah, kan. Seperti perkataanku. Belum lama, dua anak saling berlarian, menepuk bahu masing-masing—sepertinya, mereka ledek-ledekan. Keduanya langsung saja loncat ke longboat. Bergoyang lumayan kencang. Alhasil, aku yang tengah asyik mengamati mereka, tidak sadar buku yang masih kupangku tercebur ke sungai.

“BUKUKU!” Aku berteriak kencang.

Buku itu terkampul-kampul di atas air.

“Oi! Hati-hatilah, lihat! Buku Bu Damay jatuh, kalian harus tanggung jawab!” seru Pak pengemudi.

BYUR!

Eh? Seorang anak terjun langsung ke dalam sungai. Berenang lincah, mengambil bukuku yang hanyut. Dia angkat tinggi-tingi buku itu, berenang dengan satu tangan. Hebat. Berenang dengan gaya seperti itu, di dalam sungai yang dalam, belum lagi misal ada buaya. Dia meletakkan buku perlahan di bangku longboat, memegang pinggiran longboat, lantas mengangkat tubuhnya sendiri. Basah kuyup seragamnya.

Dia menuju ke arahku. Menunjukkan bukuku yang basah. “Maafkan kuh, Bu Damay. Buku basah. Nanti, kuh jemur di halaman sekolah.”

Dia anak yang tinggi, mungkin hampir sama tingginya denganku. Matanya sipit, rambutnya seperti landak. Aku tebak dia anak kelas enam atau lima. Dengan postur seperti ini, aku yakin kalau dia sekolah di Yogyakarta sudah jadi idaman.

“Enggak papa kok, terima kasih sudah mau mengambilkan buku Ibu.” Aku tersenyum lebar padanya.

Pak Pengemudi terkekeh. “Tak usahlah risau, Bu. Nico pandai betul berenang. Meloncat dari atas tebing puluhan meter dengan berputar bagai roda saja dia bisa.”

Kang berlebihan berkata. Kuh terjun dari tebing, mati sudah!” Nico menatap sebal pada pak pengemudi.

“Bu Damay, cantiknye ....”

Aku menoleh ke samping. Anak berkuncir dua, yang entah datang darimana, tertawa, memperlihatkan dua gigi depan yang ompong.

“Acel, sok akrab betul!” ledek satu anak yang duduk di depanku.

Acel cemberut. “Memang, salahkah ingin berkenalan? Bu Damay memang cantik!”

Aku tersenyum, tersipu malu tepatnya. “Siapa namamu?”

“Acel!” Dia meringis lagi. Gigi ompongnya terlihat.

“Masih ada kawan di belakang, Cel?” tanya Pak pengemudi.

“Tidak, Kang!” jawab Acel singkat. Dia beranjak dari bangku—jengkel karena dibilang sok akrab. Fokusnya beralih ke kapal kertas yang dibawanya.

Mesin longboat menyala, membawa aku dan dua anak menuju ke sekolah. Eh, ada satu lagi murid lagi yang akan kukenal. Bahkan, aku tidak menyangka bahwa murid ini yang akan mempertemukan seseorang. Seseorang mantri itu.

                                                                                                    ***

Longboat merapat di dermaga kayu. Aku masih duduk di bangku, menunggu anak-anak naik ke dermaga. Satu menit, tidak ada reaksi dari ketiga anak itu. Anak-anak tidak juga beranjak dari bangku. Acel menoleh ke belakang, diikuti Nico dan satu anak laki-laki.

“Ibu tak mau naik ke dermaga?” tanya Nico.

Aku terkesiap. “Eh, Ibu menunggu kalian naik dulu,” jawabku.

Anak-anak menatapku, tidak mengerti.

Pak pengemudi tertawa. “Orang yang lebih tua, harus lebih dulu berjalan, Bu.”

Aku menggaruk kepala. Baiklah, adab pertama yang kuterima di lokasi penempatan ini. Aku naik ke dermaga, sedikit melompat. Masih sama, dermaga dengan bahan kayu kokoh, disambung dengan jalan kayu menuju jalan tanah. Anak-anak ikut melompat dari belakang.

“Ibu dari Jawa?” Acel bertanya antusias. Matanya membulat.

“Di sana ada kapal terbang?” Nico ikut bertanya.

“Di sana ada sungai?” tanya anak laki-laki yang bersama Nico.

Acel dan Nico menatap datar anak laki-laki itu. “Ya, ada, lah!”

“Di Jawa, bahasanya macam mana, Bu?” tanya Acel lagi.

“Anak-anak di sana suka mandi di sungai, Bu?” tanya Nico lagi.

“Apakah di sana ada ikan, Bu?” tanya anak laki-laki itu.

Tidak hanya Nico yang menatap datar anak itu, aku ikut-ikutan. Lah, logikanya kan ada sungai pasti ada ikan. Mana ada sungai isinya kucing dan anak-anaknya?

Ko itu niat bertanya atau ….” Acel berhenti bicara. Dia fokus mendengar sesuatu.

“Ada apa, Cel?” tanya Nico.

“Mungkin, dia dengar ikan cakap,” jawab anak laki-laki itu seadanya.

 Nico melotot pada anak laki-laki itu. Kalau aku tidak mendengar isakan tangis, sungguh aku ingin tertawa mendengar jawaban anak itu dan tingkah Nico yang jengkel. Penasaran dengan namanya.

“Bu guru, dengar tak?” Acel menatapku.

Aku mengangguk. Fokus, mencari sumber suara.

“Oi, di atas pohon. Ada tuyul!” Anak laki-laki itu menunjuk ke atas pohon.

“Oi, siang terik tidak ada tuyul, Menteng!” Nico berseru kesal. Mungkin kesal karena anak laki-laki itu selalu berkata nyeleneh. Tapi, Nico ya, tetap ikut-ikutan melihat pohon yang dia tunjuk. Akhirnya, aku tahu siapa nama anak itu. Menteng.

“Sungguhan! Itu!” Menteng menunjuk lagi ke pohon.

Dengan sinar matahari yang terik, pantulan cahaya dari atas pohon muncul. Pantulannya hampir mirip cahaya yang dipantulkan dari cermin. Acel langsung lari mendekat ke pohon itu. Nico dan Menteng ikut di belakangnya. Aku berjalan cepat mengikuti mereka.

“Amboi, cahaya bulan berpindah di siang hari, tepat di kepala ko!” Menteng meledek, menatap ke atas pohon. Aku menatap ke atas pohon. Ya, Menteng tidak salah juga. Ada anak laki-laki di atas pohon dengan kepala botak plontos. Eh, tuyul biasanya juga kan?

“Itok, kenapa ko di atas pohon? Mau seperti orang utan?” Acel ikut meledek.

“Itok, turunlah! Nanti, ko jatuh repot semua!” Nico berteriak dari bawah.

“Itok, ko tetap bersinar dengan kepala botak!” Menteng berteriak dari bawah.

Acel menjitak kepala Menteng. “Ko bisakah membuat Itok tidak tambah menangis?”

Aku ikut mendekat. “Itok, ayo turun, aku guru bar—”

PLUK!

Satu biji buah, entah apa itu mengenai kepalaku.

“Kurang ajar ko, Itok! Dia Bu guru!” Acel berseru marah.

“Nanti kepala ko tak akan tumbuh rambut!” Menteng berseru lagi.

PLUK!

Kepala Menteng terkena biji buah kali ini. Aku menghela napas keras. Sepertinya, anak ini paling nakal nanti di sekolahan. Aku tidak sesabar Eno menghadapi anak-anak. Yang ini menyebalkan sekali. Ingin rasanya kutimpuk menggunakan novel.

“Itok, nanti kuh beri ko kapal kaleng kalau mau turun!” Nico berseru.

Ajaib, perkataan Nico didengar oleh Itok. Anak menyebalkan itu perlahan turun dari pohon rambutan. Sayangnya, saat dia tengah bersiap turun dan ... krak! Batang pohon patah. Dia meluncur cepat ke bawah. Itok menangis keras lagi.

Kami segera menuju ke Itok. Aku mengecek kaki Itok. Darahnya mengalir hebat. Beruntungnya, tidak ada patahan saat aku pegang perlahan. Itok masih menangis dengan kencang. Bodohnya, situasi krusial seperti hidup di daerah terpencil, aku lupa membawa peralatan P3K mini. Setidaknya, bisa membantu pertolongan pertama.

Seseorang langsung nyerobot, mengecek kaki Itok. Aku mundur, memberikan dia ruang. Seorang laki-laki memakai kemeja cokelat muda bergaris. Dia membawa tas P3K lengkap. Aku tidak bisa melihat wajahnya, justeru sedang berpikir keras. Punggung yang tidak asing.

“Itok, ko kuat. Tenang, Hamak obati secepatnya.” Dia berkata lembut, membuat tangis Itok mereda.

“Maaf, Bu, Acel langsung lari menemui Hamak Mantri.” Acel berdiri di sampingku, memberi keterangan.

Mantri? Oh, jadi ini tenaga medisnya. Tapi, kenapa rasanya aku tidak asing.

“Nah, simsalabim! Pasti nanti sembuh, Itok. Ko bisa jalan lagi. Hati-hati, ya?” Dia mengelus kepala Itok. Ajaib! Itok langsung tersenyum lebar, mengusap air matanya. Mengangguk.

Dia berdiri, membalikkan badan. Kita saling menatap.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Cinta Tiga Meter
463      296     0     
Romance
Fika sudah jengah! Dia lelah dengan berbagai sikap tidak adil CEO kantor yang terus membela adik kandungnya dibanding bekerja dengan benar. Di tengah kemelut pekerjaan, leadernya malah memutuskan resign. Kini dirinya menjadi leader baru yang bertugas membimbing cowok baru dengan kegantengan bak artis ibu kota. Ketika tuntutan menikah mulai dilayangkan, dan si anak baru menyambut setiap langkah...
EPHEMERAL
99      90     2     
Romance
EPHEMERAL berarti tidak ada yang kekal, walaupun begitu akan tetap kubuktikan bahwa janji kita dan cinta kita akan kekal selamanya walaupun nanti kita dipisahkan oleh takdir. Aku paling benci perpisahan tetapi tanpa perpisahan tidak akan pernah adanya pertemuan. Aku dan kamu selamanya.
The Maze Of Madness
3776      1537     1     
Fantasy
Nora tak banyak tahu tentang sihir. Ia hidup dalam ketenangan dan perjalanan normal sebagai seorang gadis dari keluarga bangsawan di kota kecilnya, hingga pada suatu malam ibunya terbunuh oleh kekuatan sihir, begitupun ayahnya bertahun-tahun kemudian. Dan tetap saja, ia masih tidak tahu banyak tentang sihir. Terlalu banyak yang terjadi dalam hidupnya hingga pada saat semua kejadian itu merubah...
Langit Indah Sore Hari
98      84     0     
Inspirational
Masa lalu dan masa depan saling terhubung. Alka seorang remaja berusia 16 tahun, hubungannya dengan orang sekitar semakin merenggang. Suatu hari ia menemukan sebuah buku yang berisikan catatan harian dari seseorang yang pernah dekat dengannya. Karena penasaran Alka membacanya. Ia terkejut, tanpa sadar air mata perlahan mengalir melewati pipi. Seusai membaca buku itu sampai selesai, Alka ber...
Rembulan
768      428     2     
Romance
Orang-orang acap kali berkata, "orang yang gagal dalam keluarga, dia akan berhasil dalam percintaan." Hal itu tidak berlaku bagi Luna. Gadis mungil dengan paras seindah peri namun memiliki kehidupan seperti sihir. Luna selalu percaya akan cahaya rembulan yang setiap malam menyinari, tetapi sebenarnya dia ditipu oleh alam semesta. Bagaimana rasanya memiliki keluarga namun tak bisa dianggap ...
Just For You
4125      1625     1     
Romance
Terima kasih karena kamu sudah membuat hidupku menjadi lebih berarti. (Revaldo) *** Mendapatkan hal yang kita inginkan memang tidak semudah membalik telapak tangan, mungkin itu yang dirasakan Valdo saat ingin mendapatkan hati seorang gadis cantik bernama Vero. Namun karena sesuatu membuatnya harus merelakan apa yang selama ini dia usahakan dan berhasil dia dapatkan dengan tidak mudah. karen...
Edelweiss: The One That Stays
1385      589     1     
Mystery
Seperti mimpi buruk, Aura mendadak dihadapkan dengan kepala sekolah dan seorang detektif bodoh yang menginterogasinya sebagai saksi akan misteri kematian guru baru di sekolah mereka. Apa pasalnya? Gadis itu terekam berada di tempat kejadian perkara persis ketika guru itu tewas. Penyelidikan dimulai. Sesuai pernyataan Aura yang mengatakan adanya saksi baru, Reza Aldebra, mereka mencari keberada...
Nyanyian Burung di Ufuk Senja
2350      908     0     
Romance
Perceraian orangtua Salma membuatnya memiliki kebimbangan dalam menentukan suami masa depannya. Ada tiga pria yang menghiasi kehidupannya. Bram, teman Salma dari semenjak SMA. Dia sudah mengejar-ngejar Salma bahkan sampai menyatakan perasaannya. Namun Salma merasa dirinya dan Bram berada di dunia yang berbeda. Pria kedua adalah Bagas. Salma bertemu Bagas di komunitas Pencinta Literasi di kampu...
Cinta dalam Impian
86      67     1     
Romance
Setelah ditinggal oleh kedua orang tuanya, seorang gadis dan abangnya merantau untuk menjauh dari memori masa lalu. Sang gadis yang mempunyai keinginan kuat untuk meraih impian. Voska belajar dengan rajin, tetapi dengan berjalannya waktu, gadis itu berpisah dengan san abang. Apa yag terjadi dengan mereka? Mampukah mereka menyelesaikan masalahnya atau berakhir menjauh?
Asmaraloka Jawadwipa (Sudah Terbit / Open PO)
7263      2169     1     
Romance
Antara anugerah dan kutukan yang menyelimuti Renjana sejak ia memimpikan lelaki bangsawan dari zaman dahulu yang katanya merupakan sang bapa di lain masa. Ia takkan melupakan pengalaman dan pengetahuan yang didapatnya dari Wilwatikta sebagai rakyat biasa yang menyandang nama panggilan Viva. Tak lupa pula ia akan indahnya asmara di Tanah Blambangan sebelum mendapat perihnya jatuh cinta pada seseor...