“Kau, guru baru dari program 3P?” tanyanya. Senyumnya lebar.
Aku pikir, alam akan mempertemukan seseorang secara logis, di kotanya misalnya. Benarlah kata pepatah, “Semua kejadian memang direncanakan tidak pernah logis bagi manusia, tapi logis bagi Sang Penguasa Alam.” Di sini, di daerah terpencil nan pelosok yang kaya akan alamnya, aku bertemu dengannya. Seseorang yang selalu aku rindukan selama empat tahun. Seseorang yang telah menyelamatkan hidupku dan Nay.
Dia, ada di sini.
Aku memegang bahu Acel. Kakiku lemas sekali, perutku mulas, tanganku dingin. Siapa pula yang percaya, seseorang yang selama ini kita tunggu, kita harapkan, justeru berada tepat di depan mata. Bahkan, sekarang aku tahu suaranya. Lembut dan menyenangkan.
“Kau sakit?” tanyanya lagi.
“Ah, eh, anu.” Aku menghela napas keras. Berusaha mengatur napas. “Enggak, aku panik. Lupa membawa tas kecil P3K. Tidak tahu harus berbuat apa,” jawabku sambil mengontrol bibirku yang bergetar.
Dia tertawa. Aku menatapnya lebih dalam. Ruki, andai kamu disini, pasti kamu bisa mencairkan suasana. Sementara aku, tidak pandai berbasa-basi, sungguh.
“Kau mau ke sekolah? Boleh kuantar? Sebagai ucapan maaf tidak bisa menyambutmu kemarin malam.” Dia tersenyum lagi.
Tanganku menggigil. Ini kejutan apa, sih? Mendadak sekali. Aku belum ada persiapan untuk, apa saja yang harus dibicarakan? Bagaimana mengendalikan diri saat gugup? Astaga!
Dia jongkok, menggendong Itok di punggungnya, berdiri. “Kau tak mau?” tanyanya lagi.
Aku mengangguk pelan. Mencoba tersenyum simpul.
Dia membalas tersenyum. “Baiklah, ayo!” Dia mulai berjalan. Aku ikut di belakang. Anak-anak ikut dibelakangku.
Tiba-tiba, dia berbalik badan. “Memang, ini rombongan PBB? Berjalan sesuai tinggi badan?” Dia melongok ke belakang. Aku ikut-ikutan melongok ke belakang. Benar juga.
Dia menjajariku. “Nah, seperti ini. Lebih asyik lagi, anak-anak mau mendengarkan cakap kita. Oi, kalian! Bukankah Hamak sudah berkata, kalau Hamak berjalan, kalian jangan di belakang. Tapi, di samping!” Dia menoleh ke belakang. Langsung, anak-anak berada di samping kami. Acel dan Nico di sebelahku. Menteng tetap di belakang.
“Apa yang ko lakukan, Menteng? Sinilah di sebelah Hamak!”
“Tak mau! Aku mau melihat cahaya bulan dari kepala Itok!” Menteng nyengir.
“Kalau kuh sudah bisa berjalan, kudorong kau ke sunge banyak buajo!” Itok menjawab sambil menggeram.
Dia tertawa. “Hei, tak sekalian didorong ke kawasan terlarang?”
Itok menatap heran dari belakang punggungnya. “Hamak Fian, ajarkan tak betul pun!”
Jujur, aku masih belum mengerti dengan takdir seperti ini. Semua serba kebetulan. Baiklah, sambil memikirkan keajaiban kedua, aku menikmati hari ini. Tersenyum. Kupikir, dia mempunyai wibawa yang tinggi, seperti dokter umumnya. Jual mahal dan pintar membuat sekitar lebih hormat karena jabatan yang dia miliki. Nyatanya, tidak juga. Asyik, garing, dan terlebih dia pintar bergaul dengan anak-anak. Mempunyai kehormatan yang berbeda.
“Asal kau dari mana?” Dia bertanya lagi sambil berjalan. Anak-anak nyimak.
“Dari Jawa,” jawabku singkat.
Dia mengangguk. Seperti biasa saja. “Guru lama dari 3P, dulu asalnya dari Papua.”
Aku yang terperangah. “Jauh sekali.”
Dia mengangguk. “Kau, orang medis?”
Aku menggeleng. “Bukan, aku dari jurusan Psikologi.”
Dia menoleh padaku. “Cocok sekali menjadi pengajar. Aku yakin, kau pasti mempelajari berbagai macam jenis manusia. Ada jeruk, melon, nanas, pisang, pasti banyak bukan?”
Aku menoleh. “Eh, Pak, itu bukankah buah-buahan?”
Dia tertawa tergelak. Anak-anak ikut tertawa sambil menepuk dahi.
“Bu Guru tertipu! Biasa, Hamak Fian memang sering begitu.” Acel masih tertawa.
Aku ikut tersenyum lebar. Sepertinya, aku lumayan bisa menyesuaikan diri dengannya. Berkat anak-anak, terbantu baik rasa grogiku. Ditambah, dia ternyata receh, persis seperti Ruki.
“Mana ada, Hamak, orang macam buah-buahan. Yang ada, nanti ada yang berwarna kuning, hijau, cokelat, biru, ungu,” jawabku berusaha menyambungkan pernyataanya.
Anak-anak tertawa lagi. Dia ikut tertawa. “Syukurlah, kau tak gugup lagi,” ujarnya.
“Hamak Fian, tadi Itok melempar biji ke kepala Bu Damay.” Acel melapor.
“Betul, Itok?” Dia bertanya sambil menoleh ke belakang.
“Betul, Hamak. Aku melihat sendiri.” Tambah Nico.
“Hmm, baiklah. Bu guru, izinkan Itok tidak berangkat sekolah hari ini.”
“Kenapa?” tanyaku.
“Mau kuberi hukuman,” jawabnya.
Aku menoleh ke dia. Mata cokelat, poni berantakan yang semakin panjang, rambutnya juga, kulit yang mulai menghitam, menatap tajam ke depan. Sepertinya dia sungguh-sungguh mau menghukum Itok.
“Tak usahlah, Pak. Lagipula, Itok belum mengenalku.”
“Justeru itu, dia tidak sopan!”
Itok menunduk di belakang. Berkata lirih. “Ma—”
“Tidak bisa, Itok. Kau harus dihukum. Atau, mau kulaporkan ke Inak?”
“Tak mau!” jawab Itok lesu.
Dia mengangguk. Berhenti. Aku ikut berhenti.
“Sudah sampai. Kau teruskan berjalan bersama anak-anak. Lewati saja jembatan kecil itu, maka akan sampai di sekolahan. Itok ikut denganku ke Puskesmas darurat. Selamat mengajar, Bu Guru. Semangat!” Dia tersenyum lebar. Meninggalkan kami.
Kupandangi punggung yang semakin hilang. Semangat. Adalah kata-kata yang membuatku bergetar. Apalagi, dari dia langsung. Aku harus bisa maksimal mengajar di sini. Entahlah, nanti hasilnya sesuai harapan atau tidak, tapi bukankah aku bisa berada di sini juga karena dia? Tulisan-tulisan indahnya yang selalu memotivasiku bergerak di luar zona nyaman untuk bermanfaat bagi sesama.
“Ayo, Bu Guru!” Acel menarik tanganku. Tertawa lebar dengan gigi ompong, ciri khasnya. Nico berjalan di samping Acel. Menteng berjalan di samping kiriku. Mood-ku sepertinya baik sekali, apalagi untuk hari ini. Bertemu dia secara tak terduga, bersama anak-anak—walau impasnya harus dilempar biji dulu, dan hari pertama mengajar. Rasanya, jantungku berdegup lagi.
Setelah melewati jembatan kecil, tiga rumah panggung terpampang. Anak-anak yang sedang bermain langsung menoleh ke arah kami. Para ibu dan bapak guru lainnya keluar dari kantor, menyambutku. Acel, tanpa diaba-aba maju ke depan. Merentangkan tangan.
“Sambutlah, Bu Guru paling cantik tiada tara, Ibu Damaylia ....” Dia berteriak lantang. Nico bertepuk tangan keras. Anak-anak lain ikut bertepuk tangan. Aku menoleh ke bapak dan ibu guru yang berdiri di depan kantor. Mereka mengangguk dan tersenyum.
“Jangan lupa, Bu Damay menerima tanda tangan!” Menteng berteriak lantang.
Seketika anak-anak masuk ke dalam kelas. Keluar lagi membawa buku dan pulpen.
“BU DAMAY, KAMI MINTA TANDA TANGAN!”
Aku menepuk dahi. Sepertinya, Menteng anak yang unik. Sangat unik!
***
Seusai masuk ke kantor guru, aku mendapatkan mandat menjadi guru kelas lima.
Aku melangkah masuk ke dalam. Anak-anak sudah duduk rapi sambil mengobrol. Ada sebelas anak di kelas lima, termasuk Acel, Nico, dan Menteng. Nico sibuk mengamati kaleng dan membaca buku lapuk. Acel juga sedang membaca, tertawa sendiri. Menteng? Entahlah, apa yang sedang dia lakukan. Menulis sesuatu.
“OI! Bu Damay ‘dah masuk!” Acel berteriak lantang. Anak-anak langsung diam, duduk dengan posisi serapi mungkin.
“Baiklah, sebelum kita memulai pembelajaran, alangkah baiknya kita berdoa terlebih dahulu. Berdoa, dimulai!” Aku memimpin berdoa. Anak-anak menundukkan kepala.
Seusai berdoa, aku membagikan satu persatu kertas warna-warni pada mereka. Anak-anak saling toleh, bingung kertas itu untuk apa. Aku tersenyum. Rasa gugupku hilang sekejap. Mungkin, salah satunya semangat dari dirinya.
“Silakan isi kertas itu dengan nama panggilan kalian.”
Inilah kelemahanku. Mengingat nama orang. Kecuali, kalau anak itu unik. Unik itu bukan berarti harus pintar, karena aku percaya anak-anak tidak ada yang bodoh. Mereka mempunyai cara unik masing-masing untuk berekspresi dan paham akan suatu ilmu. Tidak ada kambing yang pintar berenang. Tidak ada pula paus yang mampu mengais tanah. Oi, bukan berarti aku menyamakan mereka dengan hewan. Mereka, mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing.
“Bu? Tidak berkenalan dulu, kah?”
Aku tertawa. “Oh, iya, Ibu lupa.”
Aku berdeham. “Perkenalkan, nama Ibu, Damaylia. Kalian boleh memanggil Inak, Bu, atau lengkap Bu Damaylia. Ibu berasal dari Pulau Jawa, tepatnya Provinsi Yogyakarta. Ada yang tahu, istimewanya dari Yogyakarta?”
“Namanya saja DIY, Daerah Istimewa Yogyakarta, Bu. Provinsi yang masih menggunakan sistem kerajaan. Kalau di Provinsi Kalimantan menggunakan panggilan Pak Bupati, kalau di Yogyakarta menggunakan panggilan Sultan. Betul tak, Bu?” Menteng lantang menjawab.
Aku terkesima. Darimana anak itu banyak tahu?
Dia mengangkat buku IPS. “Aku selalu membaca buku IPS, tapi tidak mau belajar Matematika. Pusing,” jelas Menteng.
Anak-anak tertawa.
“Halah, bilang saja ko berdalih, karena matematika selalu nilai nol!” Acel berseru tertawa.
“Lah, memang ko tidak? Matematika ko itu dua puluh!” Menteng tidak mau kalah.
Anak-anak tertawa keras. Muka Acel mengkal, melotot pada Menteng.
“Daripada ko, aneh, belajar di kandang ayam. Mengamuk sudah Hamak guru, buku berbekas tahi ayam!” Acel tidak mau kalah.
“Oh, ya? Daripada ko, sok jadi pujangga, tercebur sudah ke sunge. Mata untuk melihat, bukan untuk berpujangga!” Menteng tidak mau kalah.
Aku tengok ke ke kanan dan ke kiri. Melihat Acel dan Menteng bergantian. Saling beradu, mengejek satu sama lain. Acel tidak mau kalah, Menteng mempertahankan harga diri sebagai anak lelaki. Aku menggaruk kepala. Duh, bagaimana caraku melerai mereka?
“ACEL, MENTENG, KOM BISA DIAM TAK!” Nico berseru lantang. Dia berdiri, menatap tajam bergantian ke Acel dan Menteng. Mereka tidak berkutik. Anak-anak lain ikut diam, tidak tertawa.
“Kom tak hargai Bu Damay yang hendak mengajar. Kom pikir, jadi guru mudah? Bu Damay sampai menulis apa saja yang akan diajarkan, demi Kom!” Nico menatap teman-temannya. Acel dan Menteng menunduk, tapi masih saling melotot.
“Maafkan kami, Bu Damay.” Nico mengangguk. Kurasa, dia menjadi sosok pemimpin akan lebih cocok. Bisa bersikap tegas dan dewasa. Terlihat dari pertama kali bertemu di kapal, saat menangani si Itok dan sekarang.
Aku mengangguk. Tersenyum. Kan? Apa kubilang. Mengajar anak-anak itu tidak mudah. Beruntung, ada Nico yang bisa membantu meredakan suasana. Aku melanjutkan pembelajaran dengan membuat peraturan dan pemilihan pengurus kelas.
***
“Acel, mau lihat keadaan Itok?” tanyaku seusai pelajaran. Ketiga anak itu, dengan setianya menungguku.
“Tak usahlah, Bu. Itok pasti sedang dihukum Hamak Fian. Nanti, kuh ikut dihukum pula!” jawab Acel.
“Ayo, Bu. Nico nak ingin melihat keadaan Itok. Siapa tahu sudah sembuh, kita bisa membantu pulang.”
“Lah, Itok kan tak menyeberang sunge?” tanya Acel.
“Iya, tapi kita harus tahu keadaan Itok. Bukankah Itok teman kita?”
Acel diam. Menteng sudah pergi duluan bersama longboat yang hendak berpulang. Seharusnya, kami bertiga pulang dengan longboat itu, tapi karena aku ingin melihat keadaan Itok –dan melihatnya, aku rela pulangnya berjalan kaki melewati jembatan. Luamayan jauh.
Acel tak mau pulang satu longboat dengan Menteng. Mukanya masih masam melihat Menteng. Mereka masih perang dingin. Dia lebih baik pulang berjalan kaki melewati jembatan, ketimbang satu longboat bersama Menteng.
“Nanti, kalau Acel pulang duluan, tidak ada teman. Lebih baik, Acel ikut Ibu dan Nico. Setuju?” Aku tersenyum.
Acel ikut tersenyum lebar. Mengangguk. Namanya anak-anak. Mood-nya gampang berubah. Nah, karena Acel ikut, Menteng berasalan mau membantu pamannya memancing. Aku menggaruk kepala. Besok, aku akan mencari cara agar mereka berdamai.
Kami bertiga berjalan beriringan menuju Puskesmas sederhana, seperti yang dikatakan dia. Puskesmas itu dekat dengan sekolah. Jaraknya sekitar seratus meter. Jadi, sekolahan dan Puskesmas diantara lapangan yang sangat luas. Saat sampai di dermaga kecil, harus berjalan lebih dulu untuk menuju ke Sekolah maupun Puskesmas.
Bangunan Puskesmas, lagi-lagi panggung. Dibandingkan dengan Puskesmas pertama kali aku bertemu dengan dia, ini jauh sederhana. Palah, hampir mirip dengan rumah Inak Bunan. Bedanya, ada plang berwarna putih bertulisakan “Puskesmas”.
Kami naik ke atas. Terpikirkan sesuatu. Kalau ada Ibu mau melahirkan, bagaimana cara memasukkan ke dalam Puskesmas? Atau dokter langsung saja ke rumah penduduk? Acel mengetuk pintu.
Suara pintu terbuka. Dia. “Eh, datang kemari kalian?” tanyanya dengan sumringah.
Aku mengangguk. “Itok kelas lima, jadi aku bertanggung jawab untuk tahu keadaan Itok.”
Dia dan Acel saling tatap. Tertawa perlahan. “Masuk dulu, lihat Itok sedang apa.”
Kami bertiga masuk. Acel langsung duduk di lantai bertikar. Nico di sebelahnya. Aku tertegun. Melihat Itok bersungut-sungut membuat bulatan yang terbuat dari kapas.
“Nah, itu hukumannya. Hei, Itok, ini ada yang menjenguk!”
Itok mendongak. Menatapku. Menunduk lagi.
“Sudah saatnya Itok,” Dia berkata lembut ke Itok.
Itok berjalan menujuku. Menghirup napas sambil bermain jempol tangannya. “Maafkan aku, Bu. Aku salah melempar Bu Guru dengan biji rambutan.”
Acel menahan tawa. Nico melotot pada Acel.
Aku mengelus bahu Itok. “Tak apa, kamu baik-baik saja?”
Itok mengangguk. Menunjuk kakiknya yang sudah dibebat.
“Hukumanmu selesai, Itok!” Dia tertawa. Membuat pipiku merona.
“Uhuy, juragan rambutan yang tak punya rambut!” Acel nyeletuk sambil tertawa. Sepertinya, jahilnya sama dengan Menteng.
Itok melotot ke Acel. “Daripada ko, sok menjadi pujangga, tercebur sudah ke sunge!” Itok meledek Acel, persis seperti yang dikatakan Menteng.
Muka Acel merah padam. Menggelembung. Dia berdiri, keluar dari Puskesmas. Nico berlari mengejar Acel. Dia masih tertawa melihat tingkah anak-anak. Aku menepuk dahi.
Sepertinya, setiap hari akan ada keributan.