Setelah beberapa bulan, kandungan Airin menjadi lebih kuat, perutnya juga sudah terlihat membesar. Airin tidak lagi menghubungiku setiap waktu.
Di malam yang sepi, aku hanya berjalan-jalan di trotoar sekitar rumah. Angin lumayan kencang, tapi tetap tidak menghilangkan sesak di dada.
Saat mendekati rumah, aku melihat bayangan wanita bersender di pagar sambil menunduk. Itu Bunga Dea yang fasih kukenali karena terbias cahaya lampu jalan. Langkahku sangat pendek, ketika Bunga menyadari jika aku disini, dia tersenyum, manis sekali.
“Hai, Ndra”
“Hai” kataku gugup, hatiku bergetar mendengar suaranya
“Tadi aku mampir ke rumah Bobby, ”
“Oh.. iya” kataku, melanjutkan langkah melewati Bunga
“Bisa tidak kita lupakan saja” suara Bunga parau, tangannya menarik ujung kaosku
Aku menoleh kembali ke Bunga, mata kami bertemu, Bunga tersenyum dengan semua usahanya
“Semua masalah, kita lupain aja. aku masih cinta dengan kau Ndra”
Aku menghela napas, kupandangi matanya lekat-lekat, Bunga menunduk, gerimis mulai turun
“Bunga, aku juga ....”
Handphoneku berdering
“Angkat aja dulu” sahut Bunga, yang kembali menebarkan senyum penuh usahanya
“Halo”
“Ndra, papa udah tahu, papa sama mama ngikutin aku Ndra, aku...”
“Kamu dimana”
“Aku nyetir sudah dekat rumahmu, kamu dirumah kan”
“Iya”
“Aku kesana”
Telponku mati, aku hanya memandangi Bunga yang mengatup bibirnya, “Siapa?” tanyanya terdengar basa-basi
“Kamu kerumah Bobby aja” kataku yang langsung memasuki pekarangan rumah
Bukannya menurut, Bunga malah mengikutiku
“Dengerin aku Bunga!”
“Kenapa Ndra? Kamu bilang, kamu juga...”
Aku mendengar suara mobil yang mendekat, kutarik Bunga kebelakang pohon mangga depan rumah “Tunggu disini!”
“Tapi..”
“Apapun yang terjadi, jangan pergi dari sini”
Bunga mengangguk bingung, aku berlari ke teras dan membuka pintu dengan kunci, mobil Airin masuk kepekarangan. Aku terpaku menatap Airin yang keluar sambil menangis dan berlari memelukku
“Ndra, aku takuut”
Aku bisa merasakan tubuh Airin yang gemetar, tapi mataku tertuju pada Bunga yang berada ditempat gelap, itu membuatnya tidak terlihat dengan jelas. Meski begitu aku bisa merasakan jika Bunga pasti terkejut melihat Airin setelah sekian lama.
Kupapah Airin ke dalam, gerimis menjadi makin lebat. Satu mobil kembali memasuki pekarangan
“Ndra, itu..” suara Airin bergetar
“Duduk dulu, Rin, biar aku yang ngejelasin ke Om ”
Setelah Airin duduk, aku langsung berlari ke pintu, Om Darma terlihat sangat emosi, aku mencoba menahannya.
“Minggir kamu, mana Airin!”
Mamanya Airin hanya menangis sambil mencoba menahan Om Darma
“Tenang Om” kataku menghalangi pintu dengan kedua tangan
“Tenang kata kamu? Anak itu teralalu dimanja, kamu lihat sendiri jadi apa dia dulu! sekarang malah kayak gini!”
“OM! Ayo kita omongin baik-baik, bukan emosi, tolong Om, kasihan dengan Airin”
Om Darma menghela napas lalu berbalik meninju tiang bertubi-tubi, lama-lama menjadi makin pelan dan terhenti.
***
Aku, Airin, dan orangtuanya melakukan pembicaraan yang cukup dalam. Sulit sekali mencapai ketenangan malam ini, setelah satu atau dua jam, Om Darma dan mamanya Airin pamit pulang.
Airin masih terus menangis “Ndra, maafin aku”
“Udah, Rin” aku sudah kehabisan kata untuk menenangkan Airin.
Setelah terus menerus menangis, Airin akhirnya tertidur di sofa, aku melihat jam sudah menunjukkan jam 3 dini hari, masih gerimis.
Tenagaku sudah benar-benar terkuras habis ketika memutuskan berjalan keluar rumah, langkahku sangat pelan menuruni anak tangga “Bunga?”
Bunga keluar dari belakang pohon, mendekatiku, dengan begitu aku bisa melihatnya yang terkena penerangan lampu depan, tubuhnya basah kuyup, wajahnya pucat dan dia hanya terdiam dengan semua pertanyaan dikepalanya yang tidak satupun bisa keluar.
“Aku akan menikah dengan Airin” suaraku pelan
Teringat kembali percakapan dengan Om Darma
“Anak di kandungan Airin itu tidak ada bapaknya, bagaimana kedepannya? Siapa nama bapak yang akan ditulis di akta kelahiran? Bagaimana dia bisa hidup?”
“Aku akan jadi bapaknya om”
Bunga mengangguk berkali-kali air matanya menetes
“Ah.. aku mengerti sekarang” suaranya parau
Bunga beranjak pergi, aku tidak bisa menahan diriku untuk membiarkannya
“Bunga, sebenarnya...”
“Ayo tidak usah saling mengenal lagi,” Bunga meraih tanganku dan meletakkan cincin tunangan miliknya di telapak tanganku “Jika kita bertemu, dimanapun, ayo saling mengabaikan”
“Bunga” airmataku menetes
“Selamat, berbahagialah” kata terakhir yang kudengar, Bunga berlari,
Aku hanya terduduk menggenggam cincin yang terasa begitu dingin.
Kupikir malam ini aku akan mengatakan semuanya pada Bunga, lalu Bunga akan marah padaku, seperti hal normal yang dilakukan kebanyakan pasangan, tapi nyatanya tidak.
Sakit sekali, apa gerimis kali ini bukanlah air yang jatuh? Aku seperti ditusuk ribuan jarum. Air mata yang mengalir tidak ada yang tahu, aku benar-benar merasa sendirian. Tentu aku pantas merasa begini, akulah orang jahatnya yang membiarkan Bunga terluka.
Aku seolah mendorongnya ke tombak takdir, tapi karena aku berada tepat di belakangnya, akupun tertuja juga. Tapi ini bukan apa-apa, tentu Bunga merasakan sakit yang lebih parah karena dia dilukai oleh pria yang dia percayai sedangkan aku hanya melukai diriku sendiri.
Dengan air mataku yang bercampur bersama hujan, aku mengikhlaskannya pergi. Supaya Bunga bisa terus berjalan dengan baik, dia tidak boleh terus menoleh ke belakang.
***
Ketika Airin sudah mencapai waktu ditetapkan dokter untuk lahiran, kandungannya sudah melewati sembilan bulan. Aku duduk di kursi panjang depan klinik, Airin sedang berjalan mondar-mandir supaya bisa melahirkan lebih mudah.
Tak lama Airin duduk didekatku, aku menatapnya
“Jangan minta maaf terus” kataku
Airin tersenyum, sudah lama aku tidak melihat senyuman ini karena akhir-akhir ini dia lebih sering menangis “Hari ini aku akan jadi ibu, ngapain minta maaf”
“Benar”
“Aku pengen jadi ibu yang lebih perhatian dengan anakku” kata Airin menatap langit “Kurasa karena orangtuaku yang selalu sibuk, aku jadi suka cari perhatian ke kamu”
“Masih punya orangtua harus bersyukur, aku aja udah enggak punya” tegurku
“Iya, gimana dengan Dea?”
Pertanyaan Airin ini didasari pada ceritaku, aku menceritakan semua tentang Bunga dengannya.
“Entahlah”
“Tepat sesudah aku melahirkan, kau akan langsung ijab kabul?” tanya Airin
Aku mengangguk “Penghulunya sudah kuhubungi,”
“Kamu tidak perlu sejauh itu, Ndra”
“Apa yang kamu bicarakan? Jangan aneh-aneh ya”
“Dea tahu aku hamil dan dicampakkan”
Aku terdiam menatap Airin
“Dia tahu lebih dulu daripada kamu, pas aku sampai di Jakarta terus ke rumah sakit, Dea ada disana untuk buat surat sehat gitu” Airin tersenyum “Dea orang yang baik, kamu juga, kalian harusnya sama-sama”
Ketika Airin mengatakan ini, aku malah merasa jadi orang yang tidak baik. Perasaan yang muncul sangat terasa buruk, aku menyesal untuk hubunganku dan Bunga yang rumit tidak dipungkiri saat itu kami masih sangat emosional dan mencoba dewasa bukanlah hal yang mudah.
Dan masa lalu adalah hal yang tidak bisa dirubah, aku tidak bisa memperbaiki hati Bunga setelah menghancurkannya. Mengatakan hal jujur dengan alasannya setelah berbohong benar-benar sikap yang egois, ini seperti mencari pembenaran akan kesalahan.
Tapi entah bagaimana kerasnya aku menyembunyikan sesuatu, Bunga selalu diberi jalan untuk tahu. Dan untuk terus menerus pura-pura tidak tahu dan menunggu, itu adalah hal yang pasti sangat menyiksa baginya. Bunga pasti merasa jika aku tidak mempercayainya. Bodohnya, aku selalu bersikap begitu.
Berharap jika Bunga akan mengerti, benar-benar adalah sikap yang jahat. Bungapun berhak untuk membenciku, sesekali mengumpat tapi terus melanjutkan hidupnya. Kemudian dia akan menemukan pria yang jauh lebih baik dariku, dan bahagia selama-lamanya.
Aku menghela napas panjang “Kau juga wanita yang luar biasa” kataku “Aku bahkan ingin mengangkatmu menjadi ibuku”
“Apaansih, hahaha”
“Jadi jangan berpikir kemana-mana, menikah saja denganku” kukeluarkan cincin dari saku depan yang kusiapkan untuk acara ijab kabul besok
“Aku enggak mau kamu nyesal nanti”
Kutatap Airin dengan raut wajah tak enak
“Tapi yaudah lah, iya, hahaha lamaran kamu aneh” lanjut Airin ingin menyerobot cincin ditanganku
“Sett” kataku mengelak “Ini untuk besok, masak aku harus beli lagi untuk ijab kabul, udah mepet nih”
“Dasar pelit” rajuk Airin
“Kamu kan udah punya banyak”
Airin menjulurkan lidahnya kearahku lalu berjalan menjauh
“IBUKK tunggu” teriakku
“Ih malu, jangan teriak-teriak” sahut Airin mengulurkan tangannya
Kusambut tangan Airin yang terasa begitu hangat.
***
Malamnya Airin diharuskan menginap di klinik dan aku pulang ke rumah. Menyusuri jalan yang biasa kulewati sambil menggunakan motor yang kulajukan dengan pelan. Tuhan memberi apa yang kita butuh bukan apa yang kita ingin. Aku paham sekarang.
Aku akan mengusahakan masa depan yang lebih baik, dan masa lalu akan kujadikan pembelajaran. Kadang cinta tak harus memiliki menghampiri beberapa orang, dan kali ini akulah orangnya.
Tapi beginilah hidup, apapun yang terjadi semua harus terus melaju ke depan.
Sesampainya di rumah, aku hanya terus berjalan sampai ke kamar. Tanganku merogoh sepasang cincin lama dari laci lemari, dengan langkah juntai kudekati jendela dan melempar cincin itu sejauh yang kubisa. Semilir angin meniup rambutku. “Selamat tinggal Dea, terimakasih untuk semuanya”
Lalu yang kurasakan sangat kosong, setelah itu aku hanya terduduk di lantai dan bersender pada tepi ranjang.
Cerita panjang itu berakhir bersama hari ini. Itu kisah sedih. Jadi adalah hal yang lumrah ketika airmata menjadi satu-satunya yang tidak mau sembunyi.