Aku tidak percaya jika seseorang akan jahat selamanya. Tiap waktu berlalu, tiap kisah bisa saja berubah. Airin memang pernah salah arah, tapi aku mengenalnya, dia jauh lebih baik dariku.
Mungkin Airin pernah menjadi menyebalkan karena mengalami gangguan mental, apa sejak kuliah? Aku tidak tahu tapi sejak menjalani perawatan aku bisa merasakannya, dia kembali, Airin yang dari kecil kukenal, wanita polos dan ceroboh.
Seandainya Bunga tau, mungkin kami tidak akan berhenti saling menghubungi dua minggu ini tapi aku tidak bisa memberi tahu Bunga. Meski tidak tampak, Bunga menaruh kecemburuan pada airin. Aku tidak mau Bunga salah paham.
Karena tidak bisa memberi tahunya, akupun tidak punya keberanian untuk menghubungi.
Airin sangat membutuhkanku sekarang, aku merasa ingin berjalan bersamanya melewati ujian ini. Bukan karena latar belakangnya, tapi aku ingin menjadi seperti dia disaat aku susah. Sebagai teman.
Selama aku mengenalnya, dia tidak pernah tumbang, dia seakan selalu dipenuhi solusi. Tapi kini untuk pertama kalinya temanku itu benar-benar kehilangan arah.
***
Sangking suntuknya, aku malah menghubungi Bobby. Satu-satunya orang yang tahu kondisiku dan Bunga. Kami janjian untuk ngopi di salah satu mall.
Aku minum latte dan dia cappucino.
“Sibuk banget bang?” cercaku yang kesal karena dia telat sejaman
“Banget lah, sekarang tahun mode banget, mau tahu nggak apa yang bakalan buming abis?”
“Ah.. nggak penting buat aku,”
“Eh.. trus buat apa kamu ngajak ketemu? Yang aku paham kan Cuma itu”
“Bunga? abang ada ketemu dia dua minggu terakhir?”
“Lusa kemarin ketemu di depan rumah, aku kira dia lagi nungguin kamu”
“Ck.. aku sibuk bang, nggak sempat pulang kerumah seminggu terakhir”
“Kalian ada masalah ya? Rawan-rawannya nih jangan libatin aku, meski kita minum kopi berdua sekarang, aku tetap sahabatnya Dea” Bobby memundurkan kursinya seolah akan pindah ke meja lain.
“Kondisinya gimana? Baik nggak?”
“Kayak biasalah, kamu tahu sendiri Dea tampangnya gitu-gitu aja” balas Bobby datar, sambil memainkan handphonenya
Pasti Bunga tidak baik-baik saja, aku tahu itu, Bobby tidak akan tahu karena hanya melihat luarnya saja.
Selesai ngopi, aku bergegas pulang. Bobby ingin belanja dulu katanya. Di parkiran aku malah lupa dimana letak mobilku. Kurasa sekarang sangat kacau, Bunga berjalan kearahku, mukanya tampak khawatir.
“Ndra? Bobby bilang kau disini” suara Bunga parau, dia banyak berkeringat,
apa dia baru dari tempat kerjanya?
“Aku sangat merindukanmu Ndra, HP-ku hilang, aku tidak bisa menghubungimu, aku baru beli yang baru semalam, maaf ya Ndra, maaf marah-marah waktu itu, aku Cuma capek dan jadi kebawa emosi”
Kenapa Bunga terlihat begitu hancur sekarang? kenapa dia minta maaf padahal tidak melakukan kesalahan apapun?
“Kenapa kau diam saja? aku..”
“Ayo kita putus, kamu benar, mungkin aku memang sudah tidak menyukaimu lagi” kataku sebelum Bunga melanjutkan bicaranya yang kedengaran tidak jelas.
Air mata Bunga menetes bahkan tanpa matanya berkedip, aku hanya melewatinya dan menuju ke mobil yang tiba-tiba kusadari letaknya.
Perasaan kesal karena tidak bisa jujur, lebih kesal lagi karena dia malah mengkhawatirkanku, terutama Bunga seakan kehilangan harga dirinya menghampiriku yang bahkan tidak berusaha mencarinya.
Kurasa ini yang terbaik, aku tidak bisa membuat Bunga lebih hancur lagi. Airin sudah kehilangan arah dan membutuhkanku, aku tidak bisa melihat Bunga juga kehilangan arah apalagi karena diriku. Maafkan aku Bunga, maaf
Dari balik kaca spion mobil, kudapati Bunga tidak bergerak, mematung disana dan yang kulakukan adalah melajukan mobil keluar area parkir. Handphone yang berdering seakan memberikanku tujuan. Airin, aku akan menemuinya.
***
“Ndra.. apa rencana masa depanmu? Aku? aku berharap anakku bisa tumbuh dengan sehat, menerima banyak cinta dan memberikan sedikit cintanya untukku. Ndra? Menurutmu apa aku dan anak ini bisa bahagia?”
“Pasti, Rin”
“Senang dengar kamu ngomong gitu, aku pengen banget hidup baik Ndra. Meski nggak ada yang percaya, aku sudah senang kalo kamu bisa percaya”
“Iya Rin, nggak usah terlalu mikirin yang nggak-nggak”
Percakapan ini selalu terngiang di benakku.
Sungguh aku benar-benar berharap yang terbaik untuk Airin.
***
Malam kali ini tidak mampu merebut kesadaranku, aku hanya terbaring di ranjang rumahku yang sangat sunyi. Bagaimana dengan Bunga? Setiap pertanyaan ini muncul dibenakku yang kulakukan hanya berusaha menepisnya. Bahkan memikirkannya saja aku tidak berhak.
Apa aku benar tidak menyukai Bunga lagi? tentu tidak, aku sangat menyukainya, tapi perasaanku dan tindakanku, semua hal tentangku sekarang hanya akan menyakiti Bunga. Aku tidak bisa meninggalkan Airin, bagaimana dengan anaknya? bagaimana jika anak itu berakhir sepertiku dan Bunga? Yatim piatu.
Airin sangat lemah, itu benar. Bukan hanya mental tapi juga fisik. Aku tidak mau temanku ini mati cepat, di satu sisi aku yang tidak sempurna ini malah membuat Bunga hancur.
Ketika memiiki hubungan dengan Bunga, aku ingin kami menjadi bebas, tapi yang kudapati hanya aku yang tidak berani jujur dan Bunga yang tidak bisa marah, kesal ataupun merajuk kepadaku. Dan semua ini atas dasar cinta, menyedihkan sekali.
Bunga, jangan mimpi Indra ya.. lirihku yang langsung menutupi kedua mata dengan tangan. Ini hari yang berat.
Esoknya, aku pergi ke Jogja untuk mengecek kantor cabang, hanya beberapa rapat dan tandatangan. Hidupku rasanya sudah hancur, bahkan aku tidak memiliki jeda untuk patah hati.
***