Sudah tiga bulan sejak terakhir aku bertemu Bunga di Bandung. Sejak saat itu aku tak pernah melihat Airin lagi, tapi aku tak mau bilang jika dia menghilang karena sedikitpun aku tak pernah mencarinya.
Kurasa sekarang Bunga sedang menulis skripsinya, pasti pusing sekali, semangat yaa Bungaaa....
Dan sekarang aku masih sibuk bekerja, kadang ke pabrik untuk melihat ukiran ataupun model property yang kurancang dan mengikuti kebutuhan pasar juga. Lalu ke beberapa kantor cabang di kota lain untuk melihat siklus penjualan dan inovasi dari beberapa karyawan yang sudah paham tentang kebutuhan dan minat masyarakat di masing-masing kota tersebut.
Bukannya pamer, aku hanya tidak ingin kalian berpikir jika kerjaanku hanya menyukai Bunga saja, mencari-carinya dan galau. Terlebih dari itu Bunga membuatku jadi ingin jauh lebih baik lagi dan lagi.
Jika suatu saat ada perang di hidupku dan Bunga akan pegang senjata maka aku tak mau jadi tamengnya, aku akan jadi benteng dengan senjata yang lebih banyak lagi di dalamnya. Aku laki-laki dan sudah jadi instingku untuk melindungi wanita bukannya malah jadi yang minta dilindungi.
Meski Bunga tak menuntut untuk itu.
Aku juga tak ingin kalian berpikir jika karena aku mencintai Bunga maka aku tak butuh orang lain lagi. Karena ini adalah dunia yang dipenuhi banyak orang dan kita akan selalu membutuhkan satu sama lain, jadi aku mengiyakan permintaan Om Darma, ayahnya Airin untuk bertemu siang ini.
Aku dan Om Darma bertemu di salah satu restaurant seafood untuk menghabiskan makan siang bersama juga minum kopi sambil bincang-bincang.
Kopi pesanan kami baru saja datang ketika Om Darma selesai menjawab telponnya, dia juga orang sibuk.
“Ndra, Airin menghilang beberapa bulan ini, kau tahu dia kemana?”
“Hm.. tidak Om, tapikan dia sudah besar juga..”
“Iya.. tapi dia enggak biasanya tidak ada kabar selama ini, Om kira kamu tahu”
“Airin enggak ada ngubungi aku juga, Om”
Om Darma nampak sibuk membalas beberapa pesan yang bertubi-tubi masuk ke ponselnya. Kurasa diapun tak terlalu khawatir tentang Airin. Jika boleh kutebak mungkin sekarang Airin bisa jadi sedang berada di luar negeri.
“Om sedang sibuk sekali, kau tidak berniat membalas pesan di ponselmu?”
“Ha?” aku langsung meraih ponsel yang kutaruh di atas meja “Iya ada pesan”
Om Darma hanya mangguk-mangguk, kubuka pesan singkat itu dan ternyata dari Airin. Yang berisi:
+Dra, ketemuan yuk, besok
+Di taman hiburan jam 8 pagi ^-^
Langsung saja kutunjukkan pesan itu ke Om Darma.
“Ini, Om”
“Oh, iya, baguslah jika kalian bertemu besok, Om sibuk, Ndra, Om duluan ya?” kata Om Darma masih sibuk menatap ponselnya
“Iya, Om, hati-hati” kataku langsung berdiri dan menyalamnya, lalu kembali duduk untuk menghabiskan kopiku ‘Hm, besok ketemu Airin’ gumamku dalam pikiran.
Aku kesal pada Airin ketika dia memaki Bunga meski aku tahu dia kecewa kubohongi. Mungkin kekecewaan itu seperti dia tak sadar berteman dengan seorang duda selama beberapa tahun terakhir ini.
Oleh sebab itu aku tak berniat menemui Airin, dan kurasa dia juga butuh waktu sendiri. semua wanita biasanya begitu saat sedih selalu ingin menyendiri.
Tapi setelah beberapa bulan tak ada kabar dan tak dicari lalu tiba-tiba diminta bertemu oleh Airin dengan nada pesan seperti tak terjadi apa-apa, aku malah merasa kekesalanku tak dihargai.
Tapi sudahlah, aku tetap harus menemuinya. Terutama karena aku tak enak dengan Om Darma.
***
Aku bangun jam tujuh, badanku terasa lelah sekali ketika terbangun. Mungkin karena aku akan menemui orang yang sedang tak ingin kulihat. Sambil masih bermalas-malasan di tempat tidur kutarik HP dari atas meja dekat ranjang mendekat.
Ada beberapa pesan yang belum kubuka dari karyawan yang melaporkan pengembangan kantor cabang. Pesan dari operator dan yang terakhir dari nomor yang tak dikenali.
Setelah mandi dan sarapan, kukunci rumah lalu dengan santai mengendarai mobil ke taman hiburan, tempat pertemuanku dengan Airin.
Hari ini sepertinya aku tak ke kantor, yah sekali-kali libur.
Airin berdiri di dekat mobilnya di parkiran, kuarahkan mobilku untuk terparkir pas di sebelah mobilnya. Airin langsung mengambil posisi berdiri di belakang mobilnya ketika aku keluar dan kuikuti.
Rasanya tidak ada siapa-siapa di sana selain aku dan Airin yang tampak gelisah. Kami saling berhadapan dengan jarak satu meter, wajahnya jelas terlihat memucat.
“Ndra, ma-maaf, aku tahu aku salah, sebenarnya...” Airin berlagak tidak mau melihatku tapi akhirnya mata kami bertemu juga
Aku tidak tahu bagaimana wajahku, mungkin jelas terlihat kesal sampai Airin jadi kembali menunduk
“Aku masih menyukaimu, Ndra” suara Airin memelan “Aku sangat mencintaimu”
“RIN!”
“Aku tahu kamu enggak pernah ngerasain perasaan yang kayak aku rasain, Ndra, aku Cuma pengen kamu tahu itu aja”
“Rin, makasih, tapi aku....” kata-kataku menggantung dan nada suaraku memelan
“Cuma suka Dea, kan?”
“Bunga Dea, Cuma dia, Rin, aku Cuma punya perasaan kayak gitu ke dia aja”
“Iya, aku temanmu, aku tahu, Ndra”
“Ini bukan perasaan yang baru timbul aja, Rin, ini udah lama”
“Iya, kamu udah lama sama dia, jadi satu hari ini aja sama aku, kita main sama-sama kayak dulu, makan sama-sama kayak dulu. kayak dua teman dari kecil yang udah dewasa tapi masih sama”
Perkataan Airin terdengar tulus sekali. Mau bagaimanapun kami memang tumbuh bersama, tidak dipungkiri jika bagi Airin aku adalah teman satu-satunya. Mungkin banyak hal berubah karena perasaan tumbuh di hatinya, lebih-lebih aku menjauh karena itu.
Aku mengangguk pelan dengan senyum tipis di bibir yang dibalas dengan senyum merekah dari temanku, Airin.
Dari sana kami memasuki taman hiburan, menaiki wahana bersama satu persatu dan bermain-main.
***
Sudah sore bahkan nyaris malam, dari tadi aku dan Airin hanya asyik bermain saja sampai tidak sadar waktu berlalu cepat. Aku mengajak Airin untuk cari makan di luar taman hiburan dan diapun mau. kami naik mobilku dan mobil Airin ditinggal di parkiran.
Kami makan di tempat biasa kami sering nongkrong dulu. Hari ini aku kembali merasa mempunyai Airin sebagai temanku yang dulu, yang juga menganggapku hanya sebagai teman.
Obrolan tentang pekerjaan yang biasanya membosankan malah kami bumbui dengan candaan, dan Airin menceritakan tentang beberapa lelaki yang menyatakan perasaan padanya belakangan ini.
Setelah kenyang, aku berkendara lagi ke taman hiburan. Airin harus mengambil mobilnya dan dari sana kami terpisah, pulang ke rumah masing-masing.
“Telpon ayahmu, Rin!” teriakku sebelum berpisah jalan
“Iyaaa” katanya,
Kurasa baik memiliki teman di dunia ini. Dan temanku bukanlah si Baik, dia si Airin.
Sambil berkendara aku memutar lagu di mobil, judulnya Bunga dari Bondan fade 2 black. Dan lantunan lagu rapper begini beradu dengan suaraku yang ikut menyanyi juga.
Kurasa aku sampai di rumah jam sembilan lewat. Jalanan kompleks seperti biasa sepi, kurasa tetanggaku memang orang-orang yang sibuk dan Bobby alias Ce’tia, satu-satunya tetanggaku yang kukenal sedang bulan madu untuk yang kesepuluh kalinya.
Gelap gulita, penerangan hanya bersumber dari lampu jalan. Memang ada pemadaman listrik bergilir dan sudah beberapa hari ini terjadi di daerah rumahku.
Dengan perlahan kuarahkan mobil ke halaman rumah. Aku keluar mobil untuk membuka garasi tapi tiba-tiba ada seorang yang berlari di pinggir jalan depan rumahku. Untuk mewanti-wanti aku memastikan alasan kenapa dia berlari. Dan ternyata di depan ada satu orang yang berjalan. Mungkin temannya.
Aku kembali ingin menyelesaikan urusanku tapi di depan garasi penuh dengan darah, jejak yang mengarah ke pinggir jalan.
‘Darah siapa ini?’
Tak mungkin Mbah kiyem karena dia pulang jam sembilan pagi dan darahnya masih segar.
Saat memastikan darah di pinggir jalan ini, mataku kembali mengarah ke dua orang yang tadi salah satunya berlari di depan rumahku.
Samar-samar tapi aku tahu terjadi pemukulan karena salah satunya jatuh dan satu lagi menendang terus menerus.
Aku langsung berlari ke sana dengan sangat cepat, jarakku dengan mereka sekitar 100 meter jadi tak makan waktu banyak untuk berlari. Saat sampai sudah banyak darah, satu orang sudah terbujur di pinggir jalan dengan kepalanya yang diinjak.
Dengan sigap kupukul si penginjak yang tak terlihat ada luka sedikitpun. Kudorong dia sampai terbaring dan menghujaninya dengan pukulan. Pria ini sepertinya masih sangat muda, badannya kurus dan dia terlihat begitu tenang.
“Apa yang kau lakukan sialan?” tanyaku masih sambil memukul
“Dia pasti matiii... pasti matiiii.. hahahhaha”
Aku mengernyit dan berpaling ke arah yang bersimbah darah, napasnya satu-satu. Melihat aku lengah si tersangka mendorongku dan berlari cepat.
Dengan panik kuambil keputusan untuk membiarkannya berlari dan lebih memilih menolong korban. Langkahku juntai terlalu banyak darah. Aku berlutut memastikan dan wanita ini Bunga, Bunga Dea.
“Bu-Bungaa?”
Dia seperti berusaha bicara tapi tak ada suara yang kudengar. Kugendong dengan sigap dan Bunga langsung mengalungkan tangannya ke leherku. Dengan suara yang sangat pelaan aku bisa dengar dia bicara karena tepat di kupingku.
“In-dra dingiiin sekali”
“Bunga tetap sadar” kataku berlari menuju ke mobil, dia tak bersuara lagi “Bunga ada apa?”
“Dia me-mukul-ku la-ma se-kali, de-ngan ben-da tum-pul dan tangan ko-song”
“Lalu?” aku berusaha tenang dan tetap berlari ‘kenapa mobil terasa jauh sekali’ pikirku
“A-ku tidak di-be-ri ma-kan” suaranya mulai terisak “Sa-kit sa-kit”
“Sabar Bunga kita langsung ke rumah sakit” kataku mendudukan Bunga ke jok mobil di sebelah sopir
Aku cepat-cepat menghidupkan mobil dan melaju ke rumah sakit. di perjalanan aku berusaha mengajak Bunga bicara supaya tidak pingsan. Menanyai semuanya. Jawaban Bunga sudah mulai melantur dan darah segar serta yang sudah kering memenuhi kulitnya.
“Airin a-da di sa-na” kata Bunga sebelum masuk IGD
‘Aaargghhh sialan, ini ulah Airin!’ makiku sambil menjambak diri sendiri, bajuku penuh dengan darah Bunga dan dia berdarah separah ini karena pukulan benda tumpul!
Berapa banyak dia dapat pukulan? Meski wajahnya tak terluka sedikitpun tapi kepala, bahu, tangan, kaki bahkan perutnya?
Bunga... jika kau tak selamat maka aku akan jadi pembunuh, percayalah!
Dokter keluar dan bilang jika Bunga kehabisan banyak darah. Bunga sedang di transfusi dan luka-lukanya sudah di obati, tak ada tulang yang patah dan hanya ada sedikit pembengkakan dalam.
Aku menemani Bunga ketika dia sudah dipindah ke ruang rawat inap. Wajahnya pucat sekali dan langsung menangis ketika menatapku yang duduk di pinggir ranjangnya.
“Dokter bilang enggak papa Bunga” kataku berusaha tenang dan menghapus air matanya
“Aku takut sekali, Ndra, Psikopat itu tak henti memukulku” suaranya serak
Rahangku mengeras seketika membayangkan apa yang terjadi dengan Bunga, tapi aku tak bisa mencari dia sekarang, Bunga masih ketakutan untuk kutinggal. Saat dia sudah mulai tenang aku mulai menanyainya.
“Bagaimana bisa begini Bunga”
“Hari apa ini?” tanya Bunga, dia mulai mengingat
“Kamis”
“Hari selasa malam, aku mau ke perpus untuk cari referensi buat skripsi, Psikopat itu memukulku dengan tongkat bisbol, aku bilang kepalaku masih dibutuhkan untuk buat skripsi tapi dia masih memukul dan aww”
“Pelan-pelan Bunga” menggosok kepalanya dengan lembut
“Aku mau pukul balik tapi dia terlihat lebih muda dariku jadi kuurungkan niat trus aku sudah ada di mobil aja tangan kaki diikat dan dia mukulin aku terus sampai aku enggak sadar”
“Dia musuh kamu?”
“Enggak baru sekali ketemu,pas aku bangun taunya sudah ada di sebuah rumah, dia mukulin aku dari pagi sampai sore, malamnya dia keluar, aku berusaha kabur tapi gagal, hari kedua baru bisa, ternyata aku disekap di dekat rumahmu, tiga rumah dari rumah Ce’tia eh Bobby”
“Trus?”
“Aku senang banget pas tau itu dekat dengan rumahmu karena aku sudah dak sanggup lagi pergi jauh, tapi pas aku lari ke rumah kau enggak ada, jadi aku berusaha kabur ke tempat lain tapi ternyata dia balik”
“Kenapa enggak teriak?”
“Suara aku habis karena teriak-teriak di mobil, pas disekap di rumah itu, aku sudah enggak bisa ngomong”
Aku diam merasa bersalah sangat amat
“Kalo aku mati, yang kupikir, kuharap kau bisa ketemu mayatku dan aku bisa dikuburkan dengan layak”
“Enggak, jangan ngomong gitu, kamu biasanya bisa berkelahi ini kok bisa sampai gini? preman kalah”
“Iya, preman belum tentu kuat apalagi kalo lawannya psikopat”
“Bunga, tadi kau ada sebut Ai-airin, dia terlibat?”
“Kemarin pas aku dipukuli, dia datang, mungkin siang, dia bilang dia su-suka kau”
“SIALAN!”
“Nah sama, pas dengar itu aku juga bilang sialan trus dia bilang ‘kau lebih sialan’ trus kubilang kau yang sialan trus dia bilang ‘ayo kita lihat siapa yang lebih sialan’ trus...”
“Trus?”
“Dia mukul kepalaku pakai stick golf”
“Kita harus lapor polisi Bunga, ini sudah jauh kelewatan!”
“Dia temanmu, kau bisa lihat dia di tahan polisi?”
“Kita enggak bisa tinggal diam aja”
“Yaudah telpon Lusi”
“Kenapa? apa hubungannya?”
“Siang itu pas Airin datang dan Psikopat itu bukain pintu, aku berhasil hubungi Lusi dan aku minta Lusi untuk rekam semua yang dia dengar, mungkin enggak banyak karena pas Airin pergi, Psikopat itu ngancurin HP-ku yang tiba-tiba jatuh dari kantong”
“Oh yaudah, berapa nomor Lusi”
Bunga menyebutkan dua belas angka dan ternyata nomor yang disebut Bunga sama dengan nomor tak dikenal yang mengirimiku pesan singkat tapi nggak kubuka.
Isi pesannya;
+Kak,
+Bunga dalam bahaya,
+Dia sebut Airin,
+Kak tolong cari Bunga,
+Pas aku cek lokasi, dia di Jakarta Kak
+Tolong!
Aku yang membaca pesan panik itu jadi kesal pada diriku sendiri, kenapa tadi enggak kubuka!
“Ndra, telpon Lusi, aku enggak mau Paman dan Bibi sampai tahu ini”
“O-oh I-iya”
Hanya satu kali bunyi tuuutt, langsung ke angkat. Kurasa Lusi sudah menunggu kabar dari seberang telpon ini.
“Assalamualaikum, Kak, gimana? Kakak sama Dea? Dia enggak papa?”
“Wa’alaikum, Lus, iya Bunga sama aku. maaf tidak balas pesanmu, aku enggak tahu itu nomormu”
“Iya, Kak, sekarang Dea mana? Dia enggak papa?”
“Kamu belum bilang ke Paman dan Bibi kan?”
“Belum kak, Dea mana?”
“Iya-iya Ini Bunga” kudekatkan HP yang kugenggam ke kuping Bunga supaya mereka bisa ngobrol
“Aku enggak papa, Cuma sedikit luka, jangan bilang Paman sama Bibi dulu. Kirim rekaman suaranya, iya nanti kuurus orang-orangnya, ada Indra. Iya aku harus istirahat dulu Lus, mungkin aku akan beberapa hari di sini. Iya, wa’alaikum” Bunga mengangguk tanda sambungan telpon sudah terputus.
Beberapa saat kemudian rekaman suara yang dikirim Lusi masuk ke ponselku. Tapi tidak langsung kubuka karena aku tak mau Bunga juga mendengarnya, aku tak mau dia tambah ketakutan.
Jadi aku berinisiatif untuk mendengarkannya di luar, saat aku berdiri. Bunga menarik tanganku dengan sangat lemas sampai tangannya terjatuh sendiri beberapa saat kemudian.
“Jangan tinggalin aku dulu, Ndra, aku takut,”
“Ah, iya” kataku kembali duduk di pinggir ranjangnya
“Bagaimana jika psikopat itu datang kesini?”
“Tidak Bunga, kau sudah aman jangan berpikir begitu, aku akan menemanimu selama di rumah sakit”
“Kau menyukai Airin, Ndra?”
“Tidak Bunga, dia sering kasar dengan teman-teman wanita yang dekat denganku saat di kampus dulu, karena itu aku mengenalkanmu sebagai sepupuku. Aku tak menyangka dia bisa sampai separah ini karena tahu kamu adalah satu-satunya wanita yang kusukai”
“Terimakasih sudah menyukaiku”
“Karena rasa sukaku kamu jadi begini”
“Kau ini, aku begini juga sudah biasa. Aku ini wanita yang bermasalah, kau lupa ya?”
“Iya”
“Jangan tinggalin aku”
“Iya, Hahaha, istirahatlah”
Tak lama Bunga tertidur. Beberapa jam kemudian perawat datang untuk mengganti kantong darah yang sudah kosong dengan infus untuk menetralisir, Bunga sempat terbangun tapi langsung tidur lagi.
Aku tak tahu berapa banyak luka yang pernah ada di kulit Bunga, tapi selama aku mengenalnya itu sudah terlalu cukup banyak. Meski begitu tak ada satupun yang berbekas dan semoga yang kali inipun sama.
Kulepaskan genggaman tanganku dan pindah duduk ke kursi di samping ranjang Bunga, dengan menggunakan headseat aku mulai mendengarkan rekaman suara yang dikirim Lusi tadi.
Aku hanya mendengar suara Airin yang memaki dan keras. Tapi aku tak bisa mendengar sedikitpun suara Bunga yang bicara mungkin karena Bunga kehabisan suara seperti yang dia bilang padaku. Tapi jelas ada suara berisik seperti pemukulan dan banyak. Seketika tanganku tergepal, kesal dan marah.
Kupandangi lagi Bunga yang tertidur, dan mengelus kepalanya yang bengkak dipukul Airin pakai stick golf.
Kemudian aku berdiri membuat jarak agak jauh dari Bunga meski seruangan. Setelah mengirimkan rekaman suara itu ke Om Darma, ayah Airin. Om Darma langsung menelponku.
Tentu aku tidak bermaksud untuk jadi pengadu tapi Airin adalah wanita dan dia adalah tanggung jawab ayahnya. Jika dia lelaki sudah kuhabisi dia dengan hukum rimba sekalipun.
Sebagai pengacara Om Darma tahu ini bisa jadi masalah besar. Tapi sebagai teman ayahku yang sudah menganggapku sebagai anak sendiri, dia sangat mengerti tentang perasaanku atas sikap anaknya.
“Aku tidak mau mengatakan ini, Om, Airin sudah lama begini, tapi kurasa ini sudah keterlaluan” kataku
Dan kemudian aku menceritakan tentang siapa Bunga ke Om Darma, siapa Bunga bagiku.
Tentu aku sangat menghormati Om Darma, mangkanya aku mengatakan ini lebih dulu kepadanya bukan main langsung lapor polisi saja. Dan setelah obrolan penuh emosionalku dengannya dini hari itu. kami sepakat untuk bicara dengan Airin lusa nanti.
Sudah pagi ketika perawat kembali datang dan mengganti infus dengan kantong darah yang baru. Bunga bangun dan kusapa dia dengan senyum.
“Panas” katanya
“Kalo masuk darah ya gitu, ini baru kantong kedua. Kata dokter kamu butuh tiga kantong”
“Banyak ya?”
“Mangkanya kalo punya darah jangan dicecerin”
“Hahaha iya makasih nasehatnya hehehe”
Aku geleng-geleng.
“Lapar, Ndra.”
“Ha?”
“Lapar, ini sudah tiga hari aku enggak makan tahu.”
“Oh, iya, tadi sarapan udah dianterin sama petugasnya. Mau kusuap?”
“Enggak, makan sendiri aja”
Bunga langsung duduk di atas ranjangnya, dia bersikap seperti tak terjadi apa-apa dengannya kemarin, seperti sehat dari lahir sampai batin.
Dia makan sangat lahap, aku yang melihatnya saja tidak menyangka jika kemarin dia hampir lewat.
“Hambar rasanya,” kata Bunga setelah selesai makan
“Tapi habis juga”
“Kurang malahan”
“Nanti aku beli keluar”
“Bagus, tapi jangan lama-lama”
“Kenapa? takut ditinggalin?”
“Enggak ah, nanti kalo kau lama-lama akunya dipindah ke ruangan lain”
“Ruang lain apa?”
“Ruang jenazah”
“Eh ngomongnya..”
“Hahaha, enggak-enggak”
“Ruang persalinan mungkin aja”
“Ngapain? Aku enggak hamil kok”
“Belum...”
“Iya belum” katanya sambil menggosok-gosok perut
“Tapi bentar lagi hehehe”
Aku langsung dipukul, meski sekali rasanya sakit. kukira dia masih pasien rumah sakit, ternyata tidak bisa lagi dibilang begitu. Tenaganya sudah kembali, aku senang untuk itu.
***
Selama dua hari menemani Bunga di rumah sakit, aku tak bisa menghitung berapa kali dia merengek minta pulang, pokoknya banyak. Dan karena itu aku hanya keluar untuk membeli makanan tambahan untuk Bunga, kadang masakan Mbah Kiyem juga kubawa setelah aku mandi dan ganti baju di rumah.
Sempat terkejut juga saat aku baru sampai dan menemui Bunga di lorong rumah sakit memegang infus dan menggendong anak kecil mungkin umur dua tahunan.
“Aaw”
“Bunga, hati-hati” kataku menurunkan anak yang digendong Bunga tadi
Si anak hanya diam melihat lalu diusap-usap Bunga kepalanya “Enggak papa,” kata Bunga menggandeng si anak.
“Anak siapa?”
“Cucu nenek yang disebelah, yuk balik ke kamar” ajak Bunga ke aku dan si anak
Setelah memulangkan si anak ke ibunya yang sedang menemani neneknya. Aku dan Bunga kembali ke kamar inap.
Dia memakan semua makanan yang kubawa. Infus di tangannya yang sudah digantung itu seperti tak berpengaruh apa-apa untuk perutnya.
Besok, selain mandi, ganti baju dan membawa makanan, aku juga membawa Mbah Kiyem ke rumah sakit.
“Ngapain Mbah?” tanya Bunga
Mbah Kiyem Cuma geleng-geleng.
Untuk kali ini aku ingin mulai berhenti membohongi Bunga. Dengan pelan aku duduk di ranjangnya dan Mbah Kiyem permisi keluar setelah kuberi kode.
Aku mengatakan ke Bunga semuanya. Jika dia sudah bisa pulang sore ini dan Mbah Kiyem akan membereskan perlengkapan Bunga. Lalu aku akan pergi sebentar untuk menemui Airin bersama Om Darma.
“Baguslah, kau kan temannya. Kalo bisa diajak damai dengan ngobrol dulu ya bagus, enggak perlu lapor polisi, aku udah maafin dia kok”
“Maaf Bunga”
“Bicarain aja dulu, aku yakin kau bakal ngambil keputusan yang terbaik. Aku sudah nggak papa, lagian Airin masih muda sayang aja kalo masa mudanya dihabisin di penjara”
“Iya, makasih udah ngertiin temanku yang aneh itu”
“Iya,”
Aku tahu Bunga cemburu tapi aku selalu suka bagaimana dia bersikap untuk perasaan itu. Bunga tak menjadikan dirinya dikendalikan oleh sekedar perasaan, intinya dia realistis. Bagaimanapun tak enaknya perasaan yang bercampur aduk di hatinya saat ini, bukan tidak peduli, tapi apa ya? Kurasa itu seperti dia menghormatiku dan juga Airin, yang sedang berada dalam masalah besar dari pertemanan. Yaitu rasa suka bertepuk sebelah tangannya Airin.
Dan kurasa itu jadi tanggung jawabku. Bunga begini karena aku juga, karena Airin suka padaku. Dan meskipun itu hanya perasaan Airin saja, pasti itu tumbuh karena aku juga. Jadi aku perlu meluruskan perasaan Airin yang sudah melenceng. Kami hanya teman dan kuharap Airin bisa menerima pilihanku.
***
Om Darma dan aku sampai di kantor Airin bersama. Tadi aku mampir dulu ke kantor Om Darma supaya bisa langsung barengan, aku dengan mobilku dan Om Darma dengan mobilnya yang disetir sopir.
Sampai di sana hanya aku dan Om Darma yang naik ke lantai dua tempat dimana kantor Airin berada. Dan sebelum membuka pintu kurasa aku mendengar suara perdebatan dari dalam kantor.
Om Darma terlihat shock, tentu saja, yang dia tahu Airin adalah anak baiknya yang cantik dan pintar juga lembut. Kuusap punggung Om Darma pelan untuk membulatkan tekadnya untuk masuk ke dalam.
Kejadian berjalan begitu cepat. Saat pintu terbuka, pria itu yang sering disebut Bunga psikopat sudah bersimbah darah. Airin memegang pisau, aku tak bisa menjelaskan bagaimana tampang Om Darma saat itu.
“Dia bilang mau membunuhmu, DIA BILANG MAU MEMBUNUHMU, INDRAAAA!”
Om Darma langsung sigap memegangi Airin dan aku mendekati pria yang terbujur di lantai. Tak lama orang-orang yang sekantor dengan Airin berdatangan dan terlalu banyak saksi, Om Darma sangat mengerti konsekuensi ini.
Cepat-cepat yang terluka dibawa ke rumah sakit tapi beberapa jam kemudian dia dinyatakan meninggal dunia. Karena apa? Airin pintar, dia menuja tepat di jantung, yang bertugas memompa darah keseluruh tubuh.
Mendengar hal itu aku sadar, temanku sekarang bukanlah si baik juga bukan si Airin, tapi si pembunuh.
“Sejak kapan kau memelihara psikopat, RIN!. Dimana kau mengenalnya?” sergahku ke Airin yang duduk di kursi tunggu,
“Aku pengacaranya atas kasus pembunuhan, Ndra”
“Oh jadi dia si pembunuh yang kau ceritakan itu? pantas kau mau membelanya untuk hal begini?. Sekarang bagaimana? Hah?”
Om Darma terpaksa tinggal untuk mengurus semua kekacauan di kantor Airin. Tapi terlalu banyak mulut dan polisi sudah mencari-cari Airin di rumah sakit.
Ketika Airin dibawa, aku cepat-cepat menelpon Om Darma, semua jadi kacau sekali.
Beberapa hari kemudian Om Darma memberitahuku jika Airin tidak dipenjara, dia mendapatkan pendampingan khusus karena positif memiliki gangguan mental dan wajib menemui psikolog.
Keluarga korban juga mau berdamai.
Setelah Airin sembuh, Om Darma bilang akan membawa Airin untuk tinggal di luar negeri bersama Mamanya juga. Tapi aku tak tahu kapan itu, karena sekarang Airin belum sembuh.
Sebagai teman Airin yang mengenalnya dari kecil, aku berharap dia bisa jadi Airin yang kukenal lagi. Dan sebagai temannya juga aku tak jadi melaporkan tindak penganiayaan terhadap Bunga atas persetujuan Bunga juga.
***