Waktu dua minggu serasa bagai ilusi distorsi waktu bagi Marry, tetapi jangka waktu demikian bukan apa-apa jika dibandingkan dengan windu yang telah Marry lalui untuk menjadi penyihir terbaik dari segala yang terbaik di angkatannya. Akademi Penyihir Cruxiaz yang telah berdiri lebih dari 300 tahun itu akan melakukan pelantikan kelulusan kesekian kalinya yang memuat Marry sebagai salah satu dari angkatan kesekian kalinya juga pada tahun ini. Dua minggu memang waktu yang sangat lama untuk dinanti, tapi Marry tahu bahwa hari demi hari akan berganti dan hari yang dinantikan akan secara tak terduga sudah ada di depan mata.
Mendengar kabar tersebut, Marry dan ketiga sahabat dekatnya berencana untuk berkumpul di kediaman keluarga Berdthora untuk merayakan terlebih dahulu kelulusan mereka dengan acara kecil-kecilan. Mengapa mereka memilih berkumpul di rumah Orwell? Sederhana saja. Nyonya rumah itu, Jania Berdthora yang merupakan ibu dari Orwell Berdthora, sekaligus adalah seorang pemanggang kue yang lihai. Memangnya siapa yang tidak suka bercengkerama sembari ditemani dengan camilan hangat yang baru keluar dari pemanggang? Baik Marry maupun Henry dan Max tak bisa menolak hal itu.
Maka di sinilah ia berada. Sambil menapak-napak kecil di genangan air habis hujan deras semalam Marry sedikit melantunkan melodi yang dia buat-buat sendiri tanda bahwa suasana hatinya benar-benar bagus secerah cuaca yang ia lihat di kota mungil bernama Willburry ini. Sambil menenteng sebuah keranjang berukuran sedang, Marry merapatkan mantel musim gugur yang dijahit oleh Orwell sendiri agar angin tak terlalu menyibakkan rambut yang sudah ditatanya rapi sedemikian rupa. Langkah kaki yang beralaskan sepatu bot besar milik ayahnya itu menuntunnya ke arah pasar dengan kedai-kedai yang menjual berbagai macam kebutuhan untuk hidup sehari-hari.
Karena sebentar lagi hari Halloween akan tiba, Marry sengaja membeli empat buah labu kecil agar mereka berempat bisa memotong labu itu menjadi hiasan Halloween. Sayur mayur musim gugur tak terlalu banyak jumlahnya, karenanya Marry hanya membeli dua bungkus jamur dan beberapa buah tomat agar mereka bisa memasak sup jamur bersama. Selesai menghitung keping uang yang ada di kantong khusus uang, Marry dengan cepat melesat kembali ke perjalanannya menuju rumah Orwell. Entah karena dia ingin bertemu Orwell terlebih dahulu, atau rasa tak sabarnya ingin melihat wajah Henry ketika mereka berempat berkumpul bersama.
Tetapi Marry memang sengaja berangkat pagi-pagi menuju rumah Orwell. Seperti biasa, ia akan selalu menceritakan suatu hal aneh yang selama hampir sewindu ini mengganggu Marry. Sesampainya di ambang daun pintu rumah kediaman keluarga Berdthora, Marry mengetuk dengan sopan. Terdengar suara nyonya rumah yang menjawab ketukan Marry.
“Ya? Siapa itu?” Marry bisa tahu bahwa bibi Jania sedang memanggang kue karena jarak suaranya yang lumayan jauh dari pintu.
“Bibi, ini aku, Marry!”
“Oh! Masuklah, nak! Naik langsung saja ke atas, Orwell seperti biasa sedang menjahit sambil menunggu kalian datang!”
“Baik, bi! Permisi!”
Dengan rapi ditaruhnya sepatu bot di tempat khusus tamu menaruh alas kaki, lalu digantungnya mantel musim gugur miliknya agar tak kusut. Marry kemudian melangkah menaiki tangga spiral menuju lantai atas tempat kamar Orwell berada. Marry mengetuk dan tanpa berucap sepatah kata pun ia langsung membuka pintu kamar Orwell. Suara teriakan Marry tadi pasti sudah terdengar oleh Orwell karena pagi hari di Willburry masih sangat tenang.
“Ya dewa! Di mana aku akan menginjakkan kakiku?”
Orwell hanya diam bergeming mendengar keluhan Marry mengenai lantai kamarnya yang dipenuhi dengan anak-anaknya – benang-benang dengan berbagai jenis, ukuran, dan warna. Suasana yang tidak asing bagi kedua sahabat itu; Marry yang dengan sigap mengambil beberapa wadah untuk mengumpulkan benang-benang yang berserakan dan Orwell yang membiarkan Marry melakukan hal tersebut sesuka hatinya. Orwell akui, bantuan kecil dari Marry itu begitu berarti besar untuknya. Benang-benang itu begitu berharga, tapi Orwell sendiri merasa kewalahan untuk menaruh sebuah benda di tempat yang seharusnya.
“Kau tahu? Untuk pertama kalinya setelah sekian bertahun-tahun lamanya, Simmon berkata sesuatu yang berbeda dari biasanya.”
Gerakan tangan Orwell berhenti dan ia menoleh kepada Marry untuk mendengarkan lebih lanjut mengenai mimpi misterius yang dialami sahabatnya itu selama kurun waktu hampir sewindu. Marry yang menyadari Orwell menghentikan kegiatannya merasa hangat sejenak karena merasa begitu diperhatikan. Memang bukan hal baru, tapi hal kecil seperti itu sangat berarti bagi Marry. Ia pun melanjutkan ceritanya sebelum yang lain datang. Marry merasa perihal tentang mimpi misterius itu hanya ia dan Orwell saja yang tahu, urusan perempuan pikirnya.
“Kali ini dia berkata ‘Kau masih belum tahu juga siapa aku? Lihatlah sekitarmu. Kau telah ... nya,’ dan demi dewa, aku sama sekali tidak bisa mendengar jelas apa yang dia katakan di kalimat terakhir. Sebenarnya dia siapa? Bagaimana aku bisa tahu kalau dia tidak langsung memberitahuku saja? Simmon kadang-kadang membuatku jengkel.”
“Ya, tapi kau menyukainya.”
“Apa?! Tidak- maksudku, tidak salah. Hei, tapi bukan itu yang menjadi inti cerita mimpiku.”
Keduanya telah sepakat bahwa mimpi Marry itu hanya bagai bunga tidur yang menemaninya bagai teman imajinasi, tetapi siapa yang tidak akan berusaha mencoba menghubungkan kejadian itu dengan sesuatu yang telah terjadi di masa lalu? Apa Marry pernah berbuat salah kepada seseorang ketika ia masih kecil dulu dan tidak menyadarinya? Mimpi sama yang berulang kali mendatangi Marry selama hampir sewindu itu tidak bisa dianggap sepele. Apalagi Marry sendiri merasa seperti mengenal dekat si cahaya pendar yang meminta untuk dipanggil Simmon itu. Bermula dari rasa penasaran akan siapa si Simmon dan berakhir pada rasa suka mengambang tak berarti pada sosok yang tak pernah langsung membicarakan siapa dirinya, Marry terjebak. Satu-satunya tempat keluh kesah untuk bercerita adalah sahabatnya, Orwell.
Orwell hanya membalas dengan tatapan datar namun sarat akan kekhawatiran terhadap Marry. Tanpa Marry sadari, Orwell sempat menyunggingkan senyum kecil sebelum ia ganti dengan ekspresi datar. Netra merah membaranya mengamati Marry yang masih giat mengumpulkan benang-benang. Ada keheningan sejenak di antara mereka berdua sebelum Orwell kembali pada kegiatannya dan berucap sesuatu.
“Kalau demikian, bukankah artinya sebentar lagi kau akan tahu apa yang sebenarnya terjadi? Mengingat Simmon berkata hal yang lain dari pada biasanya. Tapi aku tetap tak mengerti dengan apa yang dimaksudnya selama ini.”
Marry masih sibuk memunguti benang-benang, tetapi pikirannya sibuk berkutat dengan perkataan yang barusan dilontarkan oleh Orwell. Apa menunggu seperti ini saja bisa membuahkan hasil? Bagaimana jadinya kalau ia membicarakan ini juga dengan orang lain selain Orwell? Mungkinkah ada orang yang bisa menafsirkan arti mimpi yang ia mimpikan? Masih banyak beberapa pertanyaan di benak Marry, tapi belum selesai ia memproses segala sesuatunya suara seorang laki-laki memecah keheningan yang tenang itu.
“Hai, nona-nona! Apa kalian sedang menunggu pangeran berkuda putih kalian? Akulah orang itu! Oh, Orwell. Lihatlah, aku membawakan selai stroberi dari toko langganan favoritmu, bukankah aku hebat?”
Marry sedikit menegang. Inilah yang ia tunggu-tunggu, dan benarlah dugaannya. Sehabis melihat Max yang sibuk mendekati Orwell, kepala sang pujaan hati muncul dari balik pintu untuk menyapa orang-orang yang ada di dalamnya. Henry melemparkan senyum hangat pada Marry dan ia bersumpah ingin pingsan saja rasanya sekarang. Untunglah Max dan Orwell sepertinya sedang sibuk satu sama lain ketika Henry menghampirinya dan melihat beberapa wadah yang ia bawa secara bertumpuk.
“Kemarikan beberapa wadahnya, aku akan membantumu.”
Marry berusaha bersikap senatural mungkin tanpa melebihkan apapun, tetapi ia tetap khawatir kalau saja Henry bisa langsung tahu bahwa ia menyukainya. Marry menyodorkan tiga wadah pada Henry dan mereka berdua mulai memunguti satu per satu benang-benang yang masih berserakan di suatu sudut lain di lantai kamar Orwell. Sedikit saja jarak mereka dan wangi tubuh Henry menguar keluar membuat Marry sedikit tersipu.
“Oh, tadi aku bawakan dua pai labu. Kalau ada sisanya, kau bawa saja, Marry. Sekalian kau bawakan untuk kakakmu, Leana.”
Marry mengangguk mantap sebagai balasannya. Siapa yang tidak suka memakan makanan favoritmu yang dimasak oleh orang yang kau sukai? Bukan Marry pastinya. Salah satu hal tentang Henry yang begitu Marry sukai adalah pandainya laki-laki tersebut dalam memanggang pai labu. Keluarga Archlock juga memiliki kebun yang dikhususkan untuk menanam labu berkualitas terbaik. Tak jarang Marry mampir ke rumah Henry untuk membeli beberapa labu yang berakhir diberi secara gratis padanya. Katanya orang tua Henry sudah menganggap Marry seperti anak sendiri. Henry sendiri secara pribadi suka memanggang pai labu untuk Marry yang makanan favoritnya adalah pai labu.
“Oh, Orwell. Bukannya kau tadi menjahit?”
Orwell kembali memandang datar pada Marry. Kali ini arti pandangan datar Orwell memiliki makna berbeda. Orwell terlihat begitu lelah mengajari Marry tentang sesuatu.
“Ini namanya menyulam, Marry. Yang kau sebut menjahit itu adalah ketika kau menggabungkan satu kain dengan kain yang lain. Ini tidak sesusah itu, kok?”
Marry hanya bisa tersenyum kikuk. Barangkali jika ingin obrolanmu dengan Orwell lancar, kau harus tahu perbedaan antara menjahit, menyulam, dan merajut. Marry sedikit bingung untuk membedakan ketiga hal tersebut. Yang pasti, Marry tahu bahwa Orwell akan selalu berurusan dengan benang-benang yang tak terhitung jumlahnya dalam kamarnya ini.
Orwell meletakkan pekerjaannya dan memberitahu bahwa dia akan membawakan cokelat panas sebagai pemuas dahaga dan teman minum mereka dalam menyantap camilan yang ada nantinya. Sementara itu, Max menawarkan diri untuk membantu Orwell yang hanya dibalas anggukan olehnya dan membuat Max memasang senyum terlebarnya.
“Astaga! Aku lupa memberitahu kalau tadinya aku membeli beberapa labu untuk kita jadikan hiasan Halloween...”
Henry membulatkan mata dan memandang bungkusan yang Marry bawa dengan penasaran.
“Jamur? Tomat?”
“Ya. Kita akan memakan sup jamur hari ini.”
“Mau kubantu memotongnya?”
“Istrimu suatu hari nanti pasti senang sekali jika punya suami sepertimu.” Marry bergumam secara tak sadar yang terdengar jelas oleh Henry dan membuatnya sedikit terdiam karena salah tingkah. Marry menggelengkan kepala dan mengucapkan terima kasih pada Henry. Keduanya pun berjalan turun ke bawah untuk memakai dapur keluarga Berdthora.
Bibi Jania yang bertepatan sudah selesai memanggang kue miliknya pun
mempersilakan para remaja dewasa tersebut untuk menggunakan dapur dan bersenda gurau satu dengan yang lainnya. Masa muda itu berharga, begitu kata bibi Jania. Ia hanya bisa tersenyum hangat melihat anaknya, Orwell, mempunyai sahabat-sahabat yang begitu dekat dan peduli padanya. Sesekali matanya menangkap pergerakan dari keempat orang itu yang seperti pasangan satu dengan yang lainnya; Max dan Orwell, serta Henry dan Marry. Pandangan dari pihak luar pun tahu bahwa ada benih-benih rasa suka yang mulai tumbuh di masing-masing hati keempat anak muda yang menghiasi harinya waktu itu dengan canda tawa di dapur. Ia pamit dari dapur dan mempersilakan keempatnya untuk melanjutkan rekreasi kecil-kecilan mereka di dapur. Waktu terus berjalan, tapi ada hal yang tak berubah dari keempat anak muda itu. Dulu dengan masing-masing kepribadian yang mereka punya, Jania mengajak mereka bersama untuk diajarkan cara membuat dan memanggang beberapa kue yang mudah. Sepertinya bakat itu memang menurun pada anaknya, dan Henry menunjukkan hasil yang memuaskan. Ya. Henry belajar memanggang pai labu dari Jania.
“Rasanya seperti aku akan mendapat dua menantu laki-laki di rumah ini.” Jania bergumam pelan sembari ia berjalan menjauh dari dapur untuk istirahat dan memberi keempat anak muda itu waktu bermain.
Orwell sedikit membentak Max agar ia bisa membantu Marry dan Henry untuk membuat sup jamur sementara ia sendiri akan membuat cokelat panas dan menyiapkan camilan yang sudah dipanggang oleh ibunya, tetapi Max menolak. Ia merengek dan beralasan dua kepala jauh lebih baik dan Orwell hanya bisa dibuat menghela napas karenanya.
Di sisi lain, Marry merasa gugup sekaligus senang. Situasi macam ini terasa seperti adegan pengantin baru yang memasak makan malam bersama, kecuali saat itu masih pagi dan akan menjelang siang. Berimajinasi sedikit tidak apa-apa bukan? Marry hanya berharap agar degup jantungnya tak terdengar sampai telinga Henry.
Niat hati ingin mengalihkan pikiran dengan memikirkan hal yang lain, Marry teringat bahwa ia belum mengupas tuntas tentang mimpinya kepada Orwell. Namun sekarang mereka sibuk menyiapkan acara kecil-kecilan mereka. Barangkali nantinya Marry akan bermain sedikit lama dan membiarkan mereka berdua Max dan Henry pulang lebih dahulu agar Marry bisa lebih leluasa menceritakan mimpinya lagi kepada Orwell.
“Marry, seharusnya kau beritahu saja aku tadi untuk membawa beberapa labu dari rumah. Apa bawaanmu tidak berat?”
Marry juga tidak berpikir sampai situ. Tadinya pikiran untuk membeli labu-labu itu terlintas begitu saja secara tiba-tiba. Masih sibuk dengan dua pikiran sekaligus memikirkan jawaban apa yang akan menenangkan Henry, tetapi ia malah tak sengaja mengiris ibu jarinya.
“Aduh!” Marry hanya bisa melongo dan mengaduh kesakitan akibat kecerobohannya yang tak biasa itu. Ternyata inilah yang dikatakan orang-orang kalau pikiranmu sedang berkecamuk kau tidak akan sadar dengan apa yang sedang kau lakukan.
“Astaga, Marry!” Henry cepat melesat mendekati Marry dan memegang tangan dengan ibu jarinya yang mengucurkan sedikit darah. Henry terlihat menuntun Marry menuju wastafel untuk mencuci luka irisnya. Rasa sakit dan perih akibat aliran air di lukanya membuat Marry kembali sadar ke dunia nyata. Sadar dengan apa yang terjadi, Marry terkesiap. Henry memegang tangannya!
“Maaf, tadi perih ya?” Kekhawatiran Henry begitu serius sampai Marry tak bisa berkata apa-apa untuk menjawab selain daripada menganggukan kepalanya. Henry dengan lembut menjelaskan bahwa lukanya perlu dicuci terlebih dahulu sebelum dikasih baluran obat dan dipasangkan kain. Marry sempat menoleh kepada Orwell. Mengerti arti pandangan Marry, Orwell pun angkat suara.
“Memang akan lebih cepat memudar jika kugunakan sihir penyembuhku, tapi biarkan saja lukamu sembuh dengan alami selama luka itu tidak serius.”
Marry mengangguk paham. Ada aturan dan sumpah yang diucapkan oleh para penyihir di Akademi Cruxiaz mengenai pemakaian sihir. Nommisatrix Cruxiaz, sang penyihir besar sekaligus penemu dan pendiri akademi ini telah menyusun 100 perjanjian sekaligus sumpah yang akan diucapkan para murid dan bawahannya ketika berguru sihir padanya. Salah satunya pasal perjanjian tentang sihir penyembuhan. Sihir penyembuhan hanya akan boleh dipakai apabila tubuh seseorang memang tidak mampu menyembuhkan dirinya sendiri. Sihir penyembuhan dilarang dipakai apabila daya tahan tubuh seseorang masih sanggup untuk menyembuhkan dan memulihkan diri sendiri. Henry dan Max ikut menganggukan kepala tanda bahwa mereka setuju dan masih ingat dengan jelas mengenai sumpah yang mereka ucapkan windu silam ketika mereka akan resmi diangkat sebagai salah satu dari antara banyaknya penyihir dari Akademi Cruxiaz.
“Nanti aku potongkan sisanya, kau bisa saja mengaduk-aduk supnya nanti ketika memasak. Aku akan tetap membantumu.”
“Terima kasih.” Marry mengulaskan senyum kecil pada Henry yang dibalas dengan senyum hangat.
Kegiatan memasak dan membuat camilan itu begitu meramaikan suasana di kediaman keluarga Berdthora. Selesai melakukan segala sesuatunya, mereka duduk manis mengelilingi meja bundar di kamar Orwell dan masing-masing dari mereka duduk di tempat kesukaan mereka.
Marry memantrai cokelat panas mereka agar tetap hangat sampai tetes terakhir mereka meminumnya. Marry adalah seorang penyihir berkekuatan elemen air, jadi melakukan sedikit bantuan kecil tambahan seperti itu bukanlah hal yang sulit. Lilin-lilin kecil yang sudah disusun rapi oleh Max juga tak kalah menyaingi jumlah mereka yang mengelilingi berbagai kudapan di atas meja bundar kesayangan Orwell. Sepersekian detik Orwell melayangkan tangannya, dan api kecil sudah menyala di lilin-lilin yang ada. Sihir berkekuatan elemen api milik Orwell akan sangat berguna jika musim dingin sudah tiba. Tinggal menyusun kayu-kayu di perapian dan Orwell akan merapal mantra agar api muncul membakar kayu-kayu yang ada. Max merapal suatu mantra dan dua pai labu yang dibawa Henry tadinya secara ajaib melayang keluar dari bungkusan dan menyusun diri mereka sendiri di wadah besar yang tersedia. Max akan tenang-tenang saja apabila musim panas datang. Ia dengan mudah akan merapal mantra dengan sihir berkekuatan elemen anginnya dan mengatur agar udara sejuk berputar dan bergantian secara berkala di kediaman keluarga Hacross. Henry memandang mereka dengan tatapan penuh arti dan akhirnya mengeluarkan suara.
“Apa ada yang bisa aku lakukan?”
Ketiganya selain Henry saling berpandangan satu sama lain dan mengedikkan bahu masing-masing, tapi kemudian Marry terpikir ingin mencicipi sedikit es serut dan suatu minuman dingin terlepas dari musim gugur yang sedang berlangsung. Henry memastikan agar suatu wadah bersih dan ia mengambil air dari cokelat panas milik Marry. Mantra dirapal dan cokelat panas itu membeku sebelum akhirnya menjadi hancur berkeping-keping memisahkan diri. Uap dingin bisa dengan mudah terlihat jelas menguar dari wadah es serut cokelat yang dibuat Henry. Henry kemudian menuang kembali cokelat panas dari teko yang ada dan ia membentuk batu es berbentuk kepingan-kepingan salju kecil yang cantik di dalamnya, menjadikan cokelat panas itu berubah menjadi cokelat dingin sesuai dengan permintaan Marry yang menghendaki minuman dingin.
Orwell menggelengkan kepala dan berucap, “Pastikan ketika kau pulang nanti untuk minum minuman yang hangat. Kau tidak mau ‘kan menjadi sakit hanya karena suhu makanan yang berubah dengan drastis?” Marry mengiyakan pertanyaan Orwell. Ia cukup dewasa untuk bisa merawat dirinya sendiri. Predikat sebagai lulusan terbaik dari segala yang terbaik di angkatannya bukan hanya sekedar gelar biasa. Banyak penyihir lain yang begitu berbakat dan cekatan seperti Marry atau bahkan menyaingi sihirnya. Namun Marry berpendapat bahwa setiap penyihir adalah seorang yang berbakat di masing-masing elemen yang mereka kuasai. Ketekunan dan kedisiplinan ketat yang Marry lakukan pada dirinya sendirilah yang bisa mengantarkannya sampai titik sekarang. Ada ujaran bahwa kepintaran dan kejeniusan seseorang itu berjalan beriringan dengan sifat gila dan sembrono yang mereka lakukan untuk menggapai sesuatu yang ingin mereka raih, tetapi Marry menunjukkan pada segala penyijir dari berbagai tingkat di Akademi Cruxiaz bahwa menjadi pintar dan cerdas bukan hanya tentang kepintaran intelektual, tapi juga kecerdasan emosi seseorang. Oleh karenanya, windu itu dapat ia lalui dengan baik tanpa menimbulkan masalah berarti seperti yang dilakukan pelajar pada umumnya; membangkang sedikit dan melanggar peraturan di akademi.
Seharian itu mereka lalui dengan cerita keseharian masing-masing dari kelas-kelas yang mereka ikuti di akademi. Ada Orwell yang bercerita bahwa dirinya sulit mendapatkan teman kelompok untuk melakukan suatu proyek yang memerlukan pasangan kerja, dan dibalas dengan canda mereka yang berkata bahwa sulit untuk mendekati Orwell yang sering memasang wajah datar dan terkesan terganggu dengan keadaan sekitar seakan-akan dirinya hendak pergi saja dari tempat sana sesegera mungkin. Max bercerita dengan semangat bahwa dirinya telah membantu para alumni untuk mengadakan berbagai acara yang diadakan akademi mereka sebelum acara pelantikan kelulusan angkatan ke-300 diadakan. Sebelum Henry membuka mulut hendak menceritakan cerita bagiannya, Max terlebih dahulu menggodanya dengan berkata bahwa banyak perempuan-perempuan dari berbagai angkatan yang menyatakan cinta padanya dan Henry hanya bisa menggaruk kepala yang tak gatal karena malu. Hati Marry mencelos mendengar perkataan Max, tetapi dirinya maklum dengan keadaan demikian. Sifat ramah, baik hati, dan lemah lembut yang ada pada Henry begitu langka dan jarang ada pada diri seorang laki-laki. Marry juga pernah mengingat-ingat kalau Henry adalah benar cinta pertamanya sedari ia berumur 5 tahun dan sampai sekarang hanya dia yang mengisi hati Marry, tetapi Marry hanya memendam perasaannya dan berkata pada Orwell bahwa ia cukup merasa puas dengan persahabatan mereka sekarang.
Mereka semua kemudian menoleh kepada Marry untuk menunggu apa yang akan diceritakan olehnya. Marry memulai ceritanya dengan senyum kecil yang malu-malu dan berkata bahwa hari-harinya di akademi kemarin sama seperti biasanya. Ia membantu angkatan bawah dan ikut mengajar sebagai asisten pribadi seorang guru besar yang mengilhami sihir berkekuatan elemen air, melakukan beberapa proyek dengan teman kelompok, dan memberitahu ketiganya bahwa waktu berkumpul dengan mereka adalah salah satu momen terbaik di hidupnya yang bisa ia syukuri. Ketiganya memandang Marry dengan tatapan berbeda. Henry menatap lembut sambil memasang senyum manis terbaiknya, Max yang hampir menangis, dan wajah datar Orwell yang sedikit berubah ekspresinya karena mendengar pernyataan Marry barusan. Hari sudah siang dan mereka berempat berpelukan dengan erat untuk mendukung satu sama lain dan acara kecil-kecilan itu terus berlanjut sampai sore menjelang.
***
Max dan Henry pamit pulang pada Orwell dan kedua orang tuanya, tak lupa Jania membungkuskan mereka masing-masing dua buah bungkusan berisi camikan yang tadi siang Jania panggang. Max memamerkan giginya dengan lebar dan menunduk dengan sangat dalam yang terkesan dibuat-buat. Jania hanya mencubit pipi kanan Max dan berpesan agar berhati-hati ketika ia dan Henry pulang. Henry pun juga ikut mengucapkan selamat perpisahan. Ia kemudian terlihat mendekati Marry dan berdiri tepat di depannya. Tangan Henry terangkat mengelus pucuk kepala Marry.
“Hati-hati di jalan, Marry. Oh, atau kau mau aku tunggu di sini agar bisa mengantarmu pulang nanti?”
Tangan kiri Marry menggenggam tangan Henry yang mengelus kepalanya sementara tangan kanannya mengibas-ngibas di udara.
“Tidak usah. Aku akan bermain sedikit lama dengan Orwell, kau tidak perlu menungguku.”
Suasana seperti itu terlihat sangat pas bagi Henry untuk mengecup kening Marry sebagai tanda ia yang mengasihinya benar-benar khawatir akan keselamatan Marry, tapi ia urungkan niatnya sekuat tenaga agar tak mempermalukan dirinya sendiri. Selepas mengiyakan jawaban Marry, Henry mengajak Max kembali ke rumah masing-masing dan pamit untuk yang kedua kalinya pada pasangan suami istri Berdthora. Ketika dilihatnya mereka berdua menghilang jauh di balik ujung jalan, Marry dengan cepat berbalik menatap Orwell dan memberinya kode agar mereka segera naik kembali menuju kamar Orwell supaya Marry bisa melanjutkan cerita pribadinya pada Orwell. Orwell mengangguk dan berkata pada ibunya ia akan membawa Marry kembali ke kamarnya.
***
“Aku berpikir untuk mencari orang yang bisa menafsirkan mimpiku, dan orang itu harus bisa dipercaya. Rasanya agak malu jika aku membicarakan mimpi semacam itu kepada orang yang tidak yakin untuk kupercaya, tapi aku berniat memberi tahu Henry dan Max besok, terlebih pada kakakku...”
Wajah datar Orwell akhirnya berkenyit dan Orwell tak dapat menahan rasa penasarannya.
“Memangnya seorang pemberi berkat melakukan hal yang seperti itu juga?”
“Aku tidak tahu,” Marry menggelengkan kepalanya dan merebahkan diri di kasur milik Orwell, “tapi kupikir mimpi ini ada hubungannya dengan masa lalu, dewa, sihir, atau apapun itu. Memang selama kurun waktu aku memimpikan hal seperti itu dan tak terjadi hal yang mengkhawatirkan, tapi aku justru dibuat khawatir karenanya. Aku sangat penasaran sekali dengan apa yang dimaksud oleh Simmon. Arrgghhg!” Marry menggaruk kepalanya dengan gusar.
Mata merah menyala Orwell hanya memandang tenang dan sejurus kemudian senyum kecil keluar dari bibirnya, ia bersender pada tiang tempat kelambu kasurnya. Orwell sedikit menunduk dan mengelus kembali kepala sahabatnya seperti yang dilakukan Henry tadi. Orwell menunggu dalam diam sejenak kalau-kalau Marry ingin mengatakan sesuatu lagi, tapi ternyata Marry kembali sibuk dengan pikirannya.
“Kau mau mengepang rambutku? Akan kubiarkan sampai esok hari.”
Marry dengan cepat bangkit dari posisi telungkupnya dan menjadi semangat seketika. Marry tahu bahwa Orwell sedang berusaha membuatnya tidak khawatir dengan masalah yang ada, dan itu bekerja dengan baik. Orwell mengambil posisi duduk di lantai dan Marry duduk di ujung kasur agar lebih mudah mengepang rambut hitam legam dan lurus Orwell yang menjuntai melebihi pinggangnya.
“Jadi, mau kau apakan perasaanmu terhadap Henry kalau kau menemukan sesuatu tentang Simmon?”
Marry memasang wajah cemberut dan tetap menyisir rambut Orwell hingga rapi sebelum dibagi menjadi beberapa bagian agar bisa dikepang. Ia tidak terlalu yakin akan perasaannya. Maksudnya ia tidak tahu ia lebih menyukai siapa. Marry juga berpikir bisa saja rasa sukanya terhadap Simmon itu hanya rasa penasaran. Marry masih sibuk menamai perasaan yang ia rasakan terhadap Henry. Perasaan kagum dan hormat terhadap Henry atas kebaikan dan kelemah lembutan hatinya membuat Marry ingin menjadi sepertinya. Kalau ditanya apa yang ia lakukan untuk Henry, ia akan menjawab apa pun meski itu artinya harus mengorbankan nyawa. Orang sebaik Henry pantas berada di sini dan dunia membutuhkannya. Entahlah. Perasaan Marry terhadap Henry lebih sekadar dari perasaan romantis seorang perempuan terhadap laki-laki yang ia sukai, karenanya ia bingung. Marry hanya bisa menjelaskan kalau rasa sukanya itu bercampur dengan rasa kagum dan hormat akan seseorang yang menjadi panutan di hidupnya.
Orwell hanya mengangguk-anggukan kepalanya sesekali untuk membalas pernyataan dari Marry. Di sisi lain yang tidak Marry ketahui ataupun disadari oleh Henry sendiri, baik Orwell maupun pihak dari luar bisa melihat bahwa keduanya menyukai satu sama lain. Masih tetap pada tempatnya, senyum kecil yang Orwell sunggingkan terlihat begitu penuh arti. Keduanya kemudian lanjut berkisah tentang kedua pemuda yang menjadi sahabat sekaligus tempat mereka menaruh hati. Kepada orang lain, Orwell tidak mengakui kalau dia menyukai Max dan hanya selalu memberi jawaban kalau Max adalah orang yang sangat berisik dan terlalu energik sampai-sampai Orwell yang melihatnya sendiri merasa lelah terlebih dahulu sebelum menjalani hari. Keduanya saling suka mengejek satu sama lain mengenai rasa suka mereka terhadap Max dan Henry, tapi keduanya sepakat untuk tidak memberitahu lebih lanjut dan tetap nyaman pada hubungan persahabatan mereka yang seperti sekarang.
Di akhir kepangan, Marry menyisipkan jepit rambut dengan bentuk daun khas musim gugur untuk mencocokkannya dengan musim yang sedang berlangsung. Sahabatnya itu suka jika segala sesuatu dirasa cocok dengan musim yang tengah berlangsung. Hari sudah mulai gelap ketika Marry akhirnya menyodorkan cermin kepada Orwell agar ia bisa melihat hasil kepangan Marry.
“Baiklah, aku rasa cukup sampai sini saja. Orwell, terima kasih karena sudah mendengarkan mimpiku yang bodoh itu. Sudah kuputuskan untuk memberitahu kakakku dan yang lainnya besok.”
“Mimpimu itu tidak bodoh. Malah lebih aneh jika kau tidak dibuat khawatir dan gelisah karenanya. Aku mendukung keputusanmu. Berhati-hatilah di jalan pulang.”
“Ya, aku rasa aku akan mampir sebentar ke rumah Henry untuk membeli beberapa labu.”
“Begitukah? Berhati-hatilah.”
“Baik. Aku pamit ya?”
Orwell menganggukan kepala dan beranjak berdiri untuk turun ke bawah mengantarkan sahabatnya sampai ke ambang pintu. Lehernya bergerak ke arah kiri dan mendapati seseorang sedang mengawasi mereka dari luar jendela, kepadanya Orwell mengangkat satu tangan sebagai tanda dan Orwell kembali fokus kepada Marry. Orwell sengaja sedikit menyinggung mengenai Marry yang sengaja memakai alasan membeli labu hanya untuk menemui Henry saja. Marry ingin mendebat tapi perkataan Orwell benar adanya. Tadi pagi ayahnya terlebih dahulu berpesan untuk membeli beberapa buah labu dari tempat kediaman keluarga Archlock karena sang ayah ingin membuat dekorasi Halloween sendiri sekaligus mencari waktu berkumpul bersama dengan kedua putrinya, Leana dan Marry. Menyelam sambil minum air, adalah salah satu hal yang menjadi favorit Marry di dunia ini. Ia pun berjalan menjauh dari kediaman Berdthora dengan Orwell yang menatap punggungnya, berdiri bersandar pada tiang ambang pintu.
“Max?”
Suara langkah yang terdengar pelan dan terkesan hati-hati itu akhirnya menunjukkan wujudnya. Senyum lebar Max menghiasi wajahnya kala melihat Orwell di depannya. Max maju meraih lengan kanan Orwell dan mengecup punggung tangannya.
“Aku merindukanmu. Apa kau tidak rindu denganku? Dengan tempat kediaman kita masing-masing di mana sewaktu-waktu kita berjanji untuk bertemu di batas antara surga dan neraka?”
Orwell hanya menatap datar, tetapi Max tahu Orwell sedang menyorotkan tatapan lembut padanya. Mendapatkan hati Orwell bukanlah hal yang mudah, tapi ia sudah melewati segala konsekuensinya sedari waktu jauh nun lama.
“Apa kau sudah menyiapkan bagianmu?” Buktinya sekarang Max ada dalam dekapan Orwell yang bersedia merangkul dan mendekatkan wajahnya pada dada Orwell, wajah Max pun dielus dengan penuh kasih sayang. Max balas merengkuh pinggang Orwell dan menenggelamkan wajahnya meresapi kasih sayang dari Orwell yang langka momennya. Max tak tahu, tapi Orwell hanya akan merahasiakan kerinduannya pula terhadap Max. Orwell berpikir Max bisa mengetahui jawabannya sendiri.
“Sudah. Dan malaikat penjaga itu juga sudah kuberi pesan agar melaksanakan tugasnya besok.”
Agak lama mereka berdua tetap dalam posisi seperti itu. Kalau saja Orwell tak melepaskan pelukan mereka terlebih dahulu, rasanya Max ingin tetap seperti itu selamanya.
“Kau jangan tidur terlalu larut malam nanti, besok adalah harinya bagi mereka.”
Orwell menjinjitkan kedua kakinya dan mengecup kening Max sebelum ia mengucapkan selamat malam pada Max. Max masih berdiri mematung ketika pintu sudah ditutup oleh Orwell. Biarlah para dewa lain melihatnya, ia pun melompat-lompat kegirangan seperti anak kecil di tengah perjalanan pulang.
Besok adalah hari ketika mereka berdua akhirnya bisa melakukan misi mereka yang sebenarnya. Max hanya bisa berharap bahwa di kehidupan yang kali ini, dua jiwa yang sempat berpisah lama disatukan kembali dan menemukan jawaban masing-masing atas apa yang mereka cari.