Sehabis terbangun dan membasuh dirinya, Marry berencana untuk mengajak Orwell pergi ke perpustakaan kota sekadar mencari dan meminjam buku-buku yang menarik. Sebagai ganti balas budi Marry akan menemani Orwell membeli beberapa cangkir dengan tema musim gugur. Bukan Orwell namanya kalau tidak suka mencocokkan motif barang-barang yang dia punya dengan musim yang tengah berlangsung.
Agar lebih cepat, praktis, dan menghemat waktu, Marry membuat telur mata sapi. Ia juga memotong beberapa buah stroberi dan apel, lalu dituangkannya madu sebagai pemanis. Terakhir diseduhnyalah teh. Ia membuat dua piring berisikan sarapan karena tahu kakaknya akan berangkat lagi hari ini menuju kuil seperti biasanya untuk melakukan pekerjaannya sebagai pemberi berkat. Diketuknya pintu kamar sang kakak, tetapi ia tak mendapatkan jawaban. Tidak mungkin ‘kan Leana masih tidur di jam seperti ini? Maka ia buka pintu itu tanpa harus menunggu jawaban dari si pemilik kamar.
Tempat tidur sudah disusun rapi, meja kerja yang sudah dibersihkan, dan jendela terbuka yang membiarkan cahaya masuk melaluinya. Kosong. Tak ada siapa-siapa di kamar ini. Marry pun keluar dengan heran. Mungkin Leana sudah bangun lebih subuh daripada dirinya dan sudah memasak sarapan terlebih dahulu. Tak ingin berpikir keheranan lebih lama, Marry pun berjalan menuju arah dapur dan menyantap sarapan lezatnya sendirian. Ia kemudian mengambil pena dan secarik kertas, lalu ia menulis pesan pada ayahnya kalau ia meninggalkan sarapan ini untuk ayahnya kalau saja ayahnya sudah pulang melaut.
Marry tiba-tiba teringat dengan pakaian mereka yang sudah menumpuk selama dua hari. Maka ia sempatkan untuk mencuci baju terlebih dahulu. Pakaian-pakaian yang masih terasa basah itu diperas sedikit oleh Marry dan diletakannya di jemuran. Ia lalu memantrai agar air yang masih bersisa di pakaian itu dapat menguap dengan sendirinya dan menjadikan mereka lebih cepat kering. Ia kembali ke dapur dan membiarkan air mengalir yang sudah dimantrai untuk mencuci piring dan gelas yang ia pakai ketika sarapan tadi. Marry segera menuju kamar dan mengganti bajunya. Tak lupa ia menyambar mantel musim gugur kesukaannya dan pergi melangkah keluar dari rumahnya.
Udara bersih kota mungil Willburry membuat Marry begitu nyaman dan merasa siap untuk menghadapi hari ini pula. Terbersit di pikirannya bahwa ia merindukan ibunya yang telah tiada. Orang-orang bilang Marry seperti orang yang tidak punya emosi, mirip seperti Orwell. Namun kenyataannya Marry hanya bersikap rasional dan selalu berusaha mengindahkan emosinya agar tidak terlalu mengganggu kesehariannya. Marry bisa merasa apabila ia jatuh sekali-sekali dalam emosi khususnya yang negatif, ia akan tenggelam. Memang ada momen tertentu ia menangisi kepergian ibunya dan hanya bisa meringkuk di kasur membayangkan belaian ibunya yang tidak nyata, dan Orwell hanyalah satu-satunya orang tempat ia mengadukan segala sesuatu tentang ibunya. Marry tidak mengatakan ini dengan keras, tapi ia bisa merasa Orwell berperan sebagai sahabat dan ibu baginya. Orwell juga mungkin tidak menyadari perangainya yang keibuan dengan orang sekitarnya. Orang tuanya benar-benar membesarkan Orwell dengan benar, dan Marry bersyukur akan hal itu.
Sampai di suatu tempat yang tak asing baginya, Marry melangkahkan kaki memasuki wilayah pemakaman khusus para orang-orang dari wilayah Willburry. Nama kota ini sendiri konon diambil dari keinginan banyak orang-orang Willburry yang ingin menjadikan tempat ini sebagai peristirahatan terakhir mereka.
“Aku ingin istirahat di sini nantinya.”
“Aku ingin berkumpul kembali dengan keluarga yang telah lebih mendahului.”
Demikian kalimat yang sering diucapkan para orang yang sudah lanjut usia. Orang-orang muda yang mendengarnya hanya tersenyum memaklumi, mengangguk, dan mempersiapkan segala sesuatunya. Bukanlah hal baru bagi orang-orang Willburry apabila seseorang bisa merasakan kematiannya mendekat. Satu-satunya yang membuat orang-orang kesusahan adalah melepaskan kepergian orang-orang yang mereka sayangi. Semua penduduk sudah merasakan rasanya kehilangan pasangan untuk seumur hidup, anak, orang tua, ataupun saudara. Namun hidup terus berjalan tanpa memandang waktu, karenanya dengan bantuan waktu mereka akan kembali mencoba bangkit dan menjalani aktivitas sehari-hari.
Ia mendatangi makam ibunya dan melihat bahwa rumput-rumput sudah tumbuh dengan suburnya di atas makam ibunya. Tanpa berpikir panjang Marry mencabut rumput-rumput itu dan menyingkirkan daun-daun musim gugur yang menumpuk di sekitar makam. Marry berjongkok dan mendekatkan dahinya pada nisan makam.
“Kurang dari waktu dua minggu aku akan dilantik sebagai lulusan terbaik dari segala yang terbaik,” Marry menunduk lebih dalam agar bisa melihat nama ibunya yang dipahat beserta tahun kepergian beliau, “andai ibu masih ada sampai sekarang, aku tidak akan meminta yang macam-macam lagi, bu.”
Isabel Humbell
2986 – 3019
Marry beranjak berdiri dan menepuk-nepuk nisan makam ibunya, dan bertolak pergi menjauh dari area pemakaman. Alas kakinya sedikit kotor karena sempat terbenam di tanah pemakaman yang lumayan becek sehabis hujan deras selumbari lalu. Marry membersihkannya menggunakan daun musim gugur di jalanan seadanya. Di tengah perjalanan terpikir olehnya untuk membeli sepotong kue rasberi untuk Orwell agar sahabatnya itu mau disogok.
“Paman, tolong bungkuskan sepotong kue rasberi seperti biasanya untuk Orwell, ya?” Marry mengangkat tangan dan menyiratkan jumlah potongan kue dengan hanya jari telunjuk yang diangkat. Paman yang tadinya sibuk menyusun kue-kue yang baru selesai dipanggang menoleh keheranan pada Marry. Marry membatu. Apa ada yang salah dengan penampilannya?
“Siapa?”
“Um, ini aku, Marry?”
“Tidak. Maksudku siapa yang kau sebutkan tadi? Orang yang ingin kau belikan kue untuknya?”
“Orwell?”
“Ya. Siapa dia?”
Marry tertegun sebentar dan tersenyum sumringah saat menyadari bahwa paman pemilik toko yang menjual kue favorit Orwell ini sedang bercanda. Jarang momennya si paman melontarkan candaan, tetapi Marry merasa momentum tadi sangat tepat sampai-sampai ia dibuat terdiam keheranan dengan ketidaktahuan si paman.
“Dia sahabatku. Perempuan dengan rambut hitam panjang dan lurus serta bermata merah yang sering berlangganan di sini untuk membeli kue rasberi buatan paman. Masa paman tidak ingat?”
Kumis tebal si paman pemilik toko bergerak-gerak mengikuti gerakan mulutnya yang menjadi sifat khas beliau ketika sedang berpikir keras. Beliau juga mengetuk-ngetukkan jarinya di atas etalase kue.
“Nak Marry, aku sama sekali tidak mengingat ada temanmu yang bernama Orwell. Bukannya kau lebih akrab pada Lalua?”
Marry mengernyitkan dahi. Lalua adalah salah satu temannya di akademi, namun keduanya terpisah jarak dan kelas karena asrama keduanya yang berbeda. Marry yang tinggal di asrama penyihir berkekuatan elemen air, sedangkan Lalua tinggal di asrama para penyihir berkekuatan elemen tanah. Setahu Marry, Lalua memegang peran penting sebagai ketua asrama seluruh angkatan di asrama penyihir berkekuatan elemen tanah. Marry sering bertemu dengannya ketika rapat antara para ketua asrama diadakan untuk mendiskusikan dan memutuskan beberapa hal. Kembali ke dunia nyata, Marry mencoba meyakinkan paman itu lagi.
“Memang benar kalau Lalua adalah salah satu dari temanku di akademi, paman, tapi paman lebih tahu kalau aku bersahabat dekat dengan Orwell, serta Max dan Henry.”
“Siapa pula kedua orang yang kau sebutkan namanya itu?”
“Seperti yang kubilang sebelumnya, mereka bertiga sahabat dekatku. Kami berempat juga sering ke sini untuk membeli kue kesukaan kami masing-masing, paman.”
“Entahlah, nak. Aku sama sekali tidak bisa mengingat nama-nama orang yang kau sebutkan. Aku juga tidak pernah melihat mereka mendatangi tokoku selain Lalua yang selalu menemanimu.”
Akhirnya Marry mengalah pada paman itu dengan berkata kalau dia bisa saja lupa ingatan parah karena kelelahan. Kadang perdebatan dengan para orang tua tidak akan ada habisnya. Bisa saja ‘kan paman yang sudah mau beranjak tua itulah yang melupakan ketiga sahabatnya? Namun anehnya beliau tidak lupa pada Marry. Marry memegang erat bungkusan kue yang ia bawa dan segera menuju rumah Orwell. Ia tidak ingin suasana hatinya yang mulai memburuk itu mempengaruhi acara berjalan ke perpustakaan bersama Orwell. Marry pun mengucapkan permisi dan langsung bertolak ke arah rumah Orwell sambil tetap kebingungan memikirkan kelakuan paman tadi.
Beberapa orang menyapa Marry dan bertanya ke mana ia akan menuju yang dijawabnya seperti biasa, dan orang-orang tersenyum menanggapi. Belum sekitar beberapa langkah dan belokan, seorang bibi bertanya tentang hal yang sama dan seperti biasa pula Marry akan memberikan jawaban yang sama.
“Orwell?”
“Bibi kira kau akan main ke rumah Lalua seperti biasanya. Apa kalian berdua punya teman bermain baru?” bibi muda dengan dua anak yang masih kecil itu tersenyum sekaligus memasang ekspresi bertanya-tanya yang membuat Marry merasa seperti ditagih akan jawaban yang pastinya sudah diketahui oleh beliau, tapi ia dibuat kembali terheran dengan jawaban yang memuat nama Lalua di dalamnya. Ini kedua kalinya orang-orang hampir membuat Marry merasa ingin meledak.
“Ya? Orwell tinggal di dekat sini kok, bi? Tinggal beberapa langkah dan belokan lagi, kita bisa menemukan rumah kediaman keluarga Berdthora di paling ujung jalan sana.”
Jari telunjuknya terangkat untuk menunjuk jalan di balik rumah seorang penduduk yang memang butuh sedikit beberapa langkah agar bisa menuju ke sana. Bibi yang tadi menanyainya memperhatikan dengan seksama arah yang ditunjuk oleh Marry sampai-sampai beliau menyipitkan matanya, tetapi berakhir dengan gelengan kepalanya yang cukup cepat dan bibi itu akhirnya mengatakan sesuatu yang mustahil untuk terjadi.
“Nak Marry, setahu bibi di ujung jalan sana hanya ada pohon maple besar yang sudah bertahun-tahun lamanya. Tidak ada rumah siapa pun di sana.”
Dua orang hari ini sudah mengatakan mereka tidak tahu siapa Orwell dan bibi di depannya sekarang juga menguatkan kata-kata tersebut dengan bukti bahwa tidak ada rumah siapa pun yang berdiri di ujung setapak jalan yang Marry kenal dengan baik tersebut. Marry menunduk dan mengucapkan permisi, mengindahkan bibi yang memandangnya keheranan karena ia tetap berjalan menuju arah yang ia tunjuk tadinya.
Ada apa dengan orang-orang? Tidak. Rasanya tidak tepat menyebut orang-orang karena hanya dua orang hari ini yang berkata kalau mereka seakan-akan tidak pernah mengenal dan tahu siapa Orwell ataupun keluarga Berdthora tersebut. Keluarga mereka adalah salah satu pemintal dan penenun terbaik dari generasi ke generasi, dan karenanya tak heran jika Orwell mewarisi kemampuan itu dari ayahnya yang sudah mengajarinya sejak kecil. Bakat itu sendiri bisa berkembang luar biasa akibat ketertarikan Orwell pada menjahit dan segala kawannya yang membuat ia jarang mengeluh mengerjakan pekerjaannya. Marry masih ingat dengan baik bahwa satu-satunya hal yang Orwell keluhkan mengenai menjahit, menyulam, dan merajut adalah lelah dan tegangnya mata yang berjam-jam fokus untuk memasukkan benang ke jarum dan dengan teliti memasukkan ke mana mata jarum akan masuk melalui suatu kain.
Dan di sinilah Marry berdiri, memandang pohon maple besar yang benar adanya di ujung jalan sana dan bukannya rumah kediaman keluarga Berdthora yang menjulang tingginya saja biasa sudah terlihat dari jauh. Marry mendekat dan menyentuh batang raksasa pohon maple itu yang menunjukkan semburat jingga dan menjatuhkan banyak daun berguguran di tanah sekitarnya. Apa ini? Apa mereka memindahkan rumahnya dengan sihir ke suatu tempat? Tapi mengapa Orwell tidak memberitahunya? Marry menunduk dan bisa melihat daun-daun maple yang sudah jatuh berguguran dan kering kerontang. Ia berpikir sejenak untuk mencari di mana Orwell sekiranya bisa ditemukan, tapi ia tak kepikiran suatu tempat apa pun. Dirinya terpikir untuk mendatangi rumah kediaman keluarga Hacross dan bertanya pada Max kalau saja ia tahu Orwell – beserta rumah dan keluarganya – pergi ke mana. Ia menginjak-injak daun-daun maple yang kering itu untuk menyalurkan rasa frustasi sekaligus merasa puas akan suara yang dihasilkan dari mereka. Masih menenteng tas bawaan untuk membawa buku-buku yang akan dipinjam dari perpustakaan dan bungkusan kue yang dibawanya ia pergi berbalik untuk mendatangi rumah Max yang agak lebih jauh jaraknya dari rumah kedua sahabatnya yang lain.
Marry juga teringat bahwa ia belum memberi tahu kakaknya soal Simmon. Mau bagaimana lagi? Leana sendiri sudah pergi tadi pagi mendahuluinya dan tak sempat saling berbalas sapa atau sekadar mengucapkan kata selamat pagi. Padahal kakaknya adalah kunci utama dari upayanya dalam mencari tahu arti mimpinya agar kakaknya bisa memanggil atau meminta bantuan seseorang dari sekian banyaknya kenalan dia yang ahli dalam menafsirkan mimpi dari dewa ataupun mimpi biasa. Setidaknya Marry tahu pekerjaan kakaknya berhubungan dengan hal itu. Ia menepis perasaan menyesal itu dan segera melangkah untuk menemui Max yang tahu segalanya tentang Orwell – karena ia menyukainya.
Pagar dengan batu bata kokoh yang bisa dilihat sudah termakan usia dan berlumut seperti biasanya itu tak terlihat ada di sana, tempat yang Marry tahu di mana rumah kediaman keluarga Hacross berdiri. Hanya ada padang rumput kosong yang ditumbuhi dengan bunga-bunga krisan, dan beberapa orang terlihat berjalan di antara semak-semak dan berusaha melihat bunga-bunga krisan itu lebih dekat. Marry bisa saja yakin bahwa Orwell dan Max ada di suatu tempat, tapi ia tak kepikiran suatu tempat apa pun sekali lagi. Ia memejamkan mata dan menghembuskan napas panjang. Harapan terakhirnya adalah Henry.
Bisa saja ia memberanikan diri untuk menanyai orang-orang tersebut tentang suatu rumah yang pernah berdiri di tengah padang tersebut daripada bunga-bunga krisan yang tumbuh dengan mekarnya, tetapi mengingat pengalaman barusan menjadikan ia mengurung niatnya untuk berdebat hal yang tidak berguna dengan orang-orang. Dan bicara soal bunga krisan, Marry jadi teringat dengan bunga khas bulan lahirnya di bulan Novemptbherr dengan bunga yang sama yang dilihatnya di padang cukup luas itu, khususnya yang berwarna merah muda. Bunga krisan merah muda secara khusus melambangkan umur panjang dan Marry berharap penuh pada arti bunga itu. Bunga krisan juga umumnya melambangkan kelahiran kembali, pembaruan, nasib baik, kesehatan yang baik, serta kemudaan. Bunga krisan merupakan bunga khas di musim gugur. Jelas masuk akal. Novemptbherr sendiri adalah bulan yang masih termasuk dalam musim gugur.
Dengan membawa harapan yang tinggi, Marry sedikit melangkah dengan putus asa karena merasa kelelahan dan tak kunjung menemukan jawaban ke mana perginya mereka beserta rumah yang ada. Diam termenung, Marry berjalan sambil berkutat dengan piirannya dan sibuk mencocokkan kejadian aneh yang ada dengan mimpinya. Simmon berkata harusnya Marry mengetahui siapa dirinya, tetapi bagaimana caranya Marry tahu siapa Simmon sebenarnya kalau petunjuk saja tidak ia berikan? Lalu Simmon menyuruhnya untuk melihat ke sekitarnya. Permintaan seperti itu terdengar ambigu. Memangnya harus ke mana Marry melihat? Sekitar itu merujuk ke mana? Belum lagi kalimat terakhir Simmon yang tidak kedengaran jelas olehnya.
‘Kau telah... nya.’
Memangnya Marry telah apa? Telah melakukan sesuatu? Ia mencoba menyusun kalimat itu dan memahami dengan pelan-pelan. Lihatlah sekitar karena Marry telah... Astaga. Ia merasa kalut, tapi kemudian ia mencoba meyakinkan diri untuk tetap berpikir tenang dan akan melakukan suatu hal yang pasti sekarang. Mencari Henry.
***
Dan seperti yang sudah diduganya, jalanan becek yang biasanya mengarahkan orang-orang pada rumah kediaman keluarga Archlock tak terlihat ada di sana. Semakin putus asa, Marry mencoba bertanya dengan tetangga akrab orang tua Henry.
“Tuan Adame Archlock dan nyonya Catherine Archlock? Tidak ada yang bernama seperti itu di sekitar sini, nak.”
Keputusasaan semakin menggerogoti Marry. Barang bawaannya terasa berat. Bahu yang berat sebelah dan tangan sebelah yang sedari tadi membawa bungkusan kue untuk Orwell. Nihil. Kalau orang-orang pun tidak mengetahui kedua orang tua Henry, apalagi Henry sendiri. Marry mengucapkan terima kasih dan membalikkan badannya untuk kembali melihat tempat yang hanya ditumbuhi pohon-pohon birch itu.
Tenanglah, pikir Marry pada dirinya sendiri. Marry hanya menduga ketiga sahabatnya itu mengerjai dia lebih dulu karena ulang tahunnya yang semakin dekat. Dipikir-pikir Max bisa menggunakan sihir dengan mantra untuk menghilangkan suatu benda dari penglihatan telanjang dan biasa. Marry hanya tidak menyangka mereka seniat ini untuk mengerjai Marry. Setidaknya itu pikiran positif yang berusaha dipikirkan olehnya. Marry menghembuskan napas kasar untuk kesekian kalinya. Ia merasa sayang untuk pulang karena sudah berdandan dan juga membawa tas untuk buku-buku yang akan ia pinjam dari perpustakaan. Diputuskannyalah untuk tetap pergi ke perpustakaan daerah daripada berleha-leha di rumah tidak mengerjakan apa pun. Seperti disebut sebelumnya, ia ingin tetap sibuk agar tidak terlalu memikirkan emosinya yang terkuras hari ini.
Perpustakaan daerah itu sudah terlihat menjulang tinggi nun jauh di depan sana. Sepanjang perjalanannya melangkah mendatangi perpustakaan beberapa orang yang ia kenal sebagai pelajar penyihir seangkatannya beserta junior-juniornya menyapa ia dengan ramah tak henti-hentinya sampai-sampai ia merasa kewalahan, tapi ia tetap berusaha memasang senyum terbaik untuk menanggapi ucapan selamat pagi yang orang berikan kepada dia.
“Kak Marry ingin membaca buku-buku terbaru lagi bersama kak senior Lalua?”
Marry melangkah pelan mendengar pertanyaan itu dan akhirnya berhenti untuk menoleh pada salah satu juniornya yang ia kenal berada di asrama yang sama dengan Henry, asrama para penyihir berkekuatan elemen es atau salju.
“Lalua?”
“Ya? Tadi aku melihat senior Lalua sudah masuk lebih dahulu dan membawa sebuah bungkusan. Kuharap itu bukan makanan atau minuman yang dibawa dari luar, hehe. Kak Marey sendiri tahu ‘kan kita tidak boleh membawa makanan dan minuman ke dalam perpustakaan?”
Pandangan juniornya itu beralih melirik pada bungkusan bening berisikan kue rasberi yang ia bawa sedari tadi. Marry hanya bisa terkekeh dan memasukkan bungkusan itu ke dalam tasnya. Junior dan kedua teman lainnya itu hanya bisa menggelengkan kepala dan tertawa kecil. Tidak ada orang yang tidak tahu bahwa Marry suka makan makanan manis di Akademi Cruxiaz. Para tenaga kerja sukarelawan yang membantu menyiapkan makanan siang ketika waktu istirahat akademi tiba sudah hapal dengan wajah seorang Marry yang selalu memesan tiga macam makanan penutup dan jenisnya selalu sama selama windu penuh dalam waktunya menimba ilmu tentang sihir.
“Baik. Ya... Kurasa aku akan masuk sekarang. Kalian sudah mau pulang?”
“Ya, ujian akhir sebentar lagi akan tiba sehabis acara pelantikan ke-300 tahun ini. Mau tak mau kami harus belajar. Oh, ya. Kudengar kak Marry menjadi lulusan terbaik dari segala yang terbaik, dan kak Lalua menyusul di posisi kedua. Kalian benar-benar hebat! Kami akan selalu memandang kalian dengan penuh kekaguman!”
“Oh, terima kasih atas pujian itu. Baiklah, kalian belajarlah yang giat dan jangan lupa untuk mematuhi peraturan akademi yang ada, kalian mengerti?”
“Siap kak!” Ketiga junior dari asrama berbeda yang dapat terlihat dari emblem mereka masing-masing itu memberi salam dan menunduk, begitu juga dengan Marry. Kedua belah pihak kemudian saling tersenyum tanda perpisahan terakhir dan Marry dengan cepat melangkahkan kakinya menuju perpustakaan.
Ruang masuk perpustakaan dengan kedua tanaman hias besar di kedua sudut ruangan masih di posisi yang sama saat Marry terakhir kali ke sini bersama ketiga sahabatnya beberapa minggu yang lalu. Marry menyapa petugas perpustakaan yang hari itu bertugas dan hendak menuliskan nama serta tanda tangan di buku daftar pengunjung pada tanggal 28 Noktobherr hari ini. Marry bisa melihat ada nama Lalua selisih 3 nama orang lain dari nomor urut tempat ia menuliskan namanya. Matanya kemudian membelalak melihat nama ‘Maximillian Hacross’ tertulis di daftar pengunjung hari kemarin pada tanggal 27 Noktobherr. Jam waktu itu menunjukkan pukul 17.30 sore, dekat dengan jamnya ia pulang dari rumah Orwell kemarin, tapi itu tidak penting.
Marry membuka pintu yang menuju ruang aula utama perpustakaan dan menelusuri tiap-tiap rak berisi ratusan buku untuk mencari Lalua. Karena tidak didapatnya Lalua di antara lemari-lemari buku yang menjulang tinggi, ia beranjak untuk mencarinya di area membaca. Lama ia meneliti wajah setiap orang yang duduk di sana dan pandangan Marry terhenti pada seseorang yang ia kenal betul dari setiap lekuk siluet tubuhnya dari belakang. Rambut lelaki itu juga berwarna coklat keemasan. Marry ingin meneriaki nama lelaki itu kalau bukan karena teringat bahwa sekarang ia berada di perpustakaan. Marry menggenggam erat tas yang ia bawa dengan terburu-buru dan menepuki pundak lelaki itu.
“Max!” pekik Marry dengan suara setengah berbisik.
Max menengadahkan dan menolehkan kepalanya pada Marry yang memasang wajah kesal yang kemudian berubah menjadi raut wajah penuh kelegaan. Marry melihat Max membaca sebuah buku dan beberapa tumpuk buku lain terlihat ada di samping kirinya yang menyiratkan bahwa ia akan membaca itu semua sepanjang waktunya. Marry melihat bahwa tempat duduk di depan Max kosong dan ia cepat menyambar kursi tersebut untuk duduk langsung di depan Max. Marry memandang Max dengan tatapan penuh tanya, tapi ketika Marry ingin membuka pertanyaan pertama Max sudah lebih dulu mendahuluinya.
“Apa kau sudah mengingat sesuatu?”
Marry menjawabnya dalam hati bahwa ia tidak mengetahui apa-apa sama sekali dengan hal yang sudah terjadi, tapi satu hal yang pasti. Ia ingin memarahi Max karena sudah mengerjainya seperti ini dan membuatnya khawatir setengah mati.
“Max, bisa kita langsung ke intinya saja? Kalian mengerjaiku? Mengapa kau sendirian di sini? Mana Orwell dan Henry? Oh, dan apa kau tahu? Anehnya orang-orang juga dibuat tidak mengenal atau mengingat kalian sampai-sampai aku merasa malu karena sudah bicara hal yang tak masuk akal untuk mereka, meski itu juga berlaku padaku karena diriku sendiri yang bisa mengingat kalian. Orang-orang juga selalu menyebutkan kalau Lalua adalah sahabat dekatku, padahal tidak ada yang tidak tahu kalau kalian bertiga adalah sahabatku yang paling akrab sedari kita mulai memasuki Akademi Cruxiaz.”
Mengetahui Max orang yang seperti apa Marry yakin ia tak akan merasa kewalahan dalam menjawab pertanyaan Marry yang beruntun. Kedua tangan Marry menggenggam meja dengan erat karena sudah merasa tak sabar akan jawaban yang diberikan oleh Max. Masih memegang buku yang dibacanya yang membuat separuh wajahnya tertutup, Max bukannya menjawab pertanyaan Marry, ia malah balik menanyai Marry lagi.
“Marry, kau yakin kau tidak mengenal siapa Simmon di dalam mimpimu yang selalu mendatangimu dalam tidur selama windu penuh ini?”
Marry sudah putus asa akan hal yang menyangkut dengan Simmon. Ia pun menggelengkan kepalanya, tapi sejurus kemudian kepalanya tersentak kaget dan ia sedikit terpekik karena kaget Max mengetahui nama cahaya pendar – Simmon, yang ia rasa ia taksir selama windu penuh ini juga. Sebelum Marry bisa bertanya lebih lanjut mengenai dari mana ia dapat tahu itu, Max menawarkan sesuatu yang membuat Marry kembali dipenuhi dengan keheranan.
“Nah, Marry. Mau kutunjukkan sesuatu yang bisa membuatmu mengingat siapa Simmon sebenarnya?”
“Kau tahu caranya? Kau sudah menemukan orangnya untukku? Max, kau sangat baik! Terima kasih!”
Max tertawa kecil menanggapi ucapan terima kasih dari Marry dan melanjutkan tawarannya, “Kemarikan tanganmu. Kuharap setelah sesuatu itu ditunjukkan padamu, kau dapat mengetahui ‘kesalahan’ apa yang sudah kau perbuat di masa lalu hingga terbawa sampai sekarang,” Max mengulurkan tangan kanannya meminta satu tangan Marry untuk menggenggamnya, “kuyakin kau akan terkejut setelah mengetahui apa yang terjadi sebenarnya.”
Marry hanya mengikuti permintaan Max dan meletakkan tangan kanannya dalam genggaman Max. Max memandang lekat ke dalam kedua mata Marry dan terdengar menggumamkan sesuatu yang tidak terdengar jelas oleh Marry. Sejenak kemudian, Marry memasuki cahaya yang sangat terang benderang dan menyilaukan mata, membuat Marry menutupi pandangannya sejenak agar tak merasa perih matanya. Kini ia melihat suatu tempat yang penuh dengan berbagai lemari dengan tinggi yang berbeda-beda dan berisi wadah-wadah dengan isi yang berbeda pula. Ada suara sesuatu yang seperti sedang dimasak dalam guci besar berwarna hitam di tungku perapian. Tempat ini juga terkesan kuno dengan berbagai tanaman menjalar di berbagai sudut dan buah-buah asing tumbuh dari padanya. Marry menengok ke arah lain lagi dan mendapati permadani berwarna ungu dan hijau tergantung di atas rak yang kali ini berisikan banyak buku-buku tebal yang entah mengapa terasa sangat familiar bagi Marry.
Marry bergeming sejenak dan tiba-tiba tubuhnya bergerak sendiri menuju tungku perapian. Ia mengaduk dan menaruh beberapa sendok ramuan di dalamnya ke mangkuk yang sedari tadi ada di tangannya. Ini kediaman seorang penyihir, pikir Marry yang langsung terkoneksi sehabis melihat ramuan yang dibuat. Marry dapat melihat warna ungu pekat yang terlihat kusam dan seperti tak layak untuk dikonsumsi. Ternyata kemudian Marry – atau Marry yang sedang ada di tubuh seseorang ini – mendekatkan mangkuk itu ke mulut dan meminumnya. Marry sudah merasa jijik terlebih dahulu dan hendak memuntahkan isi ramuan yang sudah ia minum, tapi sepertinya tubuh orang ini terasa baik-baik saja. Padahal Marry yakin tadinya ia meminum suatu racun dan akan mati seketika setelahnya, tapi untungnya ia juga baik-baik saja. Rasa ramuan itu tak dapat dideskripsikan. Marry sudah membuat berbagai ramuan sepanjang waktunya belajar tentang sihir dan indra pengecapnya bisa menahan semua rasa ramuan karena demikian ramuan-ramuan yang ada sampai saat ia hidup di dunia sudah dimodifikasi karena tubuh manusia yang mulai mengalami perubahan dari generasi ke generasi. Jantung orang ini terasa berdegup kencang dan Marry terhenyak. Ia tidak tahu caranya bagaimana ia bisa tahu ramuan apa yang diminum sebelumnya tadi. Itu adalah ramuan agar seseorang yang meminumnya bisa hidup abadi. Marry juga bisa tahu bahwa ramuan itu tak sembarang bisa dibuat karena melawan takdir hidup seseorang dan butuh suatu kekuatan berenergi besar agar bisa dibuat. Marry yakin pihak alam surgawi tak akan menyetujui sihir seperti itu. Hanya pihak alam maut atau nerakalah yang bersedia membantu seorang manusia untuk membuatnya. Itu pun dengan perjanjian dan bayaran yang sangat besar harganya. Ijin atas nama dewi neraka, Helcarte, pun harus didapatkan.
Tubuh yang Marry tempati terasa beranjak lagi dan memandang ke cermin. Marry dibuat terkejut dengan wajah yang muncul di permukaan cermin; itu adalah wajah seorang penyihir besar yang dikenal orang bernama Nommisatrix Cruxiaz!
***
Marry ternyata dibuat kembali ke dalam perpustakaan dengan tangannya yang masih tergenggam dalam tangan Max. Sejenak Marry membiasakan diri dengan perasaan bergoyang sehabis dibawa ke masa di mana penyihir besar Nommisatrix Cruxiaz masih hidup. Ia heran mengapa Max bisa mempunyai kemampuan seperti itu, dan lagipula mengapa ia dibawa ke dalam tubuh Nommisatrix?
“Max-“
“Sebelum itu Marry, apa kau mengenal siapa yang kau lihat tadinya?”
Marry mengangguk dengan cepat, “Tentu saja,” Max akhirnya melepaskan genggaman tangan Marry, “dia adalah penyihir besar penemu dan pendiri Akademi Cruxiaz sendiri!” Marry menutupi mulutnya yang sempat menjerit keras dan menoleh ke kanan dan kiri.
“Aku sudah memasang segel pelindung agar kita tak terlihat oleh orang lain di sini.”
Benar kata Max. Tak ada yang menoleh ke arah mereka dan semuanya masih sibuk dengan kegiatan membaca mereka masing-masing.
“Tapi Max,” Marry mencodongkan tubuhnya, “mengapa?”
“Mari kubawa lagi untuk melihat beberapa hal lainnya.”
Agaknya Marry merasa gusar karena sedari tadi Max belum juga menjawab dan memberitahu ada apa sebenarnya. Marry menyodorkan tangannya dan menggenggam balik tangan Max. Ia sedikit mempersiapkan diri untuk merasakan rasa bergoyang yang seakan-akan bisa membuatnya jatuh kapan saja.
Kali ini ia berada di tubuh seseorang lagi, mungkin dengan orang yang sama. Banyak beberapa orang di hadapan Nommisatrix sekarang ini. Sepertinya mereka meminta disembuhkan dari segala sakit penyakit mereka pada sang penyihir. Kemudian ada sesuatu yang menarik perhatian Marry. Dari antara semua orang banyak itu, ada perempuan muda yang menunggu dengan sabar untuk mendatangi Nommisatrix sedang duduk dalam jarak agak jauh dari orang-orang. Perempuan itu merapatkan bungkusan tubuhnya yang memberi kesan agar ia tak merasa kedinginan. Ia tak dapat melihat dengan jelas wajah si perempuan, tapi ia bisa tahu perempuan itu sedang merasakan kesakitan dari wajahnya yang sedikit-sedikit terlihat meringis.
Setelah menunggu lama, dilihatnya orang-orang sudah pergi dan hanya tersisa dirinya serta Nommisatrix. Perempuan itu berusaha bangkit dengan susah payah dari tempat duduknya, akan tetapi Nommisatrix sudah terlebih dulu mencegahnya.
“Maaf... dan terima kasih karena tuan penyihir sudah bersedia menghampiriku yang berusaha bangkit berdiri ini saja kesusahan.”
Marry dapat merasa Nommisatrix menggelengkan kepalanya. Tongkat besar di tangan kirinya masih ia pegang seraya ia mulai menanyai si perempuan tentang keluhan sakitnya.
“Sakit apa yang ada padamu, nona?”
“Sakitku ini sudah bertahun-tahun bersarang di tubuhku, tuan. Di siang hari aku merasa kesakitan sampai kadang tak sanggup berdiri, dan di malam harinya aku mengalami pendarahan hebat yang menguras banyak darah dari dalam tubuhku. Tak heran aku menjadi lemah dan lemas karenanya.”
Nommisatrix terlihat memandangi perempuan itu dengan lekat, entah apa yang ada di pikirannya Marry tidak tahu.
“Em... tuan? Kalau tuan merasa keberatan, dikurangi rasa sakit di sekujur tubuhku ini saja aku akan sujud bersyukur di atas kakimu bahkan menciumnya dengan segenap hatiku.”
Nommisatrix akhirnya duduk di samping perempuan dan meletakkan tongkatnya di samping kiri agar tak menghalangi keduanya berbicara berhadapan satu sama lain.
“Bukannya aku keberatan, tapi sakit penyakit yang kau katakan tadi setahuku memang sudah suratan dari para dewa yang diberikan kepadamu untuk menebus karma di kehidupan sebelumnya. Aku tidak masalah untuk memberimu pengobatan secara rutin, asalkan kau sendiri punya niat untuk terus hidup dan melakukan kebaikan di keseharianmu.”
“Tentang itu, tuan, aku sudah melakukan sebisaku, tapi setiap kali aku berusaha untuk membantu orang yang ada hanya mereka yang akan berakhir membantuku yang lemah ini...”
“Kalau dengan bantuan fisik tak bisa kau lakukan, mempunyai niat yang tulus saja sudah cukup, apalagi mendoakan mereka.”
Si perempuan memandangnya tertegun sebentar sebelum akhirnya menjawab, “Baik, aku paham, tuan.”
Perempuan itu mengangguk patuh dan Nommisatrix segera membawa perempuan itu menuju kediamannya. Bangunan kuno sama seperti yang dilihat Marry sebelumnya. Perempuan yang terlihat malu-malu digendong oleh Nommisatrix itu diturunkan di pembaringan milik Nommisatrix sendiri. Dengan sikap yang malu perempuan itu mengeluarkan sesuatu dari kantong samping atasannya dan memberinya pada Nommisatrix.
“Tuan, aku hanya punya dua keping perak ini. Aku tak masalah jika hanya sedikit dari sakitku ini dikurangi. Aku hanya ingin bisa berdiri dan berjalan dengan nyaman tanpa merasa sakit di kedua kaki yang menopang tubuh lemah ini.”
Nommisatrix menggeleng dan menggenggam kedua tangan perempuan yang menadah dua keping perak tadi.
“Khusus untukmu, aku akan melakukannya dengan sukarela. Entah perbuatan apa yang kau lakukan di masa lalu sampai kau harus membawa karmanya ke kehidupan sekarang dengan keadaan seperti ini. Aku akan berusaha sekuat tenagaku juga untuk bisa meracik ramuan yang tepat untukmu.”
Si perempuan saking terharunya sampai mengeluarkan air mata dan menunduk dengan dalam pada Nommisatrix yang cepat dicegahnya si perempuan melakukan hal demikian. Nommisatrix kembali membawa perempuan itu agar ia cepat berbaring dan beristirahat sementara ia akan keluar sebentar untuk mencari beberapa bahan yang ia perlukan untuk dimasukkan bersama dan diracik menjadi suatu ramuan. Karena baru teringat bahwa keduanya belum berkenalan satu sama lain, Nommisatrix menanyai sang perempuan.
“Aku tidak bernama, tuan. Orang tuaku sudah meninggal lama dan tetangga sekitarlah yang sering datang merawatku. Mereka memanggilku dengan bermacam-macam nama dan aku senang memiliki semua nama itu. Aku akan merasa senang dengan nama yang tuan penyihir berikan atau pilihkan untukku.”
Nommisatrix terdiam dan semakin mengasihani perempuan yang sepertinya berada di pertengahan usia kedua puluhnya. Ia berpikir sejenak dan si perempuan menunggu dengan sabar dengan senyum manis yang tetap melekat di wajahnya. Setelah agak lama ia berpikir, akhirnya ia terpikirkan suatu nama yang sepertinya akan cocok.
“Chrysan.”
Si perempuan menatapnya lebih lama dan tersenyum mengangguk sebagai jawaban bahwa ia menerima nama itu dengan baik. Chrysan kemudian segera membaringkan dirinya dan beristirahat seperti yang diminta oleh Nommisatrix.
“Kau tidak penasaran akan artinya?”
“Ya? Arti apa, tuan?”
“Arti nama barumu.”
“Apa nama itu ada artinya?”
“Tentu. Sesederhana apa pun sebuah nama, mereka tetap memiliki arti.”
“Aku akan mendengarkannya kalau tuan berkenan menjelaskannya.”
Nommisatrix mendekati ranjang dan duduk di samping Chrysan.
“Namamu kuambil dari nama bunga krisan. Bunga itu melambangkan umur panjang, kelahiran baru, kesehatan, kemudaan, serta nasib baik. Hal-hal itulah yang kuharapkan datang kepadamu selama kau kuobati.”
Chrysan menjadi terpana sebentar sebelum ia mengeluarkan tawanya. Nommisatrix sedikit terkejut. Itu adalah tawa pertama Chrysan yang dilihatnya semenjak ia membawa Chrysan dari desa terpencil sana. Ia bertanya apakah ada yang lucu dari perkataannya. Masih dengan air mata yang sedikit mengucur di pipinya karena tawa yang sama sekali tidak bisa ditahan, Chrysan akhirnya menjawab.
“Padahal tuan sendiri sudah berumur panjang, tapi masih terlihat muda. Sepertinya arti bunga itu lebih cocok untuk tuan. Kalau boleh tahu, apa tuan berkenan memberi tahu usia tuan sekarang?”
“Terima kasih atas pujiannya. Bunga itu juga sebenarnya bunga bulan kelahiranku. Tahun ini di bulan Novemptbherr nanti aku akan genap berusia 700 tahun. Dan sebagai balasan karena kau sudah menanyaiku, apa aku juga boleh tahu berapa umurmu?”
“Tahun ini di bulan Uni Verse nanti aku akan berusia 27 tahun, tuan. Tuan penyihir sangat hebat. Pasti sudah melalui banyak hal dalam kehidupan ini. Tak bisa terbayang olehku.”
“Itu adalah benar, tapi juga tak mudah hidup lama seperti ini. Aku berani mengambil risikonya untuk sesuatu yang juga mahal bayarannya. Oh, ya. Kurasa di kehidupan yang kali ini alam semesta berpihak padamu ya, sampai-sampai kau ditakdirkan lahir di bulan keenam?” Nommisatrix beranjak dari samping Chrysan dan mengambil jubahnya yang tergantung.
“Aku harap begitu, tuan. Apa tuan sudah mau berangkat?”
“Ya,” Nommisatrix mendekat dan mengusap kepala Chrysan, “kau beristirahatlah. Aku akan keluar untuk mencari bahan-bahan yang kuperlukan dalam ramuan.”
“Aku mengerti, dan terima kasih, tuan. Berhati-hatilah di jalan.”
“Terima kasih kembali.” Nommisatrix akan keluar melangkahi pintu ketika ia berbalik pada Chrysan.
“Mulai sekarang kau bisa memanggilku Nommis. Tak perlu sungkan dengan umurku yang berkali-kali lipat lebih tua dibandingkan denganmu.”
Nommis pun pergi sehabis melihat anggukan malu-malu Chrysan.
***
Ketika ia sampai ke rumahnya, didapatinya Chrysan yang tertidur pulas. Tak ingin perempuan itu semakin kedinginan karena tempat kediamannya yang jarang terkena sinar matahari, Nommis melepaskan jubahnya dan menyelimuti Chrysan dengannya. Masih ada waktu sebelum makan siang tiba, dan Nommis yakin Chrysan belum menyantap makan siang hari ini. Ia agak kurang tahu mengenai makanan yang sekarang dimakan manusia di jaman ini. Nommis melihat ke luar jendela dan ia bisa melihat salju yang sedari tadi turun agak deras. Ia tutup jendela itu agar hawa dingin tak membangunkan Chrysan. Terpikir olehnya untuk membuatkan sup jamur dan tomat, serta roti yang diolesi dengan bawang putih. Nommis menyingkirkan sebagian anak rambut yang menghalangi wajah Chrysan dan pergi ke dapur untuk membuat makan siang.
Chrysan mengedipkan mata beberapa kali karena merasa aneh dengan pembaringan yang ia tempati. Rasanya empuk dan hangat. Ia menengok ke bawah dan mendapati dirinya diselimuti dengan jubah kebesaran milik sang penyihir. Chrysan duduk dengan susah payah dan bangkit berjalan sambil kesakitan untuk menggantung jubah itu agar tidak kusut. Rupanya Nommis sudah pulang, tapi di mana dia? Terdengar suara piring berdentingan dari ruangan lain dan Chrysan berjalan dengan penasaran ke arah sana. Aroma sedap lama-kelamaan tercium dengan jelas oleh indra penciuman. Akhirnya sampailah Chrysan di dapur milik Nommis. Terlihat Nommis yang mengatur meja makan sedemikian rupa dengan rapinya dan menaruh sesuatu yang dimasaknya di tengah-tengah meja makan. Merasa ada seseorang di ruangan yang sama, Nommis mengalihkan perhatiannya pada Chrysan yang berdiri di ambang pintu masuk dapur.
“Chrysan, kau belum makan siang bukan? Duduk dan makanlah bersama-sama denganku. Sudah kubuatkan sup dan roti yang diolesi bawang putih.”
Chrysan masih berdiri dengan ragu-ragu dan baru mau duduk di tempatnya ketika Nommis memaksa untuk menuntunnya ke situ. Ia menuangkan sup ke dalam mangkuk dan menyodorkannya ke hadapan Chrysan, tak lupa dengan dua potong roti beroleskan bawang putih yang ditaruhnya di sebuah piring lain. Minuman teh hangat datang paling akhir setelah Chrysan sibuk memandangi makan siang itu dengan wajah berbinar dan penuh harap.
“Makanlah. Jangan lupa untuk meniupnya karena itu benar-benar baru kuangkat dari perapian.”
“Setelahmu, Nommis.” Nommis sedikit tersentak mendengar Chrysan menyebutkan namanya, tapi dengan cepat ia mengatur bahasa tubuhnya dan menanggapi perkataan Chrysan daripada ia tidak makan-makan karena menunggu Nommis makan terlebih dahulu. Sesudah sesuap kuah dimasukkannya ke dalam mulut, barulah Chrysan menyentuh sendoknya dan berusaha menyendok kuah supnya dengan berhati-hati agar tidak tumpah.
“Kau yakin bisa menyuapi dirimu sendiri, Chrysan?”
“Memang lebih seringnya orang-orang yang menyuapiku. Akan tetapi ada waktu tertentu di mana jari-jari tanganku terasa kuat dan aku mencoba sebisa mungkin untuk menyuapi diriku sendiri walaupun bergetar.” Nommis masih memandang datar pada Chrysan yang menyuapi kuah sup ke dalam mulutnya, tapi dirinya merasa terganggu. Maka ketika dia menyuapi kuah sup untuk yang kedua kalinya, tangannya meraih sendok yang dipegang oleh Chrysan dan tangan keduanya tak sengaja saling bersentuhan membuat Nommis merasakan sesuatu yang aneh.
“Nommis?”
“Aku akan menyuapimu.”
“Apa? Tapi-“
“Aku tahu kau merasa malu dan tak enak denganku, tapi sudah kubilang aku akan merawatmu secara sukarela bukan? Kemarilah. Duduk di samping sini agar aku lebih mudah menyuapimu.” Nommis menepuk-nepuk kursi di samping dan Chrysan dibantu berdiri olehnya. Setelah melihat Chrysan yang sudah merasa nyaman dengan posisi duduknya, ia menyendoki kuah sup dan menyuapkannya pada Chrysan.
Agak ragu, akhirnya Chrysan mau membuka mulut dan menerima suapan kuah sup dari sendok yang dipegang oleh Nommis. Nommis memperhatikan wajah Chrysan dengan seksama sementara Chrysan yang sibuk merakan masakan Nommis pertama kalinya tak sadar jika ia sedang ditatap lekat. Nommis biasanya tidak akan peduli dengan pendapat orang lain, tetapi kali ini ia dibuat sedikit cemas dengan pendapat dari Chrysan. Akhirnya Chrysan melirik padanya dan Nommis mengangkat kedua alisnya tanda ia sudah menyiapkan diri sekaligus tertarik mendengar apa yang akan dikatakan Chrysan. Air wajah yang masih terlihat pucat pasi itu terlihat menarik kedua ujung garis bibir dan Chrysan memamerkan giginya dengan lebar.
“Nommis! Ini enak!”
Kedua mata Nommis bergerak ke kiri dan kanan memandang Chrysan merasa agak tak percaya dengan apa yang ia lihat dan dengar barusan.
“Benarkah?”
Chrysan mengangguk cepat, “Kau sudah mencicipinya sendiri ‘kan? Masa kau tidak tahu rasanya?” dan senyum kembali mengembang di wajahnya. Nommis dapat melihat pandangan Chrysan yang melihat ke arah sup itu lagi dan Nommis terburu-buru menyendoki kuah, meniupnya, dan menyuapinya kembali ke dalam mulut Chrysan. Perempuan yang berumur jauh lebih muda darinya ini bergumam keenakan sehabis menelan makanannya. Tanpa disadari dirinya sendiri, Nommis tersenyum kecil. Marry terhenyak. Senyum ini adalah senyum yang sama pada ekspresi wajah Marry ketika ia melihat Henry. Dari mana ia bisa tahu? Orwell pernah menyodorkannya cermin dan Marry bisa melihat ekspresinya yang terlihat konyol dan bodoh itu.
“Ini rotimu, mau kusuapi juga?”
“Kalau Nommis tidak keberatan...” Chrysan menunduk melihati kedua tangannya yang sudah mulai bergetar dan ia hanya bisa diberi kekehan canggung dari Chrysan.
“Apa masakan yang seperti ini cocok dengan seleramu?”
“Sangat. Tidak dapat kuingat kapan terakhir kali memakan makanan yang hangat seperti ini. Selain perutku yang hangat, hatiku juga terasa hangat. Itu semua terima kasih atas kebaikanmu.” Entah untuk keberapa kalinya Chrysan sudah menunduk hari ini. Nommis mengindahkan pikiran itu dan kembali menyuapi dirinya sendiri seraya merobek-robek roti menjadi ukuran kecil agar mudah dikunyah oleh Chrysan. Keduanya makan dalam suasana tenang, tetapi diramaikan pertanyaan yang penuh rasa penasaran akan diri satu sama lain. Kedua wadah mangkuk yang tadinya terisi penuh kini sudah menjadi bersih dan seseorang hanya bisa mendapatkan setetes atau dua tetes air saja dari kuah sup yang telah dihabiskan. Melihat Nommis yang sedang mengumpulkan piring untuk diantar ke wastafel, Chrysan berusaha bangkit dan menyusun kursi. Namun, dicegah dengan cepat oleh Nommis. Raut wajah Chrysan menjadi muram dan Nommis tahu ia merasa tak enak karena tak membantu Nommis membersihkan piring-piring bekas atau kursi-kursi yang tidak pada tempatnya. Biasanya jika sekali ia menyuruh seseorang untuk melakukan hal yang ia katakan – atau lebih tepatnya perintahkan – Nommis tak akan peduli jika perasaan orang itu terluka atau merasa tersinggung akan sikapnya yang seakan-akan dingin dan tak peduli. Namun, berbeda halnya dengan Chrysan. Perempuan ini sudah merasa malu dengan keadaannya yang sakit-sakitan, dan ia tidak pernah diijinkan sekali pun untuk merasakan perasaan bangga akan dirinya sendiri yang bisa berguna bagi orang lain. Nommis melihat ke arah meja dan seketika mendapat ide.
“Kalau kau memang ingin membantu, bersihkanlah meja ini dan tetaplah dalam posisi duduk agar kau tidak cepat kelelahan. Kau bisa melakukannya?” Chrysan yang sedari tadi menunduk akhirnya memandang Nommis dengan mata berbinar.
“Ya! Aku bisa! Terima kasih!” Ia menerima kain lap meja berukuran sedang dari tangan Nommis dan segera menggerakkan tangannya untuk mencapai bagian-bagian yang lumayan jauh untuk digapai. Nommis berniat membersihkan bagian yang jauh untuk dijangkau Chrysan, tapi Chrysan sedikit menjerit memaksa agar ia yang melakukannya sendiri. Entah karena kekerasan kepala atau keteguhan hatinya yang ingin membantu, akhirnya Nommis menyerahkan pekerjaan itu pada Chrysan sementara ia menyusun piring bekas, mengantarnya ke wastafel, dan mencuci serta menyusunnya kembali di rak piring kayu yang ada. Chrysan baru selesai melakukan bagiannya ketika ia telah balik dari habis menyusun piring dan mangkuk di rak. Chrysan dengan cepat melipat kain lap dan menaruhnya dengan rapi di ujung meja, menunggu Nommis yang masih berjarak sekitar lima langkah dari tempatnya dan melihat hasil pekerjaannya. Nommis tak bisa membohongi perasaan tenteram yang ia rasakan ketika melihat Chrysan tersenyum seperti itu, dan ia tak menyadari tangan kiri yang terangkat untuk membelai kepala Chrysan.
“Kerja bagus.” Ini juga kali pertamanya Chrysan melihat senyum tipis Nommis yang terpampang lama di wajahnya sana. Apa ini? Mengapa Marry bisa merasakan hati Chrysan yang berbunga-bunga dan rasa sensasi perut yang dipenuhi kupu-kupu meski ia sekarang tengah berada di dalam tubuh Nommisatrix? Hei, jangan bilang-
“Ayo, duduklah sebentar di dekat perapian sambil menunggu makanan turun dengan benar ke dalam perut kita.” Chrysan tidak tahu apa itu dimaksudkan sebagai candaan, tapi ia hanya terdiam saja mendengar senandung Nommis yang terdengar... senang? Oh, tidak. Marry juga kenal dengan suatu kebiasaan – kalau itu bisa disebut dengan kebiasaan manusia – yang sering dilakukannya. Bersenandung ceria tak jelas kala ia merasa gugup dan tak ingin canggung terhadap lawan bicaranya.
Karena masih tak ada selimut, Nommis kembali mengambil jubahnya yang tergantung dan memakaikannya pada Chrysan. Ia juga menuntun Chrysan duduk di dekat perapian dan menanyakan apa ada yang hendak dilakukannya untuk mengisi waktu sementara Nommis akan mulai membuat ramuan yang sebisa mungkin meringankan sakit Chrysan.
“Em... Boleh aku membaca buku-buku yang ada di rak itu? Terutama yang tebal-tebal?”
“Semua buku yang ada di sini berbicara tentang sihir. Apa kau tidak akan bosan?”
Chrysan menggelengkan kepala dengan lemah sambil tersenyum kecil.
“Tidak akan. Kurasa aku tertarik dengan sihir dan ingin belajar tentangnya, meski tubuhku tak mungkin bisa diikutkan dalam praktik penggunaannya, hehe.”
Nommis mengangguk dan memilih buku yang ditunjuk Chrysan untuk dibaca, lalu ia berikan pada Chrysan yang menaruhnya di pangkuannya sendiri agar tangannya tak terasa berat. Nommis mengangguk membalas ucapan terima kasih dari Chrysan dan akan bersiap mengambil ramuan-ramuan di dalam lemari berkaca bening serta mengambil sebuah bungkusan tergantung yang tadinya ia beli dari luar ketika Chrysan kembali menanyakan sesuatu.
“Kau yakin tidak ingin kutemani di dapur meracik ramuan sementara aku akan membaca buku?”
Nommis berdiri diam dan terlihat berpikir. Sadar akan sesuatu, Chrysan cepat membuka mulut.
“Oh, maaf! Kalau kau merasa terganggu akan kehadiran seseorang saat kau sedang melakukan sesuatu, aku akan tetap di sini dan menunggumu.”
“Itu memang benar. Namun, karena kau sudah menanyakannya dengan baik dan benar, kurasa aku tidak akan keberatan jikalau kita berdua berada di ruangan yang sama melakukan kedua hal yang berbeda dalam diam. Untuk sekarang, kau perlu menghangatkan diri di dekat perapian daripada duduk menungguiku di kursi meja makan yang hawa dinginnya sudah mulai terasa. Lain kali, kalau tubuhmu sudah lebih kuat untuk menahan rasa dingin dan kakimu tidak bergetar menopang berat tubuhmu, kau boleh menemaniku di dapur. Kau mengerti?”
“Ya! Aku paham, Nommis...” sambil membawa barang-barang yang ia bawa di tangan kanannya, Nommis menghampiri Chrysan dan mengacak-ngacak rambutnya.
“Kau harus bisa sembuh. Siapa yang tahu ada masa depan cerah yang akan menantimu.”
“Itu semua terima kasih karenamu yang sedang dalam proses mewujudkannya. Seharusnya aku membayarmu-“ jari telunjuk Nommis seketika membungkam kedua bibir Chrysan dan Nommis terlihat menggelengkan kepalanya tanda ia tak apa-apa jika tidak dibayar dan tidak ingin Chrysan membahas itu lagi.
“Baiklah, aku akan ke dapur. Kalau kau membutuhkanku, kau bisa berteriak memanggilku dari sini dan tak perlu berjalan bersusah payah untuk mendatangiku.”
Terduduk diam sambil memegangi buku besar di pangkuannya, akhirnya Chrysan berucap terima kasih sekali lagi. Baru akan berbalik menuju ke dapur, lengan kiri Nommis ditahan. Nommis menengok dan bertanya apa ada sesuatu yang dibutuhkannya.
“Anu, Nommis. Em... selamat bekerja!”
Kedua mata Nommis membulat. Sudah lama ia tak mendengarkan kata-kata itu- tidak. Tentu para penduduk desa atau bawahannya sering berucap demikian, tapi ucapan ‘selamat bekerja’ dari Chrysan hari ini terasa berbeda. Marry paham akan perasaan itu. Ucapan ‘selamat bekerja’ dari orang-orang yang dekat denganmu memang terkesan berbeda dan memberi semangat tersendiri. Oh, tunggu. Orang-orang yang dekat? Apa Nommisatrix dan Chrysan sekarang dapat dikatakan sebagai dua orang yang dekat?
Sekonyong-konyong Marry dapat merasakan Nommis yang tersenyum menyeringai. Nommis mengangkat tangan kanannya dan mengelus kepala Chrysan lagi.
“Baiklah, terima kasih. Kau juga. Selamat membaca.”
Marry melihat Chrysan yang masih menatap punggung Nommis dari belakang dengan tatapan yang tak bisa dijelaskan, tapi semburat merah yang muncul di kedua pipi Chrysan adalah informasi yang lebih dari cukup untuk Marry.
***
Pukul 3 sore lewat dan nampan berisikan suatu ramuan disodorkan ke depan Chrysan. Chrysan tersentak melihat ke arah wajah Nommis dan menoleh ke kanan kiri untuk melihat keluar melalui jendela. Hari sudah terlihat tidak seterang tadi dan salju juga sudah turun deras di luar. Chrysan menandai buku itu dengan menaruh sekeping logam perak di dalamnya. Sepertinya Nommis memperhatikan hal itu.
Nommis membantu Chrysan menaruh gelas berisikan ramuannya di atas meja samping tempat ia duduk dekat dengan perapian. Karena masih terasa panas, Nommis berpesan ia bisa menunggu minuman itu hingga masih terasa hangat saja dan jangan sampai dingin. Tak ada alasan khusus. Ramuan yang seperti itu memang disarankan diminum selagi uap panasnya masih ada. Setelah ditunggu sejenak akhirnya kedua tangan Chrysan berhasil memegang gelas itu tanpa merasa panas yang menyengat menembus kaca gelas.
Lho? Ini ramuan berwarna ungu pekat sama seperti yang Marry – atau Nommis – minum di penglihatan sebelumnya! Chrysan terlihat menatap kosong dan menoleh untuk melihat Nommis. Nommis paham Chrysan merasa ragu untuk meminum itu. Terlebih dahulu dikatakannya tak perlu tahu apa yang ada di dalamnya dan memberitahu Chrysan bahwa ramuannya memang akan berwarna seperti itu ketika sudah selesai dibuat. Nommis juga tak lupa memberitahu Chrysan untuk menambahkan suatu bahan spesial agar ramuan itu bekerja lebih baik dan cepat. Chrysan bertanya dengan raut wajah penasaran apakah itu?
“Cinta terhadap dirimu sendiri.” Jawab Nommis sambil tersenyum kecil.
Hati Chrysan terenyuh. Ia menjepit hidungnya dan segera meminum ramuan itu dalam sekali tenggak. Sesudah habis diminumnya ramuan itu, Nommis menanyakan apa yang hendak Chrysan santap untuk makan malam nanti.
“Aku akan memakan apa pun yang kau buat. Memakan makanan yang sama tiga kali dalam sehari juga tak masalah bagiku. Selain menghemat waktu dan tenaga, kau juga akan menghemat uang karena kau juga harus memberiku makan ketika bertempat tinggal di sini sampai aku sembuh.”
“Tidak. Kali ini juga turutilah kata-kataku. Malam ini kau akan memilih makan malam yang akan kita berdua makan.”
Chrysan disibukkan dengan pikirannya yang akan merepotkan Nommis untuk memasakkannya makanan malam ini. Chrysan terpikir suatu ide. Tuan rumah ini sendiri memang telah menawarkannya hendak makan apa. Namun, ia juga tak bisa mengabaikan kesukaan Nommis dalam hal makanan. Kemarin ketika dirinya duduk agak jauh dari orang-orang lain yang meminta tolong untuk disembuhkan pada Nommis, dirinya masih bisa mendengar isi percakapan yang dimaksudkan untuk memberi Nommis hadiah lebih atas jasanya yang membantu penduduk di desa itu.
“Tuan penyihir besar, terimalah dua potong pai labu ini sebagai tanda terima kasihku yang terdalam dari lubuk hati!”
“Aku juga membawakan sepotong untukmu, tuan penyihir! Kumohon terimalah!”
“Yang satu ini kuhias khusus dengan krim lemon yang akan menambah sensasi rasa masam yang enak jika dikunyah bersama dengan rasa pai labu yang tidak terlalu manis dan gurih! Kuberikan padamu dengan senang hati, tuan penyihir!”
Nommis sang penyihir besar menerima berbagai bungkusan satu per satu dan menaruh mereka di belakang, sedikit jauh dari kerumunan orang-orang. Ketika itu pulalah Nommis dan Chrysan saling mendapati satu sama lain melirik dan tersenyum sopan.
Kembali ke masa yang sekarang, Chrysan pun menyebut pai labu dan beralasan kalau ia perlu makanan yang berasa netral juga agar lidahnya tak terasa aneh. Sekilas Chrysan dapat melihat kedua mata Nommis yang membulat bersinar.
“Kau yakin hanya pai labu? Aku juga akan membeli yang lain kalau kau ingin.”
“Tidak, Nommis. Tidak usah. Aku benar-benar ingin memakan pai labu nanti malam, dan kudengar kau menyukai pai labu bukan?”
Nommis mengangguk cepat dan senyum kecil mendahului perkataan yang akan keluar dari mulutnya.
“Tentu! Dan pai labu yang dihiasi dengan krim lemon adalah pai labu terenak yang pernah kumakan. Aku jadi sedikit rindu dengan toko tempatku biasanya membeli pai labu kesukaanku.”
“Apa kau akan membelinya malam ini? Atau kau mau memanggangnya sendiri? Kalau kau akan pergi ke dapur, aku ingin membantumu barang sekecil apa pun, dan kalau kau keberatan aku akan duduk diam dengan manis di kursi meja makan sambil melihati dan menemanimu.”
“Tidak perlu, Chrysan. Aku memang akan keluar malam ini untuk menemui seseorang dan sekaligus membeli pai labu untuk kita. Aku akan membuat api di perapian tetap menyala dan tidak akan mati sampai aku pulang agar kau tidak kedinginan. Sambil menunggu, kau boleh membaca buku apa pun yang kau inginkan di sini. Oh, sebentar.”
Chrysan dapat melihat Nommis mengambil sebuah meja dengan empat kaki beroda. Nommis menyuarakan sebuah mantra dan sekelebat kilau cahaya terlihat berdiam dan berpendar di sekitar meja itu yang Chrysan tangkap sebagai tanda bahwa meja kecil itu sudah dimantrai oleh Nommis.
“Nah, sekarang. Coba kau mendatangi Chrysan dalam jarak yang membuatnya bisa menggapaimu.” perintah Nommis kepada meja itu. Meja itu terlihat menunduk sebentar ke arah Nommis seperti seekor anjing yang mematuhi tuannya dan berpindah ke arah Chrysan. Antara terkejut dan antusias karena pertama kalinya bisa melihat hal seperti itu, Chrysan hanya bisa tersenyum lebar menatapi meja kecil yang juga balik menunduk padanya dan mengangkat tangan untuk mengelus meja itu.
“Maaf, Nommis. Boleh aku bertanya sesuatu?”
“Tentu.”
“Apa dia... punya jiwa? Maksudku... Apa dia punya kesadaran? Sehingga dia bisa mematuhi perkataanmu?”
“Secara teknis tidak. Mantra yang kuberi tadinya hanya membuat benda mati menjadi seakan-akan ‘hidup’ dan mau melakukan apa yang kita minta padanya. Sebentar.”
Nommis lagi-lagi berlalu dan dia terlihat menghampiri rak-rak berisikan buku-buku. Ia membaca sebuah mantra lagi dan kilau cahaya kembali muncul mengitari rak-rak itu. Nommis pun kembali ke samping Chrysan.
“Sekarang, Chrysan. Coba kau memberi satu perintah pada rak itu untuk membawakan satu buku padamu.”
Chrysan dibuat terkesiap karena ia sudah diikutkan dalam kegiatan praktik sihir Nommis. Ia cepat-cepat menggeser bola matanya dari kanan ke kiri mencari sampul menarik yang terlihat dari samping. Matanya kemudian tertuju pada sampul samping dengan gambar elemen-elemen di bumi.
“Rak buku, aku minta tolong agar dibawakan buku dari rak kedua dari kiri, baris ketiga, dan buku itu ada di urutan kelima dari kanan.”
Tepat seperti yang diminta oleh Chrysan, sebuah buku melayang dan menaruh ‘dirinya sendiri’ di atas kedua tangan Chrysan. Terlihat tulisan ‘Keempat Elemen Dasar dan Sebuah Elemen Baru’ terukir di sampul buku berbahan dasar kulit hewan itu. Chrysan memandang ke arah Nommis dan ia belum menyiapkan diri untuk melihat senyum kecil Nommis yang terlihat tulus itu padanya itu.
“Bagus. Perintah pertamamu tadi sangat jelas dan spesifik sehingga benda yang kumantrai jadi ‘hidup’ bisa mencerna maksudnya dengan jelas. Tetaplah seperti itu dan kau tidak akan kesusahan untuk tinggal di sini.” Chrysan mengangguk dan menunduk, tersipu akan pujian yang tak seberapa dari Nommis.
“Oh, ya. Meja kecil tadi untuk apa?”
“Kau bisa memintanya untuk membuatkanmu minuman hangat seperti teh atau susu. Bahannya ada di lemari di dapur. Tenang, dia tahu tempat dan wadahnya. Oh, dan ini, bisa kau makan sembari membaca buku dan mengisi perutmu dengan minuman hangat nanti.”
Nommis menaruh dua buah cupcake coklat di atas meja kecil tadi.
“Dan juga…” Chrysan memandang penasaran dengan apa yang akan diucapkan oleh Nommis, “dia bisa jadi temanmu di sini selama menunggu aku pulang, bukan?”
Chrysan menoleh menatap ke arah meja kecil yang sepertinya merasa senang ‘dielus’ oleh Nommis, lalu tersenyum mengulum tak lama setelahnya.
“Iya. Terima kasih!” kali ini pun rambut bergelombang Chrysan dielus oleh Nommis.
“Baiklah. Aku akan berangkat. Oh, ya. Jubah ini kutinggalkan saja agar kau bisa menyelimuti dirimu sendiri dan tak kedinginan. Nanti di perjalanan aku akan membelikan selimut untukmu.”
“Aku akan mengantarmu ke luar!” nada antusias diucapkan Chrysan sembari ia menaruh buku dengan hati-hati di atas meja kecil ‘berjiwa’. Chrysan berusaha bangkit dan ajaibnya ia merasa kini kedua kakinya enak untuk digerakkan, meski rasa sakit itu masih ada berakar di dalam tubuhnya. Nommis menggelengkan kepala dan akhirnya turun tangan membantu Chrysan berjalan agar hati perempuan itu merasa senang karena bisa melakukan sesuatu untuk Nommis.
“Kemarilah, mari kubantu.” Nommis mendekatkan diri ke samping Chrysan yang merasa ragu dan meraih tangan sang perempuan. Ia mengepalkan dan mengeratkan genggamannya untuk meyakinkan Chrysan. Perempuan itu menatap Nommis dan akhirnya mengangguk.
Keduanya sampai di pintu depan dan Nommis melepaskan kedua tangan Chrysan agar ia bisa berjalan sendiri ke arah ambang pintu dan bertopang pada tiang pintu di sana. Syukurlah Chrysan berhasil melakukannya. Nommis mengambil barang-barang yang sudah ia siapkan dan memasang alas kaki yang cocok untuk berpijak di atas salju yang semakin lama semakin menebal. Keduanya saling berpandangan dan tersenyum. Chrysan mengangkat tangannya untuk mendadahi Nommis.
“Hati-hati, Nommis. Aku akan menunggumu di sini. Pulanglah dengan selamat.” Chrysan tak lupa untuk memberikan senyum manisnya dan Nommis seakan-akan membeku mendengar kata-kata itu. Kata-kata seperti ‘aku akan menunggumu’, ‘aku menunggumu di sini’, dan ‘pulanglah dengan selamat’ yang pernah diucapkan oleh istri-istri terdahulunya seketika membuat berbagai memori dengan mereka kembali terulang. Nommis mengangguk dan berucap sesuatu.
“Aku akan pulang. Tunggulah.” Kata yang dulu juga pernah diucapkannya pada istri-istri yang telah lebih mendahuluinya kini juga diucapkannya pada Chrysan.
Perpisahan sementara mereka berdua berakhir demikian.
***
Nommisatrix berjalan ke arah wilayah yang jarang dilalui oleh orang-orang. Agak lama ia menyusuri jalan setapak yang mengarah ke hutan, masuk ke dalamnya, dan dari hutan itu jalan yang ada menembus ke suatu padang luas tertutupi salju. Nommis melihat bunga-bunga krisan sisa musim gugur lalu dan sekarang hanya krisan berwarna putih yang muncul. Nommis sedikit kepikiran akan hal itu dan jadi mengingat satu hal, tapi cepat ia indahkan pikiran itu dan matanya menelusuri berkeliling ke seluruh penjuru.
“Aku sudah di sini.”
Marry dapat melihat suatu bayangan hitam bersembunyi di balik batang-batang pohon yang tebal dan sesudahnya menghilang tak terlihat. Ada seorang pria berbaju seperti seorang bangsawan di sana mengintip dengan tajam di balik gelapnya bayangan pohon-pohon yang tumbuh dengan lebat di tanah yang mengitari padang luas ini. Nommisatrix menunduk ketika orang itu mendekat dan tiba di depannya.
“Apa kau tidak ingin menarik kembali permintaanmu itu, manusia?”
Manusia? Jadi dia bukan manusia? Tapi wujudnya- oh, ya. Dia tadi datang dalam wujud bayangan hitam pada awalnya.
“Tidak akan. Sudah kukatakan bukan? Sebagai bayarannya, kau boleh mengambil jiwaku di akhir hidupku.”
“Kuakui kau cerdas dan juga bijaksana, tapi kelicikanmu bisa terlihat dengan jelas olehku. Bagaimana aku akan mengambil jiwamu kalau kau saja meminta agar menjadi abadi dengan dilambatkannya waktu milikmu?”
“Tobarios,” Marry merasa sesuatu di otaknya ada yang terhubung. Ia merasa pernah mendengar nama itu, “kuncinya ada pada kata ‘lambat’. Masih sangat lama untukmu agar bisa mengambil jiwaku karena waktuku diperlambat oleh kemampuan kekuatanmu di perjanjian kontrak kita. Jadi, kau sudah mendapat persetujuan dari diriku sendiri. Apa lagi yang kau tunggu?”
“Nommisatrix Cruxiaz, manusia sepertimu mungkin memang punya kendali penuh agar tak terhasut oleh bujukan kami para kaum iblis. Iblis akan begitu senang jika ditawarkan jiwa manusia yang penuh dengan aura negatif sepertimu, dan dalam hal ini aku bisa melihat keserakahan dalam dirimu. Keserakahan akan segala pengetahuan di dunia. Untuk menjawab pertanyaanmu tadi, perlu kau tahu bahwa perjanjian kontrak ini akan dilakukan tanpa sepengetahuan pemimpin dari segala pemimpin di neraka, Helcarte kami.”
“Kalau sampai beliau mengetahui ini, lindungilah dirimu sendiri dan limpahkan kesalahan itu padaku. Aku sudah bertekad bulat untuk hal ini, maka aku juga harus membayar dengan harga yang sepadan untuknya. Bukankah begitu, Tobarios?”
Itu dia! Iblis, neraka, dan Helcarte sang dewi pemimpin terbesar di neraka sekaligus pasangan dari dewa kelahiran dan kehidupan yang bertempat tinggal di surga, Carlius! Segala hal tentang itu, dan sekarang ada nama Tobarios disebut di dalam percakapan tadi- Astaga!
Marry masih ingat betul akan pelajaran di Akademi Cruxiaz yang memfokuskan pada nama-nama iblis beserta pimpinan mereka yang bertahkta di neraka. Salah satu dari iblis itu bernama Tobarios; salah satu iblis dengan kedudukan paling tinggi dan sekaligus salah satu dari bawahan Helcarte yang setia kepadanya. Kemampuannya yang bisa melihat masa depan dan masa lalu membuatnya menjadi tak terkalahkan. Bukan hanya itu. Dikatakan, sang iblis yang menyandang nama Tobarios itu bisa memilih salah satu realitas dari sekian berjuta-juta kemungkinan realitas yang ada dan menjadikannya sebagai realitas ‘satu-satunya’ untuk dijalani atau hidup di dalamnya, termasuk orang-orang yang ada di dalam realitas yang sudah dipilih tadi.
Kedua orang ini, Nommisatrix dan Tobarios, telah melakukan kontrak antara iblis dan manusia tanpa ijin dari Helcarte dan permintaan Nommisatrix itu sungguh di luar batas kemampuan seorang manusia; ingin hidup ‘abadi’ karena haus akan seluruh pengetahuan yang ada di dunia. Marry heran. Bukannya semakin banyak seseorang tahu hal-hal tentang dunia dan segala isinya, akan semakin enggan dan merasa menyesal dirinya, lalu berharap bisa meminta balik agar dia dibuat menjadi lupa akan ketahuan atau pengetahuan tersebut? Tapi akhirnya Marry memahami bahwa setiap orang mempunyai pandangan yang berbeda. Marry tidak tahu atas dasar apa seorang penyihir besar yang menjadi penemu sekaligus pendiri Akademi Cruxiaz ini menginginkan hal itu, tapi memang sekalinya serakah seseorang tak akan bisa berpikir baik dan menganggap bahwa keinginan yang dipenuhi nafsu duniawi itu adalah wajar.
“Baik. Apa kau siap?”
“Aku sudah menunggu lama untuk ini.”
Keduanya memulai proses pengikatan kontrak dan Marry juga ikut merasakan rasa panas dan sakit yang menyengat di ulu hati Nommisatrix- tidak. Apa rasa panas dan sakit yang menyengat itu begitu berat untuk ditanggung oleh jiwa sehingga rasa sakitnya pun sampai menyerang organ dalam di tubuh fisik manusia?
Marry baru paham bahwa seseorang yang ingin ditemui oleh Nommisatrix tadi adalah iblis Tobarios. Ia juga dapat mengetahui bahwa ramuan berwarna ungu pekat yang Nommisatrix minum di penglihatan pertamanya adalah sebagai syarat utama dalam upayanya untuk memanggil Tobarios agar bersedia mengikat kontrak dengannya untuk membuat dia menjadi ‘abadi’. Manusia mustahil untuk melampaui umur dari 100 tahun dan sesudahnya mereka akan berpulang ke dunia lain. Sekarang Nommisatrix berumur 699 tahun dan dirinya telah lama mengabdikan diri pada iblis Tobarios sebagai ganti agar sang iblis menuruti perintahnya meski di akhir hidupnya nanti ia lah yang berbalik akan menjadi budak bagi si iblis Tobarios.
***
Nommis kembali ke kediamannya dengan membawa pai labu dan selimut tebal untuk Chrysan. Ia mengetuk pintu dan tak ada jawaban. Ia bertanya-tanya mengapa sekarang ini dia mengetuk pintu dan bukannya masuk saja seperti biasa. Ia pun membuka pintu dengan hati-hati kalau saja Chrysan tertidur seperti kemarin karena ia tinggalkan sendiri. Ya tentu saja ia tertidur, bukankah dia sendiri yang meminta Chrysan untuk beristirahat? Nommis menaruh sepatunya dengan benar di samping alas kaki agak mungil milik Chrysan. Besok ia harus mencari alas kaki baru untuk perempuan itu. Ketika musim semi nanti datang, ia akan membawa Chrysan keluar dan berjalan-jalan menikmati pemandangan bunga-bunga yang bermekaran. Nommis berjalan masuk dan Chrysan masih di sana, di ruang tidurnya. Ia masih membaca buku dan ada secangkir teh serta satu cupcake yang tersisa separuh di atas meja kecil yang senantiasa menemaninya dari tadi. Melihat tuannya yang datang, meja kecil itu terlihat menunduk untuk memberi hormat. Chrysan masih belum sadar akan kedatangannya. Nommis kemudian baru menyadari rambut coklat panjang bergelombang milik Chrysan itu terlihat kusut. Ia hanya mengikat rambut itu seadanya agar tidak berantakan, tapi sekarang Nommis pikir Chrysan bisa tampil lebih baik.
“Apa buku-buku yang ada di sini menarik?”
Agak menyesal Nommis sudah sembunyi-sembunyi melangkah ke belakang Chrysan dan tiba-tiba berbicara seperti itu, tadi Chrysan begitu terkejut sampai ia terlihat sedikit melompat dari tempat duduknya dan berakhir meringis menahan kesakitan di kedua kakinya yang tiba-tiba dipaksa untuk menopang tubuhnya yang melompat karena terkejut. Si meja kecil ikut terkejut melihat Chrysan yang kesakitan, tapi tak bisa berbuat apa-apa karena dia saat ini tengah ‘memegang’ secangkir teh dan ada suatu kudapan kecil di atasnya.
Nommis merasa aneh dan ikut merasakan sakit ketika Chrysan merintih dengan hebatnya, maka ia cepat menyambar kedua tangan Chrysan dan menggenggamnya erat.
“Chrysan! Kau tidak apa-apa?! Sini, kemarikan kakimu, biar kuberi mantra penghilang rasa sakit sementara!”
Chrysan ragu hendak menyandarkan dirinya pada Nommis, tapi rasa sakit di kakinya menjalar dan semakin menjadi-jadi. Nommis cepat mengambil posisi dan menggendong Chrysan. Dibaringkannya Chrysan di kasur dan tangan kanan Chrysan berpegang erat pada kerah bajunya seperti tak ingin dilepas. Nommis menggenggam tangan itu dan meyakinkan Chrysan untuk melepaskan pegangannya agar ia bisa segera membaca mantra. Masih sembari terisak, kedua tangan Chrysan menutupi wajahnya yang berantakan karena air mata dan masih berusaha menahan sakit. Nommis merapatkan kedua kaki Chrysan agar berdekatan dan mengurutnya perlahan sambil mantra dibacakan. Sakit di kedua kakinya berangsur-angsur berkurang dan ia merasa tak terlalu sakit lagi sampai-sampai ia bisa mengeluarkan air mata seperti itu. Sesudah tangisan hebatnya selesai, Nommis bisa melihat Chrysan yang masih sesenggukan. Ia pun mendekati Chrysan dengan duduk berjongkok di lantai agar bisa melihat wajahnya lebih jelas. Chrysan memberanikan diri membuka kedua tangannya dan menoleh ke arah Nommis. Wajah perempuan itu berantakan dan basah karena air mata yang syukurnya tidak lagi keluar dari matanya. Hidungnya memerah, membuat Chrysan terlihat lebih kasihan dari sebelumnya.
“Nommis, maafkan aku.”
Baik Nommisatrix maupun Marry sama-sama terkejut, apalagi Marry yang bukan main keterkejutannya. Sambil berniat bertanya mengapa Chrysan berkata demikian, Nommis menyingkirkan anak rambut yang menutupi kening Chrysan, membuat wajah perempuan itu terlihat bersinar meskipun hidung memerahnya begitu kentara.
“Mengapa kau meminta maaf? Apa maksudmu? Akulah yang seharusnya meminta maaf padamu. Aku telah mengagetkanmu dan kau terkejut sampai segitunya. Kakimu bahkan sampai kesakitan juga karenaku.”
“Aku tadinya mengira kau adalah orang lain, makanya aku begitu terkejut dan sampai melompat dari tempat dudukku. Waktu merasakan kakiku yang sakit, aku berpikir bagaimana jadinya dengan rumahmu ini? Apa yang akan diambil oleh pencuri itu? Bagaimana aku akan melindungi barang-barangmu yang berharga? Segala pertanyaan itu melintas dengan cepat dalam pikiranku dan aku begitu ketakutan, tapi rasa sakit bagai neraka tadi membuatku kembali menjadi sadar dan sekonyong-konyong suaramu dapat kudengar. Seseorang meraihku. Aku hanya bisa terkejut dan ketika aku menengadah untuk melihat wajah orang yang meraihku-“ Chrysan kembali terisak. Nommis hanya bisa menautkan tangannya ke tangan Chrysan.
“Kau… kau tidak tahu betapa bersyukurnya aku saat tahu kalau orang itu adalah dirimu dan bukan orang lain. Aku begitu bersyukur kepada dewa huhuhu.” Nommis ingin memeluk Chrysan agar ia bisa lebih tenang, tapi tubuhnya masih lemah karena kejadian tadi, jadi ia membiarkan Chrysan berbaring lebih lama. Ia tunggu dengan sabar sampai Chrysan selesai menangis.
“Aku membawakan pai labunya, tapi sebelum itu, apa kau sudah membasuh diri?”
Nommis merasa bodoh sudah bertanya demikian. Bukan hanya karena tubuh Chrysan yang sangat lemah, dia juga adalah seorang perempuan! Dia tak seharusnya menanyakan hal itu dan lihatlah! Wajah Chrysan sudah memerah bagai tomat yang ia masak untuk makan siang tadi!
“Belum… tapi akan sangat lama untuk menungguku selesai membasuh diri, atau aku bisa merebus air dan mengelap diriku sendiri_”
“Maafkan aku, Chrysan. Aku mohon maaf karena ingin mengusulkan padamu tentang ini. Aku minta ijin untuk mengelap dirimu- tentu di bagian yang kau perbolehkan saja! Aku bersumpah tak akan macam-macam. Aku tak bisa tenang begitu saja melihat dirimu seperti ini, apalagi habis kesakitan tadi. Juga, kau tak boleh kelelahan hanya karena kau sedang membasuh atau mengelap dirimu sendiri. Besok aku akan mencari seseorang yang mau membantuku merawatmu. Akan kupastikan dia adalah seorang perempuan.”
Chrysan hendak menolak, tapi sekarang ia hampir tidak bisa merasakan di mana kakinya bertumpu di atas pembaringan milik Nommis ini. Oleh karena itu, mau tak mau Chrysan pun mengangguk dan mengiakan permintaan Chrysan. Chrysan juga tak ingin merepotkan Nommis lebih jauh dari yang sudah-sudah ini.
***
Marry bisa melihat tampilan Chrysan yang lebih rapi dan terurus sehabis dilap badannya oleh Nommis. Entah mengapa Marry bisa merasakan bahwa mengusap keringat dan air mata dari wajah serta rambut Chrysan tadi adalah bagian yang paling Nommisatrix suka. Marry ingin tertawa. Mengapa ia dibawa untuk melihat penglihatan ini dan menyaksikan kedua orang yang sepertinya nanti akan dimabuk oleh asmara? Apa hubungannya penglihatan ini dengan sesuatu yang hendak ia ketahui dari Max? Ngomong-ngomong tentang Max, bukankah waktu di sana juga berlalu dengan masuknya ia di penglihatan ini? Ataukah waktunya bekerja secara berbeda? Marry mengendikkan kedua bahunya.
Nommis membantu Chrysan duduk di pembaringannya dan menyandarkannya pada bantal-bantal yang disusun tinggi oleh Nommis. Nommis beranjak mengambil bungkusan yang ia jatuhkan ke lantai karena terkejut melihat Chrysan yang tadi kesakitan. Suatu selimut dikeluarkannya dari sana dan Chrysan yang melihat itu jadi terperangah. Ia kemudian berdecak kagum.
“Aku suka motifnya! Motif yang berhubungan dengan alam, dan difokuskan ke bunga-bunga berwarna merah muda. Tangkai muda dan daun-daun juga tidak kalah menambah keindahan di dalam selimut itu! Aku berterima kasih sekali lagi padamu, Nommis!” Marry bisa merasa andai ia bisa, Chrysan akan kembali mengeluarkan air mata, tapi kali ini itu adalah air mata haru atas perhatian dari Nommisatrix.
Nommis tersenyum puas. Ia tahu bahwa konon perempuan menyukai hal-hal sederhana yang indah, maka ia menjatuhkan pilihannya pada selimut bermotifkan bunga dengan latar belakang alam. Ia memberi perintah pada si meja kecil agar bisa mendekatkan diri ke samping ranjang. Ia menyingkirkan secangkir teh dan sebuah cupcake tadi agak ke pinggir meja dan menaruh piring besar di tengahnya. Nommis mengeluarkan pai labu yang uapnya masih bisa terlihat menandakan bahwa makanan itu masih hangat-hangatnya dibawa pulang oleh Nommis.
“Ini. Cepatlah makan sepuas hatimu, dan nanti akan kubawakan ramuanmu kembali. Sisa tadi siang masih kusimpan di dalam periuk hitam besar.”
“Setelahmu, Nommis.” Chrysan selalu tak lupa untuk menampilkan senyum tipisnya yang indah. Tunggu. Indah? Apa-apaan ini, Nommis? pikir Marry.
Nommis memotong dan membagi pai labu itu dengan hati-hati dan telaten serta menyusunnya dengan benar kembali. Ia mengambil sepotong pai labu dan mengambil sesuap dari pada pai labu itu. Ia perlihatkan dengan benar-benar pada Chrysan bahwa ia sudah menyantap pai labu itu terlebih dahulu agar perempuan itu mau makan. Nommis juga mengambil piring kecil tersendiri untuk menaruh sepotong kue pai labu milik Chrysan di sana dan menyuap sesendok dari padanya ke dalam mulut Chrysan. Di kunyahan pertama Nommis sudah bisa melihat wajah riang Chrysan dan senyum kembali menghiasi wajahnya. Seraya pai labu itu mereka santap dan habiskan bersama, keduanya larut dalam percakapan tentang apa yang terjadi selama perjalanan Nommis di luar tadi. Tentu Nommis melewatkan bagian ia yang bertemu dan mengikat kontrak dengan iblis Tobarios. Kini, umur seorang bernama Nommisatrix Cruxiaz itu akan semakin panjang.
***
Chrysan kini terbaring di atas pembaringan dengan mata yang masih terbuka dan sedang gelisah mencari posisi tidur yang nyaman baginya, tapi ia tetap tak bisa tidur tanpa mencoba memejamkan mata dan membayangkan yang sudah terjadi seharian ini. Nommis – dan tentunya Marry sendiri – bisa mendengar suara derek tempat pembaringan yang berdenyit-denyit tanda seseorang di atasnya kesulitan untuk bisa jatuh tertidur. Nommis dapat melihat Chrysan yang kembali bergidik terkejut dan ia berbalik dengan hati-hati ke arah Nommis yang dibelakanginya awal tadi.
“Kau butuh sesuatu?”
Chrysan menggelengkan kepala. Dari geraknya yang hendak memajukan kepala, Nommis bisa tahu bahwa Chrysan hendak berkata sesuatu dan ia hanya berakhir menatap Chrysan dalam diam untuk menunggu perempuan itu mau membuka mulutnya.
“Nommis, tidurlah di atas sini. Aku merasa tidak enak padamu…”
Perkataan itu lagi. Nommis memutar bola matanya.
“Chrysan, aku harus jujur padamu. Perkataanmu itu terdengar seperti ajakan untuk… kau tahu…”
Chrysan hanya memasang wajah lugu yang sedang berpikir keras mencari arti dari ucapan Nommis dan sang penyihir besar bisa melihat wajah Chrysan yang memerah seketika.
“Maafkan akuuu! Aku tidak bermaksud demikian! Tolong… Tolong jangan…” Chrysan membalikkan badan dan menutupi seluruh badannya dengan selimut. Suara tawa seseorang terdengar membahak mengisi ruangan di kediaman Nommis yang terkesan dingin dan hampa.
“Chrysan, tenanglah. Aku seorang penyihir besar. Ada banyak hal lain untuk kupikirkan daripada sekadar memikirkan tentang perempuan dan segala hal yang menyangkut tentang mereka. Aku akan mengatakan ini untuk terakhir kalinya. Kau hanya perlu menuruti perkataanku dan membantu sesuai dengan kekuatan yang kau miliki, selebihnya serahkan padaku. Oh, ya. Mulai dari sekarang kau bisa memutuskan setiap malam akan makan apa dan aku akan membeli bahan-bahannya di luar untuk kumasak- maksudku, kalau itu menyangkut makan malam, aku sering dibuat bingung untuk makan apa. Kini kuserahkan hal itu padamu, kau mengerti dan bisa ‘kan?”
Chrysan berbalik dan membuka selimut yang menutupi wajahnya. Sambil menelan suara sesenggukkannya, Chrysan mengiakan permintaan Nommis. Nommis dibuat menghela napas dan dia bangkit dari pembaringannya di lantai. Chrysan bisa mendengar langkah kaki Nommis yang menuju dapur dan kembali dengan satu tangan yang memegang wadah berisi air hangat. Nommis membuka lemari pakaiannya dan mengambil sehelai kain kecil yang cukup dan cocok untuk dijadikan kain untuk ditaruh di kening ketika demam datang. Nommis menghampiri Chrysan dan berjongkok di samping tempat tidur. Mereka berdua hanya diam seribu bahasa. Hanya ada Nommis yang membasuh dan menyeka wajah penuh air mata Chrysan dan Chrysan yang hanya menurut diperlakukan demikian.
“Apa sudah terasa lebih nyaman?”
“Iya, terima kasih. Kurasa air hangatnya membuat mataku menjadi berat.”
Nommis tak sadar kalau dia sudah mencodongkan tubuhnya dan ia mengecup dahi Chrysan yang sempat tertutup oleh anak-anak rambut yang menghalangi. Selesai melakukannya Nommis menjauhkan badannya dan kembali menatap Chrysan. Melihat wajah Chrysan yang kembali memerah Nommis ingin cepat mengucapkan kata maaf, tapi Chrysan sudah lebih dulu mencegahnya.
“Tak apa,” dengan perasaan hati yang senang dan lega Chrysan menguatkan diri dan berhasil mencapai puncuk kepala Nommis serta mengelusnya penuh kasih, “kalau boleh jujur, rasanya aku seperti diperhatikan oleh ayahku sendiri. Maafkan aku. Meski umurku lebih dekat berubah menjadi kepala tiga, aku sangat rindu diperhatikan oleh orang tuaku. Aku rindu mereka, tapi terima kasih kuucapkan padamu. Kalau bukan karena jasa seorang penyihir besar sepertimu, entah akan berakhir jadi apa aku nantinya.”
Nommis juga sama-sama tidak menyadari akan tangan kanan Chrysan yang mengelus kepalanya, tapi ia bisa tahu bahwa ia sekarang merasa nyaman setelah sekian beratus-ratus tahun lamanya tak merasakan kenyamanan semacam ini. Nommis hanya mengangguk menanggapi perkataan Chrysan dan keduanya kembali terdiam entah karena sama-sama tidak tahu hendak berbicara apa atau hanya ingin sekadar menikmati momen yang ada sekarang lebih lama. Tak lama kemudian Chrysan bertanya tentang suatu hal yang tak pernah terpikirkan oleh Nommis akan ditanyakan oleh Chrysan.
“Berbicara tentang orang tua, apa boleh kutebak kalau kau sudah tahu rasanya menjadi orang tua, Nommis? Secara kau sudah hidup beratus-ratus tahun lamanya.”
“Tentu pernah, tapi hanya seorang putra. Ia mirip ibunya yang merupakan istri pertamaku, tapi takdir berkata lain. Ia hanya hidup sampai umur 10 tahun karena sakit keras. Aku yang dulu masih menjadi penyihir baru tak bisa apa-apa untuk mengembalikan dia ke dunia, atau setidaknya ke dalam pelukan ibunya.”
Nommis baru menyadari bahwa ia telah bercerita sesuatu yang seharusnya tidak untuk diceritakan pada orang sakit keras menjelang waktu tidur seperti Chrysan. Namun, melihat wajah terkejut sekaligus penasaran Chrysan yang termangu-mangu dan menunggu Nommis melanjutkan ceritanya, akhirnya ia membuka sedikit dari rahasia pribadi akan hidupnya.
“Dari kejadian itu, meski aku tahu bahwa istri pertamaku begitu hancur setelah kematian putra kami, dia tidak terlalu kupedulikan karena aku menyibukkan diri dengan mempelajari sihir. Suatu hari kutemukan ia menggantung diri di halaman belakang rumah lama kami.”
Cukup lama Nommis memberi jeda karena sebenarnya ia memberi ruang untuk Chrysan mencerna dan mungkin bertanya sesuatu.
“Kau tak apa-apa? Apa yang kau rasakan saat itu?”
Nommis sedikit kaget mendengar pertanyaan yang Chrysan lontarkan padanya. Biasanya orang-orang akan menanyakan ‘Apa kau tidak merasakan apa-apa?’ padanya dengan nada merendahkan seakan-akan Nommis benar-benar tidak memedulikan keadaan istri pertamanya dulu. Padahal dengan sekuat tenaga sembari menyita pikiran, tenaga, waktu, dan terlebih perhatian pada istrinya ia kerahkan semuanya untuk mempelajari sihir gelap yang dapat membawa orang dari kematian kembali pada kehidupan.
“Dari sekian ratus penanya yang menanyakan hal sama denganmu, aku sering menjawab ‘tidak ada’ atau ‘kosong’. Sejujurnya, jika dipikir-pikir waktu itu aku acuh dengan yang namanya emosi- lebih tepatnya, aku menolak untuk merasakan emosi agar aku tidak terlihat lemah atau jatuh terlalu larut dalamnya…”
“Lalu apa yang kau lakukan setelah semua itu?”
“Tak lebih dari sekadar mengisi hariku dengan mempelajari sihir dan mantra-mantra. Selain untuk mengisi hari, sebenarnya itu kulakukan untuk mengalihkan perhatianku dari kematian keluarga kecilku. Syukurlah seiring berjalannya waktu aku dapat menerima kepergian mereka dan kemampuan sihirku bisa menjadi seperti sekarang.”
“Baiklah, tadi kau bilang kau punya istri pertama, berarti setelah beliau ada istri-istrimu yang lain?”
“Ada total enam perempuan yang kunikahi semasa hidupku. Bukan berarti aku mengambil mereka menjadi istriku di waktu yang bersamaan. Mereka terlahir dan berpulang di era-era yang berbeda. Itu semua sudah terjadi beratus-ratus tahun yang lalu, dan sampai sekarang aku memilih untuk hanya fokus dengan apa yang kukerjakan sekarang.”
“Apa itu berarti keturunanmu sekarang ada di mana-mana dan tak terhingga jumlahnya?”
“Soal itu… kepada istri kedua dan seterusnya aku berbohong bahwa aku seorang pria yang impoten. Setelah hal yang menimpa keluarga kecil pertamaku, kuputuskan untuk tidak mempunyai keturunan dan beruntung mereka mau menerima aku yang sudah berbohong ini pada mereka. Seingatku, istri keempat dan keenam begitu antusias untuk punya anak. Namun, keinginan mereka terhalang olehku. Pengecualian untuk mereka berdua adalah kusarankan agar kami mengadopsi anak dan keturunan dari anak-anak itu ada di jaman ini. Kembali mengenai keturunanku tadi, aku pikir aku sudah merasakan rasanya suka dan duka menjadi orang tua, jadi tidak ada alasan khusus bagiku untuk mempunyai keturunan.”
Bohong.
Chrysan dan Nommis masih berbicara satu sama lain, tapi dari tempatnya Marry bisa melihat seperti menerawang ke masa lalu bahwa istri kedua Nommis dan seterusnya itu mati karena mengakhiri hidup mereka sendiri. Alasannya? Nommis terlalu terpaku pada sihir dan segala macam yang berkaitan dengan hal itu, membuat istri-istrinya merasa terabaikan. Pada masa itu, adalah lebih baik bagi seorang istri untuk menghilang dari keramaian daripada masyarakat tahu bahwa suami mereka tak pernah menyentuh mereka dan melahirkan keturunan. Sungguh jaman yang ironis dan kejam. Juga, Marry tak pernah menyangka ada lebih banyak dari bagian bawah gunung es yang bisa dilihat dalam kehidupan seorang penyihir besar bernama Nommisatrix Cruxiaz. Sekarang, anehnya perasaan bersalah Nommis itu juga bisa dirasakan oleh Marry seakan-akan dirinya sendiri juga pernah melakukan kesalahan tersebut. Ia baru tersadar dan kembali mengalihkan perhatiannya pada kedua orang yang ada di luar. Ternyata keduanya pergi tidur di tempat masing-masing setelah keduanya merasa lega membicarakan hal yang membuat hati masing-masing insan itu janggal.
***
Di tempatnya berdiri sekarang Nommis menatap tajam dan membuat Chrysan bergidik menundukkan kepalanya tak mampu melihat wajah kesal yang dibingkai oleh rambut panjang perak berkilau itu. Chrysan benar-benar diam tak berkutik dan tak menggerakkan badannya saking takutnya, padahal sebelum melakukan hal tadi pun ia sudah tahu akan risikonya dan inilah dia akibatnya. Tanpa Chrysan sadari, raut wajah Nommis yang awet muda itu telah berubah dan sang penyihir besar berlalu dari ruangan utama dan pergi menuju ruang tidur yang bersambung dengan ambang pintu utama.
Chrysan sedikit terlonjak karena merasa selimut ditaruh di badannya dan ia cepat mendongak untuk mengucapkan terima kasih yang hanya dibalas anggukan oleh Nommis. Namun masih dengan suasana yang tegang di antara keduanya, mereka pun saling terdiam; Chrysan yang kembali menunduk dan Nommis yang memangku wajahnya dan mengetukkan jari telunjuknya di atas meja ruang utama.
“Aku yakin tidaklah susah bagimu untuk menuruti permintaanku beristirahat dan tidak melakukan hal-hal yang berat. Apa yang akan kau lakukan kalau tadi aku tidak kebetulan mampir ke toko bibi penjual pai labu itu? Apa kau berniat untuk terus membantu beliau sampai petang tiba tanpa memikirkan kondisi tubuhmu padahal bibi itu tahu tubuhmu masih belum mampu menahannya?”
Di luar dugaan, Chrysan yang dimarahi oleh Nommis seolah-olah kembali ke masa lalu di mana dirinya yang melakukan kesalahan akan dimarahi dan dinasihati oleh ibunya. Senyum kecil yang ia sunggingkan disadari dan membuat Nommis keheranan.
“Apa ada yang lucu dari perkataanku barusan?”
“Tidak! Bukan begitu, Nommis… Hanya saja, aku tidak menduga bahwa aku yang dimarahi olehmu sekarang malah teringat dengan sosok ibuku. Kalau boleh jujur, kau terdengar seperti seorang ibu yang memarahi anaknya- maaf!”
Di tempat duduknya Nommis hanya terdiam dan terkejut meski keterkejutan itu cepat ditutupinya dengan berusaha bersikap seperti biasa.
“Baik, Chrysan, apa kesalahan yang pertama ini akan membuatmu jera? Bukankah seharusnya ada yang kau katakan di saat kau membuat kesalahan pada seseorang?”
Chrysan terdiam sebentar dan ia bangkit dari duduknya. Baik Chrysan maupun Nommis sama-sama dibuat terperangah dengan cara berjalan Chrysan yang sudah lebih baik dari sebelumnya. Kalau dulu Chrysan dibuat tertatih-tatih sambil meringis sakit, kini Nommis bisa melihat diri Chrysan yang baru. Sebelum perempuan itu menghilang di balik daun pintu aula yang menuju dapur, Nommis dibuat tersenyum dengan fakta bahwa Chrysan terlihat sangat gembira karena ia sudah mulai bisa berjalan dengan normal. Tak lama kemudian, Chrysan kembali dan terlihat membawakan suatu kotak wadah yang Nommis kenal betul apa itu.
“Apa sesuatu yang kau bawa itu sama dengan apa yang ada di pikiranku?”
“Bibi itu sudah memberitahu bahwa kau kenal betul dengan segala hal tentang toko milik beliau, termasuk kotak pembungkus pai labunya.”
Dengan hati-hati Chrysan meletakkan kotak itu di meja dan Nommis menyingkirkan beberapa barang agar cukup untuk tempatnya.
“Hanya saja, yang satu ini buatanku…”
“Kau membuat kotak?”
“Bukan, Nommis. Aku membuat pai labu ini, dan tentu saja dengan bantuan bibi yang baik hati itu. Bibi juga memuji bahwa aku pelajar yang cepat. Mungkin, kupikir. Setidaknya dalam memanggang pai labu.”
“Apa ini sogokan agar aku memaafkanmu?”
Nyali Chrysan yang kembali menciut itu terlihat di air mukanya yang kembali muram meski sebenarnya Nommis hanya berniat bercanda karena ia benar-benar khawatir akan perempuan itu tadinya. Tak perlu waktu lama, syukurlah Chrysan kembali berbicara.
“Maafkan ‘anak kecil’ yang tak tahu diuntung ini, tuan. Hanya saja, sebagai sesama manusia adalah wajar bagiku untuk tetap merasa tidak enak karena belum bisa membalas kebaikan hatimu. Dari percakapan penduduk yang juga datang berobat kepadamu kemarin kudengar tuan sangat menyukai pai labu, makanya saat tuan sudah keluar untuk melakukan kegiatan tadi aku juga bergegas menyiapkan diri dan pergi mencari toko pai labu yang dimaksud.”
Sesudah menjelaskan panjang lebar, Chrysan memberanikan diri melirik wajah Nommis. Melihat Nommis yang diam saja, akhirnya ia kembali menjelaskan.
“Aku mengenalkan diri dan memberitahu beliau tentang keadaanku yang dirawat olehmu. Syukurlah beliau paham dengan keinginanku untuk membalas budi meski perkataanmu tadi benar mengenai beliau yang sempat sangat khawatir dengan keadaan asliku, tapi akhirnya bisa kuyakinkan beliau untuk mengajariku cara membuat pai labu. Pai labu ini terus dihangatkan agar ketika kubawa pulang tuan masih bisa menyantapnya dengan perasaan yang hangat dan mengapresiasi lebih terhadap makanan kesukaan tuan ini-“
“Baik. Chrysan, sudah kukatakan supaya kau bisa memanggil namaku saja, bukan? Sudahlah, aku terima permintaan maafmu, tapi aku mau kau tetap menjaga dirimu baik-baik selagi aku tidak ada di sampingmu. Duduklah di sini, akan kuambilkan pisau dan piring agar kita berdua bisa menikmati pai labunya sebelum dingin.” Nommis akui dalam hatinya ia tak nyaman mendengar Chrysan yang menyebutnya dengan kata ‘tuan’. Chrysan pun duduk manis menunggu Nommis dan keduanya mulai menyuap suapan pertama potongan pai labu masing-masing.
“Jadi, apa ada yang menarik dari buku yang kau baca kemarin?” Entah mengapa Nommis merasa ingin mendengar perempuan di depannya berbicara mengenai dirinya, dan pertanyaan yang barusan dilontarkan oleh Nommis adalah pembuka agar Nommis bisa tahu lebih dalam mengenai Chrysan. Nommis juga tak bisa berhenti tersenyum mengingat bahwa kemarin malam syukurlah Chrysan bisa tertidur nyenyak sehabis meminum ramuan yang ia buat dan kakinya bisa digunakan dengan normal.
“Karena kau bertanya, tuan- Nommis, apa kau berpikir untuk punya murid?”
“Ya?”
“Kau tahu? Dari judul buku itu saja aku tertarik dengan elemen es yang disebut-sebut baru itu. Kalau suatu hari nanti aku sembuh… Nommis, aku ingin mengabdikan diri padamu dan belajar mengenai sihir dengan elemen es darimu. Apa boleh?”
Agak lama terdiam dan Chrysan dibuat harap-harap cemas menunggu jawaban yang datang dari mulut Nommis.
“Bukannya tidak boleh, tapi kalau ingin keinginanmu itu terwujud, maka dirimu sendiri harus membuat peluang besar agar kau bisa cepat baikan tanpa kekurangan suatu apapun. Akan butuh waktu lama, tapi sebagai imbalan kau mau menuruti perkataanku kau akan kuajari ilmu-ilmu yang kuketahui. Apa itu bisa dipahami?”
“Ya! Aku mau! Mohon bantuanmu, tuan Nommis!”
“Hei-“
“Hahahaha! Maaf, maksudku, Nommis!”
***
“Nommis, kumohon! Tak apa kalau kau tidak menginginkan seorang kekasih, tapi setidaknya terimalah perasaanku! Kukira aku dan kau saling punya perasaan terhadap satu sama lain?!”
“Chrysan, menerima perasaanmu berarti sama saja dengan memberimu harapan dan aku tidak mau hal itu terjadi. Sesduah memberimu harapan kau pasti akan menuntut yang lebih meski kau tahu aku yang sekarang sudah tidak tertarik dengan segala hal tentang perempuan.”
“Nommis-“
“Sepertinya kau sudah sembuh total melihat dirimu bisa menyusulku dengan cepat sampai ke sini. Chrysan, pulanglah ke kediamanmu.”
“Apa-“
“Kau tidak dengar? Pulanglah ke kediamanmu!”
Nommis benar-benar seperti mengusirnya dari sini tanpa ucapan perpisahan yang lebih layak, ucapan perpisahan yang tidak selamanya membuat mereka tidak bisa bertemu atau suatu saat akan membuat mereka canggung untuk bertemu satu sama lain jika mereka berdua bahkan bisa bertemu. Air mata Chrysan yang sempat tertunda untuk jatuh kini akhirnya menetes sembari ia mengangkut pulang barang bawaannya.
Apa-apaan ini?
Padahal Marry sendiri melihat dan bisa merasa bahwa Nommisatrix juga menyukai Chrysan. Apa nafsu duniawi yang ada di daging manusianya itu telah membutakannya dan beranggapan bahwa jikalau ia mengambil Chrysan sebagai istri pun nantinya perempuan itu akan merasa diabaikan dan berakhir bunuh diri? Padahal Nommisatrix sendiri bisa melihat kegigihan si perempuan itu dan mau berjuang hidup dengan bantuan dari Nommisatrix. Masalah di sini ada pada rasa keraguan Nommisatrix terhadap dirinya sendiri bahwa ia tak akan bisa menjaga Chrysan juga seperti istri-istri terdahulunya di ratusan tahun yang lalu.
Berbulan-bulan hampir berlalu semenjak itu, musim panas sudah dimulai dua minggu lebih dan itu artinya ulang tahun Chrysan akan segera tiba. Dengan tekad yang sudah dibulatkan, Nommis berniat menemui Chrysan di kediamannya dan meminta maaf. Ia tak pernah semarah itu terhadap perempuan dan baru kali itu dia melepasnya di hadapan Chrysan. Mungkin karena itu jugalah Nommisatrix tak pernah berpikiran untuk mengambil seorang istri lagi mengingat di jaman sekarang ada hal yang lebih menguras perhatian dan nafsu duniawinya sebagai manusia.
Dahulu waktu sebelum mereka tak pernah bertemu satu sama lain, Chrysan bercerita banyak tentang dirinya dan dalam kurun waktu itu pula kemampuan memanggang pai labunya semakin terasah dan Nommis bisa makan pai labu rumahan buatan Chrysan karena ia sering menyempatkan diri untuk membeli bahan bahkan membeli peralatan memasak yang baru untuk memudahkan Chrysan memanggang pai labu buatannya. Nommis mengingat-ingat salah satu percakapan mereka tentang kediaman Chrysan yang agak jauh dari pemukiman penduduk. Tak ada alasan khusus mengapa Chrysan tinggal di kediaman yang terkesan terkucil. Banyak dari penduduk hanya memutuskan untuk berpindah kediaman di dekat toko dan kedai pasaran agar tak perlu jauh-jauh mereka menapakkan kaki mencari kebutuhan sehari-hari. Nommis sesekali berhenti di tengah perjalanannya untuk menanyai kediaman seorang perempuan bernama Chrysan. Sembari para penduduk memberi salam pada sang penyihir besar, beberapa dari antara mereka mengaku hampir dua minggu lebih ini mereka tak melihat Chrysan pergi ke pasar untuk membeli kebutuhan seperti yang dilakukannya sehari-hari. Salah satu perempuan paruh baya medekati Nommis dan menitipkan sesuatu padanya agar diberi untuk Chrysan. Dari situ, Nommis baru tahu bahwa Chrysan menyukai makanan apapun yang berasa stroberi. Sesuai petunjuk dari para penduduk, ia berjalan kembali dan akhirnya menemukan di mana kediaman Chrysan berada. Letaknya memang terkucilkan seperti kata penduduk, tapi perempuan itu memang lebih memilih untuk terus mengenang kedua orang tuanya dengan tinggal di rumah peninggalan mereka.
Nommis heran bukan main saat melihat beberapa wadah berisi ramuannya hanya diletakkan di depan kediaman Chrysan dan tak tersentuh sama sekali. Nommis tahu bahwa isi dari ramuan itu sudah tidak layak diminum yang berarti bahwa memang Chrysan tak menyentuhnya sama sekali dan membiarkan kurir menaruh mereka di teras kediaman ini. Ia memberanikan diri untuk mengetuk pintu dan samapi di ketukan ketiga pun ia tak mendapatkan jawaban. Apa sang tuan rumah sedang tidur? Tapi hari baru saja dimulai.
Nommis meletakkan barang bawaannya di atas dipan teras kediaman Chrysan dan mencoba membuka pintu. Tak terkunci! Kalau terkunci, barulah Nommis menerima fakta bahwa mungkin sang tuan rumah sedang bepergian ke suatu tempat atau dia masih tertidur dan kunci pintu masih pada tempatnya sedari malam sebelum perempuan itu pergi tidur. Ia masuk dengan hati-hati bermaksud tak mengagetkan si pemilik kediaman dan memanggil nama Chrysan. Tempat ini juga gelap karena jendela-jendela tak dibuka dan tak ada penerangan yang dinyalakan di dalamnya. Nommis memeriksa seluruh ruangan dan tinggal memasuki ruangan yang sepertinya dijadikan kamar sang perempuan.
Gelap. Itu yang terlintas pertama kali di pikiran Nommis. Nommis menghembuskan napas dan entah mengapa ia merasa banyak debu bertebaran di kediaman ini yang masuk menusuk penciumannya. Ia membaca mantra dan cahaya dari api yang dipancarkan tongkatnya seketika menerangi ruangan tempat ia berpijak. Kalau bukan karena keadaan buruk suatu area di antara area barang-barang Chrysan yang masih tertutup rapi, Nommis tak akan tahu ada yang berbaring di pembaringan dalam kamar itu. Nommis langsung tahu kalau itu adalah Chrysan dari rambut panjang yang ia kepang membuat ujung dari rambutnya sedikit menjuntai keluar dari tempat tidur. Namun, kesadaran Nommis seperti memberi peringatan padanya karena dari jarak tempat ia berdiri dan mengamati Chrysan, tubuh perempuan itu tak bergerak teratur layaknya orang yang lelap dalam tidunya.
“Chrysan,” satu kali dipanggilnya nama Chrysan agar dirinya sendiri yakin bahwa nama yang ia beri sendiri pada perempuan itu membuatnya terbangun dari tidur dan memeluknya penuh rindu, “Chrysan, ini aku,” dua kali dipanggilnya seraya ia menegaskan bahwa benar ia, Nommisatrix Cruxiaz, yang sedang memanggil namanya sekarang. Namun, Nommis mengurungkan niatnya yang hendak memanggil nama Chrysan untuk yang ketiga kalinya karena jauh sebelum dirinya sendiri sadar dengan apa yang ia lihat, ia tahu Chrysan telah tiada di dunia ini. Setelahnya, barulah Nommis menyadari bahwa hatinya berlubang. Kini, ia tak tahu apa yang akan dilakukannya dengan benih cinta tanpa sang penyiramnya.
Belum sempat Marry mencerna rasa keterkejutannya, jiwanya serasa ditarik keluar dari tubuh Nommis. Ia dibawa terbang meluncur melihat begitu lesatnya berbagai peristiwa dari jaman ke jaman Nommisatrix menjalani sisa hidupnya lewat di depan matanya dan suatu hari ia mengakhiri hidupnya sendiri dengan meminum ramuan berwarna lavender terang yang senada dengan indahnya warna iris bola mata mendiang Chrysan. Lalu, suatu cahaya putih yang terang benderang mau tak mau membuatnya harus menutup kedua mata karena sangat menyilaukan dan ia masuk ditelan oleh cahaya itu.
“Apa tontonan tadi menarik? Apa kau juga memperhatikan waktu yang berputar dan terus berjalan selagi kau menikmatinya?”
“Max?!”
“Ya, ini aku.”
“Itu tadi benar-benar sang penyihir besar yang kita kenal dengan namanya yang tak kalah besar? Nommisatrix Cruxiaz?!”
“Ya, dan berbicara tentang dia, apa kau sekarang sudah ingat rasa bersalahmu itu?”
“Apa maksudmu?”
“Apa kau tidak merasakan apa yang Nommisatrix Cruxiaz rasakan ketika kau kau berada di sana menyaksikan segala cerita yang tak pernah tertulis dalam sejarah dunia sihir?”
“Maksudmu, kisah percintaan milik beliau? Fakta perempuan itu mati mengenaskan? Atau fakta karena rasa bersalah pada perempuan itu akhirnya membuat sang penyihir besar pada akhirnya membunuh dirinya sendiri? Tentu aku jadi tersentuh dan terkejut karena mereka tak-“
“Marry, Nommisatrix Cruxiaz itu adalah kau sendiri.”
“Ap-“
“Dan biar kuperkenalkan diriku dengan cara yang lebih resmi; Marry, dengan segala penuh kehormatan aku, sang dewa kelahiran dan kehidupan yang diberi nama Carlius oleh Tuhan, menemuimu kembali di kehidupan yang kali ini untuk menagih dan memenuhi janji di antara masing-masing kita berdua.”
Karena melihat Marry hendak protes bahwa dirinya sedang tidak serius dan hanya bermain-main, Carlius memberi sedikit penglihatan pada Marry yang membuat sekujur tubuhnya bergidik hebat karena tak tahan terpancar oleh sinar kemuliaan makhluk Tuhan yang ada di dimensi tinggi selain dimensi yang ditempati oleh manusia.
“Tunggu, sebelum aku bertanya lebih lanjut tentang siapa dirimu sebenarnya, boleh aku meminta jawaban atas pertanyaan sebelumnya?”
“Maksudmu konfirmasi lebih lanjut? Ya. Kau adalah Nommisatrix itu sendiri. Kau bukan hanya merasa iba pada perempuan itu atau sekadar terhanyut karena emosi Nommisatrix, tapi juga kau merasa ‘satu’ dengan Nommisatrix, bukan begitu?”
Kalau benar yang ada di hadapannya ini adalah seorang dewa, Marry tak punya alasan untuk berbohong dan sebaiknya berkata jujur pada dewa Carlius. Setelah semua itu, Marry masih tak mengerti dan bertanya lebih lanjut mengenai dirinya.
“Tapi, bagaimana bisa, dewa?”
“Carlius saja, tak apa.”
“Baik, Carlius…”
“Mimpi sama yang terus mendatangimu setiap hari selama windu penuh itu adalah petunjuk dari esensi jiwamu sendiri. Apa kau masih ingat namanya? Cahaya pendar itu?”
“Maksudmu Simmon?”
“Kalau kau coba baca nama itu dari belakang, apa yang kau dapat?”
“N, O, M, M, I, S. Nommis… Nommis!”