Hujan menghantarkan dingin, melurubi perasaan patah hati. Sepasang iris cokelat gelap memandang ke arah zebra cross , di mana hanya ada genangan marun di sana, pekat mewarnai garis-garis putih. Gemuruh dari mulut langit juga muntahan perut langit menenggelamkan seluruh jiwanya.
Tubuh kurus kering dengan rambut jagung yang kuyup jatuh terbanting ke sisi jalanan ketika kakinya benar-benar tak mampu merasakan permukaan bumi lagi.
Sementara itu, lalu lalang jalanan di jam enam sore ini begitu kacau. Ambulance, mobil petugas keamanan juga orang-orang yang sibuk mengabadikan gambar dan video menambah rasa patah hati semakin menghancurkan jiwanya yang memang sudah tenggelam seutuhnya.
Netra dengan iris cokelat gelap itu menitikan air di matanya. Terpejam begitu erat ketika detak jantungnya semakin lemah ia mengalirkan udara dan darah dalam tubuh.
—Jika reinkarnasi itu ada, aku akan menjadi satu-satunya manusia yang membenci keindahan langit. Pengkhianat yang selalu membuat onar! Persetan dengan indahnya selalu berakhir menjadi badai. Persetan dengan yang selalu memberi harapan palsu. Tanpa ppelangi, katanya tiba sehabis hujan mereda—