Segelas kopi hitam tersaji di atas tikar pandan. Seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun duduk manyun menghadap ke arah pria paruh baya yang duduk mengipasi dirinya yang kuyup dengan keringat. Terlihat kaos kutangannya pun basah.
“Ayah, kenapa aku diberi nama Sastrawisama Purnama? Kata teman-teman di kelas namanya tua sekali!” protesnya. Anak laki-laki dengan manik mata cokelat gelap nan bulat itu menatap tajam.
“Tanya Ibu coba?” jawab pria paruh baya itu sebelum menyesap bibir gelas kopinya.
“Ah … jawabannya selalu seperti itu!” protesnya lagi. “Anak-anak jaman sekarang namanya bagus-bagus tau, Yah! Teman Sastra namanya Alexander, Dimas, Rangga, Bintang, Dirgantara, Gibran dan lainnya. Masa aku namanya Sastrawisama? Aku selalu diolok-olok mereka, katanya hei karya sastra, karya sastra, begitu terus.”
Pria paruh baya itu tertawa renyah. “Karena Sastra adalah narasi yang Ayah dialogkan pada Ibu. Sastra juga narasi yang Ayah ceritakan pada Tuhan. Monolog tentang rindu, senandika tentang keinginan dan harapan memeluk Ibu selamanya. Dan Sastra juga balasan dari setiap narasi, dialog, monolog dan semua senandika rindu Ibu yang Tuhan berikan pada Ayah sebagai jawab. Sastra adalah mahakarya Tuhan yang tercipta di antara rasa cinta Ayah dan kelembutan Ibu menerima cintanya Ayah. Seindah itu Sastra untuk Ayah dan Ibu. Jadi, kalau kamu keberatan dengan nama itu … kamu tau jawabannya sendiri.”
Sastrawisama Purnama, anak laki-laki itu memandang sang ayah dan sang ibu yang baru saja duduk di teras sambil membawa nampan berisi piring nasi dan lauk pauk.
“Sastra lebih dari sekadar bahasa yang lembut yang pernah Ayah ucapakan. Sastra itu bahasa rindu yang selalu Ibu ingin dengar dari Ayah. Jadi, Sastra adalah segalanya bagi kami.”
Sastra menolehkan kepalanya ke lain arah. Ia tak bisa menyembunyikan rasa haru dan senang dalam hatinya. Sebesar itu pelangi yang kedua orang tuanya simpan di balik namanya yang selalu diolok-olok oleh anak-anak di sekolah. Sastra tersenyum kecil. “Terima kasih karena telah memberikan aku nama yang indah,” kata Sastra.
Purnama, nama ayah anak laki-laki itu, sedang Kinanti, nama ibunya. Sastra, bukan anak dari pasangan kaya raya, hanya anak supir truk pengangkut semen atau perlengkapan bangun rumah. Ibunya hanya pengerajin tapestri kecil-kecilan.
“Oh iya, bagaimana tugasmu, tugas karena tidak itu pelajaran olahraga? Apa tidak ada renang susulan, Sastra?” tanya Purnama dengan senyuman kecil.
“Nggak ada, Ayah. Tapi, tugas membuat papan karambol dari barang bekasnya udah beres, kok. Tinggal diwarnai aja bagian kardusnya.” Sastra mulai menikmati masakan sang ibu dengan lahap.
“Emm, baguslah. Nanti kalau ada renang lagi, Ayah usahakan kamu ikut. Kemarin Ayah benar-benar sedang tidak ada uang karena baru bayar kontrakan. Tidak apa, ‘kan?” Purnama tersenyum lagi masih serupa.
“Nggak apa, aku juga nggak mau pergi karena kemarin adalah hari ulang tahunku. Mereka pasti berpikiran menceburkan aku ke kolam,” kata Sastra tersenyum ngilu, “lebih parah mungkin minta traktiran.”
Kinanti membelai lembut kepala Sastra, terlihat anak itu menikmati santapan siangnya dengan lahap. “Oh iya, Sastra, sebentar lagi kamu akan masuk SMP, sudah ada gambaran kamu ke SMP mana?” tanya Kinanti.
“Masih lama, Bu. Kan, aku masih kelas empat SD,” jawab Sastra nyengir kuda.
“Dua tahun itu tidak lama, lho!” Kinanti berucap dengan bibir agaknya manyun. “Nanti tau-tau sudah kelas enam lagi.”
“Ke SMP-nya Mas Bara anaknya Pak RW. Di sekolahnya, katanya banyak ekskul keren. Tim basketnya pernah ikut turnamen tingkat nasional untuk U-13 sampai U-15. Aku, kan, suka basket!” seru Sastra sampai beberapa butir nasi di mulutnya terbang.
“Kamu harus jadi anak pintar kalau mau sekolah di sana. Mengandalkan penghasilan Ayah saja tidak cukup. Kamu harus bantu Ibu dengan segelintir prestasi yang kamu miliki,” timbrung Purnama sambil tersenyum penuh kasih.
“Apa Ayah meragukan aku? Sejak kelas 1 aku udah rangking kesatu terus, lho!” ujar Sastra dengan tatapan sombong. Dada anak laki-laki itu pun terlihat membusung congkak.
“Ayah selalu percaya padamu! Bahkan ketika nanti Ayah menua, Ayah akan percayakan Ibu padamu! Ayah juga akan mempercayakan sisa hidup Ayah dan Ibu padamu, Jagoan!”
Wajah Sastra memerah dengan kedua manik mata berkaca-kaca.
“Selesaikan makanmu, setelah itu kamu boleh main ke rumah Dimas sekalian mengerjakan PR.” Kinanti menambahkan lauk di piring Sastra.
*****
Hujan menenggelamkan kota Jogjakarta, sebuah galeri pribadi membuat mata Sastra terpana. Tempat dengan ornamen kayu dan masih otentik ala-ala Jogja tempo dulu itu membuatnya tenggelam dalam rasa kagum.
“Hei, sedang apa di situ! Jangan hujan-hujanan, hei, besok hari Senin!” ujar seorang laki-laki yang muncul di balik jendela kayu dengan gorden cokelat di antaranya.
Sastra celingukan, ia mendapati sepasang manik mata sehitam belanga memandangnya dengan begitu gusar. Sastra hendak berjalan menjauhi tempat itu, tetapi laki-laki itu justru kaluar dari galeri sambil membawa payung.
“Bocah ingusan malah hujan-hujanan. Rumahmu di mana?” tanya laki-laki itu menatap cermat.
Aroma teh menciptakan nuansa lain di sekitaran Sastra. Anak laki-laki itu memandang ke arahnya sambil tersenyum. “Parfum Mas rasa teh, yo? Sedep banget aromanya!” lontar Sastra membuat laki-laki itu seketika menciumi dirinya sendiri.
“Apa iya?”
“Iya, aromatik.”
“Aku hanya seorang mahasiswa yang bekerja paruh waktu membungkus teh untuk dipasarkan keseluruh angkringan di Jogja.”
“Teh apa, Mas? Ibuku suka teh, lho. Siapa tau tehnya pernah ibuku seduh,” kata Sastra dengan senyuman manis.
Laki-laki itu seketika mendaratkan tangannya di pusat kepala Sastra. Ia pun mengajak Sastra berkunjung ke tempatnya. Awalnya Sastra menolak, tetapi perasaan jatuh cinta pada galeri di depan matanya benar-benar menghipnotis. Alhasil, Sastra pun singgah dengan harapan ia akan mendapatkan segelas teh hangat pakai gula yang disajikan dengan kue ataupun camilan.
Beragam lukisan menghiasi dinding yang masih begitu otentik kayu, juga bata merah yang disusun rapi. Atapnya pun dihiasi palang-palang kayu yang dipadankan dengan bambu berwarna hitam. Aroma daun teh kering menyeruduk indera penciuman Sastra.
“Oh iya, kita belum kenalan. Siapa namamu, Le?”
“Sastra, Mas. Nama Mas siapa? Kuliah di mana? Di kampus seni Jogja, kah? Banyak sekali lukisan di rumah Mas.”
“Ini bukan rumah Mas. Cuma tempat kakek buyutnya Mas. Ini apa, ya, galeri barangkali. Dulu kakek buyut Mas senang melukis, dan dulu ini garasi, cuma disulap jadi galeri saat ia memutuskan untuk berhenti bekerja di departemen kehutanan Kota Jogjakarta.”
“Wah, keren. Kirain Mas juga seniman. Habisnya kucel gitu, rambut pun gondrong nggak keurus.”
Laki-laki itu tersenyum kecut. “Nama Mas … Wanayasa. Mas kuliah jurusan Teater, pekerjaan Mas di kampus biasanya sebagai penulis naskah, dan sutradara.”
“Mas Wana, tinggal sendiri?”
“Kamu nggak takut bicara pada orang asing? Diajak mampir lagi? Nggak takut dimutilasi? Banyak kasus, lho?“
Sastra menatap dengan tatapan kosong pada Wanayasa, sosok laki-laki dengan tubuh kurus, jangkung, rambut gondrong yang tergerai berantakan agak ikal, kulit wajah kucel seperti belum mandi tujuh turunan, dengan baju kaos oblong dengan gambar pudar juga cenala sontok yang bolong di bagian kanan sakunya.
Sastra, anak laki-laki bermata cokelat gelap, tubuh kurus, kulit wajah dan tubuh putih pucat, rambut jagung yang tampak lembab itu menatap lekat-lekat pada Wanayasa.
“Takut, cuma penasaran aja sama tempat ini. Setiap kali pulang dari rumah Dimas, selalu menarik perhatian. Kirain rumahnya eh galeri ini udah kosong nggak ada penghuninya. Ternyata ada.”
“Baru ada hari ini. Biasanya Mas nggak pulang dari kampus. Kebetulan uang habis, jadi bungkusin teh tubruk deh buat ke angkringan. Lumayan buat jajan.”
“Oh, begitu, ya? Kukira jadi orang dewasa akan selalu punya uang. Ternyata Ayah nggak sendirian,” monolog Sastra cekikikan.
“Jadi orang dewasa itu nggak menyenangkan. Tua belum berubah karena stres udah. Asal kamu tau jadi orang dewasa itu bisa bikin gila!”
“Tapi, aku nggak sabar mau cepat gede. Biar bisa gantikan Ayah kerja. Kasihan udah sering encok.”
Wanayasa tertawa terbahak-bahak mendengarkan ucapan Sastra. Anak itu bukan siapa-siapa dalam hidupnya. Bahkan baru berjumpa. Namun, ia merasa kalau-kalau Sastra telah membuat hatinya terasa hangat tanpa sebab.
“Sebentar lagi kamu akan menarik ucapanmu, Le.” Wanayasa mendesis. “Dulu aku juga gitu. Aku bilang Ibu dan Bapak kalau aku akan menghasilkan uang untuk mereka supaya mereka bisa duduk tenang. Taunya aku malah jadi mahasiswa lumutan.”
Wanayasa menatap tajam ke arah Sastra. “Auramu, manik mata itu mematikan, Sastra,” ucapnya tersenyum magis.
Sastra mengerutkan dahinya. “Aku pamit pulang! Tapi pasti aku akan main lagi!” kata Sastra terbirit-birit keluar dari galeri tersebut dengan perasaan tak karuan.