Kapal besar yang memuat puluhan ton beban bisa saja tenggelam di tengah samudera luas. Pesawat yang berisi puluhan penumpang bisa saja jatuh walaupun sudah di cek saat akan terbang. Kejadian tidak disangka-sangka selalu mengikuti manusia kemanapun mereka pergi. Rumah, jalanan, kantor serta tempat rekreasi sekali pun. Selalu ada dan akan ada kejadian di luar nalar.
Pepatah lama bilang jangan senang dulu kalau dapat uang banyak, bisa saja besok sudah ludes atau jangan senang dulu besok yakin akan berangkat, bisa saja ada topan besar yang memporak-porandakan jalanan. Membayangkan masa depan yang awalnya menjadi hal yang amat menyenangkan berubah menjadi suram. Takut. Kalau-kalau kejadian buruk memang betulan terjadi.
Rena selalu memegang teguh pendiriannya, ia tidak mau membayangkan akan benar-benar menikah dengan kekasihnya. Ia selalu memikirkan kejadian naas duluan di sela-sela melamun. Ia sama seperti manusia yang lain, takut kejadian yang tidak mengenakkan benar-benar kejadian. Berbeda dengan temannya yang setiap hari berimajinasi, menikah dengan idol kesukaan, walaupun tahu hal itu tidak akan pernah terjadi.
Tapi siapa sangka, kejadiaan naas malah menimpa dirinya, padahal ia yakin sekali kalau kejadian buruk jarang terjadi pada orang yang was-was duluan. Tepat pada hari anniversarynya yang 7, ia ditinggal pergi. Apartemen kekasihnya yang bernama Rey itu kosong. Rena sudah ratusan kali mencoba meneleponnya tapi panggilan itu tidak juga terhubung. Handphone pria itu mati total.
Sama halnya dengan rumah orang tua Rey, kosong. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di rumah lantai dua yang besar tersebut. Pria itu memang bilang kalau ingin melanjutkan pendidikan ke luar negeri, mengejar cita-citanya. Tapi Rena mencegahnya, ia tidak mau ditinggal pergi. Memaksa untuk melanjutkan kuliah di sini saja. Saat itu, Rey tidak menjawab, ia hanya mengangguk tipis. Rena kira semua sudah berakhir dan pria itu setuju untuk tidak pergi. Rupanya saat itu bukan anggukan setuju, tapi anggukan menyerah untuk debat.
Paper bag yang berisi kue cokelat mini yang lucu tersebut Rena buang begitu saja ke tempat sampah. Nafasnya tersengal, dadanya sesak. Ia ingin sekali berteriak sekencang-kencangnya, memaki-maki pria tersebut. Tapi ia hanya bisa menangis. Terduduk, gadis itu menenggelamkan kepalanya di antara kedua tangan yang terlipat. Ia menangis dan terus menangis. Mengeluarkan semua air mata yang tertahan sejak berada di apartemen tadi.
Pukul 23.35pm.
"Kau tidak papa?" Lyn yang saat itu baru datang langsung memandang kasihan sahabatnya. Ia menyodorkan sekotak tissue yang barusaja dibeli di toserba terdekat.
Rena tidak menjawab. Gadis itu memandang kosong ke arah jalanan. Suasana kafe tampak sepi, mungkin karena sudah hampir tengah malam.
"Untung kau tidak minum-minum ya. Bisa gawat kalau aku harus menggendongmu ke rumah."
Diam lagi. Rena sedang tidak punya tenaga untuk bicara. Ia tidak berselera melakukan apapun.
"Aku bisa menemanimu kalau kau butuh teman. Sebenarnya aku juga baru pertama kali melihatmu seperti ini, selama lima tahun kita berteman, baru kali ini aku melihatmu menangis. Memang sih, laki-laki seperti Rey adalah jenis laki-laki yang tidak boleh kau kencani seumur hidup. Dia sudah masuk blacklist. Harus kau hapus dia dari hatimu."
Rena menoleh dengan wajah sembab. Memandang datar Lyn.
"Ah! Benar. Pasti tidak mudah." Lyn menyodorkan tissuenya lebih dekat. Menyuruh menghapus air mata yang kembali turun.
Malam itu, mereka berdua menghabiskan malam lebih lama. Lyn mengajak menginap di rumahnya. Bisa gawat kalau ayah Rena tahu anak satu-satunya tersebut disakiti oleh laki-laki.
***
Rena membuka pintu berwarna biru tersebut. Kosong. Ia dengan pandangan yang masih buram sehabis bangun tidur langsung melangkah menuju dapur, mengambil segelas air putih lalu meneguknya pelan.
"Lyn," ucapnya pelan.
"Lyn? Dimana kau?" panggilnya. Gadis itu menuju kamar tamu satunya. Ia tidur berdua tadi malam tapi saat tadi membuka mata, sebelah kanannya kosong. Temannya itu pergi tanpa bilang-bilang.
"Dimana anak itu."
Rena terduduk di sofa ruang tengah. Kejadian semalam rasanya seperti mimpi. Ia bahkan belum bisa percaya kalau itu nyata. Termenung, Rena menyenderkan punggungnya, menatap langit-langit rumah. Air mata kembali turun, lama kelamaan semakin deras, terisak. Rena merubah posisinya menjadi duduk, ia kemudian mengambil tissue di atas meja, mengelap air mata yang terus turun.
"Kenapa tidak mau berhenti sih!" Rena membanting tissue bekas yang kucel. Ia menepuk dadanya yang semakin dirasa semakin sakit, sesak sekali.
Waktu terus berlalu, terhitung sudah seminggu lebih Rena merana dalam kesedihan. Lyn sudah melakukan berbagai cara untuk menghibur sahabatnya itu tapi kesedihan yang dialami Lyn sepertinya cukup besar. Apalagi Rey katanya adalah orang yang paling disayang nomor 2 setelah ayah Rena.
"Setidaknya makanlah sedikit." Ayah Rena mengetuk pintu kamar berkali-kali. Merasa tidak akan ada jawaban lagi, nampan yang berisi nasi dan lauk pauk diletakkan di depan pintu. Rutinitas baru setiap pagi, padahal ayahnya tersebut tidak begitu pandai memasak tapi ia terpaksa belajar sedikit demi sedikit demi anaknya.
Saat pertama kali melihat penampilan Rena, ayahnya terkejut bukan main. Beliau bahkan sampai mengeluarkan kata-kata sumpah serapah pada Rey yang sudah dianggap anaknya sendiri. Tapi semakin hari ia jadi paham kalau kemalangan bisa menimpa siapapun. Bahkan kepada putri satu-satunya yang baru pertama kali mengenal cinta.
Rena membuka pintu. Ia mengambil nampan itu dan membawanya masuk. Wajahnya semakin kelihatan gelap, rambutnya acak-acakan, ia memang belum mandi selama berhari-hari lamanya.
Gadis tersebut memperhatikan makanan untuk waktu lama, kemudian mengambil sesendok dan menyuapnya pelan. Butuh waktu lama untuk menghabiskan setengah mangkuk nasi. Merasa haus, ia meneguk air hingga habis. Sebenarnya ia tidak lapar tapi lebih kepada haus. Mungkin efek sedih berlarut-larut.
Suasana rumah sepi, Rena turun dari lantai atas. Ia menenteng tasnya. Gadis itu berniat pergi, ia sudah mandi dan penampilannya sudah agak mendingan.
Suasana jalanan tampak agak sunyi. Handphone gadis itu bergetar untuk yang kesekian kali, Rena mengabaikannya. Mungkin itu Lyn atau rekan kerjanya yang bertanya-tanya kenapa ia belum masuk kerja juga. Ia tidak punya mood untuk bicara, lebih tepatnya belum punya.
Brukkkk! Aw! Rena segera bangkit. Ia menabrak pria di persimpangan jalan.
"Maafkan aku." Gadis itu membungkuk sopan. Ia kemudian lanjut berjalan lagi tanpa melihat siapa yang tadi ditabrak.
"Tunggu."
Lengan gadis itu dipegang. Rena mengernyit, ia kemudian mendongak perlahan. Wajah pria tersebut terlihat. Garis rahang yang kuat, tatapan mata lembut dan hidung yang agak mancung. Mereka saling tatap selama beberapa detik.
"Kau menyakitiku," ucap Rena dengan nada suara pelan. Lengannya agak nyut-nyutan. Bukannya melepaskan tapi pria tersebut malah menggenggam telapak tangan Rena. Agak lama untuk mencerna apa yang sebenarnya terjadi.
"Apa-apaan kau!" Rena menepisnya. Ia segera mundur beberapa langkah.
Pria tersebut diam. Ia kemudian mendekat.
"Jangan dekat-dekat!"