Dear, Naufal
Aku tulis surat ini untuk mengutarakan perasaan yang mungkin sudah sering kamu dengar.
Aku tau kamu pasti bosan mendengar pengakuan cinta yang entah sudah berapa kali aku ungkapkan.
Tapi percayalah,
kamu adalah satu-satunya lelaki yang aku cintai dengan sedemikian rupa.
Hingga ku pastikan kelak akan ada
sebuah kisah bagaimana seorang Adira Thalita mencintai Naufal Aditya Saputra dengan tidak tau malunya.
Entah panggilan apa yang diam-diam kamu sematkan untukku
mungkinkah gila? Tidak waras? Ataukah si pengganggu?
Haha pasti sangat lucu karena aku punya nama spesial darimu.
Untuk itu aku ucapkan terima kasih.
Dear, Naufal
Sekarang aku tau kenapa kamu tidak pernah berbalik menatapku,
Itu karena kamu menyukai pelangi, Sedangkan aku hanya warna hitam putih yang berusaha menjadi pelangi.
Tapi aku tak secantik bintang dimalam hari.
Jika selama ini orang mengira aku adalah bulan,
yang selalu terlihat bersinar setiap harinya.
Kamu berhasil menyadarkanku bahwa ternyata aku hanya angin,
ada namun tak pernah dianggap keberadaannya.
Seharusnya dari awal aku sadar semua kisah tidak selalu berakhir bahagia.
Karena realitanya tidak semua hal yang kita mau selalu bisa kita dapatkan.
Aku terlalu denial mengenai fakta itu.
Tapi bolehkah aku egois?
Jika tuhan memang menakdirkan seorang wanita baik untukmu.
Bolehkah aku menjadi wanita itu?
Tidak papa, tidak usah buru-buru menjawabnya,
kamu masih punya banyak waktu untuk memikirkannya.
Tapi jika memang tidak bisa,
Mungkin bisa dikehidupan berikutnya?
Untuk sekarang bersyukurlah pada tuhan,
karena perempuan gila ini tidak akan mengganggumu lagi.
Tapi akan ku pastikan,
dikehidupan berikutnya aku yang akan menjadi takdirmu.
Terimakasih kak Naufal,
untuk waktu dan pelajaran yang kamu berikan padaku.
Jika kamu bertanya apa aku menyesal menyukaimu?
Maka jawabanku adalah tidak.
Aku tidak menyesal mengenalmu ataupun pernah mengejarmu.
Justu sebaliknya,
kamu akan selalu menjadi sebuah kenangan dihati perempuan ini.
Sebagai kupu-kupu yang tidak akan pernah bisa aku gapai.
Tertanda,
Adira Thalita
****
Gadis itu berjalan dengan menyeret kopernya di koridor bandara. Sebentar lagi adalah giliran pesawatnya untuk melakukan lepas landas. Sebenarnya ia merasa berat untuk mengambil keputusan sebesar ini. Ia tidak seberani itu meninggalkan negaranya dan pergi ke negara asing. Jika bukan karena keinginan papanya, Adira pun tak akan mau. Ia melakukan ini atas dasar terpaksa, dan ia lakukan demi mamanya. Ia tidak mau lagi menjadi beban untuk wanita paruh baya itu. Pikirnya, mamanya sudah cukup menanggung semua bebannya sendirian selama ini. Tapi tidak lagi, Adira tidak ingin menyusahkan mamanya lagi. Setidaknya dengan ia pergi bersama papanya, Sinta tidak perlu bingung untuk membayar biaya perawatan Adira.
"Tiket, pasport, visa." Adira menunjukkan dokumennya pada sang pramugari.
"Oke, silahkan masuk." Titahnya.
Gadis itu kembali menyeret kopernya masuk kedalam pesawat dengan pikirannya yang diam-diam melambung jauh pada ingatan beberapa menit lalu saat ia berpamitan dengan keluarga dan teman-temannya.
"Adira, lo beneran mau ninggalin gue?." Daniel bertanya dengan nada suara sedih.
"Kak Daniel jangan lebay deh, aku cuma ke singapura kak." Jawab Adira.
"Tapi Singapura itu jauh Adira." Sahut Daniel.
Adira tersenyum, "Nanti kalo masa liburan, kak Daniel dateng kesana ya? Nanti kita jalan-jalan bareng. Ajak mama sama kak Rey juga."
Daniel menunduk, "S*alan gue benci bilang ini, tapi gue pasti kangen lo. Nanti siapa yang bakal gue kerjain dirumah? Rumah bakal sepi kalo ngga ada lo, ra."
"Tapi kak Daniel kalo dirumah selalu bikin aku nangis." Ucap Adira polos. Suasana yang awalnya haru seketika pecah berubah menjadi tawa.
Daniel menggaruk kepalanya yang tidak gatal, "Sorry, gue ngga bermaksud kayak gitu."
"Daniel ada aja tingkah lo." Cibir Rey.
"Diem kak. Lo jangan pergi dong , Adira."
Adira tersenyum, "Kata kak Daniel aku harus sembuh. Ini kan aku berobat biar sembuh. Biar kita bisa naik gunung bareng-bareng. Biar kalian ngga perlu khawatir lagi aku bakal kenapa-kenapa kalo ngelakuin pekerjaan berat."
Daniel diam sejenak, "Lo jangan cari kakak baru ya." celetuknya
Rey mencubitnya Daniel pelan, "Apa sih lo ada-ada aja."
Adira terkekeh, "Ngga akan, kak Daniel. Kakak sama kak Rey itu kakak terbaik."
"Bagus deh, disana fokus belajar. Dan jangan pernah ngejar cowo lagi. Gue ngga mau lo sakit." Pinta Daniel. Kali ini Rey ikut mengangguk.
"Ngga akan, aku udah cukup sakit. Sekarang kan waktunya buat sembuh. Jadi aku ngga mau nambah sakit lagi."
Daniel mengusap kepala Adiknya, "Kalo lo ngerasa ngga nyaman di sana langsung kabarin gue. Biar gue bisa jemput lo dan bawa lo pulang."
"Iya cerewet." Ujar Adira. Kemudian ia memeluk tubuh kakak laki-laki keduanya itu. "Kak Daniel juga berhenti mainin perempuan ya, kasian kak Raya makan hati terus."
"Gue coba." Sahut Daniel yang di sambut cubitan dari Adira. "Nakal." Katanya.
Setelah itu Adira beralih memeluk mamanya, "Mama jaga diri baik-baik ya, Aku mau mama bahagia. Mama boleh cari kebahagiaan baru. Mama boleh lakuin apapun yang mama suka. Aku, kak Daniel, dan Kak Rey akan selalu dukung mama. Mama itu mama terhebat di dunia. Jangan selalu simpan semuanya sendiri. Anak mama ada itu untuk mama. Kalo mama butuh aku, mama boleh telepon aku jam berapapun mama mau bahkan tengah malam sekalipun. Aku akan selalu siap jawab panggilan mama."
Sinta tersenyum sambil mengusap rambut putrinya, "Anak mama udah besar ya, sejak kapan kamu jadi sepinter ini?."
"Sejak aku sadar kalo ngga semua perempuan itu lemah, contohnya adalah mama. Di masa depan aku mau jadi kayak mama. Sebagai wanita tangguh yang bisa hidup mandiri"
"Tapi mama harap kamu ngga mengalami kehidupan seperti mama." Sinta mencium kening Adira.
Adira beralih menatap kakak tertuanya, laki-laki yang memiliki tinggi 175 cm itu menatap sedu pada adik perempuannya. Meski tak banyak bicara tapi Adira tau Rey adalah orang yang paling peka dengan sekitarnya. Ia selalu menjadi seseorang yang paham dengan perasaan Adira.
Tanpa berucap sepatah katapun gadis itu memeluk tubuh kakaknya erat, "Makasih karena udah selalu dukung mama di setiap keadaan. kak Rey jangan lupa bahagia ya. Sekali-kali kak Rey boleh kok egois dan pikirin diri kak Rey sendiri. Hidup kak Rey ngga perlu melulu tentang aku dan kak Daniel. Kak Rey juga harus main sama temen-temen seusia kakak. Jangan selalu kerja dan kuliah. Kak Rey juga perlu nikmatin hidup dan jangan terlalu stres."
Rey mengangguk, "Iya, pasti kakak lakuin. Tapi kamu cepet balik ke sini ya. Rumah bakal terasa sepi kalo ngga ada kamu."
Adira tersenyum, "Of course, aku bakal pulang secepetnya. Nanti kita kumpul bareng-bareng lagi ya."
"Iya, kakak bakal nunggu Adira sampai sembuh. Seperti biasa kamu boleh telepon kakak setiap kamu butuh sesuatu. Tapi kakak ngga akan bisa dateng kalo kamu nyuruh jemput ke sekolah lagi." Katanya.
Adira terkekeh, "Aku usahain itu ngga akan terjadi. Di sana aku bakal coba buat hidup mandiri. Aku ngga akan selalu bergantung sama kakak lagi. Aku bakal coba ngelakuin semua sendirian." Kemudian Adira menatap orang-orang itu sembari mengukir senyum. "Kalian jaga diri baik-baik ya, aku bakal kangen sama kalian semua. Ayo nanti kita ketemu lagi dengan keadaan yang lebih baik dari saat ini." Setelah itu Adira berjalan pergi sembari melambaikan tangan ke arah keluarga dan teman-temannya.
Kini kita tutup kisah seorang Adira Thalita dengan senyuman yang berharga tiada tara. Meski tidak berakhir dengan bahagia, Setidaknya Adira akhirnya memiliki tujuan untuk terus bertahan hidup dan bergerak maju, yaitu keluarganya. Dengan ini ia berjanji suatu saat nanti akan kembali dengan versi terbaik dari dirinya. Bukan sebagai Adira egois dan kekanakan lagi. Tapi sebagai Adira dewasa yang mampu berpikir kritis dan bisa membedakan mana yang salah dan juga benar
Tamat