Gadis itu berjalan masuk kedalam rumahnya. Sayup-sayup terdengar suara ribut dari dalam ruang tamunya. Langkahnya terhenti, keningnya berkerut, dirinya merasa sangat familiar dengan suara itu. Dan setelah ia amati dengan seksama, gadis itu diam-diam mengukir senyum.
"Papa." Katanya. Baru saja ia ingin melangkah masuk, suara mamanya membuat Adira mengurungkan niatnya.
"Ngapain kamu balik lagi kesini?." Tanya wanita itu dengan nada suara dingin. Adira sempat mengernyit bingung lantaran mamanya malah mengatakan itu.
"Aku cuma mau lihat kondisi anak-anakku ngga boleh?." Jawab pria paruh baya itu. Suara yang sangat Adira rindukan selama ini. Sebenarnya ia ingin sekali memeluk sosok itu dengan sangat erat.
Terdengar kekehan dari mama Adira, "Kenapa baru sekarang? Kemana kamu dua tahun terakhir ini? Ada kamu inget anak-anak kamu?ngga kan? Kenapa sekarang tiba-tiba pengen tahu kabar mereka?."
"Selama ini aku kan kerja, Sinta." Jawab papa Adira
Sinta tersenyum kecut, "Kerja katamu? Selama dua tahun ini ngga ada tuh kamu biayain hidup mereka. Semuanya aku yang lakuin. Stop bikin alibi Tio, kamu jadi makin keliatan bodoh."
"Maksud kamu apa?." Tanya Tio tak mengerti.
"Kamu pikir aku ngga tau kalo selama ini kamu selingkuh? Dan itu kan alasan kamu ngga pernah kirim uang lagi selama dua tahun terakhir ini? Aku selalu berusaha keras buat nutupin semua sifat jelek kamu didepan anak-anak. Tapi kamu ngga pernah mau mikirin mereka." Ungkap Sinta.
Tio terdengar menghela napas, "Maaf." Katanya.
Sinta mendecih, "Cih, kamu pikir permintaan maaf mu bisa balikin semuanya? Semuanya udah hancur dari semenjak kamu mutusin buat menetap di Singapura."
"Izinin aku lihat anak-anak sekali aja." Pinta Tio.
"Kamu masih nganggep mereka anak?."
"Jelaslah, mereka darah dagingku."
"Kalo gitu kenapa kamu ngga mikirin mereka sebelum mutusin pergi sama wanita dari Singapura itu? Sekarang pun percuma kamu kesini, ngga akan ada apa-apa." Ujar Sinta.
"Aku mau bawa Adira ke Singapura." Sahut Tio tiba-tiba.
Sinta tertegun menatap laki-laki yang notabennya masih suaminya itu tidak percaya. "Are you crazy? Kamu sadar sama apa yang kamu bilang? Jangan mimpi! Gak akan pernah aku bolehin kamu bawa pergi anak-anakku."
"Sinta, jangan egois." Ujar Tio.
Mama Adira tertawa getir, "Aku egois? Kamu yang egois! Selama ini aku nanggung semuanya sendiri. Aku jatuh dan bangun sendiri. Aku yang rawat mereka pake usaha dan tenagaku sendiri. Sekarang tiba-tiba kamu dateng setelah kamu hancurin semua rumah tangga kita sampai bahkan aku sendiri ngga tau apa yang masih tersisa dan kamu mau bawa pergi anakku? Are you serious? Kamu punya hati ngga sih?"
"Sinta, aku ngerti apa yang kamu rasain."
"Lo ngga ngerti! Jadi jangan berlagak sebagai korban karena lo adalah pelakunya, Tio."
"Tapi niat aku bawa Adira pergi itu baik." Ujar Tio yang semakin membuat amarah sinta memuncak.
"Baik katamu?."
"Iya, aku bakal kasih dia pengobatan terbaik di Singapura."
"Engga perlu, anak gue baik-baik aja." Sahut Sinta ketus.
"Sinta jangan gila, Adira itu sakit." Tio bersikeras.
"Engga, buktinya dia bisa jalan-jalan, bisa sekolah. Itu artinya dia sehat."
"Kalo aja kamu ngga keras kepala kayak gini, mungkin aja Adira ngga akan sampe kayak gini." Cibir Tio
Sinta mengerutkan kening, "Maksudnya?."
"Iya, Adira sakit itu gara-gara kamu kan. Kalo bukan karena kamu dia ngga akan sampe kayak gini." Ceplos Tio.
Sinta berdecak, "Terus, salahin aja terus. Kamu pikir aku mau anakku kayak gini? Ngga ada ibu yang mau anaknya sakit. Tapi kalo takdirnya kayak gini aku bisa apa. Sedangkan kamu dari dulu selalu nyalahin aku. Kenapa cuma aku? Kamu kan juga orang tuanya, kenapa kamu ngga coba intropeksi diri? Kamu pikir, kamu udah jadi ayah yang baik?."
"Aku tau emang bukan ayah yang baik. Tapi aku mau coba jadi ayah yang baik buat mereka." Jawab Tio.
"Kenapa baru sekarang? Sebelumnya kamu bahkan ngga ada niatan tanya kabar mereka. Waktu Adira masuk rumah sakit kamu ngga bisa dihubungi. Padahal kamu tau sendiri dia selalu nyariin kamu setiap hari."
"Aku sibuk." Jawab Tio enteng.
Sinta tersenyum miring, "Sibuk selingkuh maksudnya?."
"Sinta udahlah, lagian aku juga udah minta maaf. Kamu tau sendiri kan perasaan ngga bisa dipaksa."
Sinta mengernyit, "Dan perasaanku? Apa menurutmu ngga penting? Kamu pikir aku robot yang bisa kamu perintah seenaknya? Kamu pikir aku sampah yang bisa kamu pungut dan buang sesuka hatimu?."
"Aku ngga pernah bilang begitu."
"Kamu emang ngga pernah bilang. Tapi perlakuanmu itu udah jelas."
"Aku ngga mau bertele-tele, biarin aku ketemu Adira."
"Jangan mimpi! ngga akan pernah aku biarin."
Tio diam-diam mengepalkan tangannya, "Si*lan, jangan sampai kesabaranku habis."
"Anda pikir saya peduli? Silahkan pergi dari rumah saya." Usir Sinta
"Pa–" Adira hendak menghampiri ayahnya namun seseorang tiba-tiba menarik pergelangan tangannya.
"Kak Daniel?." Gumam Adira. Laki-laki itu mengisyaratkan kepada Adira untuk diam. Kemudian ia menarik Adira menjauh dari rumah mereka.
"Kenapa?." Adira membuka suara setelah beberapa menit mereka diam.
"Gue bakal jelasin nanti."
Gadis itu menepis tangan Daniel, "Aku mau denger penjelasannya sekarang ." Ujar Adira bersikeras.
"Gue bakal jelasin Adira." Ujar Daniel menenangkan
"Aku mau denger penjelasan dari papa." Katanya.
"Engga, gue ngga akan biarin lo ketemu sama dia." Tolak Daniel
"Kenapa?."
"Lo ngga denger dia mau bawa lo pergi?."
Adira terdiam sejenak, "Kak Daniel tau semuanya?."
"Iya gue tau."
"Sejak kapan?."
"Gue bakal jelasin tapi ngga disini." Kemudian Daniel menarik Adira menuju sebuah tempat yang ia tau.
***
Gadis itu duduk disebuah bangku dengan netranya menatap pada langit malam. Hembusan angin membelai lembut rambutnya. Matanya terpejam, pikirannya melambung jauh. Ia menghela napas lelah. Kepalanya terlalu berisik. Saat ini Daniel membawanya ke tepi sungai. Dimana ini adalah tempat yang suka ia kunjungi sejak kecil.
"Jadi, apa yang kak Daniel tau?." Ujarnya membuka suara.
"Papa punya wanita lain sejak dua tahun terakhir ini." Ungkap Daniel.
"Sejak kapan kakak tau semua itu?" Tanya Adira.
"Dari lama, sejak itu papa ngga pernah ngirim uang lagi. Mama yang kerja buat kita." Jawab Adniel
Adira terdiam sejenak, "Terus hadiah ulang tahunku yang tahun kemaren itu dari siapa?."
"Mama."
Adira menghela napas, "Kak Daniel tau, selama ini aku pikir mama itu berisik, suka ngatur-ngatur, suka marah-marah tanpa alasan. Tapi aku ngga pernah tau kalo mama punya banyak beban di pundaknya. Aku terlalu ngesanjungin papa sebagai laki-laki terbaik didunia. Tanpa tau bahwa dia adalah salah satu luka terbesar mama. Kak Daniel, aku benci papa."
Daniel menggeleng, "Jangan benci dia, dia ngga pantes buat kamu sayang ataupun kamu benci."
"Kak, kalo aku harus ikut papa–"
Daniel memeluk tubuh adiknya "Dia ngga akan bisa bawa lo pergi dari sini."
"Kenapa?."
"Karena gue ngga akan pernah biarin itu." Ujar Daniel menenangkan
"Aku takut." Cicit Adira
Daniel mengusap rambut Adira. "Lo ngga usah takut, tenang aja ada gue. Gue bahkan bisa lupain kalo dia adalah papa kita."
"Kita bakal kayak gini sampe kapan, kak? apa kita ngga bisa balik kayak dulu lagi? Aku berharap ini cuma mimpi buruk dan hal kayak gini ngga pernah terjadi sama kita." Ujar Adira.
"Andai aja itu bener." Gumam Daniel dengan semakin memeluk tubuh adiknya erat. Daniel Sebastian, terlihat kuat diluar namun sebenarnya didalamnya rapuh. Ia menjadi anak tengah yang selalu menjadi penengah antar kedua saudaranya. Meski bebannya tak seberat Rey yang notabennya adalah kakak tertua. Tapi setiap anak punya peran dan tanggung jawabnya masing-masing.