Adira masih terduduk sembari memeluk lututnya. Hawa dingin tempat ini terasa semakin menusuk kulit. Tangannya gemetar, bibirnya putih pucat bahkan untuk bersuara pun dia tidak bisa. Ditambah dengan sesak yang ia rasakan pada dadanya.
"Jangan sekarang tuhan." Batinnya. Saat ini pikiran Adira hanya dipenuhi dengan cara bagaimana ia harus tetap hidup. Adira tidak mau mati ditempat seperti ini. Karena masih banyak hal yang ingin ia lakukan, masih banyak mimpi yang belum bisa ia gapai, dan masih banyak varian rasa indomie yang belum ia coba. Gadis itu berusaha memikirkan hal-hal yang belum pernah ia lakukan sebagai pengalihan.
Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki mendekat ke arahnya. Gadis itu memejamkan matanya, tidak ada yang bisa ia lakukan selain itu. Karena ada perasaan takut dibenaknya, ia takut itu adalah binatang buas atau mungkin hantu atau bisa jadi orang jahat. Namun sebias suara yang diikuti dengan sorotan lampu senter membuat semua pikiran buruk dibenak Adira seketika itu menghilang.
"Lo ngapain di sini? Lo tau semua orang khawatir nyariin lo?." Ujar orang itu dengan nada suara kesal. Adira hanya diam. Bukan, bukan karena dia tidak ingin menjawab hanya saja dia tidak mampu untuk menjawab.
Laki-laki itu mengernyit "Jawab gue, kenapa cuma diem?." Kemudian ia berjongkok. Melalui cahaya senter yang remang-remang orang itu bisa melihat wajah Adira yang pucat. "Are you oke?." Tanyanya.
Pandangan Adira semakin lama semakin kabur, dengan susah payah ia memanggil nama orang itu, "Kak Naufal." Ujarnya, sebelum kemudian pandangannya benar-benar menjadi gelap.
"Sh*t." Dengan sigap Naufal menahan tubuh Adira supaya tidak jatuh ke tanah. Ia bisa melihat dengan jelas wajah pucat gadis itu. Kemudian Naufal mengambil handy talky-nya untuk menghubungi seseorang, "Halo disini 25." Panggilnya.
Tak berselang lama terdengar sahutan dari seberang sana, "25, di sini 12. Masuk."
"Arion, suruh semua orang balik ke tenda." Pinta Naufal.
"Tapi Adira belum ketemu." Sahut Arion.
Naufal terdiam sejenak, "Dia sama gue."
"Syukur deh, sekarang lo dimana?" Tanya Arion.
"Gue masih di hutan, dia pingsan." Sahut Naufal
"Lo butuh bantuan? Apa perlu gue kesana?." Tanya Arion
"Gak usah, lo nunggu di tenda aja. Suruh petugas pmr siapin tandu." Perintah Naufal. Setelah itu tidak lagi terdengar jawaban dari Arion.
Naufal menatap wajah Adira sebentar, dan dengan cepat mengalihkan pandangannya, "Lo berhasil bikin semua orang khawatir." Gumamnya. Sebelum kemudian ia mengangkat tubuh gadis itu untuk membawanya kembali ke tempat perkemahan.
***
Semua orang di perkemahan tengah kalang kabut karena menghilangnya Adira. Sedangkan Daniel terus berteriak memarahi semua orang yang ada di sana. Dia khawatir tentu saja siapa yang tidak khawatir adiknya menghilang di dalam hutan. Bagaimana jika ada binatang buas yang menyerang adiknya? Sebenarnya Daniel tidak habis pikir bagaimana bisa orang-orang itu berpikir melakukan pencarian jejak di malam hari, apa lagi ditengah hutan seperti ini. Dasar gila.
"Siapa yang bikin rencana kek gini?!." Teriak Daniel pada para seniornya. "Gimana? Sekarang lo semua udah puas? Makanya gak usah sok pinter, giliran ada yang hilang kalian malah diem aja."
"Niel, tenang dulu jangan bikin suasana makin kacau." Sahut Ryan
Daniel mengernyit, "Tenang? Adik gue ada di dalam hutan dan lo nyuruh gue tenang?." Katanya.
"Bukan gitu maksud gue, kita semua juga panik niel, tapi kita juga harus tetep tenang." Jelas Ryan.
Daniel mendecih, "Bang Gilang, lo ketuanya kan? Lo yang dari awal bilang kalo ini aman, tapi sekarang lihat bahkan lo gak ada usaha buat nyari adik gue."
Gilang menatap Daniel datar, "Mending lo diem, ngga usah sok pinter."
Laki-laki itu menaikkan satu alisnya, "gue sok pinter? Lo yang sok pinter anj*ng. Ini gak akan terjadi kalo lo gak punya pikiran gila itu."
"Ini kesepakatan bersama kalo lo lupa, lagian angkatan sebelumnya juga gak pernah ada kejadian kayak gini. Ini kesalahan adik lo sendiri karena ceroboh." Cibir Gilang.
Daniel diam-diam mengepalkan tangannya, "Apa lo bilang?!."
"Adik lo ceroboh."
"Anjing lo–"
"Daniel." Arion menengahi. "Udahlah, lagian Adira juga udah ketemu. Selagi kita nunggu Naufal bawa Adira kesini mending sekarang kita siapin pertolongan pertama"
Daniel menatap tajam pada Gilang, "Urusan kita belum selesai." Ujarnya, sebelum kemudian berlari masuk ke dalam tendanya untuk mencari sesuatu
"Bang Gilang, setelah lihat kejadian ini gue jadi ngerasa Daniel ada benernya, lebih baik tradisi pencarian jejak dihilangi aja." Saran Arion.
"Gak bisa gitu, ini udah tradisi dari angkatan sebelumnya. Lagian sebelumnya juga gak pernah terjadi apa-apa."
"Tapi kita juga gak tau bahaya apa aja yang ada di dalam hutan." Kata Arion
"Arion, kegiatan ini udah ada bertahun-tahun. Kenyataanya waktu angkatan lo juga gak ada apa-apa. Setelah gue lihat makin kesini kalian jadi pada manja, banyak ngeluhnya" Sindir Gilang
"Bukan gitu bang, gue cuma–"
"Naufal!." Panggil Ryan, Terlihat seorang laki-laki keluar dari dalam hutan. Iya benar, itu Naufal dan Adira. Kedatangan mereka membuat semua orang sedikit bernapas lega, meskipun masih ada rasa khawatir karena Adira pingsan.
"Tandu!."
"Tandunya mana?!." Teriak Arion.
Dengan tergopoh-gopoh para petugas PMR itu berlari sambil membawa sebuah tandu. Ketika tandu itu diletakkan. Naufal segera membaringkan tubuh Adira di atas tandu. Kemudian mereka membawanya masuk ke dalam pos kesehatan.
"Semuanya balik ke tenda." Titah Gilang, lantaran melihat semua siswa tengah bergerombol menonton mereka.
Daniel keluar dari tenda dan berlari menuju pos kesehatan. "Bu Cahya tunggu." Dengan napas yang sedikit terengah-engah ia memberikan sebuah botol berisi cairan pada Bu Cahya yang merupakan pengurus PMR.
Wanita paruh baya itu mengernyit, "Ini apa?."
"Antibiotik." Jawab Daniel.
"Ibu rasa ini ngga perlu, Daniel." Sahut bu Cahya.
"Dia adik saya, saya lebih tau apa yang dia butuhkan." Ujar Daniel datar namun terdengar tegas.
"Baik kalo menurut kamu begitu." Final bu Cahya, Kemudian wanita paruh baya itu masuk ke dalam pos kesehatan.
"Niel, gue rasa sikap lo berlebihan." Tegur Audy.
Daniel mengernyit, "Berlebihan dari mananya?."
"Lo sampe bentak bu Cahya gitu. Sebelumnya lo juga bentak para senior. Padahal adik lo juga baik-baik aja kan? Palingan juga dia cuma pingsan biasa. Gak usah lebay deh." Ujar Audy.
Daniel menatap Audy datar, "Gak usah ikut campur, dy."
"Gue gak ikut campur, gue cuma ngasih tau aja kalo yang lo lakuin itu salah." Jelas Audy
"Dy, mending lo diem sebelum gue sumpel mulut lo." Mendengar itu Audy terdiam.
Di tengah perdebatan itu salah satu petugas PMR keluar dari pos kesehatan.
"Gimana keadaan dia?" Bukan Daniel yang bertanya melainkan Naufal. Semua mata seketika tertuju pada laki-laki itu. Dari tadi Ryan sudah sadar perilaku aneh Naufal semenjak kabar menghilangnya Adira. Memang ia tidak menunjukkannya secara terang-terangan namun Ryan tau semuanya.
"Daniel, bu Cahya minta lo buat hubungi orang tua lo." Ujar petugas PMR itu yang bernama Gladis.
"Kenapa?." Tanya Daniel.
"Buat jemput Adira, kata bu Cahya kondisinya gak memungkinkan buat lanjut ikut pelatihan."
Daniel mengangguk, "Gue udah hubungin mereka dari tadi, bentar lagi mereka pasti dateng."
"Bagus, nanti bu Cahya yang bakal izin ke pembina." Ujar Gladis.
"Kenapa harus dibawa pulang?." Tanya Arion.
Gladis mengangkat bahu, "Gak tau, gue cuma nyampein pesan dari bu Cahya." Ujarnya, kemudian ia kembali masuk ke dalam.
"Ikut gue yan." Ajak Daniel.
"Kemana?."
"Ngambil barang-barang Adira." Sahut Daniel.
"Ada Nasya gak?." Tanya Ryan.
"Ada." Jawab Daniel.
"Okelah skuy." Tanpa babibu Ryan berjalan lebih dulu mendahului Daniel.
"Dasar." Cibir Mereka.