Orion selesai meracik jus jeruk untuk kedua gadis di depan ruang tengah. Keluar dari dapur, membawa gelas ukuran sama besarnya.
"Ini, es jeruk kalian," katanya, meletakkan dua gelas besar itu di atas meja.
"Terima kasih," ucap Kinara dan Srikandhi bersamaan. Menyeruput es jeruk dengsn menggunakan sedotan.
"Ah, segarnya!"
"Bagaimana keadaan Arjuna?"
"Dia belum sadar. Mungkin lukanya akan sembuh beberapa hari."
"Si Lakon cewek itu kuat juga ternyata."
"Tapi, kalau dipikir-pikir, aku malah tambah aneh. Padahal aku enggak tahu apa-apa tentang Lakon..."
"Nanti kamu akan tahu sendiri, kok. Sebagai Spirit baru, kamu harus bisa membedakan Lakon dan Spirit-nya."
"Bagaimana cara membedakan mereka? Kita kan hidup berdampingan dengan manusia? Di kawasan apartemen ini, semuanya manusia."
"Beda. Kamu sebagai Spirit, dengan tanda berlambang bunga di tanganmu. Itu membedakannya, dengan yang lain. Selain itu, di kota penyihir bukan? Kalau kamu juga termasuk penyihir, namun berbeda dengan penyihir biasa," kata Srikandhi.
"Aku seorang penyihir?"
"Iya, kamu adalah seorang penyihir. Tapi beda media. Biasanya, para penyihir ada yang memakai tongkat, ada yang enggak. Nah, kamu adalah penyihir tanpa pengguna tongkat. Mediamu kan aku," tambahnya."Media seperti aku ini tercipta dari tanpa tidak sengaja. Misalnya nih, ada yang menyalurkan daya kepadamu. Maka kamu bisa menggunakan media."
"Jadi cuma beda media?"
"Iya. Kayak bapak polisi tadi, dia penyihir, tapi medianya tongkat."
Kinara manggut-manggut agak paham.
"Ngerti, kan, sekarang?"
"Tapi kamu harus waspada, Kina."
"Waspada apaan?"
"Jika mereka masih mengincarmu lagi. Aku baru pertama ini bertemu dengan Lakon kayak tadi. Yang pasti mereka membentuk suatu kelompok. Dan kelompok itu sedang mengincarmu."
"Aku juga baru tahu sekarang," kata Kinara melanjutkan menyeruput lagi minumannya.
Malam masih mendominasi. Melintas sebuah taksi melayang melesat cepat menyusuri jalanan yang selalu ramai dilintasi itu. Di bangku belakang, seorang penumpang, penumpang itu tampak menatap GPS di handpone mahalnya. Di depan, sang pengemudi meliriknya dari arah spion.
"Maaf, Nona," ucapnya.
"Ya?" Wanita cantik itu dengan make up tipis namun sederhana dan mengenakan baju bagaikan model yang anggun, mendongak. Di sampingnya ada seorang wanita sama cantiknya. Duduk dengan sopannya.
"Maaf, Anda ini mau ke mana ya ini? Ini sudah muter-muter..."
"Saya ingin mencari tempat tinggal untuk sementara di sini. Apakah Anda punya rekomendasi di sekitar sini?"
"Hm? Soalnya itu saya tahu daerah sini ada tempat tinggal murah. Tapi bayarnya hanya sampai setahun."
"Benarkah?"
"Saya tunjukkan tempatnya, ya,
Nona." Sang sopir masih fokus mengendarai. Taxi melayang melesat hingga berbelok ke salah satu jalan. Jalanan itu agak sepi. Hanya dua-tiga mobil melayang yang lewat. Hujan tiba-tiba turun dengan derasnya. Namun sang sopir tidak memperdulikannya. Taksi melayang melesat ke arah hunian Apartement Diamond. Hunian apartemen dengan harga murah. Wanita itu menatap ke jendela. Jendela dari luar diguyur derasnya. Dia masih dapat melihat setiap bangunan apartemen yang sepi.
"Ini bukannya apartemen, Pak?" tanyanya.
"Iya, Nona. Memang apartemen. Di sini rata-rata harganya dibandrol murah," sang sopir memberitahu."Anda mau, Nona?"
Dia masih menatap jendela.
"Hei, bagaimana?" tanya wanita di sampingnya."Kamu mau, enggak? Daripada kita menginap di hotel yang mahal harganya."
"Terserah. Pak, saya turun di sini
saja," pintanya.
Sopir mengangguk. Memberhentikan taksinya. Pintu terbuka, mereka turun.
"Nona, tunggu!" sahut sang sopir.
"Ada apa, Pak?"
Sopir segera meraih sesuatu di dashboard, mengelungkan sebuah payung kecil kepadanya."Ini,
bawalah."
Dia menerimanya."Terima kasih,
Pak."
Sopir itu tersenyum. Mengendalikan mobil melayang lagi melesat pergi keluar dari hunian apartemen. Mereka berdua berpayung bersama. Melangkah di setiap blok. Hingga mereka sampai di satu apartemen yang pintunya tertutup.
"Kita berteduh di sini," katanya.
"Di sini? Kita bukannya ingin mencari apartemen?"
"Kita tunggu hujannya turun. Mungkin saja ada apartemen kosong di sini." Terdengar bunyi seperti bunyi perut.
"Perutmu bunyi, tuh."
"Aku hanya makan hanya pagi hari. Kalau sekarang, mana ada restoran yang buka. Berhubung apartemen di sini sepi sekali. Kamu juga lapar, kan, Ras?"
"Jemurannya bagaimana?" sahut suara seorang gadis di dalam apartemen yang mereka untuk berteduh.
"Enggak usah panik begitu. Jemurannya enggak akan kebahasan karena hujan."
"Yang benar kamu?"
"Kamu lihat saja sendiri dari atas."
"Ada orangnya."
"Memang ada orangnya. Kamu kira apartemen ini enggak ada orangnya?"
Dari atas Srikandhi melayang ke arah balkon. Memeriksa jemuran milik Kinara yang sudah kemarinnya di jemur. Menyentuhnya apakah ada yang basah.
"Enggak basah, tuh," katanya melayang kembali. Sekilas melihat dari atas, di bawah ada dua orang wanita yang sedang berteduh."Siapa mereka?"
Srikandhi melayang kembali turun. Menghampiri Kinara yang berada di kamar. Sedang membuat desain undangan yang akan dijual di website desain di internet.
"Kinara," panggilnya.
Kinara tanpa menoleh, menyahut."Apa?"
"Aku lihat di bawah ada orang."
"Orang? Ngapain mereka?"
"Mereka sedang berteduh. Ada dua orang di bawah. Aku takutnya mereka orang mencurigakan."
Kinara menghentikan pekerjaannya. Beranjak dari kursinya.
"Kamu mau ke mana?"
"Ke bawah," kata Kinara."Aku mau memeriksa di depan."
Srikandhi segera tahu."Jangan-jangan orang lainnya yang mengincarmu?!" Dia melayang mengikutnya. Mereka turun dari tangga. Kinara menghampiri pintu. Pikirannya langsung waspada. Ia memegang handle pintu, membuka pintu pelan. Memperlihatkan dari luar ada dua orang wanita yang sedang berteduh.
Keduanya menoleh.
"Maaf, kami di sini hanya berteduh," katanya.
Srikandhi berada di depan, melindungi Kinara. Dia ikut waspada. Melihat keduanya waspada, wanita itu melanjutkan."Kami orang baik, kok." Merasakan di antara mereka."Di antara kamu berdua, saya merasa, kamu ini adalah Lakon," katanya.
Kinara dan Srikandhi melotot. Betul, kan, apa yang dirasakan Srikandhi. Mereka ternyata ini sedang mengincar Spirit-nya dengan bertedeng alih mengatakan hanya berteduh!
"Anda tahu kalau Srikandhi ini adalah seorang Lakon?"
"Karena teman saya ini juga seorang Lakon."
Mereka terkejut.
"Teman Anda Lakon?"
"Benar, Nona. Saya adalah Lakon," ucap wanita itu sopan.
"Bolehkah kami berteduh di sini agak lama? Sepertinya hujannya sama sekali belum mereda."
"Boleh." Kinara menatap wanita itu. Wajah wanita itu tidak asing baginya. Wajah cantiknya mirip seperti seseorang yang dikenalnya.
"Kina, ngapain kalian di depan?" Orion keluar. Menatap gantian seseorang yang membuat mereka ada di luar."Kak Arimbi?!"
Arimbi terkejut."Kamu... Kamu Orion, kan?!" tunjuknya.
"Ngapain Kakak ada di sini?"
Arimbi mendekatkan mukanya."Aku—kami mencarimu, tahu!"
"Mencariku?"
"Kami mencarimu sudah sangat lama! Kamu sudah setahun ini pergi dari kerajaan!"
Kerajaan katanya?
"Maaf, Nona. Anda ini saudari dari Orion?"
"Ya, aku adalah kakak perempuannya! Dia telah minggat dan enggak pernah memberikan kabar apapun kepadaku, kepada papa. Orion, kamu harus berhutang cerita kepadaku!" pekiknya di depan muka Orion.
Orion risih."Aduh, Kakak ini..."
"Habis, kamu tuh pakai acara minggat segala, sih! Papa itu juga mengkhawatirkanmu."
Orion menunduk.
"Aku... Aku enggak akan kembali ke kerajaan lagi..."
"Kenapa begitu? Kamu itu sudah menyusahkan kami. Aku juga mengkhawatirmu."
Orion mendongak.
"Papa enggak pernah mau menanyakan kabar tentangku. Papa enggak mau tahu."
"Maaf, menyela obrolan kalian," kata Kinara."Kita lanjutkan di dalam saja," ajaknya.
Mereka masuk ke dalam apartemen. Kinara dan Srikandhi berpisah. Mereka masuk ke dalam dapur. Membiarkan ketiganya melanjutkan pembicaraan. Arimbi menatap sekeliling ruangan. Orion menyuruhnya duduk.
"Kamu tinggal di sini?"
"Iya, Kak."
"Sudah berapa lama?"
"Sudah dua hari ini."
"Memangnya sebelum kamu tinggal di sini, kamu tinggal di mana?" tanya Arimbi.