"Saya mengerti, Nak. Tapi kalau sudah begini kita harus bagaimana?"
Farah menunduk, otaknya sedang berfikir keras saat ini memikirkan jalan keluar, atau pesantren itu akan hancur dalam waktu dekat. Haura dan keluarganya benar-benar tidak punya hati, bagaimana bisa mereka akan menutup pesantren ini dengan cara begitu?
Benar, Haura yang tidak bisa terima dipermalukan kemarin entah bagaimana caranya dia bisa melapor pada keluarganya dan meminta untuk menjatuhkan nama baik Pesantren Daarul Yunus.
"Ada ancaman besar juga untukmu, Farah."
Kali ini Ustadz Rafli ikut bersuara. Farah menoleh pada Ustadz Rafli yang duduk disamping Pak Kyai. Sementara Ustadzah Nisa dan beberapa pengajar lainnya hanya diam saja.
"Ancaman apa, Ustadz?" tanya gadis itu lirih.
Ustadz Rafli dan Pak Kyai saling tatap, lalu keduanya menatap Farah kembali. Perasaan gadis itu kini gelisah saat melihat raut wajah serius kedua pria dihadapannya.
"Saya pikir Haura membencimu, sampai-sampai dia meminta jika kamu dikeluarkan dari pesantren ini, namamu akan di blacklist dari sekolah manapun," jelas Ustadz Rafli.
"Bagaimana bisa? A-apa saya akan di keluarkan dari pesantren ini, Ustadz?" tanya Farah cemas.
"Tidak, Nak. Itu hanya akan terjadi jika pesantren ini jatuh." Pak Kyai sedikit membenarkan sorban putih di kepalanya.
Mengingat pesantren itu bagaikan berada diujung tanduk. Haura berhasil membujuk ayah dan pamannya untuk tidak menjadi donatur lagi di pesantren, juga karena suatu hal yang tak kalah penting namun Farah tidak mengetahuinya.
"Pasti ada cara untuk membuat pesantren ini ga bergantung ke keluarga Haura lagi, Ustadz."
"Pesantren ini dibangun karena bantuan dari keluarga Haura, sudah sejak dulu begitu. Kita tidak punya donatur lain lagi. Walaupun bertahan, kita hanya bisa bertahan beberapa minggu." Ustadzah Nisa tampak cemas.
"Kurang lebih tiga minggu, pesantren ini hanya bisa bertahan sampai tiga minggu kedepan." Pak Kyai menatap mereka bergiliran.
"Setelah tiga minggu, apa yang akan terjadi dengan pesantren ini, Pak Kyai?" tanya Farah penasaran.
Pak Kyai menggelengkan kepala pelan, diikuti helaan nafasnya. Ruangan itu mendadak terasa sesak bagi Farah, jika pesantren itu hancur dan ia tidak diterima di sekolah manapun juga, Farah akan menjadi apa? Mengingat keluarga Haura memiliki kekuasaan yang besar, namun disalah gunakan.
"Saya akan mencari solusinya, Pak Kyai." Farah mengatakannya dengan mantap.
Pak Kyai mengangguk. Bukan hanya Farah, tapi mereka semua akan mencari jalan keluar dari masalah ini. Beberapa menit telah berlalu, mereka masih dalam keadaan hening.
"Saya punya jalan keluarnya, Pak Kyai." Farah tersenyum seolah menemukan harapan.
"Bagaimana?" tanya Ustadz Rafli penasaran.
"Setelah seminggu, izinkan saya pulang. Saat saya kembali nanti, saya akan membawa solusi dari masalah ini." Farah menatap Ustadz Rafli dan Pak Kyai bergiliran.
"Solusi apa? Apa kamu yakin?" tanya Ustadz Rafli lagi.
Farah mengangguk. "InsyaaAllah saya yakin, Ustadz."
"Baiklah," tutur Pak Kyai setelah beberapa saat berfikir.
Setelah selesai berbincang, Farah keluar dari ruangan itu. Ia berdoa dalam hati, semoga caranya nanti bisa menyelamatkan pesantren itu, meskipun ia tidak tau selain dana, masalah apa lagi yang ditimbulkan Haura di pesantren itu.
"Abhi," lirihnya hampir tidak terdengar saat melihat sosok pria yang ia kenal sedang berjalan keluar kantor.
Tanpa aba-aba, Farah langsung mengikuti langkah Abhi dari belakang. Gerak-gerik Abhi tampak berbeda dari biasanya, sepertinya pria itu ingin melakukan sesuatu. Farah melangkah dengan perlahan, agar Abhi tidak mengetahui bahwa dia sedang diikuti.
Abhi menemui seseorang yang sudah menunggunya di balik tembok toilet. Farah melihat dari balik tembok masjid yang dapat menutupi tubuhnya. Abhi berbicara pada seseorang, dia adalah...
"Farah, ngapain?"
Sebuah tangan menepuk pundaknya membuat Farah berjingkrak kaget. Farah langsung berbalik melihat siapa yang mengagetkannya. Tampak seorang gadis cantik dengan hijab coklat sedang tersenyum kearahnya.
"A-aku..ng-ngga ngapa-ngapain kok," jawabnya terbata.
"Ooh yaudah, aku balik ke asrama duluan, ya?" Cut tersenyum.
Farah menghela nafas setelah Cut pergi. Farah mengira ia ketahuan sedang memata-matai seseorang. Farah segera membalikkan tubuhnya ingin melihat Abhi dan lawan bicaranya tadi, namun...
"Astaghfirullah, Abhi!" Lagi-lagi Farah berjingkrak kaget.
Bagaimana gadis itu tidak kaget, saat ia berbalik dibelakangnya sudah ada orang yang diikutinya. Farah mengusap-usap dadanya.
"Kamu ngapain?"
"A-aku..aku cuma lewat aja tadi," jawab Farah asal.
Abhi menyipitkan matanya, "Sendiri?"
"Ng-ngga, aku sama Cut tadi tapi dia balik duluan." Farah berusaha untuk tidak terlihat gugup.
"Bohong?" selidik Abhi.
"Ngga, kok!" kata Farah meyakinkan, "Ngga semua," sambungnya dengan lirih bahkan tidak terdengar oleh lawan bicaranya.
"Kalau kamu sendiri ngapain disini?" Farah balik bertanya.
"Ada urusan," jawab Abhi yang kemudian berbalik ingin pergi dari sana.
"Urusan apa yang ketemuannya di toilet?" Pertanyaan Farah berhasil membuat langkah Abhi terhenti.
"Urusanku, bukan urusanmu!"
Abhi melanjutkan langkahnya, bahkan dia tidak menoleh kebelakang sama sekali. Farah sedikit terkejut dengan penuturan Abhi barusan, apa pria itu sedang ada masalah?
Farah melangkah ragu untuk balik ke asramanya, ia masih memikirkan sifat Abhi yang akhir-akhir ini tampak aneh. Abhi bersikap tidak seperti biasanya, namun kadang dia juga masih melempar perhatian.
"Farah!"
Gadis itu masih tetap berjalan lurus dengan tatapan kosong tanpa memperdulikan seseorang yang memanggilnya. Orang itu memanggil Farah sekali lagi, tapi Farah masih tidak meresponnya.
"Astaghfirullah!"
Farah berjingkrak kaget, lagi. Langkah gadis itu terhenti saat ada tangan yang menepuk bahu kirinya. Farah menoleh pada pelaku disampingnya.
"Kenapa harus ngagetin, sih?!"
Ily mengernyit, "Everything okey?" tanya Ily setelah melihat respon Farah.
Farah mengangguk ragu, ia melanjutkan langkahnya diikuti Ily yang beriringan dengannya.
"Hmm Ily nak cakap, kalau minggu depan Ily balik ke Malaysia."
"Kenapa? Mau ngapain disana?"
Ily tampak memperhatikan sekelilingnya, dari sorot matanya tampak dia sedang memastikan tidak ada orang selain mereka berdua disana. Ily mendekatkan mulutnya ditelinga Farah yang tertutup hijab.
"Masalah perjodohan," lirihnya.
"Apa?!"
Ily menutup mulut Farah dengan tangannya karena gadis itu berteriak cukup keras.
"Kamu mau dijodohin?" tanya Farah pelan.
Ily mengangguk. "Atok yang minta perjodohan tu diadain di rumahnya di Shah Alam, sebab tu kami harus kesana minggu depan."
"Tapi habis itu kamu balik ke sini lagi, kan?"
"Ya pastilah, Ily kan masih sekolah di sini."
"Calon pengantin muda nih kayaknya!" Farah tertawa.
"Tak lah, mungkin kami akan di nikahkan setelah tamat pendidikan nanti. Pendidikan tetap nomor 1!" Ily mengangkat jari telunjuknya.
"Yes, you are right!"
♡♡♡