'Saat Allah ambil sesuatu darimu, maka Ia sedang membuka tanganmu untuk menerima yang lebih baik lagi dari-Nya.'
***
"Baru gitu aja, lebay banget sih!"
Haura menatap Farah tajam, lalu gadis itu berlalu keluar kamar dengan buku tulis bersampul coklat ditangannya. Farah hanya diam mendengar penuturan Haura barusan.
Sedetik kemudian butiran bening itu menetes dari ujung matanya. Selain tubuhnya yang sedang sakit, begitupun dengan hatinya. Farah ingin sekali pergi dari tempat itu, tapi ia tidak bisa.
"Assalamu'alaikum." Terdengar suara wanita diambang pintu.
"Wa'alaikumussalam," jawab Farah.
"Farah, ada telepon."
Ustadzah Nisa tersenyum dan berjalan menghampiri Farah yang sedang bergemul dengan selimutnya di tempat tidur. Farah langsung mengambil posisi duduk.
"Wa'alaikumussalam," jawab Farah saat telepon itu sudah berada di telinganya.
"Farah gapapa kok, Mi."
Sepertinya Ummi Farah tau jika anaknya itu sedang sakit, Farah hanya berharap ummi dan abi tidak mengetahui sumber masalahnya, ia tidak ingin hal yang tidak diinginkan terjadi.
"Ngga, Mi. Farah ga mau pulang, bentar lagi juga sembuh kok," tuturnya mencoba meyakinkan Sang Ummi yang sedang menelpon.
Setelah banyak alasan yang Farah berikan untuk meyakinkan Sang Ummi, akhirnya ia berhasil membuat keluarganya tidak datang menjemputnya. Tidak lama, hanya beberapa menit obrolan ibu dan anak itu terdengar.
"Ini, Ustadzah. Syukron." Farah menyodorkan handphone itu sambil tersenyum tipis pada wanita cantik yang duduk ditepi kasurnya.
Ustadzah Nisa menerima handphone dari tangan Farah sembari membalas senyuman yang Farah berikan. Namun wanita itu tidak langsung beranjak dari duduknya, sepertinya Ustadzah Nisa sedang memikirkan sesuatu.
"Ustadzah masih ga yakin kalau kamu yang ambil uang itu," lirih Ustadzah Nisa yang kini menoleh pada Farah.
Farah tersenyum tipis. "Memang bukan saya yang ngambil, Ustadzah."
"Lalu siapa?"
"Percuma, jika saya beritahu pun Ustadzah ga bakalan percaya sama saya."
Ustadzah Nisa terdiam. Benar yang dikatakan Farah tadi. Ustadzah Nisa menghela nafas pelan, kemudian berpamitan pada Farah.
"Seharusnya jam segini aku ada di kelas." Farah menatap jam di dinding kamar.
Jam menunjukkan pukul 10:00 WIB, seharusnya ia sedang duduk di kelas dan belajar Tauhid saat ini. Tapi kondisinya yang tidak memungkinkan membuat Farah harus berbaring di kasur, hampir sepanjang hari.
"Laper," lirihnya.
Matanya melihat lemari yang berada disebelah ranjangnya. Tangannya langsung membuka lemari itu dan mengambil makanan ringan yang ada disana, stok makanannya masih cukup banyak. Farah membuka bungkus makanan ringan itu. Tangannya mulai memasukkan makanan itu kedalam mulutnya. Mulutnya terus mengunyah, namun tatapannya kosong.
Semenjak kejadian itu, orang-orang pada mencemoohnya. Haura semakin sinis padanya, Cut yang makin hari makin menjauh darinya, dan Ily yang sekarang lebih banyak diam. Semua semakin menjauh darinya, rasa kesendirian Farah di pesantren kini kembali.
Masa datang bulannya yang belum juga usai, menambah sedikitnya peluang baginya untuk beraktivitas. Hingga kini semua santri sudah bersiap menuju masjid. Beda dengan Farah yang hanya gelisah diatas tempat tidurnya.
"Jalan-jalan keluar bentar gapapa kali, ya?"
Farah berfikir sejenak, kemudian langsung bangkit dari tidurnya. Setidaknya ia bisa duduk didepan kamar sebentar hingga waktu Zuhur tiba. Farah tau, diluar sana pasti tidak terlalu ramai karena para santri sudah bergegas ke masjid.
Gadis itu bangkit dengan perlahan, menjaga keseimbangan tubuhnya. Sebenarnya Farah masih butuh istirahat yang cukup, tubuhnya masih tampak lemas. Farah berjalan perlahan kearah pintu.
"Kayaknya enakan duduk dibawah deh," katanya sambil melihat ke lantai dasar.
Farah segera menuju tangga, menuruninya dengan perlahan. Tepat di anak tangga terakhir ia kehilangan keseimbangannya, membuat tubuhnya oleng dan...
Seseorang menangkap tubuhnya, tubuh Farah yang tertahan kini dibantu untuk berdiri tegak dengan orang yang telah menolongnya.
"Kalau jalan itu hati-hati! Kalau jatuh gimana?"
Farah seketika mendongak saat mendengar suara orang yang telah menolongnya, Abhi. Farah sedikit terkejut, namun ia berhasil menutupi kekagetannya itu.
"Abhi? Ka-kamu ngapain disini?" tanya Farah dengan suara sengau.
"Aku ada urusan." Abhi menatap Farah, "Kalau belum sembuh itu bagus kamu di kamar aja jangan keluar!"
"Iya, maaf," lirihnya.
"Kalau kamu jatuh tadi gimana? Bisanya buat repot orang aja," tutur Abhi yang membuat Farah mengerutkan dahinya.
"Kan aku udah minta maaf!"
Abhi memalingkan wajahnya yang sudah cukup lama menatap wajah cantik Farah, dia lalu berlenggang dari hadapan Farah. Gadis itu merasa aneh dengan sikap Abhi.
"Abhi!"
Pria pemilik nama itu menoleh kebelakang.
"Terimakasih." Farah tersenyum manis kearahnya.
Abhi hanya membalasnya dengan senyuman tipis, lalu kembali melanjutkan langkahnya. Pria itu tampak membawa beberapa buku ditangannya.
"Eh, ada pencuri!"
Farah menoleh pada pemilik suara itu. Seorang teman seasrama yang tidak terlalu dikenalnya itu menatapnya dengan senyuman mengejek. Farah hanya merespon dengan senyuman tipis, lalu ia berbalik ingin naik keatas.
"Mau kemana?" Suara gadis itu membuat Farah kembali melihat kebelakang.
"Mau balik ke kamar," jawab Farah.
"Ohh mau ngambil uang temennya lagi, ya?"
Farah diam mendengar penuturan tak menyenangkan dari gadis dibelakangnya, ia ingin sekali menarik hijab yang gadis itu kenakan, kalau saja tenaganya sudah terkumpul pasti ia sudah melakukannya daritadi.
"Kenapa diem? Kalau mau nyolong lagi yaudah, silahkan. Aku janji deh ga bakalan bilang ke siapa-siapa, tapi kita bagi dua, ya? Aku ikut buat jaga pintu, kan biasanya kamu lakuin ini semua sendiri!"
Mata indah Farah terbelalak, sekarang tangannya terasa gatal ingin menampar gadis itu. Perkataannya benar-benar membuat Farah tersinggung. Farah mengurungkan niatnya untuk ribut dengan gadis itu, ia hanya tidak ingin menambah masalah.
Farah tersenyum samar dengan tatapan seolah mengintimidasi gadis itu. Ia menarik nafas dan merapal istighfar berkali-kali mencoba meredam emosinya. Sudah sejak awal masuk memang kebanyakan para wanita di pesantren itu tidak suka pada Farah, alasannya karena Farah lebih cantik dan pintar dari mereka, dan kebanyakan Santri Ikhwan mengagumi sosok Farah. Jadi, wajar saja.
Sekarang Farah harus bagaimana? Menjadi jati dirinya yang dulu keras atau menjadi karakter wanita lembut yang selama di pesantren ia jalani? Jika dulu ia agak keras dan sangat berani bahkan pada orang yang tidak dikenalnya, namun sekarang ia lebih memilih menjadi seorang yang sabar dan tidak mau ambil pusing.
Tapi, apa sifat Farah yang dulu akan kembali? Apa Farah akan berubah setelah ini? Untuk membuktikan bahwa mereka semua salah dalam penilaian terhadap dirinya!
♡♡♡