'Jangan menilai orang dari masa lalunya, karena kita tidak pernah tau usaha apa yang telah ia lakukan untuk keluar dari sana.'
***
"Kamu cuma dapet waktu seminggu untuk belajar Bahasa Arab. Lewat dari itu, ustadz dan ustadzah disini tidak akan meladenimu kalau kamu bicara sama mereka menggunakan Bahasa Indonesia," kata Haura sambil menyiapkan buku-bukunya.
Farah tercengang, bahkan dia tidak berkedip sama sekali. Memikirkan apa dia bisa bicara dengan Bahasa Arab dalam waktu seminggu, sementara niatan belajar di pesantren saja sebenarnya belum ada.
"Siapa yang akan ngajariku Bahasa Arab?" tanya Farah beberapa saat kemudian.
Mengingat pesantren itu memiliki peraturan, semua santri bangun pagi jam 3 atau paling lama jam 4, mandi, sholat tahajjud, menghafal, sholat subuh, bersiap-siap untuk pergi belajar, sarapan, belajar, sholat Dhuha, muraja'ah hingga waktu Zuhur tiba, sholat Zuhur, makan siang, lalu sambung belajar lagi, sholat Ashar, setor hafalan minimal 1 lembar, istirahat/ekskul, sholat Maghrib, ngaji bersama, sholat Isya, makan malam, sisanya waktu untuk mengerjakan tugas dan paling lama tidur jam 22:00/23:00 WIB.
Mengingat waktu yang tertata dan terjadwal padat itu, disela-sela waktu mana dia akan fokus belajar Bahasa Arab? Cut, Ily, dan Haura saling tatap, kemudian mereka menatap Farah secara bersamaan. Ily berjalan menghampiri Farah yang duduk di ranjangnya. Gadis itu duduk disebelah Farah.
"Kami dulu belajarnya sama ketua asrama, tapi kebetulan ketua asrama Akhwat lagi ga ada di pesantren. Kalau sama yang lain, belum tentu mereka mau meluangkan waktu untuk ngajarin kamu." Ily menatap Farah lekat.
"Terus aku belajarnya sama siapa, dong?"
"Kalau minta tolong ustadzah, belum tentu mereka bisa karena mereka pasti sibuk, murid disini ga sedikit," kata Cut.
Hening.
"Kenapa ga kalian aja yang ngajarin aku?" pinta Farah.
Cut, Ily, dan Haura menggeleng cepat secara bersamaan.
"Kenapa?" Farah mengernyit bingung.
"Kami belum ada bakat buat ngajarin orang, dan ngajarin Bahasa Arab ke pemula itu ga mudah, Farah." Cut berjalan menghampiri cermin disebelah ranjang Farah, membenarkan hijabnya.
Ily dan Haura mengangguk, membenarkan ucapan Cut barusan.
"Nanti aku tanyain ke Ustadzah Nisa, siapa tau dia ada saran." Haura tersenyum.
Farah mengangguk setuju, disusul anggukan kepala Cut dan Ily. Kini mereka bersiap-siap untuk pergi belajar, tapi sebelum itu mereka wajib sarapan berjamaah di dapur.
Dapur yang bersebelahan dengan ruang makan itu tampak sudah hampir dipenuhi santriwati, beberapa meja panjang dengan bangku yang disusun sedikit rapat agar dapat menampung hampir semua siswa perempuan di pesantren itu.
Jika melihat tiga meter kedepan, tampak bangunan yang sama dengan ruang makan itu. Bedanya, itu khusus untuk Ikhwan. Pesantren Daarul Yunus memang terkenal disiplin, untuk itu semua santrinya dididik untuk disiplin mematuhi peraturan yang ada di pesantren.
Farah mengambil kursi ditengah-tengah Cut dan Haura, sementara Ily membantu menghidangkan makanan. Mengambil makanannya juga antri, pun ada takaran makannya setiap santri agar nasi dan lauknya cukup terbagi rata.
Suasana makan bersama dimulai setelah membaca doa bersama. Walau yang tersaji hanya nasi, tempe goreng, dan tumis kacang panjang. Namun suasana makan yang khas ala santri itu membuatnya menjadi berkesan.
Setelah selesai makan, mereka membaca doa bersama. Mengingat sarapan juga ada waktunya, sehingga tidak bisa membuat mereka berlama-lama. Mereka segera berbaris untuk menumpukkan piring kotor di meja sudut. Setelah itu, barulah berjalan ke kelas bersama-sama.
Langkah Farah memasuki kelas empat A, matanya memonitor seisi kelas. Tampak Ily melambaikan tangan padanya, Farah menghampiri Ily kemudian duduk disebelahnya.
"Aku kira belajarnya bakalan di gabung perempuan sama laki-laki," tutur Farah.
"Tak, gedungnya dipisah. Tapi kalau ada acara atau pengumuman, mau ga mau dikumpulkan di lapangan juga bareng-bareng." Ily tersenyum sambil menyiapkan alat tulisnya.
Jam pertama, pelajaran Tauhid dimulai.
Farah menggaruk-garuk kepalanya jika mendengar Ustadzah didepan menjelaskan dengan Bahasa Arab, meskipun sesekali dengan Bahasa Indonesia, tapi tetap saja jiwa raganya belum terbiasa. Farah menerka beberapa minggu pertama ia tak akan memahami pelajaran yang diberikan.
Ily sesekali tertawa melihat ekspresi Farah. Ily juga menenangkan Farah dengan berjanji akan mengajarkannya kembali di asrama nanti. Mendengar itu, Farah sedikit lega. Setidaknya ada yang membantunya walaupun telinganya sepertinya sudah berasap karena belum terbiasa mendengar penjelasan materi dengan bahasa Arab.
***
"Hah? Masa aku harus belajar sama dia?!" Penolakan secara tak langsung yang keluar dari mulut Farah.
Mereka melongo mendengar penuturan Farah barusan. Ketiganya saling tatap.
"Farah, kamu ga tau dia siapa?" tanya Cut.
Farah memutar bola matanya jengah. "Tau, tapi dia itu rada ngeselin, aku ga mau ah belajar Bahasa Arab sama dia!"
"Hei, orang-orang berebut nak diposisi you, malah you tak nak! Awas nanti nyesel baru tau." Ily menatap Farah yang duduk dihadapannya.
Farah terdiam, memikirkan apa hebatnya pria itu sampai-sampai banyak perempuan yang tertarik padanya. Mengingat pertemuan pertamanya dengan pria itu yang kurang baik, membuat Farah menolak untuk belajar Bahasa Arab dengan ketua asrama Ikhwan, Abhi.
"Tapi bagus deh kalau kamu ga tertarik sama Abhi," kata Haura sambil membalik-balik lembar Al-Qur'an ditangannya.
Farah menatap Haura disampingnya, "Kenapa?"
Haura menutup mushafnya kemudian menoleh pada Farah. "Sainganku akan berkurang." Haura tertawa kecil.
Ternyata benar dugaan Farah bahwa Haura menyukai Abhi. Farah mengangguk, merasa setuju jika Haura bersama dengan Abhi, hampir tidak ditemukan kekurangan diantara keduanya. Hanya saja Abhi membosankan, membuat Farah sama sekali tak tertarik padanya.
"Udahlah, Farah. Belajar saja sama Abhi, daripada kamu terus-terusan garuk kepala waktu belajar!" Cut berkomentar.
Ada benarnya juga apa yang dikatakan Cut. Setidaknya ini demi masa depannya agar segera lepas dari pondok pesantren. Tanpa berfikir lagi Farah langsung menyetujui saran dari Ustadzah Nisa untuk belajar Bahasa Arab dengan Abhi.
Mereka bersorak gembira mendengar persetujuan dari Farah. Kini mereka telah sibuk dengan hafalan dan muraja'ahnya lagi di Masjid sambil menunggu waktu Zuhur tiba.
Tangan Farah kini ditarik oleh gadis yang dikenalnya. Dia membawa Farah ke toilet wanita setelah sholat Zuhur selesai. Ily tampak memonitor sekelilingnya memastikan tak ada yang melihat mereka.
"Ada apa?" tanya Farah yang tak mengerti dengan sikap Ily barusan.
"Ily nak kasih tau satu hal penting dengan Farah," lirih Ily menatap Farah serius.
"Katakan saja, Ly."
"Ily cuma nak cakap, jangan terlalu dekat dengan Abhi nanti."
Farah mengerutkan dahinya, "Kenapa? Apa kamu suka juga sama Abhi?" tanyanya yang disusul suara tawa kecil diujung kalimatnya.
"Aish bukan tuu!" Ily berbicara sedikit kuat, membuatnya memastikan sekeliling lagi memastikan tidak ada siapa-siapa.
"Lalu?"
"Lepas ni Farah akan sering jumpa dengan Abhi, jadi Ily nak cerita sikit, boleh?" tanya Ily.
Farah mengangguk.
"Farah ni tau kan Haura tu suka dengan Abhi, dia tak nak ada satu perempuan pun yang isi hati Abhi--"
"Kenapa? Terserah Abhi dong mau cinta sama siapa, kenapa Haura ga suka?" sela Farah.
"Ha tulah, jangan potong-potong dulu saya cakap." Ily tampak sedikit kesal.
"Jadi, dulu tu Haura dengan Abhi couple (pacaran). Sejak masuk pesantren ni Abhi putuskan Haura, tapi Haura tak terima. Itulah sebabnya dia tak nak ada satu perempuan pun yang gantikan posisi dia dihati Abhi. Sampai sini paham, tak?"
Farah mencoba mecerna setiap perkataan Ily. "Jadi Abhi sama Haura itu statusnya mantan pacar?" tanya Farah memastikan.
"Yups. Kalau tak nak cari masalah dengan Haura, baik tak usahlah dekat-dekat dengan Abhi." Ily memberi saran.
"Tapikan Haura itu temen kita, ga mungkin dia buat ulah ke temennya sendiri."
Ily menepuk dahinya, "Semua orang akan buta kalau dah pasal cinta!"
"Oke-oke aku usahain untuk ga ganggu soal Haura sama Abhi," kata Farah yang tidak ingin berdebat dengan Ily.
"Good job!" Ily tersenyum manis kearah Farah.
Kemudian mereka segera menuju ruang makan untuk makan siang bersama yang sempat tertunda tadi. Farah dan Ily berjalan beriringan.
"Farah tau tak kenapa Ily cakap soal ni ke Farah?" tanya Ily sebelum mereka sampai di ruang makan.
"Kenapa?"
"Sebab Farah ni cantik sangat, aura Farah tu beda dengan Haura, tau?" Tangan kanan Ily mencubit pipi Farah yang berjalan disamping kirinya.
Farah meringis saat cubitan Ily terasa sakit dipipi kirinya. Ily segera melepas tangannya dari pipi Farah.
"Tolonglah, Ily. Aku masih waras, please jangan suka samaku, ya!"
"Ily pun masih waras, lah!"
♡♡♡