"Ini ruangan ustadzah, kamu mau masuk atau tunggu disini aja?" Lagi-lagi dia menatap kearah lain setelah melihat Farah tersenyum manis kearahnya.
"Disini aja, deh. Aku ga berani masuk." Farah menatap sekitarnya. Banyak tatapan sinis dari beberapa perempuan seumurannya disana.
"Baik, kalau gitu aku balik ke kelas dulu, ya?"
"Terus aku ditinggalin sendirian disini, gitu?"
Pria itu memutar bola matanya jengah. "Kamu kan udah besar, ga berani sendiri?"
Pasalnya, Farah sudah banyak membuang-buang waktu pria itu, pasti dia akan dihukum ustadz begitu masuk ke kelas nanti.
Farah yang mendengar nada kekesalan dari pria itu menunduk. Sepertinya Farah sadar bahwa ia sudah banyak merepotkan pria itu dihari pertama mereka bertemu.
Pria itu sadar dengan gurat sedih dan kecewa dari raut wajah Farah, pria itu berdecak kesal. Kepekaan dan rasa iba melihat Farah seperti itu yang membuatnya tetap disana, seolah kakinya tak ingin pergi dari sana.
"Terus aku harus gimana?" tanya pria itu.
Farah mengangkat kepalanya dengan senyuman tipis, "Gapapa kamu balik aja ke kelas, makasih banyak ya udah bantu aku. Maaf juga udah ganggu waktu kamu."
Farah berlalu dari hadapan pria itu, menjatuhkan tubuhnya di kursi kayu yang berada di koridor tepat disebelah ruangan guru. Pandangan Farah sendu, memperhatikan sekelilingnya. Beberapa detik kemudian ia sadar, bahwa ia telah memasuki wilayah santriwati, tak terlihat satupun pria disana, kecuali pria itu.
Gadis cantik itu menoleh pada seseorang yang duduk disebelahnya, cukup jauh. Farah tersenyum manis, "Aku gapapa disini sendiri, kamu balik ke kelas aja."
"Sudah, diam. Jangan bicara lagi," kata pria itu tanpa menoleh pada Farah, tatapannya datar menoleh kesegala arah, kecuali Farah.
Senyuman diwajah Farah masih belum menghilang, ditambah lagi raut wajah pria itu kini tampak lucu di mata Farah. Sesekali Farah mencuri-curi pandang pada pria disampingnya.
Beberapa santriwati yang berlalu-lalang menatap mereka sinis, tak jarang dari mereka berbisik-bisik tetangga setelah melihat Farah dan pria itu duduk disatu kursi panjang yang mereka duduki saat ini.
"Kamu anak baru, ya?" Pria itu menoleh pada Farah, sekilas.
Farah mengangguk, "Iya," jawabnya singkat.
"Nama kamu siapa?" tanya mereka bersamaan. Mereka saling menatap satu sama lain.
Kini Farah lebih dulu memalingkan wajahnya, diikuti pria itu yang memandang ke sisi lain lingkungan.
"Azhikra Faradhiba. Biasanya dipanggil Farah." Farah tersenyum menatap pria disampingnya.
"Ahlan wa Sahlan, Farah. Aku Abhi, Muhammad Al-Abiyyan Husain." Abhi balas tersenyum pada Farah.
"Kamu udah lama disini?" Farah melanjutkan obrolan mereka.
"Baru beberapa bulan, di kelas empat. Aku tinggal di asrama Ali bin Abi Thalib."
Farah mengernyit, "Kelas empat?"
Abhi mengangguk, "Disini kelas 1 itu sederajat dengan kelas 7 SMP, jadi kelas 4 itu sederajat sama anak kelas 10 SMA," jelas Abhi. Berarti Farah dan Abhi seangkatan.
Farah manggut-manggut, "Terus soal asrama itu, disini ada berapa asrama?" tanyanya antusias.
Abhi tampak mengingat-ingat, "Ikhwan, ada 4. Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar Ash-Shiddiq, Utsman bin Affan, Umar bin Khattab. Terus kalau yang Akhwat ada 4 juga, Fatimah binti Muhammad, Aisyah binti Abu Bakar Ash-Shiddiq, Khadijah binti Khuwailid, dan Asiyah binti Muzahim."
Farah sudah pernah mendengar nama-nama sahabat Nabi itu, setidaknya ia pernah ngaji jadi sudah tak asing lagi. Sepertinya sekolah di Madrasah Aliyah tidak sebegitu rumit dibandingkan sekolah di pondok pesantren.
"Kalau itu asrama apa?" Farah menunjuk bangunan bertingkat dihadapan mereka. Semua bangunan disana bertingkat dua, tidak lebih dan tidak kurang.
Abhi melihat bangunan dihadapannya, "Asrama Aisyah binti Abu Bakar Ash-Shiddiq," jawabnya.
"Kalau yang di sebelahnya, asrama apa?" Lagi-lagi Farah bertanya.
Abhi mengarahkan pandangannya pada bangunan disisi kanan mereka, "Khadijah binti Khuwailid. Kalau bangunan yang sedang kita jejaki ini asrama Fatimah binti Muhammad. Terus di sebelah kiri itu asrama Asiyah binti Muzahim. Nah, sama juga di asrama Ikhwan juga begini bentuk dan warnanya."
Farah manggut-manggut sambil memperhatikan bangunan-bangunan bercat biru putih disekelilingnya. Ternyata asrama putra dan asrama putri disini membentuk sebuah persegi dengan halaman kecil di tengahnya.
"Kalau belajar, dimana?" tanya Farah yang tak menemukan ruang kelas disekelilingnya.
"Di bangunan belakang, bentuknya sama seperti bentuk dan susunan bangunan disini. Juga ada Masjid tempat sholat berjamaah disana. Disini tidak terlalu mengekang laki-laki dan perempuan, tapi tetap ada batasan dalam bergaul," jelas Abhi.
Farah mengangguk. "Mata pelajaran disini apa-apa aja? Banyak, ya?" Sepertinya Farah mulai asik ngobrol dengan Abhi.
Abhi menggaruk tengkuknya yang sebenarnya tidak gatal. Dia tertawa kecil, "Yaa, gitulah."
"Gitu gimana?"
Abhi tampak sedang berfikir, "Kalau agamanya disini belajar Tauhid, Tafsir, Hadits, Fiqih, Ushul Fiqh, Tashawuf, Bahasa Arab (Nahwu, Sharaf, Balagah, dan Tajwid), Mantiq, Akidah Akhlak, terus apa lagi, ya?" Abhi tampak mengingat-ingat.
Farah melongo begitu Abhi menyebutkan berbagai macam mata pelajaran yang akan ia hadapi nantinya. Farah tau itu belum semuanya ditambah lagi dengan pelajaran umum. Pelajaran seperti itu biasanya ia temui di Jurusan Agama di sekolahnya dulu tapi tak sebanyak itu.
"Abhi, madza taf'alu huna?!" Suara berat itu membuat Farah dan Abhi menoleh pada pria yang berjalan menghampiri mereka. Abhi segera berdiri, diikuti Farah.
"Asif jiddan ya Ustadz, laqad rafaqat hula' altullab aljudud faqat hataa ja' waldihum. Alrajul almiskin, laqad dala lltw fi ghurfat alrijal." Abhi berbicara dengan lancar pada pria yang sepertinya sedang mencarinya karena tak balik-balik ke kelas.
Farah melongo menatap pria disampingnya, bahkan dia hanya sesekali berkedip. Dia tau, bahwa pria paruh baya yang menghampiri mereka itu adalah salah seorang ustadz di pesantren ini.
"Hasana, bimajrid alaintiha' min 'amalik, 'auda 'iilaa alfasl 'alaa alfawr." Pria itu mengangguk, menatap Farah sekilas, kemudian berlalu darisana.
"Apa katanya?" Suara Farah membuat Abhi menoleh padanya.
"Tadi Ustadz nanya kenapa aku disini? Aku bilang aja nemenin siswi baru nunggu orang tuanya datang, kasihan tadi dia sampai nyasar ke toilet pria." Abhi tertawa kecil.
Farah yang tak terima dengan alasan pria itu langsung memukul lengan Abhi dengan tas selempangnya, yaa meskipun dia tau bahwa alasan pria itu tak salah dan sesuai realita.
Abhi meringis sambil memegang lengannya yang tak seberapa sakit, "Kan aku bener!" katanya membela diri.
"Kasih alasan yang ga buat aku malu, dong!"
Abhi masih tertawa kecil melihat wajah Farah yang tampak lucu saat ini, pria itu menggelengkan kepalanya. Mata Abhi tampak memonitor sekeliling, terlihat dari gerak-geriknya pria itu sudah tak nyaman di lingkungan santriwati itu.
"Orang tua kamu masih lama, ga?" tanya Abhi.
Farah menaikkan kedua bahunya, "Kamu disuruh balik ke kelas, kan?" tanya Farah.
Abhi mengangguk, "Darimana kamu tau?" tanyanya mengingat bahwa ustadz tadi memintanya untuk segera kembali ke kelas.
Farah tertawa. "Gini-gini juga aku pernah belajar Bahasa Arab di sekolah dulu, jadi aku tau dikit-dikit obrolan kamu sama ustadz tadi."
Abhi manggut-manggut, "Bagus deh."
"Disini emang ngomongnya pake bahasa Arab, ya?"
"Seharusnya iya, Bahasa Arab atau ga Bahasa Inggris. Tapi lebih utama Bahasa Arab, apa lagi kalau ngomong sama ustadz dan ustadzah biasanya pakai Bahasa Arab. Bahasa Indonesia kamu bisa gunakan untuk bicara sama temen." Abhi membenarkan pecinya.
Farah mengangguk. "Yaudah balik aja sana, aku gapapa disini sendiri. Palingan ummi sama abi bentar lagi kesini nyariin aku." Farah kembali duduk di kursi itu.
Abhi ikut duduk di tempatnya tadi. Kali ini pria itu lebih banyak menunduk tak memperhatikan sekitarnya, mungkin dia telah bosan dengan pemandangan seperti ini setiap harinya.
"Kenapa kamu ga balik aja? Emang kamu ga risih, ya? Disini kan perempuan semua."
Andai gadis itu tau bahwa Abhi sedang menahan diri untuk menemaninya disana, walaupun sebenarnya dia sangat tak nyaman. Abhi mengangkat kepalanya menoleh pada Farah disebelahnya.
"Saya punya jabatan disini, sudah biasa kalau harus mondar-mandir ke asrama Ikhwan dan Akhwat," kata Abhi datar.
"Jabatan? Jabatan kayak Ketua OSIS gitu, ya?" Tebak Farah.
Abhi mengangguk, "Ya, seperti itulah."
"Aku dulu anggota OSIM, bisa dong nanti aku jadi anggota kamu juga!" Farah tersenyum antusias menatap pria disampingnya.
Masih menatap pria yang tak berkomentar itu, "Kenapa kok diem? Atau kamu mau aku jadi makmum kamu aja ya nanti?"
"Hah?!" Abhi melongo menatap wanita cantik disebelahnya.
♡♡♡