'Katanya, cinta datang dari mata turun ke hati. Tapi, terkadang cinta itu datang lalu padam sebelum sampai pada tujuannya.'
***
Pria dengan kharisma khas wajahnya itu menatap Farah datar, ekspresinya sulit ditebak. Gadis sulungnya itu hanya bisa menunduk, tak berani menatap wajah Sang Abi.
"Abi tanya, dijawab. Jangan diem aja!"
Tubuh gadis itu sedikit terguncang, kali ini abinya berbicara dengan intonasi yang lebih tinggi. Farah mengangguk pelan. Tangannya kini meremas tangan yang satunya.
Abi menggelengkan kepalanya, entah bagaimana nasib gadis itu sekarang. Pasalnya, darimana abinya bisa tau kejadian di sekolah tadi, saat hanya ia dan Bang Fathur didalam kelas yang tertutup. Pasti sekarang abinya jadi berfikir yang aneh-aneh.
"Tapi kami ga ngapa-ngapain, Bi." Ia memberanikan diri mengangkat kepalanya menatap pria yang duduk dihadapannya.
"Gak ngapa-ngapain darimana? Abi tau apa yang kalian bicarain, soal perasaan, kan? Kamu juga belakangan ini sibuk sama HP! Abi ga suka. Bukan sekali dua kali, tapi ini udah yang kesekian kalinya. Abi harus ambil keputusan!" kata abinya tegas.
"Ke-keputusan?" lirihnya.
"Iya, keputusan yang sudah beberapa hari lalu Abi fikirkan."
"Keputusan apa, Bi?" tanyanya sedikit cemas.
Farah mengira bahwa Abi dan Ummi akan memindahkannya ke sekolah lain. Namun seketika ia tercengang begitu mendengar bahwa orang tuanya akan memindahkannya ke pesantren.
"Nggak! Farah ga mau masuk pesantren. Abi tau kan di pesantren itu ga bebas, semua serba ada aturannya. Farah ga mau!" bantahnya.
"Udahlah Teh masuk ke pesantren aja, biar tobat!" ejek Nafsah.
Farah menatap adiknya tajam, lalu mengarahkan pandangan memelasnya kepada Abi dan Ummi bergiliran.
"Ga bisa, Sayang. Ini udah keputusan Abi sama Ummi." Ummi yang sejak tadi diam saja duduk disebelah Abi kini bersuara.
Farah mendengus kesal, ia memejamkan matanya mencoba menerima keputusan orang tuanya. Sebandal apapun mereka, tetap tak boleh membantah perkataan orangtua. Yaa begitulah kata Adhwa, adik kecilnya yang memungut kata-kata dari cerita dibuku dongeng sebelum tidurnya.
"Iraha?" Suaranya terdengar lirih dan pasrah.
"Besok lusa."
Bola mata indah gadis itu terbuka lebar mendengar jawaban abinya.
"Henteu bisa lusa atuh, Bi. Tahun depan atau bulan depan, gitu. Jangan lusa dong, Bi..." Gadis itu merengek.
"Karunya teuing," kata Nafsah yang kemudian tertawa mengejek Farah.
"Lebih kasihan hidup kamu tuh yang pipis di celana waktu naikkan bendera upacara!" Farah tertawa membayangkan kejadian minggu lalu. Mungkin Nafsah terlalu gugup sampai bisa mempermalukan dirinya seperti itu.
Suara tawa Nafsah terhenti, wajahnya berubah kecut. Ummi dan Abi hanya menggelengkan kepala, namun tak dapat ditutupi bahwa mereka sedang menahan tawa. Sepersekian detik Farah seolah lupa dengan keputusan abinya.
"Sudahlah. Farah harus segera berberes dari sekarang, barang-barang kamu yang mau dibawa ga sedikit! Nanti Ummi bantu beres-beres siap nyiram bunga," kata Ummi yang kemudian beranjak dari duduknya.
Farah hanya terdiam dengan takdir yang mengendalikan hidupnya. Gadis berperawakan Arab itu kini tak bisa lari dan menolak hal ini. Ada rasa takut yang menghujam dirinya membayangkan bagaimana kehidupan pesantren nantinya.
'Hei, Farah! Bukannya kau sudah merelakan Akbar? Adikmu mencintai adik Akbar. Lantas apa alasanmu bertahan di sekolah itu?'
Farah menggeleng-gelengkan kepalanya setelah batinnya beropini. Tapi ada benarnya, siapa tau di pesantren ia bisa menemukan akhi-akhi tampan yang bisa merubah dirinya menjadi lebih baik. Farah tertawa kecil, menepis pikirannya barusan.
Setelah sidangnya selesai di ruang tengah tadi kini gadis itu mengganti seragam sekolahnya dan duduk di meja belajarnya. Kepalanya ia jatuhkan diatas buku dihadapannya, tingkahnya seperti orang yang sedang stress karena banyak tugas. Padahal ini adalah masalah kehidupan baginya!
Orang tuanya selalu mewanti-wanti anak-anaknya untuk menghindari hubungan dengan lawan jenis. Tapi dengan beraninya ia melewati batasan itu, sebenarnya belum terlalu jauh, hanya aturan orang tuanya saja yang membuat itu seolah menjadi masalah besar. Namun benar, hidup juga butuh aturan.
Setelah beberapa menit kini kepala gadis itu terangkat saat mendengar notif pesan yang masuk ke handphone-nya. Bola matanya berputar jengah begitu melihat nama yang tertera. Tangan mulusnya kembali meletakkan handphone itu disamping kepalanya yang kembali ia tidurkan diatas meja belajar, menangisi nasibnya yang tak akan hidup bebas sebentar lagi.
Tak lama, suara panggilan masuk mengagetkan gadis itu yang hampir terpejam. Ia berdecak kesal, tanpa melihat siapa yang menelpon dia langsung mengangkat telepon itu.
"Kalau mau nelpon tu bilang-bilang! Ganggu aja orang mau tidur!" katanya kesal pada orang diseberang sana.
"Eh, iya, maaf."
Jawaban seorang pria di telepon itu seolah mengembalikan arwah Farah yang sempat berkeliaran. Tentu ia sangat mengenali suara diseberang sana.
"Bagaimana?"
Pertanyaan yang tak dapat dicerna otaknya. Farah mengernyit, mencoba memahami pertanyaan sangat singkat dari seberang.
"Gimana apanya, Bang?"
Farah bertanya setelah otaknya tak sanggup berfikir dengan jernih saat ini. Cukup lama, gadis itu menunggu jawaban dari seberang.
"Jawaban kamu soal pertanyaanku tadi."
Farah bersandar pada kursi yang didudukinya, ia menghela nafas pelan. Mengingat bahwa sepulang sekolah tadi Bang Fathur telah mengungkapkan perasaannya pada Farah, tentu gadis itu belum menjawabnya.
"Maaf, Bang. Farah ga bisa."
Farah memejamkan matanya, sadar bahwa untuk yang kesekian kalinya ia telah mematahkan perasaan seseorang yang tulus padanya. Alasan singkatnya, tentu karena peraturan orang tuanya.
"Emang kenapa? Ada yang kurang dariku? Atau aku ada salah? Karna aku pernah buat kamu sakit hati waktu pertama jumpa, ya? Kenapa, Farah?"
Kini Farah memijat dahi dengan tangan kirinya mendengar pertanyaan dan suara yang dapat membuatnya iba pada sang pemilik suara tersebut.
"Ngga, Bang. Bukan itu, anggap aja Farah ga mau pacaran."
"Yaudah kita ga usah pacaran, cuma kayak orang pacaran aja."
Farah mengerjapkan matanya beberapa kali, tak menduga mendengar jawaban seperti itu dari kenalannya. Memang itu hal yang sudah biasa, tapi baginya baru kali ini mendapat penawaran seperti itu dari abangan kelasnya.
"Maaf, Bang Farah ga bisa. Assalamu'alaikum."
Ia langsung menutup telponnya tanpa mendengar jawaban dari seberang. Ada rasa kesal dan kecewa mendengar penuturan terakhir dari Bang Fathur. Tentu Farah tak sebodoh itu sehingga bisa menerima tawaran konyol yang diberikan padanya.
Menurutnya, status itu tak penting. Hanya perilaku dan perbuatan saja yang dapat menjelaskan hubungan apa yang sedang dijalani kedua insan saat bersama.
"Farah, udah diberesin semua pakaiannya?"
Suara itu membuatnya menoleh kebelakang. Farah tersenyum simpul, kemudian beranjak bangkit dan menghampiri umminya yang sedang mengecek isi lemari gadis itu.
"Kamu bawa baju berapa?" tanya Ummi saat melihat lemari gadis itu masih dipenuhi pakaian.
"Tujuh, Mi," jawab Farah tanpa beban.
"Kamu kira mau liburan bawa baju cuma tujuh pasang?" Ummi menepuk dahinya kemudian menghampiri anak sulungnya yang dengan santai duduk ditepi kasur.
"Kebanyakan ya, Mi?" tanyanya polos. Lebih tepatnya, sok polos. Tentu ia tidak akan serius mengemas pakaian jika dirinya saja tak sepenuhnya menerima.
Ummi merapal istighfar. "Bawa semua yang ada di lemari, pilih yang bagus-bagus aja, tertutup juga!"
"Mi, ayolah Farah bukannya mau pindahan!" katanya sedikit kesal.
"Bukan pindahan gimana? Kamu ga bakalan pulang ke rumah, kalau kamu kehabisan baju nanti kamu mau pakai apa? Sarung? Atau daun? Kalau kamu mau ya gapapa ga masalah sama Ummi."
Ummi beranjak kemudian mengeluarkan hampir semua pakaian gadisnya itu. Farah hanya mendengus kesal sambil memperhatikan aktivitas umminya, kini dia tak ingin lagi membantah.
Sambil sibuk memasukkan pakaian kedalam tas, wanita dihadapan Farah itu kini memberinya nasihat dan pemahaman tentang pesantren. Mencoba meyakinkan anaknya bahwa menjadi santri itu tak seburuk dan semenakutkan yang ada dalam fikiran Farah saat ini.
"Ummi yakin, kamu pasti bisa jalani hidup disana."
"Bisa, bisa, bisa pecah kepala Farah gara-gara penuh sama hapalan nanti!"
"Gapapa nanti kita lem kalau pecah!"
Farah menatap umminya tak percaya.
♡♡♡