We just grew apart for the same things
But I know we both want the same things.
—Keshi, Alright
• • •
BENAR kata orang jika masa putih abu-abu merupakan salah satu masa yang paling menyenangkan dalam hidup. Alfred paling setuju, apalagi ada kisah cinta di dalamnya. Zoe memang bukan perempuan yang dia cintai pertama, tapi bersama Zoe, ia merasakan cinta pertama yang nyata.
Zoe tidak seperti mantannya, Rani, yang memutuskan Alfred karena cintanya sudah ... hilang? Karena dulu, Rani bilang dia sudah berubah. Iya, semuanya. Cintanya, pengertiannya, tempat makan kesukaan mereka, film kesukaan mereka, seolah-olah ada hal besar yang tiba-tiba saja membuat Rani bukan seperti dirinya sendiri. Kecuali ... lagu-lagu kesukaan band mereka; Sheila On 7.
Zoe seribu kali lebih baik dari Rani. Zoe selalu berpikir ke depan, ke mana suatu hubungan harusnya berjalan, bagaimana cara menjaganya, mendukung satu sama lain, mimpi-mimpi mereka. Zoe terlalu sabar untuk Alfred yang keras kepala, Zoe terlalu pengertian untuk Alfred yang kadang kurang pedulian, Zoe terlalu riang untuk Alfred yang suka overthinking tiap malam.
Tapi, Alfred terlalu bucin untuk Zoe. Buktinya, hari ini lelaki itu sudah berapa puluh kali melihat instastory Zoe yang berisi potret buket bunga pemberiannya. Bunga daisy, kesukaan Zoe.
Tidak ada tambahan kata-kata. Hanya potret apa adanya. Alfred tersenyum simpul. Hari yang menyenangkan, ia masih bersama Zoe.
"Ketika kamu hanya milikku ..." 🎶
"Ketika suatu waktu kamu butuh ..." 🎵
"Bahkan seorang pelukis pun masih bisa melukiskan kekosongan nyata ..." 🎶
"Seperti wira yang menawarkan pancarona ..." 🎵
"Untuk manusia-manusia gulita ..." 🎶
"Aku dan kamu tidak ada yang salah ..." 🎵
"Ini memang ulah semesta ..." 🎶
Alunan syahdu itu menggema nyaring seantero kamar Alfred. Bertepatan dengan Alfred berhenti bernyanyi, suara tepuk tangan di seberang sana menyusul.
"Sering-sering nyanyi buat aku, ya!" Indra pendengaran Alfred menyambut halus suara riang Zoe.
"Hmm ... lagu yang sama lagi?"
"Apa pun itu, semua lagu kamu, suara kamu, semua tentang kamu ... aku suka."
Jawaban yang selalu sama ketika Alfred merasa takut kehilangan Zoe. Jawaban yang selalu Alfred simpan di rak paling atas di kepalanya, bahkan bisa membuat iri rak-rak pikiran lain.
"Zoe–"
"ALFRED! DI MANA? MAKAN DULU YUK!"
Jantung Alfred hampir copot ketika teriakan itu menginterupsi percakapannya dengan Zoe. Sontak Alfred menjauhkan ponsel dari telinga lalu menutup lubang microphone di bagian bawah ponsel dengan telapak tangan.
"ALFRED! PUSSS! PUSS!"
Secara impulsif, Alfred melongok keluar jendela. Seorang perempuan yang sedang mencari sesuatu itu asal masuk karena pagar rumah Alfred kebetulan sedang tidak dikunci.
"Al? Kenapa?"
"Zoe, nanti aku telepon lagi, ya? Jaga kesehatan, Sayang!"
Tanpa menunggu balasan Zoe, Alfred segera memutus sambungan telepon. Buru-buru Alfred turun ke lantai bawah dan mencegah perempuan mencurigakan itu bisa masuk seenak jidat ke rumahnya.
Baru saja membuka pintu, Alfred langsung menahan dahi perempuan gila itu. Di tempatnya, tampak keterkejutan nyata dari binar mata Letta yang baru mendongak, menatap Alfred lekat-lekat. "Alfred? Kok di sini?"
Alfred tidak bisa berkata-kata.
Bukannya diam, Letta justru semakin gencar melongok sana-sini mencari sesuatu. Sontak saja membuat Alfred kewalahan menahan dahi Letta agar perempuan itu berhenti.
"Penguntit!"
Satu kata itu berhasil menghentikan Letta. Raut panik kentara sekali dari wajah Letta. "Apa, sih? Letta cuma mau cari Alfred."
"Ya ... iya, berarti lo penguntit!"
"Nggak, kok," jeda Letta, mendadak dia jongkok dan melambaikan tangan. "Sini Alfred."
Seekor kucing berbulu hitam muncul dari belakang Alfred lalu meluncur dalam gendongan Letta. "Alfred, suka main ya di rumah Alfred besar."
Sebentar, apa katanya?
"Ini Alfred kecil, mau kenalan sama Alfred besar," sahut Letta menjulurkan satu kaki kucing pada Alfred.
Benar-benar perempuan gila!
Sialan! Nama gue dijadiin nama kucing, apa nggak kebagusan? batin Alfred.
"Ogah."
"Nggak boleh gitu, ish!" Letta menggendong kucingnya dengan gemas. "Alfred besarnya masih butuh waktu buat kenalan, nanti lain kali aja ya!" seru Letta bersemangat.
Alfred mendorong pelan-pelan tubuh mungil Letta untuk segera hengkang dari rumahnya. Sejurus kemudian Alfred mengunci gembok pagar. "Pergi sana! Dasar penguntit!"
"Alfred itu nggak percayaan ya? Letta bukan penguntit! Ini kebetulan. Yes, asyik!"
"Asyik apa?"
"Berarti ... " Letta menggantung ucapannya, netra perempuan itu bergulir memandangi rumah seberang dan rumah Alfred. "Kita tetanggaan."
"Nggak peduli," jawab Alfred ketus.
Dari pagar setinggi bahunya, Alfred mengembuskan napas jengah. Matanya melotot, seolah memaksa Letta agar segera pergi. Perempuan itu mengacir ke halaman depan rumah seberang, menurunkan kucing hitam dari gendongan, lalu ikut membantu mengangkat kardus-kardus kecil.
Ada dua mobil pikap yang membawa furniture dan tumpukan kardus yang ditutupi terpal. Ada dua orang tukang angkat yang ikut membantu menurunkan isi dalam mobil pikap. Rumah itu sudah kosong selama sebulan karena tetangga Alfred pindah ke luar negeri. Kata Bunda beberapa hari yang lalu, akan ada penghuni baru, yaitu keponakan Tante Sisil–tetangga sebelumnya.
"TAPI HARUS PEDULI KALO SEKARANG DAPET PERHATIAN LETTA YA ALFRED!"
Ini pasti Alfred si Kucing Hitam.
Dan Alfred menutup telinganya rapat-rapat, apa pun itu dia tidak peduli dan tidak akan.