.
.
.
Mereka menemukan harta karun!
Si kembar saling melempar pandang, sesaat setelah mereka menggelar gulungan perkamen di tangan. Di dalam ruangan gelap dengan pendar remang dari pencahayaan Margo, gambar buram itu tampak jelas sekali. Kedua manik biru laut mereka saling bertemu, mengatakan hal yang sama. Tautan jemari yang disusul jeritan tidak bersuara pun memenuhi lingkar wajah pucat Spiegelman bersaudara.
[Satu minggu sebelumnya ....]
Pekerjaan Tuan Spiegelman sebagai bankir membuahkan hasil yang cukup membanggakan. Plakat penghargaan dari Gubernur Canterbury bertambah satu, diberikan tepat sebelum kepindahannya ke kota ini, dan untuk dipajang di atas lemari ek megah yang diletakkan di Ruang Tamu Besar. Untuk menghadang atensi tamu jikalau ada yang sedang berkunjung. Kepindahan mereka ke Cornwall disertai harapan mempunyai rumah baru di tepian Semenanjung Hersey. Beruntung, anak-anak dan istrinya tidak keberatan meninggalkan tepian London, untuk menetap di countryside.
Pagi ini, keluarga Spiegelman memiliki janji temu dengan Tuan Jacobs, penjaga Manfred Manor sebelumnya. Manfred Manor adalah kastil tua yang tanahnya dimiliki kota, maka tidak mengherankan, jika kepemilikannya sering berganti-ganti. Gambar bangunannya menjelaskan kenapa dimasukkan dalam kategori bangunan kota. Usianya mungkin sudah lebih dari satu abad. Meski begitu, kastil kecil di pinggir Wales Cliff itu tetap terlihat indah dengan konstruksi khas era Victoria, Anglo-Saxon.
Tergopoh-gopoh, Tuan Jacobs datang dengan truk cokelat yang sebagian bumpernya telah mengelupas. Sepatu boots karet, pakaian safari, dan topi lebar jelas menandakan pekerjaannya sebagai petani, atau peternak. Seorang anak lelaki berusia hampir sama dengan Margo dan Magdalena tampak mengikuti Tuan Jacobs. Pakaian yang dikenakannya tampak sedikit berbeda, meski tidak terkesan lebih rapi. Yaitu kemeja putih pudar dengan celana cokelat selutut dan sepatu hitam. Tingginya mungkin sekitar 5 kaki, cukup tinggi untuk anak seusianya. Wajahnya bulat-lonjong, bertulang pipi tegas, berperawakan kurus, dan rambut ikal keemasan khas milik keturunan Britania atau Jerman. Tampan.
"Halo, Tuan Spiegelman. Di sini, di sini," Tuan Jacobs berujar sembari mengumbar senyum melalui bibir merah pucat yang tersembunyi di balik kumis tebal. Seperti bangsawan Jerman di zaman dahulu kala. Saat pintu rumah terbuka, ia menunjukkan berbagai macam furnitur antik dan ruangan penuh sejarah. Ucapannya mulai menjalar kemana-mana. Namun, muaranya hanya satu, membuat Tuan Spiegelman tidak memiliki keraguan untuk segera membeli tempat itu.
"Saya juga punya tempat lain untuk ditunjukkan," anak lelaki Tuan Jacobs tampak berusaha mengajak Margo dan Magdalena berbicara. "Jika tidak keberatan ...," lanjutnya menawarkan tangan menuju lantai atas. Sebab pandangan Spiegelman bersaudara terlihat sedikit waspada. Terutama Magdalena.
Melalui anak tangga kayu, Williamーnama putra Tuan Jacobs, berkali-kali menoleh pada si kembar. Barangkali takjub mendapati dua gadis blonde bermata biru tepat di depan matanya, yang ternyata saudari satu plasenta.
"Mari masuk kesini," tawarnya membuka ruangan yang nantinya menjadi kamar pilihan Margo dan Magdalena. William lantas melanjutkan, "... dari yang saya ketahui, ruangan inilah yang paling istimewa. Jika kalian berdua menyingkirkan kabinet itu, kalian akan dapat menemukan pintu setengah yang menyembunyikan banyak hal menarik di dalamnya."
"Bagaimana aku bisa mempercayaimu?" Margo memotong wicara. Skeptis masih mengalahkan penasaran untuk segera membongkar ruangan itu saat ini juga.
"Saya tinggal dan bermain di sini untuk waktu yang lama."
"Apa menyenangkan?"
"Kamu hanya sekadar berbasa-basi kan?"
Willian tertawa, mendengar tanggapan berbeda dari Margo dan Magdalena. Lengannya lantas menggeser sofa, menunjukkan kepada mereka, sisa-sisa upaya yang dilakukan Willian untuk membongkar misteri di dalamnya.
“Lihat ini,” tunjuk William pada tembok yang telah terkikis sebagian. Serta sekeping batu-bata yang sudah lepas dari perekatnya. Dari sana, tampak lapisan kayu berdebu yang tidak seharusnya berada di sana.
"Sayangnya, saya belum berhasil menyelesaikan semuanya,” lanjutnya sembari mengajak kembar bersaudara itu keluar dari sana. William sadar betul untuk tidak boleh menciptakan sedikitpun rasa penasaran orang dewasa. Mengunjungi kamar, melihat-lihat ruangan dalam porsi waktu normal sangat membantu mengurangi kecurigaan Ayahnya–dan klien–ketika proses penawaran sedang berlangsung. Dengan begitu, hal menarik yang dia temukan akan semakin menarik, apalagi jika ada dua orang lain lagi yang dapat diajak kerjasama.
“Bagaimana, kalian suka?” tanya Tuan Spiegelman begitu mendapati keduanya menuruni tangga dengan pandangan berbinar.
“Amazing, Dad,” Magdalena bersuara.
“Aku juga ingin tinggal di kamar yang sama. No question, Dad,” Margo menimpali, disertai pernyataan tidak menerima permintaan penjelasan.
“Hahaha, okay.”
.
.
.
Pagi muncul seakan lebih tergesa-gesa dari biasanya. Bukan matahari yang terburu-buru datang, tetapi kedua putri Tuan Spiegelman yang tidak sabar untuk menyambutnya. Maka ketika debur ombak datang lebih bergemuruh daripada saat malam tiba, Margo dan Magdalena tidak bisa lagi menutup mata. Mereka menantikan pertemuan yang dijanjikan William begitu berhasil membuka pintu rahasia. Selain itu, adanya peta tua merupakan kabar yang harus segera disampaikan!
Mereka bergegas turun begitu mendengar peralatan dapur saling beradu. Disusul dengan aroma bacon dan telur goreng menyeruak memenuhi Manfred Manor. Tuan Spiegelman lantas muncul dengan setelan kemeja kerja seperti biasa dan tas kulit yang juga belum diganti.
"Kalian jadi berkunjung ke rumah William?"
"Ya!"
"Of course! Setelah itu kami akan berkeliling kota. Boleh 'kan, Mum?""
Nyonya Spiegelman mengangguk, sengaja tidak melibatkan diri dalam pembicaraan yang lebih jauh. Mengetahui kedua putrinya dapat beradaptasi lebih cepat saja, sudah merupakan kebahagiaan tersendiri. Dia tidak ambil pusing di mana Margo dan Magdalena akan menghabiskan hari, sejauh masih di Cornwall, rasanya tidak masalah. Lagipula dia lebih peduli pada betapa berharganya peralatan memasak kuno yang didapatkannya secara cuma-cuma dari rumah ini. Bonus, katanya.
Sebuah tas selempang merah muda menggantung di bahu Magdalena, yang di dalamnya terdapat peta tempat wisata di seluruh Cornwall serta peta kecoklatan berlanskap sama. Namun terlihat jauh lebih tua, pun terlihat lebih kosong. Meski ada beberapa bagian seperti labirin dari tata kota rahasia. William, melalui perbincangan singkat di telepon, telah berjanji akan mengajak mereka berkeliling pusat kota Cornwall.
Kelontang besi sepeda muncul sebagai pertanda seseorang sedang melintasi jalanan kerikil yang menuju pintu depan Manfred Manor. William pun menunjukkan eksistensinya dengan sepeda saat keluarga Spiegelman sedang berada di halaman depan. Nyonya Spiegelman yang mengantar suaminya pergi bekerja dan si kembar yang bersiap melakukan petualangan rahasia di tengah kota menjadi pemandangan pertama untuk William Jacobs.
"I put them on your shoulders, young man," Tuan Spiegelman menepuk pundak William sebelum menghilang di balik kemudi. Berlalu menuju satu-satunya bank di Wales Cliff.
"Kemana tujuan kita?" Magdalena bertanya. Sepeda yang seharusnya dikayuh, kini menjadi teman perjalanan bagi masing-masing anak. Pembicaraan yang terjadi mendorong mereka untuk mengumpulkan lebih banyak waktu.
"Owl House. Oh! Aku sudah mengumpulkan barang-barangku di sana," jawab William.
"Cool."