'Cinta tahu kapan ia akan datang dan hilang'. Kalimat itulah yang sedang dibaca oleh Deva di novel kesukaannya. Setelah ia selesai belajar dan mengerjakan tugas-tugasnya, ia selalu tak lupa untuk membuka novel-novel yang tertata rapi di rak bukunya. Sudah pasti jika hobinya itu adalah membaca.
***
Esok paginya, hari yang cerah telah menyambut Deva yang sedang bergegas untuk bersiap ke sekolah. Deva sekarang masih berstatus pelajar kelas 3 SMA.
"Dek sarapan dulu! Kamu kebiasaan susah banget kalo disuruh sarapan. Kalo gak sarapan dulu, kakak gak mau anter kamu ke sekolah loh!"
"Iya, Kak. Ah, Kak Reza mah sukanya ngancem gitu."
"Makanya sarapan dong. Nah, itu kan bagus, itu baru namanya adek yang baik."
"Oh ya, Kak. Mama papa kapan pulang?"
"Ehm, kakak juga belum dapet kabar, Dek. Mungkin mereka lagi sibuk banget di sana. Mereka kan kerja juga buat kita, Dek."
"Tapi aku kangen mereka, Kak. Udah lama kan kita sekeluarga gak kumpul bareng lagi."
"Iya, kak Reza tau, kakak juga kangen kok sama mama papa. Tapi, kita kan udah besar, Dek, kita harus bisa ngertiin kondisi mama papa sekarang yang lagi banyak kerjaan. Lagi pula kan ada kak Reza. Kakak akan jaga kamu."
Kasih sayang Reza ke adiknya mungkin tak dapat terhitung. Reza tak pernah membiarkan Deva mengeluarkan setetes air mata pun akibat ada yang menyakitinya. Karena sebelum itu terjadi, orang itu sudah berurusan dengan Reza. Reza pun hingga detik ini masih memilih untuk menjomlo demi mendapat pilihan hati yang tepat yang tidak hanya sayang padanya, tapi juga sayang pada adiknya.
***
Akhir-akhir ini Deva sering sekali sakit. Entah kenapa Deva mudah sekali lelah dan sering merasakan nyeri yang tak tertahan. Bahkan di waktu yang tak terduga Deva sudah berkali-kali pingsan hingga membuat panik orang-orang di sekelilingnya.
"Deva, kamu kenapa lagi, Dek?"
"Maaf Kak Reza, tapi aku juga gak tau kenapa aku bisa pingsan gitu."
"Kamu sering banget bikin semuanya panik. Ini dah gak bener, Dev, kita harus cek kesehatan kamu ke dokter, ya?"
"Ah, gak usah, Kak. Aku dah baikan, kok. Lain kali aja, ya."
"Ya udah sekarang kamu pulang aja sama kak Reza, ya? Kakak udah izin kok sama guru kamu."
***
Beberapa hari kemudian, di sekolah, Deva benar-benar merasa kesakitan, ia pun pingsan lagi. Akhirnya teman-teman Deva memutuskan untuk membawa Deva ke rumah sakit. Itulah yang menjadi awal pertemuan Deva dengan dokter Aditya Iqbal Maulana. Dokter Iqbal adalah dokter spesialis yang berparas tampan, usianya pun masih terbilang cukup muda. Mungkin seumuran dengan Reza—Kakak Deva. Di usia semuda itu, ia sudah bisa menjadi dokter spesialis. Benar-benar sosok pria idaman, bukan?
"Hai, akhirnya kamu sadar juga. Boleh tau namanya?"
"Deva. Eee. Dokter, aku kenapa, ya?"
"Aku Dokter Iqbal. Tadi temen-temen kamu yang bawa kamu ke sini. Kamu tadi pingsan. Sekarang apa yang kamu rasain?"
"Ehm, masih agak sakit sih, Dok, tapi udah mendingan, kok."
"Ya udah, aku masih butuh pemeriksaan lanjutan buat diagnosis sakit kamu. Sekarang mending kamu kabarin keluarga kamu, ya!"
Setelah Reza datang, Iqbal menjelaskan diagnosis-nya, Reza begitu terkejut dan lemas seketika karena tahu sakit yang diderita Deva saat ini bukanlah sakit biasa bahkan bisa dikategorikan sebagai penyakit yang parah. Reza memohon pada Iqbal, memintanya berusaha sebaik mungkin untuk menyembuhkan Deva. Namun, kelihatannya saat ini hal itu masih terlalu sulit untuk Iqbal lakukan. Iqbal belum bisa menemukan solusi yang tepat.
***
Seiring berjalannya waktu, Iqbal menyadari bahwa dirinya ternyata tertarik pada pasien barunya itu. Sepertinya ia baru memahami apa yang dinamakan dengan jatuh cinta pada pandangan pertama.
"Aduh, kenapa aku jadi kepikiran dia terus, ya? Apa karena sampe sekarang aku belum bisa bikin dia sembuh? Ah, gak gak--rasanya beda. Bukan karena itu. Apa aku jatuh cinta ya sama dia? Tapi masa' sekalinya aku jatuh cinta malah harus sama anak SMA sih, pasien sendiri lagi."
Iqbal akhirnya memutuskan untuk memberanikan diri menyatakan perasaannya pada Deva. Ia bahkan rela mendatangi sekolah Deva untuk menemuinya siang itu.
"Ehm, Devana."
"Eh, Dokter Iqbal, ada apa, Dok? Dokter ada urusan di sini?"
"Sebenernya aku mau temuin kamu."
"Oh gitu. Tapi kenapa, Dok? Apa ada pemeriksaan lagi? Disuruh kak Reza, ya?"
"Gak, kok. Aku cuma mau ajak kamu makan siang."
"Apa? Makan siang, Dok?"
"Eee iyaa. Kamu gak mau, ya?"
"Mau kok, Dok. Dokter kan udah jauh-jauh dateng ke sini. Masa' aku nolak?"
Iqbal mengajak Deva makan siang di cafe dekat sekolahnya. Setelah makan siang, Iqbal mulai menyampaikan maksud hatinya.
"Dokter Iqbal, makasih buat makan siangnya, ya."
"Sama-sama Deva. Ehm, kamu jangan lupa minum obatnya, ya!"
"Iya Dokter, aku kan juga pengin cepet sembuh."
"Oh ya, ehm Deva aku anter kamu pulang sekalian, ya?"
"Apa gak ngrepotin, Dok? Aku jadi gak enak sama Dokter Iqbal."
"Gak sama sekali, kok. Gapapa. Aku malah seneng bisa anter kamu. Tapi, sebelum kamu pulang, sebenernya ada yang mau aku omongin sama kamu."
"Oh ya udah. Kenapa, Dok?"
"Dev, aku--aku sayang sama kamu."
"Apa? Haha. Dokter apaan, sih? Kenapa bercandanya gitu, sih?"
"Aku gak bercanda kok Deva. Aku serius, aku cinta kamu. Mungkin kamu rasa ini aneh kan? Aku ngerti. Tapi, beneran aku mau kamu jadi pacar aku. Kamu mau kan, Dev? Aku mohon terima aku."
"Maaf, Dok. Aku gak bisa jawab sekarang. Aku butuh waktu buat pikirin itu."
"Oke Deva, aku bakal tunggu sampe kamu siap jawab ini."
Deva sama sekali tidak menyangka jika dokter yang baru ia kenal kini menaruh hati padanya. Namun, ia pun bingung harus menjawab apa atas permintaan Dokter Iqbal.
===
Seiring waktu berlalu, Deva masih sering harus bolak-balik ke rumah sakit karena sakitnya masih sering kambuh. Itu pun juga berarti ia harus sering bertemu dengan Iqbal.
"Deva, kamu tenang aja, ya. Gak usah khawatir, aku akan berusaha buat bikin kamu sembuh. Kamu harus semangat dan yakin. Percaya sama aku, ya."
***
Setelah banyaknya kejadian yang berlalu, terutama moment-moment perhatian Iqbal pada Deva di rumah sakit, Deva sepertinya mulai menyadari jika Iqbal itu sosok lelaki yang baik dan tidak akan mengecewakan jika dijadikan kekasih.
"Apa aku terima cinta Dokter Iqbal aja, ya? Selama ini dia baik banget sama aku. Aku juga dah banyak ngrepotin dia. Kayaknya aku mulai tertarik sama dia."
Akhirnya sore itu sepulang sekolah, Deva pergi ke rumah sakit. Bukan karena sakitnya kambuh saat itu, melainkan karena ia ingin menemui Iqbal.
"Devana? Kamu di sini. Kenapa, Dev? Apa kamu ngerasa sakit lagi?"
"Ehm, gak kok, Dok. Aku justru ke sini sengaja pengin ketemu Dokter Iqbal."
"Haa? Ketemu aku? Ada apaan nih? Tumben."
"Eee. Ini soal pertanyaan Dokter waktu itu."
"Pertanyaan--oh, oke. Jadi kamu dah punya jawabannya?"
"Iya Dokter. Aku--aku mau terima Dokter Iqbal jadi pacar aku."
"Tunggu. Kamu serius? Aku gak salah denger kan? Jadi sekarang kita--"
Iqbal dengan spontan langsung memeluk Deva. Ia begitu senang karena penantiannya selama ini telah berakhir.