Nara sedang duduk di balkon kamarnya sambil membuka hadiah dari Amanda. Gadis itu membaca surat dengan serius. Nama belakang Amanda persis dengan nama yang selama ini menjadi favoritnya. Rasa penasaran Nara semakin menjadi-jadi. Untungnya, Amanda mencantumkan nama instagramnya disana. Tanpa berpikir lama, Nara segera mengirim pesan dan membuat janji untuk bertemu esok hari.
"Apakah memang benar ada hubungannya?" gumam Nara.
***
Hari yang ditunggu-tunggu Nara telah tiba. Gadis itu sedang duduk di sebuah kafe yang tak jaug dari rumahnya. Selang beberapa menit, sesosok gadis muda sepertinya berjalan mendekat ke arahnya. Nara tersenyum dan menyapanya.
"Ya ampun, ini beneran aku bisa ngobrol berdua sama Bukit Senja?" ucap Amanda.
Nara tersenyum dibalik maskernya. Walaupun ia yang mengajak Amanda bertemu, Nara tetap menggunakan masker, topi, dan kacamatanya. Gadis itu belum ingin untuk membuka identitas aslinya.
"Halo," sapanya.
Gadis yang bernama Amanda itu tersenyum antusias.
"Kak, makasih banget karena udah menciptakan novel ini. Aku senang banget bacanya. Bahkan, aku selalu komen di setiap bab yang kakak publikasi!"
Nara terenyuh. Mendapat pujian dari pembacanya seperti ini membuat dirinya semakin giat lagi untuk menciptakan karyanya.
"Makasih ya, Manda. Aku juga senang dapat pujian dari pembacaku. Oh iya, kamu tadi diantar siapa?"
"Diantar abang. Kebetulan dia ada waktu senggang."
Nara mengangguk paham.
"Kalau nggak salah, Kakak seumuran sama abangku. Mau kenalan, Kak?"
Nara terdiam seketika. Bagaimana bisa Amanda yang baru mengenal dirinya, lalu berusaha mengenalkan pada kakaknya?
Amanda terus menatap Nara, menunggu jawaban dari gadis itu. "Tenang, Kak. Abangku nggak gigit, kok!"
Nara membalasnya dengan senyuman.
Dua jam telah berlalu. Mereka banyak mengobrolkan tentang novel dari berbagai penulis. Selama mengobrol dengan Amanda, Nara menjadi bahagia. Ia seakan menemukan sosok teman yang selama ini hilang. Sebaliknya, Amanda bercerita dengan antusias kepadanya.
"Kamu kelas berapa, Man?"
"Kelas sebelas, Kak. Kenapa?"
Nara menggeleng. "Soalnya kamu lucu!"
Jam menunjukkan pukul empat sore. Amanda dan Nara puas berinteraksi satu sama lain. Tak hanya itu, Nara juga meminta nomor ponsel pembacanya itu. Ia ingin menjalin tali pertemanan dengan Amanda. Dan, gadis itu pun setuju. Dari kejauhan, terlihat seorang lelaki yang beperawakan tinggi dan gagah. Nara memicingkan matanya. Jantungnya mulai berdetak tidak karuan. Lelaki itu adalah sosok yang dicarinya selama ini.
"Kak!" ucap Amanda sambil melambaikan tangan.
Lelaki itu mulai mendekat ke arah mereka. Nara hanya bisa menutup matanya dan berusaha bersikap biasa saja.
"Udah selesai, Man?"
Amanda mengangguk. "Kenalin, bang. Ini teman baruku, sekaligus penulis favoritku. Namanya Bukit Senja."
Lelaki itu tampak kebingungan ketika menatap Nara yang memakai masker, topi, dan kacamata.
"Halo, saya Bala, abangnya Amanda," ucapnya dengan suara yang berat.
Nara hanya mengangguk tanpa merespon sapaan itu.
"Benar namamu Bukit Senja?"
"Nggak, itu nama pena," jawab Nara.
"Jadi, nama aslinya siapa?"
Nara memutar otak. Ia menatap ke arah Amanda, gadis itu menunggu jawabannya. "Maaf, saya kurang nyaman untuk mengenalkan diri saya ke orang baru."
Lelaki yang bernama Bala itu mengangguk paham.
"Kak, mau main ke rumah?" ajak Amanda dengan antusias.
Nara menggeleng. "Lain kali ya, Man. Aku masih ada urusan setelah ini."
"Yah, sayang sekali. Kalau gitu, sampai jumpa lagi ya, Kak!"
"Iya. Hati-hati dijalan!"
Sepeninggal kakak beradik itu, Nara menghembuskan nafas lega. Bagaimana bisa ini terjadi? Kebetulan yang membuat hatinya senang, sekaligus gundah. Bagaimana jika identitasnya terbongkar suatu saat nanti? Entahlah. Saat ini, Nara hanya ingin pulang ke rumah dan menulis tentang apa yang terjadi hari ini.
Nara setia memandangi langit-langit kamarnya. Sesekali, ia tersenyum bahagia. Akhirnya sosok yang selama ini ia rindukan bertemu juga. Meskipun, sosok itu sama sekali tak mengenali dirinya.
"Kebetulan macam apa ini? Apa ini yang dinamakan takdir?" tanyanya pada diri sendiri.
***
Hari ini, Nara akan bertemu Amanda. Berbeda dengan sebelumnya, mereka akan bertemu di rumah Amanda. Nara menyiapkan mental sejak dua hari yang lalu. Semoga saja jantungnya bisa diajak kompromi.
Rumah bergaya Amerika Klasik yang dominan berwarna hitam dan putih berdiri megah dihadapannya. Nara memencet bel dan dipersilahkan masuk. Gadis itu terpana dengan arsitektur rumah Amanda. Semuanya tampak indah seperti yang dilihatnya dalam beberapa film Hollywood.
"Kak!" sapa Amanda dengan semangat.
Nara tersenyum dibalik maskernya. "Maaf, ya. Aku telat soalnya tadi macet."
Amanda mengangguk dengan tetap tersenyum. "Ayo masuk, Kak. Di rumah cuma ada aku sama abang, sementara papa dan mama kerja. Jadi, Kakak jangan merasa canggung, ya?"
Nara mengangguk setuju. Ia mulai memasuki rumah megah ini. Pandangannya tak terlepas dari semua perabotan yang ada. Mereka berjalan menuju ruang keluarga. Disana sudah ada Bala yang sedang duduk di meja makan, berhadapan dengan laptop. Cowok itu terlihat sangat fokus. Tanpa sengaja, Nara menciptakan seulas senyum di bibirnya.
"Duduk disini aja, Kak," ucap Amanda.
Nara mengikuti gadis itu untuk duduk. Amanda mulai menceritakan semuanya kepada Nara, mulai dari kesukaannya hingga novel yang ditulis Nara sendiri. Menurut Nara, Amanda adalah gadis yang serba ingin tahu.
"Kak, cerita ini nyata nggak, sih?"
Jantung Nara seakan berhenti berdetak. "Kenapa, Man?"
Gadis itu mengedikkan bahunya. "Soalnya terasa nyata banget dan aku bisa merasakan itu."
Nara terdiam, terhanyut dalam lamunannya sendiri. Tanpa disadari, ia menatap ke arah Bala, membayangkan semua kejadian yang terjadi di novel karyanya. Apakah mereka akan berakhir sama seperti itu? Sementara Amanda, ia mengikuti arah pandangan Nara. Pandangan penulis favoritnya itu terpusat pada abangnya sendiri.
"Kak?"
Nara masih tidak merespon. Gadis itu masih setia menatap Bala. Kemudian, Amanda menyentuh tangan untuk menyadarkan gadis itu.
"Eh, iya. Kenapa, Man?"
Amanda menatap Nara. "Kakak ngelamunin apa?"
Nara menggeleng. "Enggak, kok. Maaf ya, Man."
Gadis yang ada di hadapannya itu tersenyum. "Nggak papa, Kak. Oh iya, mau aku panggilkan abang? Kayaknya Kakak kenal sama abang, ya?"
Ucapan Amanda membuat hatinya tak karuan. Bagaimana jika Bala sungguhan mendekat dan mengobrol dengan dirinya? Bagaimana jika nantinya Bala akan tahu tentang diri dan tulisannya? Saat Nara sadar dari lamunannya, Bala sudah berada di hadapannya. Duduk disamping Amanda.
"Hai!" sapanya ramah.
Nara hanya bisa menunduk, berusaha mengontrol dirinya. Disapa Bala seperti ini adalah impiannya yang tak kunjung jadi kenyataan. Hari ini, impian itu sudah terjadi. Momen yang sangat ditunggunya sejak SMA dulu.
"Duh, bagaimana harus menyikapi semua ini?" ucapnya dalam hati.
"Sepertinya kita pernah ketemu di SMA dulu?" ucap cowok itu lagi.
Jantung Nara kembali berdetak cepat. Bala mengingat dirinya?