Ibuk bekerja jadi akuntan disalah satu kantor layanan pajak milik swasta. Aku pernah beberapa kali diajak ibuk kesana, katanya sekadar lihat-lihat dan cari pengalaman. Teman ibuk yang namanya Tante Wina itu juga sibuk banget memintaku yang sebentar lagi lulus ini buat kuliah akuntansi, mereka apa nggak pernah tahu atau pura-pura lupa, kalau setiap penerimaan rapot nilai matematikaku itu banteng—istilah yang diucapkan temen-temen sekelasku kalau dapat nilai jelek.
Karena hidupku cuma berdua dengan ibuk, di rumah, kami persis melakukan banyak hal sama-sama, kecuali kalau aku lagi main gim, sudah pasti sembunyi-sembunyi dari ibuk. Seperti sekarang, di hari Senin yang sialnya gerimis ini, ibuk lagi-lagi mengingatkan aku soal jangan mengeluh, hujan ini adalah berkah katanya, sebab mukaku sudah masam saat keluar dari kamar, membayangkan tidak bisa jajan keluar gedung sekolah.
Kami sarapan nasi uduk langganan Ibuk, yang herannya aku tidak pernah bosan meski harus makan ini lima kali dalam seminggu, karena kalau weekend ibuk pasti masak. Dan, ini adalah sekian dari banyaknya pembicaraan kami di meja makan, apalagi kalau bukan soal, “Sera, kamu mau kuliah dimana? Dan ambil jurusan apa?”
Semenjak kelas tiga, pertanyaan ini seperti sebuah rutinitas baru untuk ibuk, yang kalau tidak dilakukan rasanya ada yang hilang. Hal itu mengharuskan aku menjawab pertanyaannya dengan alasan yang berbeda setiap hari. Seperti, belum mendapatkan kampus idaman, bingung ambil jurusan, tunggu referensi dari sekolah lah, atau yang paling klise adalah, “ya lihat nanti saja ya, Buk.”
“Mau lihat sampai kapan Ibuk ini?”
“Ya, kan Sera lulusnya masih lama juga, Buk. Masih empat bulan lagi. Alumni-alumni yang biasanya ngasih selebaran brosur juga belum ada yang dateng,” keluhku yang lupa bahwa waktu berjalan semakin ligat setiap harinya, dan aku masih santai dengan nasibku yang belum terang ini.
“Kalau bisa, usahakan dapat yang negri, bisa jadi ibuk sudah tidak kuat membiayai kamu kuliah nanti. Ikutlah itu seleksi bersama masuk universitas, atau ambil tes beasiswa."
Perkataan yang mungkin jika aku adalah Kiara, akan menjadi sebuah penyemangat tersendiri. Tetapi di telingaku, ucapan ibu melahirkan ketakutan sekaligus sebuah ancaman mutlak yang mau tidak mau mengharuskan aku masuk ke universitas negri.
Ibuk curang, dia baru empat puluh lima tahun. Setidaknya aku harus mendoakan ibuku berumur panjang agar bisa melihatku wisuda entah di kampus mana nanti aku berada. Setidaknya juga, usia pensiun kan lima puluh tiga, jadi ibuk masih punya waktu sekitar tujuh tahun lagi untuk bekerja.
Jika pemikiran seperti ini membuatku dicap sebagai anak durhakan karena meminta ibunya terus bekerja, maka aku tidak apa-apa jika harus tidak mengenyam bangku kuliahan, toh di universitas sekarang belum ada jurusan gim kan? Hehehe.
Namun, ibuk tetaplah ibuk. Entah ada atau tidak pikiran seperti itu di kepalaku, semenjak Bapak tidak ada, Ibuk menanggung beban mencari nafkah dengan baik, dia tidak akan rela melihatku kesusahan. Masuk ke universitas negri adalah salah satu alasan ibuk supaya aku berhenti berman gim dan melupakan cita-cita yang terus menerus aku jelaskan padanya.
“Kok diem? Kalau diem ibuk anggap kamu menyanggupinya.”
“Ya, enggak gitu juga kali, Buk. Sera kan masih mau jadi gam—” kata-kataku terputus lalu langsung dihadiahi ibuk oleh sebuah tatapan tajam.
“Kamu boleh jadi gamers,” ucapan ibuk menggantung di udara, membuatku menanti dengan tidak sabar, apakah ada kemungkinan jika ibu sudah berubah pikiran? “Tapi nanti, kalau ibuk sudah menyusul Bapakmu. Sekarang, kamu harus jadi sarjana dulu.”
Lalu, pagi yang diawali dengan percakapan semacam itu, akan berakhir dengan dingin, sedingin pohon anggrek ibuk yang kehujanan di teras rumah.
***
Sampai di kelas, Karis sudah nangkring di meja kami dengan anggunnya membuka buku catatan, “Loh, emang ada PR?” aku yang sedang dihantui perkataan ibuk, makin mendung saja jika hari ini aku kelupaan mengerjakan PR, terlebih PR dari pelajaran yang tidak aku sukai.
“Ketauan, pasti ini adalah muka-muka yang abis begadang main gim semaleman,” Karis mencibirku sepagi ini, astaga. Tapi perkataannya memang benar. Semalam aku main gim sampai pukul satu dini hari, karena ada paket hadiah yang harus kuambil, berisi satu set pakaian dengan tema keong cinta.
Gim yang sedang aku mainkan setahun terakhir ini adalah jenis gim dengan ritme musik yang mirip dengan Guitar Hero, bedanya gim ini adalah 3D dengan fitur drees up, kita bebas mix and match model dengan pakaian yang kita dapat dari mall atau dari event yang sedang diselenggarakan. Apalagi, event akan direset setiap minggu dan temanya juga tergolong bervariasi. Di dalam gim, kita juga bisa menikah, memiliki anak, membangun rumah, dan mencari harta karun di pulau. Nggak kalah dengan game RPG seperti Toram Online dan MOBA seperti Mobile Legends yang sempat aku mainkan juga, Idol Party ini juga punya sistem tanding seperti tari match up ataupun ranked. Dengan waktu main yang lebih singkat, aku jadi bisa banyak mencuri waktu dari ibuk.
Walaupun kesan pada gim ini seperti sangat feminim, tapi banyak juga laki-laki yang memainkan model gim ini. Aku juga tidak keberatan memainkan gim laki-laki yang notabone lebih sulit dari menamatkan gim bounce di ponsel. Aku punya tim e-sport, —dulu sih. Sekarang juga masih, tapi sejak SMA, mencuri waktu ke basecamp bahkan lebih sulit dari pada pelajaran fisika.
“Yee, yang bener, sih Ris. Ada PR atau enggak?”
“Enggak ada, Serayu Wening Setiaji.” Sontak jawaban itu membuatku aku tersenyum lega. Karis adalah satu-satunya orang yang know me so well. Meskipun bawelnya sama dengan ibuk bagai pinang dibelah dua, setidakya Karis tidak pernah menghakimi cita-citaku yang orang bilang tidak punya masa depan ini. Karis selalu berpandangan luas dan bisa melihat segala sesuatu dari banyak sisi, termasuk era e-sport seperti sekarang.
“Minggu depan kita harus udah mulai bimbel kan ya?” Tanya Karis yang langsung melupakan pembicaraan PR. Bimbel ini seperti kegiatan setiap anak kelas tiga untuk datang masuk lebih awal menjelang Ujian Nasional, yang artinya, jika waktu masuk kelas biasanya pukul tujuh lewat lima belas menit, maka kita harus masuk ke kelas pukul enam pagi, dan itu dilakukan setiap Senin dan Kamis.
“Oh iya ya, semakin dekat kita dengan realita,” ucapku sambil meletakkan kepala ke meja untuk menatap wajah Karis yang sama khawatirnya.
Kami berdua mempunyai tanggung jawab yang sama untuk masuk ke perguruan tinggi, bagaimanapun caranya. Bedanya, Karis lebih serius, sementara aku?
“Gimana kalau kita nggak usah kuliah? Cari kerja aja,” terangku yang tiba-tba bangun seperti telah mendapat wangsit. Dibalas dengan Karis yang melongo bagaikan tidak percaya bahwa kalimat bodoh begini bisa keluar dari mulutku.
“Gue jait bibir lo, tau rasa!”