Hari Minggu, 9 Juni 2030. Taman Greenville penuh dengan para penikmat jogging. Satu keluarga, anak-anak SD, orang berpacaran, banyak ditemui di sana.
Ya, Battle yuk! Siapa yang sampai di pohon dekat tugu duluan, Dapat reward, tentang Reza.
"Satu... Dua... Tiga!"
Mereka berdua pun berlari dengan kencangnya meninggalkan tempat awal. Langkah Reza sangatlah cepat dan lincah. Kaya yang selalu unggul di bidang olahraga tak bisa menandinginya.
Yey! Gue duluan! Girang Reza. Saya terengah-engah. Ia mengusap keringat yang membasahi seluruh wajahnya.
Udahan yuk, dah capek! Kita makan aja. Kata Raya sambil membungkuk memegangi lututnya.
Gitu aja dah capek. Lemah banget lu ejekan Reza.
Ah berisik lo! Jadi gak nih? Kesal Raya sambil berjalan mengambil tote bag yang ia letakkan di kursi taman.
Gas, ah.
Mereka berdua mencari sebuah tempat yang sejuk untuk makan contohnya di bawah pohon. Akhirnya mereka menemukan pohon besar yang terletak di pinggir taman.
Reza menggelar tikar yang ia pinjam di kantin dekat situ. Lalu, Raya membuka kotak bekal yang ia bawa.
Yah udah dingin cah. Tapi Insya Allah Enak kok! Seru Raya mengedipkan satu mata kepada Reza.
Reza mulai menyantap nasi goreng yang lagi buat. Enak banget! Mau deh punya istri jago masak gua mah girang Reza.
Lu mau nikahin Bang zakiza? Tanya heran raya yang masih sibuk mengunyah makanan di mulutnya.
Dih, Ya kali! Gak gitu konsepnya, Aya! Tegas Reza memalingkan wajah ke kiri.
Deg! Aya? Panggilan yang membuat saya selalu teringat tentang Reza dulu. Saya ingat, dulu saat akrab-akrabnya mereka, Reza selalu memanggil Raya dengan panggilan Aya. Sedangkan Raya memanggil Reza dengan panggilan Jaja.
Gue kangen lo manggil itu ja. Raya dengan suara pelan. Ternyata, Reza mendengar lirihan Raya.
Hah? Apa? Aya? Balas Reza menatap raya yang sok menjaga pandangan untuknya.
Eh, I-iya, senyum pipis Raya.
"Aya, Aya, Aya!"
"Ih, udah, Ja!"
"Aya, Aya, Aya!"
"Ish, diem, Jaja!"
Reza terdiam dan mengganti duduknya dengan bersila. Ia meletakkan siku tangannya di paha juga telapak tangan di pipi. Jaja? Panggil gue itu aja.
Saya pun tersenyum dan lahap penghabisan makanan miliknya.
***
Bang, gue ba-- ucapan saya terjeda Karena ia mendengar suara Pyar Pecahan gelas dari arah dapur. Saya berlari menuju dapur karena khawatir terjadi sesuatu yang membahayakan di sana.
Benar dugaan Raya. Saat ia sampai, Raya mendapati papa dan enggih di sana. Raud terlihat ketakutan dan berkeringat tak berani menetap ke arah Papa.
PNG menunduk, gemetaran memegang sendok yang ada di tangan kanannya. Sementara itu, Papa mengangkat tangan kanan, seakan habis melempar sesuatu.
Apa mungkin papa melempar cangkir kopi ke arah dinding dapur? Karenanya, dinding dapur basah seperti terkena air kopi?
Kenapa ini? Kok tadi Raya dengar pecahan gelas? Tanya Raya beraut wajah panik.
Saya gak usah ikut campur! Mending kamu siap-siap buat berangkat ke tempat les. Bentak papa.
Tapi Papa ngapain ke bibi tadi tanda tanya papa gak ngelakuin sesuatu yang membahayakan Bibi kan?
Tadi PNG Papa suruh bikinin kopi. Papa marahin gara-gara bikinannya lama banget gak kayak biasanya. Waktu papa minum kopinya rasanya asin banget, udah kayak papa mau diracunin DND. Papa samperin ke dapur, Papa suruh di enggik nyobain kopi buatan dia sendiri. Png juga ngerasa admin, Ya udah papa lempar cangkirnya ke dinding.
Raya terdiam dengan apa yang Papa ceritakan. Ia melihat raut wajah bnq yang semak sangatlah pucat. Raya menghampiri PNG dan memegang dahi png
Kerenn bangeeet. Semangaat!
Comment on chapter Bab 1. Hujan Rintik-Rintik